[Awal Segalanya]
Pagi ini rupanya Dedi mendadak izin karena ada urusan keluarga. Pak RT datang ke puskesmas membawa Bang Baron, preman lokal yang sudah profesional bekerja sebagai pengangguran. Kata Pak RT, hari ini Bang Baron yang bakal menggantikan Dedi. Setelah itu, ia pamit dan meninggalkan Baron bersama kami.
Hari ini Anisa mengenakan kaos hitam lengan pendek dibalut jas putih dan rok selutut. Dari semua yang ada di desa ini, istriku paling tidak suka pria yang satu itu. Baron bukan hanya beberapa kali menggodanya, tapi sudah masuk ke kategori pelecehan verbal. Namun, Anisa tak berani padanya karena perawakan Baron sangat mengerikan.
Rambut pria itu cepak seperti abri. Posturnya tinggi besar. Ia agak kekar, tapi perutnya sedikit buncit. Kulitnya hitam legam dan memiliki banyak tato buram yang entah apa gambarnya.
Belum apa-apa, Baron langsung terpana. Matanya melirik sekilas ke lekuk tubuh Anisa sebelum mulai bekerja di puskesmas.
Sepanjang hari, Baron bekerja tanpa masalah sebagai penerima tamu. Malah, ia lebih ramah daripada Dedi. kalau sedang senggang, Baron mengangkut kotak-kotak peralatan medis, memindahkan meja, dan membantu menata ruang penyimpanan.
Namun, setiap kali ada kesempatan, ia tak melewatkan kesempatan untuk melirik nakal ke tubuh Anisa.
Karena sedang lenggang setelah seorang pasien beres dari ruanganku, aku langsung memantau layar ponsel untuk melihat gerak-gerik Baron lewat CCTV ghoib yang ku pasang hampir di seluruh sudut dan ruangan puskesmas.
Saat Anisa keluar dari ruangannya, Baron berjalan mengikutinya. “Dok, ada susu ga buat anak kecil kalo dateng berobat?”
Anisa menggeleng. “Ga ada,” jawabnya singkat.
“Kalo susu buat orang dewasa?” Baron tersenyum lebar sambil melirik sekilas ke arah dada Anisa dengan nada main-main.
Anisa sedikit menundukkan kepala. Wajahnya agak memerah. “Ga ada juga.”
“Yahhh, ga ada susunya.” Baron terkekeh. Matanya masih tertuju pada payudara Anisa. “Empengnya aja juga boleh sih, Dok.”
Anisa sedikit mengerutkan dahi, tetapi tidak menjawab. Ia mulai berjalan menuju ruang lain, tetapi Baron terus mengikuti langkahnya.
Pada satu titik, Anisa berhenti dan menatap Baron dengan pandangan kesal. “Bang Baron ngapain ngikutin saya? Abang hari ini cuma gantiin Dedi buat jadi penerima tamu di sini. Mendingan duduk aja di depan, siapa tau ada pasien mau daftar.”
Baron nyengir sambil garuk-garuk pala. “Kangen, Dok.”
Anisa menghela napas, kemudian berjalan menuju ruang lain, meninggalkan Baron di belakangnya. Baron tertawa kecil, pandangannya masih tertempel pada sosok Anisa.
Aku cukup tegang melihat keberanian Baron dari balik layar, lalu memutuskan untuk mengambil tindakan.
Ku racik obat perangsang kemarin dengan dosis yang lebih sedikit dan menuangkannya ke dalam botol berisi air dingin. Setelah itu, aku pergi ke ruangan Anisa.
Anisa sudah berada di ruangannya. Ia tampak sedang sibuk menatap layar ponsel karena gabut.
“Nih, air dingin buat kamu,” ucapku sambil memberikannya botol berisi air es itu.
Anisa pun menerima saja air es itu dan meminumnya.
Aku tersenyum dan mengajaknya ngobrol sebentar.
“Seger?” tanyaku.
Ia mengangguk, lalu berkata. “Beb, aku takut sama Bang Baron.”
“Takut kenapa? Dia tampangnya aja gitu, tapi orangnya baik sih,” balasku.
“Takut aja pokoknya. Dia sering godain aku.”
Aku tertkekeh. “Wajar, namanya jomblo abadi. Setahuku, dia tuh masih lajang, jadi kalo liat cewek bening dikit suka usil.”
Kami berbincang perihal ketakutan istriku terhadap Baron sampai kira-kira lima belas menit berlalu. Ketika gelagatnya mulai gelisah, aku pamit kembali ke ruanganku sendiri.
Setelah beberapa menit, aku menghampiri Baron di meja penerima tamu yang siang ini pun sepi. Entah mengapa, di desa ini puskesmas hanya ramai di pagi hari saja. Menjelang siang mulai berkurang, sampai sepi total.
“Bang, saya ada perlu di rumah sakit kota sebentar, paling sore udah balik. Saya titip istri, ya?”
Baron mengangguk dengan senyum lebar. “Pokoknya sama saya semua aman, Dok. Saya jagain istrinya sampe puas.”
“Kalo gitu saya pergi dulu.”
Aku diam-diam mencari tempat sepi dan siap memantau puskesmas lewat CCTV seluruhnya menggunakan ponsel. Anisa tidak tahu kalau saat ini ia hanya berduaan saja dengan Baron di puskesmas. Aku penasaran, jika ada kesempatan, sejauh mana Baron berani mendekati istriku.
Benar saja, tak lama berselang setelah aku pergi, Baron diam-diam menutup puskesmas dan berjalan ke ruangan Anisa.
Dari ponsel, ku lihat Baron membuka pintunya pelan tanpa membuat Anisa menyadarinya. Anisa sedang berdiri menghadap jendela, membelakanginya. Ia sudah melepas jas putihnya dan hanya memakai kaos hitam lengan pendek dan rok hitam selutut.
“Duh, kenapa jadi panas banget gini, ya?” gumamnya bermonolog sambil mengipas-ngipas leher dengan tangannya.
Baron mengendap ke arahnya seperti predator yang sedang mengintai mangsanya.
Saat Anisa sedang sensitif dan tak tahu apa-apa, dari belakang tangan kasar itu meremas kedua bongkahan payudaranya.
Baron memeluk Anisa dari belakang. Ia meremas kuat payudara istriku dan sedikit diangkat naik.
Anisa refleks bersandar pada pria itu. “Kamu nakal, Beb. Nanti aja di rumah, di sini ada Bang Baron.”
Mungkin ia kira itu adalah ulahku, jadi Anisa membiarkannya sambil memejamkan mata. Remasan-remasan liar itu membuat Anisa keenakan. Sesekali, ia mendesis seperti ular.
“Shhhh … masukin tangannya, Beb.”
Tangan kasar tersebut turun dan menyelinap masuk ke dalam baju. Baron kini dapat merasakan kulit mulus Anisa dan kini terlihat sedang mengobok-obok payudaranya dari dalam.
“Shhhh … ahhhh ….”
Anisa mulai menggeliat, tanda ia sudah mulai naik. Sepertinya Baron sedang memainkan puting susu istriku sampai membuatnya meloloskan desahan dan terlihat tak bisa diam.
“Ditarik dikit, Beb,” kata istriku.
Baron tersenyum dan menarik puting Anisa ke atas sampai membuat Anisa berjinjit dan meloloskan desahan panjang. “Ahhhhhh!”
Preman paswar itu memainkan payudara Anisa dengan lebih intens. Ia meremas, mengangkat, dan menarik-narik puting Anisa dengan kuat, membuat Anisa berjinjit dan meloloskan desahan-desahan panjang. “Ahhhhhh … enak Beb.”
Saat perlahan membuka mata dan menatap tato di lengan kasar yang sedang asik bermain di dadanya, Anisa yang awalnya kira itu adalah ulahku, mulai sadar bahwa tangan yang memainkan payudaranya itu bukanlah tangan suaminya.
“Eh, siapa ini?!” Ia berusaha untuk berontak, tetapi kenikmatan yang sudah menjulur ke seluruh tubuhnya membuatnya sulit untuk rela melepaskan diri. “Lepasin!”
Mendengar Anisa yang mulai menyadari siapa dirinya, Baron menjadi lebih gila. Ia memutar badan Anisa, lalu mencium bibirnya.
“Lepasin!” Anisa berusaha melawan, ia membuang muka dari pria itu.
Namun, Baron masa bodo dengan bibir Anisa. Ia malah menunduk dan melahap puting istriku. Tangan kirinya masih meremas payudara Anisa yang satunya dengan kuat.
“Ahhh … lepasin!”
Anisa makin menggeliat, tanda ia sudah sangat sensitif dan responsif terhadap sentuhan Baron. Ia berusaha untuk berontak, tetapi tubuhnya sudah terlalu sensitif dan gembira menerima rangsangan pada payudaranya.
Anisa berjuang untuk bisa lepas dari terkaman preman kampung itu, namun setiap tarikan manja pada putingnya dan cara Baron meremas payudaranya membuat gejolak aneh di dalam dirinya semakin menguat. Otaknya berteriak untuk melawan, Anisa berusaha mendorong pria itu menjauh, tetapi tubuhnya seolah tidak mendengarkan. Desahan demi desahan lolos dari bibirnya.
“Ahhhhh … tolong.”
Baron menyadari respons Anisa. Ia malah semakin menjadi-jadi dan terus memainkan payudara istriku. Gerakannya kasar namun entah bagaimana, berhasil mencapai titik-titik sensitif yang membuat Anisa semakin limbung.
Anisa mencoba mendorong dadanya menjauh, tetapi Baron terlalu kuat. Kakinya terasa lemas, dan ia menemukan dirinya semakin bersandar pada pria itu.
“Lepasin saya!” bisiknya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Namun, kata-kata itu seolah hanya bahan bakar bagi Baron.
“Udah, Dok. Nikmatin aja, mumpung saya lagi baik.” Pria itu terkekeh pelan. Tawa seraknya membuat bulu kuduk Anisa merinding.
Baron membawa Anisa ke meja kerjanya. Ia dengan kuat menarik Anisa menghadap ke arahnya dan membuatnya bersandar pada meja. Anisa yang sudah terlalu sensitif tak mampu berpikir jernih. Baron membuka celananya dan juga rok Anisa dengan cepat, hampir tanpa perlawanan.
Baron tersenyum lebar. Ia memegang batangnya yang sudah keras dan menempelkannya pada bibir vagina Anisa. Anisa merintih, suara desahannya terlontar ke luar dari mulut.
“Saya masuk ya, Dok?” tanya Baron.
“Jangan … tolong.” Anisa menolak, tetapi suaranya lemah dan tak ada upaya mendorong lagi. Tubuhnya sudah terlalu sensitif dan tidak mampu untuk melawan.
“Assalamualaikum!” ucap Baron saat batangnya masuk dan menancap di dalam lubang Anisa.
“Ahhhhh.” Anisa meloloskan desahan panjang. Ia refleks memeluk Baron dengan erat.
Mendengar desahan Anisa yang panjang itu membuat Baron semakin menggila. Ia memasukkan batangnya dalam-dalam, dan memompanya.
“Ahhhhh … tolong … tolong.” Anisa berusaha untuk menolak, tetapi tubuhnya sudah terlalu sensitif dan gembira.
Pok … pok … pok
Suara bentukan saat kelamin mereka beradu menjadi instrumen utama di puskesmas siang ini.
“Ahhhh, gila! Enak banget memek orang kota! Nikmat banget cewek berpendidikan tinggi! Aku suka kamu, Dok! Apa lagi toketnya, duh gemes!” Baron menampar bongkahan payudara Anisa.
“Ahhhh, sakit,” lirih Anisa.
Baron mengangkat Anisa dan menjatuhkannya di lantai. Anisa di bawah, dan Baron di atas. Baron memompa Anisa dengan cepat, membuat Anisa tak karuan mengeluarkan desahan. Saat bibir hitam Baron berusaha menyentuh bibir ranumnya, Anisa tak melawan, dan malah melumatnya duluan. Mereka melakukan ciuman hebat. Kini, Anisa telah sepenuhnya jatuh ke dalam pelukan preman kampung itu.
“Ahhhh … ahhhh … ahhhhh.”
“Enak, Dok?” tanya Baron sambil terus memompa.
Anisa diam tak menjawab. Ia menutupin wajahnya dengan tangan.
“Bang Baron! Udaaaaah!”
“Udah apa, Dok? Mau udahan apa udah ga kuat mau meledak?” Baron malah semakin mempercepat genjotannya.
“Ahhhhh … ahhhh … ahhhh udaaaah, udaaaah …. toloooong … ahhhhhhhh!” Anisa kembali berusaha mendorong Baron, ia belum rela dibuat orgasme dengan preman kampung itu.
“Nikmatin aja, Dok!”
Anisa berusaha mencengkeram sesuatu, tapi tak ada yang bisa dipegang selain tangan Baron. Kini, telapak tangan mereka malah saling menggenggam seperti seorang kekasih di malam pertama.
“Bang Barooooon! Aku keluaarrrr … ahhhhhhh.” Anisa merasa malu pada dirinya sendiri karena baru saja meledakkan orgasme pertamanya.
Baron tersenyum dan kini menarik tangan Anisa kuat-kuat. “Abang juga mau keluaaarrrr, Dok. Ahhhhh … ahhhh … ahhhh.”
“Bang, tolong kali ini dengerin saya. Tolong di luar,” ucap Anisa.
“Oke,” jawab Baron.
Ia mempercepat gerakannya dan menghujam dalam-dalam batangnya itu dengan napas terengah-engah.
“Ahhhh … ahhh … ahhhh Bu Dokteeeerrrr … uhhhhh.” Baron masih menggenjot Anisa dengan cepat.
Sampai pada satu titik, ia mencabut batangnya dan berbaring di sebelah Anisa.
“Loh, ga jadi keluar, Bang?” tanya Anisa yang melihat Baron tiba-tiba rebahan di sampingnya tampa klimaks.
Baron tersenyum, lalu menoleh ke arah Anisa. “Saya masih belum selesai. Kapan-kapan kita sambung lagi. Bu Dokter harus mau. Kalau nolak, saya takut suaminya kenapa-napa. Soalnya tanggung, saya capek dan belum keluar.”
Anisa meneguk ludah mendengar ancaman itu. Tanpa ia sadari, cairan putih kental keluar dari memeknya dan mengalir cukup deras sampai ke lantai. Baron sudah keluar di dalam saat ia menggenjot Anisa.