Gairah di Balik Tugas Dokter (Cuckold Story) – Part 9

[Kopi Susu]

Aku baru saja turun dari mobil sambil menggendong Anisa yang terlelap di pelukanku. Saat aku berjalan mendekati rumah, aku melihat Mang Ujang sedang berdiri di depan pintu rumahnya.

“Dok! Baru pulang? Ayo, ngopi dulu di sini,” ajak Mang Ujang dengan senyum lebar.

Aku membalas senyumnya. “Sebentar, Mang. Saya tidurin istri dulu.”

Mang Ujang terkekeh. “Nanti malem aja tidurinnya, biar saya bisa sambil ….” Tangannya memperagakan gerakan mengocok.

“Ngewek itu mah, Mang,” balasku. “Ini mah mau ditaro doang.”

“Oh, ya udah. Saya tunggu di sini ya, Dok.”

Sambil menggendong Anisa, ku buka kunci dan membukanya. Ku letakan Anisa di sofa ruang tamu.

“Beb, pindah dalem gih.” Aku menggoyangkan tubuh Anisa, tapi ia tak bergerak seolah tenggelam terlalu dalam pada tidurnya. “Nis, bangun dulu. Pindah dalem yuk.”

Namun, tak ada respons. Ia hanya tidur saja sambil sesekali mendengkur kecil. Melihat itu, aku iseng meremas bongkahan dadanya agak keras. “Beb.”

Karena masih begitu saja, aku tersenyum sambil melongok ke arah pintu. Tidak ada siapa pun, tapi akan ada.

Ku pereteli dua kancing kemeja Anisa sehingga total ada tiga kancing yang terbuka. Ternyata, di kulit kenyal itu ada beberapa bercak merah yang tak ku kenal. Sepertinya itu adalah bekas cupangan Dedi tadi di Puskesmas. BH pink nya masih terpakai rapi menutupi gundukan itu.

Setelah itu, aku berjalan ke depan dan menoleh ke rumah sebelah. Mang Dedi masih di sana sambil menatap layar ponsel jadulnya.

“Mang, mampir sini aja, ngopi du rumah saya. Takut masuk angin saya ngopi di luar kalo baru pulang kerja,” ucapku.

Mang Ujang mengangguk dan berjalan ke arahku. Matanya langsung melongok ke dalam. Ku lihat ia meneguk ludah, jelas karena melihat istriku yang tertidur di sofa dengan kemeja terbuka sedikit di bagian atas, menonjolkan belahan dada, lekuk leher, dan bahunya yang lembut.

“Kenapa, Mang?” tanyaku membuyarkan lamunannya.

“Istrinya ga tidur di kamar aja, Dok?” tanyanya.

“Di dalem gerah, jadi sementara di situ aja dulu.” Aku tersenyum. “Udah, ayo masuk aja dulu, Mang. Saya buatkan kopi dulu.”

“Wah, Bu Dokter kayaknya capek banget, ya?” ucap Mang Ujang yang sedang berdiri memandangi Anisa.

“Iya, Mang. Seharian di klinik, mana gerah lagi kliniknya.”

Ia tak jauhh dari pintu, sehingga bisa leluasa memandangi Anisa.

Aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi, sengaja memberi Mang Ujang ruang untuk mengamati Anisa sejenak.

***

Saat aku kembali dengan dua cangkir kopi, Mang Ujang masih tampak grogi.

“Nih, Mang, kopinya.” Aku memberikannya secangkir kopi.

“Makasih, Dok.”

Ia menyeruput kopinya, lalu berkata. “Dok, jujur ya, Dokter Anisa ini … luar biasa.”

“Luar biasa gimana tuh, Mang?” tanyaku penasaran.

“Maksud saya, dia ga cuma pinter dan cantik, tapi … ya Tuhan, maaf, tapi penampilannya bener-bener anggun. Apalagi, eh, posturnya … maksud saya, Bu Dokter ini kelihatan sehat dan … menawan banget, lah.” Mang Ujang tergelak canggung, wajahnya semakin merah. “Pokoknya, Pak Dokter beruntung banget punya istri kayak gitu.”

Aku terkekeh dengan dada membusung karena pujian itu. “Haha, iya, Mang. Anisa emang ga ada duanya. Cantik, pinter, dan punya badan sexy. Saya aja tiap hari masih suka kagum lihat dia.” Aku melirik Anisa yang masih terlelap, tak terganggu oleh obrolan kami. “Istri terbaiklah dia itu. Di luar atau di atas ranjang.”

Mang Ujang mengangguk, matanya kembali melirik Anisa sejenak sebelum buru-buru menunduk ke cangkirnya. “Bener, Pak Dokter. Dokter Anisa ini … wah, kayak paket lengkap. Cantik, anggun, dan ya … pokoknya Pak Dokter beruntung banget, dah.” Ia tersenyum dan mencoba menutupi kecanggungannya dengan menyeruput kopi lagi.

Setelah itu, kami mengobrol sebentar tentang pekerjaan di klinik dan urusan sehari-hari, tapi aku sengaja menyelipkan cerita tentang Anisa setiap ada kesempatan.

Setelah beberapa menit, aku merasa Anisa mulai menunjukan gerak-gerik. Aku mencoba membangunkannya lagi, tetapi ia tetap terlelap. Efek obat dan kelelahan membuatnya terlalu deep sleep dan susah dibangunkan.

“Beb, sayang, Anisa, bangun dulu,” bisikku pelan sambil mengusap wajahnya. Tapi ia hanya menggumam kecil dan masih terlelap.

Mang Ujang tertawa kecil. “Wah, Dokter Anisa kecapekan banget kayaknya, ya. Biarin dulu aja, Dok, biar istirahat. Dokter sih, malem-malem di tusuk-tusuk istrinya, jadi capek kan tuh.”

Aku tertawa saat ucapan Mang Ujang mulai terdengar berani. “Ngomong-ngomong, Mang, mau pake susu ga? Biar jadi kopi susu?”

Mang Ujang mengangguk dengan senyum sambil melirik ke Anisa. “Waduh, mantep banget tuh kopi susu.”

Aku tersenyum dan beranjak dari duduk. “Saya ambilin dulu.”

“Siap, Dok,” balas Mang Ujang.

Aku berjalan mendekati Anisa, lalu membangunkannya lagi. Setelah merasa aman tak ada respons, aku mulai mempereteli kancing kemejanya lagi sampai habis.

“Nih Mang susunya. Cuma ambil sendiri, ga bisa saya bawa ke sana.”

Mang Ujang terkejut, melihat tindakanku. “Wah, Dok, serius?”

Aku mengangguk. “Iya, Mang. Ayo, sini, sini.”

Mang Ujang berdiri dan mendekati Anisa dengan hati-hati. Ia duduk di di bawah sofa dan menatap Anisa sambil meneguk ludah. Kulitnya yang putih, bongkahannya yang kenyal, dan bercak merah di kulit payudaranya membuat Mang Ujang memegangi celananya.

“Buka aja, Mang. Masih ditutup susunya,” ucapku.

“Dok, ini … serius?” Ia agak ragu.

“Saya kan udah kasih foto-fotonya. Kayaknya kurang kalo cuma lihat doang, kan? Coba rasain sendiri aja.”

Dengan lembut, ia menarik kemeja Anisa sedikit ke bawah, memperlihatkan lekuk leher dan belahan yang lebih banyak. Mang Ujang meneguk ludah, matanya tertuju pada dada Anisa yang bulat dan besar, meskipun masih tertutup BH merah jambu.

“Wah, Dok, Dokter Anisa ini … dada nya bener-bener indah,” ucap Mang Ujang. “Bulet, gede, dan masih kenceng. Persis yang di foto.”

Aku tersenyum, merasa bangga dengan pujian itu. “Iya, Mang. Anisa emang ga ada duanya. Jangankan Mang Ujang, saya aja yang tiap hari ktetemu masih suka ngaceng.”

Tangan Mang Ujang terjulur memegang dada Anisa dengan hati-hati. Ia mengeluarkan satu bongkahan payudara Anisa dan meremasnya dengan lembut. Akhirnya, ada lagi pria yang merasakan kekenyalan dan kelembutan kulit istriku.

“Dok, ini … ini bener-bener mantep!” ucapnya sambil meremas dengan lebih tegas, merasakan setiap detailnya.

“Nikmatin aja, Mang, mumpung orangnya tidur,” balasku sambil mengambil ponselku. “Izin rekam ya, Mang.”

Mang Ujang mengangguk. Nanti saya bagi rekamannya, Dok.”

“Siap!”

Ia mulai fokus pada Anisa lagi dan memainkan putingnya. Tangan pria gemuk itu menarik-narik puting pink Anisa dengan lembut, kemudian memilinnya di antara jari-jari.

Mang Ujang kemudian menunduk dan mulai menghisap puting Anisa, sambil menyeruput kopinya. “Wah, ini … ini baru kopi susu, Dok,” ucapnya sambil menikmati sensasi yang unik itu.

Setelah beberapa saat, Mang Ujang menarik mulutnya dari puting Anisa dan menatapku. “Dok, saya … saya izin … izin coli sambil nenen, ya?” tanyanya dengan suara agak bergetar.

Aku tersenyum dan mengangguk. “Iya, Mang. Silakan, jangan ragu-ragu.”

Mang Ujang dengan hati-hati menurunkan celananya dan mulai menggenggam batangnya. Ia memegang payudara Anisa dengan lebih berani, meremasnya lebih bertenaga, sambil menyedot putingnya lebih kuat. Tangannya mulai bergerak ke atas dan ke bawah, mengikuti ritme hisapannya.

“Ahhh … Dok … istrinya mantep banget.”

Meskipun masih tertidur, Anisa mendesah tak karuan karena rangsangan di payudaranya. Ia menjambak pelan rambut Mang Ujang dan membenamkannya lebih dalam. “Terus babyyyy … ahhhh … iseeeep ….”

Mang Ujang terpukau dengan respons Anisa. Ia memperkuat sedotannya sambil menjilati puting istriku, dan mempercepat kocokannya.

“Oh my goooood! Emphhhhh … enak babyyyy … ahhhhh!”

Mendengar Anisa meracau begitu, Mang Ujang langsung bangun dan mengarahkan senjatanya ke payudara Anisa.

“Ahhhh … saya keluar, Dok!” Mang Ujang merasakan gelombang kepuasan yang melewati tubuhnya, sampai akhirnya ia muncrat ke payudara Anisa. “Uhhhhhhhh banyaak!”

Aku merekam adegan itu dan ku zoom pada bagian sperma yang tumpah ke payudara istriku.

“Ahhhh … mantep banget istrinya, Dok.” Mang Ujang menggesekan kepala kontolnya ke pentil Anisa dengan lembut.

“Enak, Mang?” tanyaku masih merekamnya.

“Luar biasa, Dok,” ucapnya sambil menatap Anisa dengan mata yang masih penuh hasrat.

Aku tersenyum, puas dengan tampilan Mang Ujang yang kepuasan. “Iya, Mang. Anisa emang mantep. Tidur aja bisa bikin Mang Ujang ngecrot, apa lagi kalo sambil bangun, lemes nanti,” ucapku sambil memandang Anisa yang masih terlelap, tak terganggu oleh keberadaan kami.

Setelah beberapa saat, Mang Ujang menatap Anisa sekali lagi, kemudian berdiri dan menutup celananya. “Makasih, Dok. Ini … ini bener-bener pengalaman yang ga bakal saya lupain,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk dan memberinya senyum. “Sama-sama, Mang.”

Mang Ujang mengangguk dan berjalan menuju pintu. “Iya, Dok. Terima kasih banyak sekali lagi. Saya pulang dulu, mau mandi wajib.”

Setelah Mang Ujang pergi, aku berjalan ke Anisa dan mengusap wajahnya dengan lembut. “Beb, kamu bener-bener istri terbaik,” bisikku pelan.

 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *