Gairah di Balik Tugas Dokter (Cuckold Story) – Part 3

[Bocah Polos]

Pagi itu, aku bangun lebih awal dari Anisa. Cahaya matahari baru saja menyelinap lewat celah-celah dinding papan rumah dinas kami. Aku melirik Anisa yang masih terlelap di ranjang reyot, rambut hitamnya terurai di bantal. Pikiranku langsung melayang ke rencana hari ini.

“Beb, aku duluan ke puskesmas, ya,” kataku sambil buru-buru meraih kunci mobil. “Ada urusan mendadak, harus cek inventaris alat.”

Anisa mengangguk sambil menguap, matanya masih setengah terpejam. “Iya, aku nyusul nanti. Kamu tolong kabarin si Dedi, minta tolong anterin aku ke puskesmas.”

“Oke, nanti aku kabarin si Dedi.”

Aku tersenyum kecil membayangkan Anisa naik motor berboncengan dengan Dedi. Namun, tak mau berlama-lama, aku mencium keningnya, lalu bergegas keluar.

Di dalam Pajero Sport, aku merogoh tas kecil di jok belakang. Di sana ada dua spy cam mini yang aku beli online sebelum berangkat ke Sukamaju. Kamera kecil itu dilengkapi dengan lensa sebesar kancing, lengkap dengan koneksi ke ponselku. Aku tahu ini gila, tapi jiwa pamer dan fantasi unikku ini tidak bisa dibendung. Aku ingin melihat Anisa dari sudut yang tidak biasa, apalagi di puskesmas yang penuh tatapan pria-pria desa.

***

Sesampainya di puskesmas, aku langsung menuju ruanganan konsultasi Anisa yang cuma berisi meja kayu, kursi plastik, dan ranjang periksa dengan kasur tipis. Dengan cepat, aku memasang satu spy cam di sudut plafon, tersembunyi di balik lampu neon yang agak longgar. Kamera kedua aku tempel di sela-sela rak obat, menghadap langsung ke ranjang periksa. Aku tes koneksinya lewat ponsel. Gambarnya jernih, suara pun juga jelas. Sempurna.

Setelah selesai, aku langsung pindah ke ruanganku sendiri, dan pura-pura sibuk membaca laporan.

Kurang lebih satu jam berlalu, suara motor butut Dedi terdengar dari luar. Aku melirik dari jendela kecil. Dedi sengaja ngerem mendadak sesaat ketika sampai. Tubuh Anisa otomatis terdorong maju. Dadanya yang penuh itu menempel erat ke punggung Dedi. Aku bisa lihat Anisa buru-buru mundur.

Hari ini Anisa memakai kemeja biru dan rok hitam selutut yang memperlihatkan paha mulusnya.

“Pagi, Dok,” sapa Dedi yang muncul di depan pintu ruanganku.

“Pagi, Ded,” balasku berusaha kalem meski pikiranku sudah liar membayangkan apa yang Dedi rasakan tadi. Mungkin, sedikit pegal di punggungnya mendadak sembuh terkena bantal susu istriku.

Anisa lewat begitu saja masuk ke ruangannya untuk bersiap-siap. Sementara aku pura-pura sibuk, tapi tanganku sudah gatal dan membuka aplikasi spy cam di ponsel tanpa suara. Layar menunjukkan Anisa yang sedang merapikan meja. Pada satu titik, ia diamsambil membuka kancing kedua dari atas karena gerah. Aku menelan ludah membayangkan bagaimana nanti reaksi pasiennya.

***

Pagi itu, puskesmas masih sepi seperti kemarin. Aku cuma dapat dua pasien dengan keluhan ringan seperti demam dan batuk. Anisa juga tidak terlalu sibuk, cuma memeriksa beberapa ibu-ibu yang bawa anak kecil. Menjelang siang, aku duduk di ruanganku dengan bosan. Belum ada pasien lagi. Aku iseng membuka aplikasi spy cam di ponsel, penasaran apa yang terjadi di ruangan Anisa.

Layar ponselku menunjukkan Anisa sedang memeriksa seorang pasien bocah laki-laki, mungkin kelas dua atau tiga SMP. Anak itu kurus dengan baju seragam yang agak lusuh. Ia duduk di ranjang periksa, wajahnya merah dan gelisah. Aku memasang earphone dan menaikan volume suara agar bisa mendenger percakapan mereka.

“Jadi, apa keluhannya, Dik?” tanya Anisa dengan suara lembut.

Bocah itu memandang ke bawah, tangannya memegang celana pendeknya dengan canggung. “Ehm … anu, Bu Dokter … batang saya … sakit.”

Anisa terdiam sejenak, alisnya sedikit terangkat. Aku bisa lihat dari kamera kalau wajahnya agak bingung, tapi dia berusaha tetap tenang. “Maksudnya … batang? Di bagian mana sakitnya?”

Bocah itu semakin gelagapan, wajahnya makin merah. “Ya … itu, Bu … di bawah. Sakit, kayak … keras gitu.”

Aku menahan tawa, tapi juga merasa suasana di ruangan itu tiba-tiba tegang. Anisa menarik napas dalam, jelas serba salah. Aku tahu dia dokter berpengalaman, tapi situasi seperti gini pasti membuatnya kurang nyaman, apalagi dengan pasien remaja yang tampaknya bingung sendiri.

“Ehm … oke,” ucap Anisa dengan suara tetap kalem meski ada nada ragu. “Kapan mulai sakitnya? Apa ada luka atau bengkak?”

Bocah itu menggeleng, matanya tak berani menatap Anisa. “Ga ada luka, Bu Dokter. Sebenernya, saya diare, tapi pas periksa di sini, ada penyakit lain pas liat Ibu Dokter.”

Aku hampir tersedak kopi yang lagi kuminum. Anisa membeku sejenak, tangannya yang memegang stetoskop berhenti bergerak. Wajahnya masih berusaha profesional, tapi aku bisa lihat dari spy cam kalau matanya melebar sedikit, mungkin agak kaget. Ia buru-buru berjalan ke mejanya, dan pura-pura menulis sesuatu di buku catatan.

“Dik … ehm, itu mungkin … reaksi tubuh yang normal, buka penyakit,” kata Anisa, suaranya agak terbata. “Bu Dokter buatkan resep untuk diarenya saja.”

Bocah itu mengangguk pelan, matanya sekarang mulai berani melirik ke arah Anisa, tepatnya ke tempat yang sedikit terbuka karena kancingnya lepas dua, ditambah posisi Anisa saat membungkuk tadi.

Aku tidak tahu harus tertawa atau cemburu. Di satu sisi, ini agak lucu. Di sisi lain, melihat Anisa dalam situasi canggung seperti itu gini membuat darahku panas.

“Oke, kalau cuma itu, kamu cukup istirahat aja dulu. Kalau masih sakit besok, balik lagi, ya,” jelas Anisa. Ia menulis resep obat, memberikan vitamin, dan saran agar banyak minum air putih.

Bocah itu mengangguk, lalu buru-buru bangun dari ranjang periksa. Ia berusaha menutupi bagian depan celananya dengan tangan. Anisa membuka pintu, dan mengantar bocah itu keluar dengan senyum kaku. Begitu pintu tertutup, aku lihat dari kamera dia menghela napas panjang, mengipas wajahnya yang merona karena gerah dan canggung.

***

Setelah momen canggung di ruangan Anisa selesai, aku memutuskan untuk keluar dari ruanganku. Pikiranku masih dipenuhi bayangan kalau Anisa digrap anak itu. Aku melangkah ke halaman depan puskesmas, berharap dapat udara segar sekaligus lihat apa bocah tadi masih ada di sekitar.

Di ujung halaman, dekat pohon kelapa yang condong ke samping, aku lihat dia berdiri sendirian. Bocah itu kecil, kurus, dengan kulit sawo matang yang agak mengilap karena keringat. Rambutnya cepak. Ada sedikit keringat yang menempel di dahi. Seragam SMP nya yang sedikit kekuningan dan celana pendek biru yang ia kenakan terlihat agak besar di tubuhnya yang mungil. Wajahnya polos. Nama dari catatan pasien yang kulihat sekilas di meja Anisa adalah Rudi.

“Sakit apa kamu?” sapaku sambil mendekat, berusaha santai agar anak itu tidak kaget.

Rudi menoleh. “E-eh, Pak Dokter,” balasnya tergagap, tangannya buru-buru menyembunyikan bagian depan celananya, meski sekarang kelihatan sudah tidak apa-apa.

Aku nyengir dan duduk di bangku kayu di dekatnya. “Kamu sakit apa? Kok grogi banget?”

Wajah Rudi langsung merah padam seperti tomat yang dijual di gerobak sayur kemarin. Dia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung seragamnya. “A-anu, Pak … tadi saya diare, terus … burung saya sakit,” katanya pelan, nyaris tak terdengar.

Aku menahan tawa, tapi berusaha tetep serius. “Burung? Kamu pelihara burung? Ceritain aja, ga usah takut. Saya dokter, biasa denger penyakit macem-macem. Siapa tahu saya bisa bantu.”

Rudi melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang lain di sekitar. Suaranya makin lirih.

“Ya … itu, Pak. Tadi waktu masuk ruang periksa, burung saya jadi keras gitu, tegang banget, sakit. Saya … saya baru pertama kali ngalamin gitu. Biasanya ga gitu, Pak. Saya takut, apa saya kena penyakit aneh?”

Aku mengangguk pura-pura serius, padahal dalam hati ngakak brutal. Bocah ini benar-benar polos.

“Oh, gitu. Jadi cuma diare sama sakit ngaceng doang? Pertama kali, ya? Ga apa-apa, Rud. Itu normal kok buat anak seumur kamu. Tubuh lagi belajar.”

Rudi mengangguk dengan tampang masih kebingungan. “Tapi … tadi pas ketemu Bu Dokter, kok makin … anu, keras, Pak. Saya malu banget, ga tahu kenapa jadi besar.”

Aku hampir tersedak, tapi buru-buru menutupinya dengan batuk kecil. “Haha, tenang aja. Itu cuma reaksi tubuh. Bu Dokter kan cantik, wajar aja kamu grogi,” kataku sambil nyengir, dan mencoba membuat ia rileks. “Tapi beneran, kalau masih sakit atau bingung, kapan-kapan mampir ke rumah Pak Dokter aja. Rumah Pak Dokter ada di ujung jalan ini, yang temboknya biru. Kita ngobrol santai, terus nanti sama Dokter Anisa coba diobatin. Itu kalo tegang kayak gitu harus ada yang dikeluarin biar lemes lagi. Bawa temen kalau mau, biar rame.”

Rudi mengangguk lagi, kali ini agak lebih tenang. “O-oke, Pak Dokter. Makasih.” Setelah itu, ia buru-buru pamit.

Aku balik ke dalam puskesmas dengan pikiran liar. Membayangkan Rudi yang polos itu mampir ke rumah saat Anisa sedang memakai baju dinas malamnya. Aku penasaran bagaimana reaksi bocah itu.

Siang itu, puskesmas makin sepi. Aku cuma dapat satu pasien lagi, bapak-bapak dengan keluhan pegal linu. Sementara itu, aku sempet membuka aplikasi spy cam lagi untuk memantau situasi di ruang sebelah. Anisa cuma duduk di ruangannya. Ia menulis laporan sambil mengipas wajahnya yang berkeringat.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *