Gairah di Balik Tugas Dokter (Cuckold Story) – Part 7

Setelah sampai di rumah, Anisa turun dari mobil tanpa berkata apa-apa. Ia buru-buru masuk ke rumah seperti sedang menghindari tatapanku.

Di dalam rumah, suasana agak sepi dan canggung. Anisa langsung menaruh barang-barangnya di kursi, dan masuk ke kamar mandi tanpa bilang apa-apa.

Aku duduk di sofa sambil bermain ponsel dan membuka aplikasi spy cam untuk mengecek rekaman siang tadi di Puskesmas, meski aku sudah hafal kejaian setiap detiknya. Namun, begitu suara pintu kamar mandi terbuka, aku langsung menutup aplikasi tersebut dan menggantinya dengan aplikasi lain.

Anisa keluar dengan kaus oversize dan celana pendek, wajahnya sudah bersih dari makeup. Ia duduk di sofa agak jauh dariku sambil tangannya memainkan ujung kaus dan mata tertunduk. Suasana sangat canggung, seperti ada tembok tak terlihat di antara kami.

“Beb, kamu kenapa sih dari tadi? Masih kesel?” tanyaku.

Anisa menghela napas panjang. Tangannya berhenti memainkan kaus, tapi matanya masih menunduk. “Enggak kok, Beb,” katanya lirih. “Aku … aku cuma ngerasa bersalah banget sama kamu.”

“Bersalah? Bersalah kenapa, Beb?” tanyaku lembut. Ada rasa penasaran yang tak bisa ku hindari.

Anisa menoleh ke arahku, matanya sayu. “Tadi siang di puskesmas, aku … aku ga sengaja bikin situasi aneh sama Dedi.”

Aku pura-pura memicingkan mata, meskipun tau arah pembicarannya. “Aneh gimana?”

“Aku gerah banget, Beb, beneran. Kemejaku ku buka tiga kancing karena ga tahan panas, dan aku ga sadar Dedi masuk. Terus … ada kecoa terbang nemplok di dadaku. Karena panik, aku coba usir, tapi malah masuk ke baju.”

Ia berhenti sejenak. Wajahnya merona lebih merah.

Di sisi lain, Aku menahan napas, pura-pura bingung, meski ingatan tentang tangan Dedi di dalam kemeja istriku, dan jari-jarinya yang salah tangkap menangkap putingnya berputar di kepalaku. “Lanjut aja, Beb. Ceritain aja, aku ga bakal marah,” kataku sambil menarik badannya pelan agar ia lebih dekat.

Anisa menarik napas dalam. Tangannya memegang lenganku. “Aku takut banget, Beb, jadi aku suruh Dedi ambilin. Terus, tangannya masuk ke dalem kemejaku buat nyari kecoanya. Aku ga bisa mikir jernih tadi. Aku ngerasa kotor banget, Beb. Aku ngerasa ga setia sama kamu. Aku malu banget.”

Entah. Ada rasa kasian, tapi ada rasa puas juga saat Anisa yang anggun, yang berpendidikan tinggi, sekarang duduk di depanku dengan wajah penuh rasa bersalah, menceritakan momen yang membuatku terangsang sekaligus cemburu tadi siang. Aku menariknya ke pelukanku, lalu ku usap punggungnya pelan.

“Aku ga marah, lah. Kamu kan takut kecoa, wajar dong panik. Dedi cuma bantu doang, kan? Dia juga pasti ga ada niat macem-macem.”

“Tapi aku ngerasa salah, Beb. Aku ga mau kamu mikir kalo aku sengaja godain Dedi begitu.”

Tanganku mengusap rambutnya. “Beb, aku tau kamu ga sengaja. Lagian, aku ga cemburu kok. Aku yakin si Dedi juga serba salah. Kamu tau kan? Kalo pria-pria di desa ini pada mupeng sama kamu. Tadi di warung aja, mereka ngeliatin kamu buas banget kayak mau nelanjangin.”

Anisa mencubit pinggangku. “Bayu! Kamu seneng banget, ya, liat aku disituasi begitu? Aku takut tadi tau! Cowok yang kayak preman itu, dia juga pernah gangguin aku di tukang sayur, dan ngomongnya udah kelewatan!”

“Haha, sorry, Beb. Tapi seru, kan? Kamu bikin mereka ngimpiin kamu malem-malem, tapi tetep balik ke aku,” kataku sambil nyengir nakal dan menariknya lebih dekat sampai Anisa menyender di dadaku. “Soal Dedi santai aja. Besok kalo ketemu dia, kasih senyum kecil aja, biar ga canggung-canggung amat.”

“Iya,” jawabnya sinkgat.

***

Menjelang sore, puskesmas sudah sepi. Selesai menulis laporan harian, aku pergi ke ruangan Anisa dan mengajaknya pulang. Namun, Anisa bilang ia masih harus lembur sebentar lagi untuk menyelesaikan data pasien mingguan.

“Beb, aku duluan, ya? Ada urusan bentar di rumah Pak RT,” kataku sambil berdiri di pintu ruangannya.

Anisa menoleh dari mejanya, alisnya naik. “Terus aku pulang gimana?”

“Nanti aku jemput, tapi kalo pait-pait ga bisa jemput, aku minta tolong Dedi anterin aja ke rumah. Gimana?”

Ia tampak berpikir, tapi karena keadaan yang kepepet, Anisa pun meng-iyakannya.

“Oh iya, ini minum dulu biar seger, gerah banget hari ini.” Aku menaruh sebotol air mineral dingin di mejanya. “Beresin laporan santai aja, jangan buru-buru.”

Yang ia tidak tahu adalah, di dalam air itu sudah ku campuri semacam obat bius ringan eksperimenku sendiri. Efeknya menaikkan gairah seksual, meskipun tidak signifikan. Selain itu, obat tersebut membuat pengkonsumsinya mengantuk dan berhalusinasi tipis-tipis.

Anisa mengangguk tanpa tahu apa-apa. Ia membuka botol tersebut dan meminumnya. Setelah memastikan ia sudah meminumnya, aku pun pamit.

Di depan puskesmas, Dedi terlihat sedang merapikan kotak obat di gudang. Kausnya lepek berkeringat, menampilkan otot dadanya yang cukup kekar.

“Ded, jangan pulang dulu, ya. Dokter Anisa lembur sampe jam enam mungkin, temenin dia dulu biar ga sendirian. Dia takut setan soalnya,” kataku sambil terkekeh. “Saya pulang duluan, ada urusan sama RT. Nanti kalo pas dia mau pulang, saya ga ada di sini, kamu anterin pulang ya? Bisa?”

Dedi tersenyum lebar. “Siap, Dok. Saya temenin, dan ga bakal ninggalin Dokter Anisa sendirian.”

Aku mengangguk, lalu naik ke Pajero yang ku parkir di depan puskesmas. Aku memang pergi dari area puskesmas, tapi tidak ke rumah Pak RT. Aku buru-buru membeli camilan dan pulang ke rumah untuk menonton dari aplikasi spy cam di ponsel, siapa tau ada kejadian lagi. Toh, aku sudah membukakan pintu untuk Dedi dengan obat rahasiaku.

Sebelumnya juga, sudah ku pasang kamera di seluruh puskesmas selain di ruangan Anisa. Kini, seluruh area seperti ruanganku, koridor, sampai gudang sudah ku pasang semua. Jadi aku bisa melihat semuanya. Kupasang earphone, untuk mendengarkan jika ada dialog di antara mereka.

***

Setengah jam berlalu. Harusnya efek obat tersebut sudah mulai bereaksi. Aku duduk manis sambil memakan kacang rebus yang ku beli tadi di jalan. Dari layar ponsel, ku lihat Anisa masih di mejanya sedang menulis laporan. Dari gelagatnya, ia sudah mulai kelihatan gelisah.

Anisa yang mulai hari ini berkomitmen tidak mau membuka lebih dari satu kancing, mulai melepaskan kancing kedua kemejanya. Ia mulai tak tahan dengan gerahnya suhu ruang di tambah suhu tubuhnya sendiri. Tangannya mulai mengipas-ngipas wajah.

“Ya Tuhan, kenapa gerah banget sih sore-sore,” gerutunya pelan. Suaranya terdengar di earphoneku.

Ia berdiri dan melangkah ke jendela, lalu membuka lebih lebar jendela di ruangannya agar angin sore masuk, tapi tak ada efeknya.

Anisa balik ke meja, lalu meminum air dari botol tadi. Ia terlihat seperti sedang menahan sesuatu.

Tiba-tiba, Dedi masuk ke ruangannya membawa map kertas dan segelas air putih. “Dok, ini laporan stok obat yang tadi kurang. Saya bawa air juga buat dokter, biar ga dehidrasi.”

Ia berdiri dekat meja istriku dengan senyum lebar. Badannya condong sedikit ke depan, kaus ketatnya menyuguhkan otot dada dan lengannya yang kekar. Mata pemuda itu melirik ke leher Anisa yang berkeringat.

Anisa seperti orang salah tingkah. “E-eh, makasih, Ded. Taruh aja di situ.”

Ia melihat ke map kertas dan pura-pura fokus, tapi sesekali aku melihat matanya melirik ke arah tubuh Dedi yang kekar dan agak berkeringat, sehingga ada efek kilatan di kulitnya.

“Sekalian cek alat medis, Dok. Apa ada yang perlu dibantu? Kayaknya Dokter capek, mending istirahat sebentar,” kata Dedi lembut.

Ia taruh gelas air di atas meja Anisa. Tangannya bergerak pelan, seperti ingin badannya yang kekar di notice oleh istriku. Dedi menarik kursi di depan meja, lalu duduk tanpa permisi. Jaraknya cuma sepanjang meja dari Anisa.

Anisa mengangguk canggung. Wajahnya merah padam. Tangannya megangi botol air yang ku berikan, lalu meminumnya lagi dengan grogi.

“Dok, ngerasa ga sih beberapa hari ini panas banget?” tanya Dedi.

“Ini malah jendela udah dibuka, tapi tetep gerah,” balas Anisa.

“Buka aja kancing kemejanya dikit, Dok, biar ademan,” kata Dedi dengan nada agak genit, matanya melirik ke arah dada Anisa, berharap istriku menggunakan mode tiga kancing terbuka. “Kemarin kan Dokter juga gerah tuh, hehe.”

Anisa agak terkejut mendengar ucapan Dedi. Tangannya bergerak kikuk sampai menyenggol botol air di mejanya dan jatuh. Ia buru-buru menunduk untuk mengambilnya.

Di layar ponselku, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana Dedi menelan ludah, matanya terpaku pada celah kemeja Anisa yang terbuka sesaat. Senyum puas terukir di bibirku. Umpan sudah dimakan.

Anisa kembali duduk di kursinya, napasnya memburu seolah habis berlari. Wajahnya yang merah padam kini basah oleh keringat. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, matanya setengah terpejam. Efek obat itu tampaknya bekerja lebih cepat dan lebih kuat dari yang kuduga, bercampur dengan kelelahan dan hawa panas yang nyata.

“Dokter … Dokter beneran ga apa-apa?” suara Dedi terdengar lagi, kali ini lebih lembut dan lebih intim. Ia belum kembali ke kursinya, masih berdiri di dekat Anisa. “Muka Dokter pucet banget, tapi merah juga. Kayak lagi demam.”

Anisa menggeleng masih dengan mata terpejam. “Cuma kegerahan, Ded … panas banget ….”

Saat itulah, aku melihat Dedi membuat gerakan yang berani. Ia berjalan memutari meja, kini berdiri tepat di samping Anisa.

“Kalo emang gerah banget, buka aja kancingnya biar ademan dikit, Dok. Ga ada siapa-siapa kok, cuma kita berdua,” bisiknya. Nada genit dalam suaranya kini tak lagi disembunyikan.

Anisa membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong dan bingung, seolah ia sedang mencoba memproses ucapan Dedi tapi otaknya tak mampu bekerja dengan benar. Ia menatap Dedi, lalu menunduk ke kemejanya sendiri. Tangannya yang gemetar terangkat, mencoba membuka kancing ketiga, tapi gagal. Jarinya terasa kaku.

“Sini, saya bantu,” kata Dedi, suaranya seperti sihir yang menghipnotis.

Aku menahan napas, mataku terpaku pada layar. Inilah momen yang kutunggu.

Tanpa menunggu persetujuan lagi, tangan Dedi yang kekar itu bergerak ke arah dada Anisa. Aku melihat Anisa sedikit tersentak, tapi ia tidak menolak. Ia hanya diam, pasrah, matanya menatap kosong ke depan. Jari-jari Dedi dengan ahli membuka kancing ketiga, lalu keempat.

Kemeja putih itu kini terbuka lebar, memperlihatkan gundukan dada Anisa yang terbungkus BH merah muda. Keringat membasahi belahan dadanya, membuatnya berkilau.

“Nah, gini kan lebih adem,” bisik Dedi. Tangannya tidak langsung menjauh. Punggung tangannya dengan sengaja menyapu kulit dada Anisa yang hangat dan basah.

“Shhhh ….”

Anisa mendesah pelan. Bukan desahan penolakan, tapi desahan lega karena udara akhirnya menyentuh kulitnya yang panas. Atau mungkin … desahan lain. Obat itu mulai memainkan perannya, mengubah rasa panas menjadi gairah yang membara.

“Masih panas, Dok?” tanya Dedi lagi, kini ia berjongkok di samping kursi Anisa, menyamakan tinggi wajahnya. Matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. “Mau saya kipasin?”

Anisa hanya mengangguk pelan, seperti boneka yang kehilangan kendali. Pikirannya sudah terlalu kabur untuk melawan atau bahkan merasa malu. Yang ia rasakan hanyalah panas yang membakar dan kebingungan yang luar biasa.

Dedi tidak mengambil kipas. Sebaliknya, ia meniup pelan ke arah dada Anisa. “Gini?” tanyanya.

Anisa kembali mengangguk, matanya terpejam lagi.

Jantungku berdebar kencang. Ini lebih baik dari dugaanku. Anisa, istriku yang cerdas dan anggun, kini luluh tak berdaya di bawah pengaruh obatku dan sentuhan pria lain. Rasa cemburuku bercampur dengan rasa puas yang aneh, menciptakan koktail emosi yang memabukkan.

Dedi melihat Anisa yang sudah tak berdaya. Ia tersenyum licik. Tangannya yang tadi hanya menyapu, kini bergerak lebih berani. Ibu jarinya mulai mengusap lembut tepian BH Anisa, tepat di atas belahan dadanya.

“Dokter capek banget, ya?” bisiknya lagi, suaranya serak menahan nafsu. “Kalo saya pijit dikit di sini, mungkin bisa lebih rileks ….”

Tangannya mulai merayap pelan, tak lagi berpura-pura membantu mendinginkan, tapi murni menjelajah.

Anisa dalam kabut halusinasinya, tidak melakukan apa pun untuk menghentikan lelaki itu.

Aku membuka celana dan mengambil minyak zaitun. Ku lumasi senjataku yang sudah keras membatu. Malam ini, Dedi akan menjadi aktor dal
am fantasiku, dan istriku yang tercinta adalah bintang utamanya. Dan aku adalah sang sutradara, akan menikmati pertunjukan ini dari kursi terdepan.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *