[Obat]
Malam itu, suasana di rumah dinas terasa lebih pengap dari biasanya. Angin laut tidak cukup untuk mengusir gerah. Aku duduk di sofa reyot ruang tamu hanya dengan kaus oblong dan celana pendek sambil bermain ponsel.
Anisa tadi bilang ia mau mandi dan ganti baju, mungkin capek setelah seharian di puskesmas. Sesekali, aku melamun jorok membayangkan istriku sendiri.
Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu membuyarkan imajinasiku. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul delapan malam. Aku bangun, lalu melangkah ke pintu, dan membukanya perlahan.
Di depan pintu Rudi sudah berdiri. Wajahnya pucat. Keringat menetes di dahinya, dan ekspresinya terlihat panik. Tangannya memegang perut seperti orang yang sedang menahan sakit.
“P-Pak Dokter … tolong …,” katanya dengan suara gemetar dan napasnya tersengal. “Saya … sakit lagi … burung saya … makin parah, Dok!”
Aku menahan tawa saat melihat ia memegangi burung berbiji dua miliknya, ada rasa kasihan yang bersemayam dan ingin membantunya.
“Wah, masuk dulu, Rud, duduk sini,” kataku sambil membuka pintu lebar-lebar. “Tenang, ceritain pelan-pelan. Sakitnya kayak gimana?”
Rudi melangkah masuk dengan susah payah, jalannya agak pincang seperti orang yang takut merusak sesuatu di celananya. Ia duduk di ujung sofa, tangannya masih memegang perut dan bagian depan celana pendeknya.
“Dari sore tadi, Pak … keras banget, sakit. Kayak … kayak mau pecah gitu. Saya ga bisa duduk tenang, Pak. Diare saya udah mendingan, tapi ini … ini ga normal!” pekiknya.
Aku mengangguk dan berpura-pura serius. Bocah ini benar-benar polos. Ia baru pertama kali mengalami gairah pubertas dan panik seperti sedang terjangkit penyakit mematikan. Memang, di desa ini hampir semua wanitanya kurang menarik, baik paras maupun lekuk tubuhnya, wajar selama ini anak itu belum pernah ngaceng.
“Oke, tenang. Itu bukan penyakit aneh, cuma reaksi tubuh aja. Nanti Pak Dokter jelasin. Tunggu sebentar, ya, saya panggil Bu Dokter Anisa biar bantu cek.”
Rudi mengangguk dengan wajah pucat. Sementara itu, Aku menoleh ke arah kamar yang cuma dipisahkan oleh dinding papan tipis dari ruang tamu.
“Beb, sini deh,” panggilku agak keras, masih duduk di sebelah Rudi. “Sabar, ya, Rud. Bu Dokter sebentar lagi keluar.”
Rudi cuma mengangguk, napasnya masih tersengal. Aku hanya diam sambil membayangkan Anisa keluar tanpa tahu ada tamu yang sedang menunggunya.
Tidak lama berselang, pintu kamar terbuka. Anisa keluar, dan waktu ku lihat ia muncul dari balik pintu, aku hampir lupa bernapas. Malam ini ia mengenakan pakaian dinas berupa lingerie hitam yang tipis yang dan tembus pandang di bagian perut, dengan tali kecil yang menggantung di bahunya. Dadanya yang besar dan kencang terlihat jelas di balik renda, dan bagian bawah lingerie cuma sampai paha atas, menampilkan kaki jenjangnya yang mulus. Rambutnya masih agak basah, terurai di bahu. Wajahnya yang malam ini tanpa kacamata membuatnya kelihatan lebih liar dari biasanya.
Anisa belum sasar kalau ada tamu di rumah ini karena tidak memakai kacamata. Langkahnya santai menuju Bayu dengan tangan megang handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut.
“Kenapa Beb mangg—” Anisa berhenti di tengah kalimat. Matanya membulat utuh saat melihat Rudi duduk di sofa. “Astaghfirullah!” pekiknya pelan, sambul buru-buru menutupi dadanya dengan handuk kecil yang tidak cukup untuk menutupi apa-apa.
“Aaah! Bu Dokter! Sakit, Pak! Burung saya … mau pecah!” teriaknya, suaranya campur aduk antara panik dan putus asa. “Melihat tampilan Anisa malam ini membuat bocah itu makin menggila.”
Keringat bercucuran di dahinya, wajahnya merah menyala, dan badannya gemetar hebat. Celana pendeknya kelihatan menggembung di bagian tengahnya, membuatku tak tahu harus tertawa atau simpati.
Anisa yang tadinya sudah setengah langkah ingin kabur ke kamar, mendadak membeku di tempat.
“Bayu! Ini ada apaan sih?” pekiknya pelan, matanya melotot ke arahku dengan tampang malu bercampur kesal. Ia berbalik arah, hendak lari ke kamar untuk ganti baju.
Tapi, dengan jiwa pamer yang sudah menggila, buru-buru ku tarik tangannya.
“Beb, tunggu! Rudi lagi kesakitan, kamu harus bantu sekarang!” kataku dengan suara tegas. “Ini pasien kamu, kan? Kamu ga bisa ninggalin pasien gitu aja.”
Anisa menoleh, matanya menyipit
Ke arahku “Bayu, gila kamu! Aku kayak gini, masa suruh bantu?! Aku ganti baju dulu!” Tangannya masih berusaha menarik lengan dari genggamanku.
Rudi melirik ke arah Anisa, dan disitulah urat-uratnya makin menegang. “Aduh, Pak! Makin sakit!”
“Beb, serius, kontolnya udah kayaknya mau meledak, beneran kesakitan itu. Cuma kamu yang bisa tenangin dia sekarang,” desakku. “Kamu kan dokter profesional, ga usah malu. Rudi polos, dia ga bakal mikir aneh-aneh. Toh, dia masih kecil.”
Anisa menghela napas panjang, wajahnya merah padam, campuran antara kesel dan pasrah. Ia melirik Rudi yang sekarang sudah berhenti berguling-guling, tapi masih meringkuk di lantai. Tangannya megang celana seolah takut burungnya lepas.
“Kamu tahu kan, Beb?” bisik Anisa. “Dia itu cuma ngaceng.”
“Pertanyaannya, ngaceng gara-gara siapa?” tanyaku balik. “Udah, kocokin aja sebentar sampe lemes.”
Anisa terbelalak. “Kamu gila, ya?!”
“Dia masih kecil ini, ga apa-apa. Abis itu, kita kasih edukasi biar dia tahu harus apa kedepannya,” jawabku.
Anisa menghela napas berat. “Ya Tuhan … oke, oke, aku coba urus, meskipun itu bukan penyakit.”
Anisa membuang handuk kecilnya di sofa, lalu duduk di sebelah Rudi.
“Rudi, sini, duduk di sebelah Bu Dokter. Kita mulai proses pengobatannya,” ucap Anisa dengan nada lembut.
Rudi dengan wajah yang masih merah seperti kepiting rebus, pelan-pelan bangun dari lantai. Badannya gemetar, matanya tak berani menatap Anisa, tapi aku lihat ia diam-diam mengintip sekilas ke arah lingerie yang tembus pandang itu.
Bocah itu duduk di sebelah Anisa dengan jarak cuma setengah meter. Tangannya masih menutupi bagian depan celananya.
“S-sakit, Bu … dari sore tadi keras, sekarang … sekarang tambah parah,” katanya lirih. “Pas lihat Bu Dokter tadi … aduh, kayak mau meletus, Bu.”
Aku duduk di kursi plastik di seberang mereka. Anisa lagi-lagi menarik napas dalam, berusaha tetep profesional meski pakaiannya sama sekali tidak mendukung.
“Oke, tenang. Itu … itu bukan penyakit, ya. Itu cuma reaksi tubuh karena kamu lagi … ehm, masa pubertas,” katanya, “kamu ga perlu takut.”
Rudi mengangguk pelan. Matanya masih menunduk ke bawah, tak berani bertemu mata Anisa.
“Tapi … sakit banget, Bu. Harus diapain biar sembuh?” tanyanya.
Anisa melirikku, matanya penuh protes, tapi aku cuma nyengir dan mengangguk, seperti bilang, “Lanjutin, Beb.”
Dengan tangan gemetar, Anisa menyentuh celana pendek Rudi dan mulai membukanya perlahan.
Rudi meringis, wajahnya merah padam dan napasnya tersengal.
“Tenang, Rud. Sebentar lagi sembuh,” ucapku.
Anisa membuka celana Rudi dan melihat senjata pusaka yang sudah membesar dan berdiri tegak. Batang itu tampak dewasa, besar, dan berurat seperti Byakugan.
Rudi meringis lagi, tubuhnya bergemuruh karena perasaan yang campur aduk antara sakit dan nikmat.
Dengan inisiatif, aku memberikan istriku pelumas. Anisa mengambil pelumas itu dan melumasi batang Rudi dengan gerakan pelan. Rudi mendesah dan menjerit, entah sakit atau enak bercampur jadi satu.
“Ahhh, Bu Dokter … aduh, shhhh …,” ucap Rudi dengan suara gemetar.
Anisa melanjutkan gerakannya. Ia mengocok batang Rudi dengan perlahan dan berusaha tidak melihatnya. Suara desahan dan jeritan Rudi mengisi ruangan, dan membuat suasana menjadi lebih panas.
Karena ingin cepat berakhir, istriku mempercepat tempo kocokannya. Namun, batang itu tak kunjung meledak.
Aku menyadari bahwa tangan istriku mulai terasa pegal dari gerakannya yang mulai asal-asalan. Dengan inisiatif, aku bergerak ke belakangnya, lalu menarik pelan satu tali lingerienya.
“Ah!” pekek Anisa yang terkejut saat satu bongkahan dadanya menyembul keluar. “Bayu, kamu—”
Tiba-tiba, Anisa terdiam. Ia merasakan sesuatu bergerak di dadanya dan sontak menunduk untuk melihat apa yang terjadi di sana.
Ku lihat Anisa menatap tangan Rudi yang sedang meremas dan menggesek puting susunya maju mundur dengan jari telunjuk. Puting susu Anisa mulai mengeras akibat sentuhan Rudi tersebut.
“Ahhh~” Satu desahan Anisa tak sengaja lolos.
Rudi dengan mata terbuka lebar terpacu oleh respons Anisa. Ia meremas lebih kuat setelah mendapatkan power dari desahan istriku.
“Ahhh, Bu Dokter … aduh, saya pipissss! Uhhhhhh,” lenguh Rudi dengan suara penuh kepuasan.
Rudi mencapai puncak. Kontolnya meledak dan ledakan spermanya muncrat, sampai tumpah ke wajah dan dada Anisa, juga berceceran di lantai.
Rudi mendesah lega, tubuhnya menjadi lemah dan batangnya perlahan mulai lemas. Ia berbaring di lantai dengan dengan napas terengah-engah
Di sisi lain, Anisa dengan wajah merah padam dan napas tersengal, menatap ke bawah dan melihat puting susunya yang mengeras akibat permainan Rudi. Ia menutupi dadanya dengan tangan, lalu bangun dan pergi ke kamar mandi tanpa kata-kata.
Aku menatap Rudi yang sekarang tampak lebih tenang.
“Kamu bisa pulang, Rud. Kalo sakit lagi, kamu bisa kocok sendiri kayak tadi biar lemes,” ucapku. “Tapi kalo ga bisa, ke sini lagi aja, nanti dibantuin lagi sama Bu Dokter.”
“Oke, Pak Dokter.” Rudi mengangguk lalu berdiri dan pergi.