Gairah di Balik Tugas Dokter (Cuckold Story) – Part 11

[Bocil Kematian]

Sejak kemarin, Anisa jadi agak pendiam, mungkin ia masih memikirkan kejadian dengan Bang Baron. Ia seperti ingin bercerita, tapi tak punya nyali dan memilih diam menyimpan semua yang terjadi padanya seorang diri.

Aku mendekati Anisa di dapur, di mana ia sedang memasak. Hari ini ia memakai kaos putih oversize tanpa bawahan. Kaosnya sedikit longgar, menampilkan sedikit lekuk payudaranya.

“Kamu kenapa, Beb?” tanyaku sambil mendekat.

Anisa mengangkat wajahnya, matanya terlihat lemas. “Kenapa apanya, Beb?”

“Aku perhatiin kamu agak pendiem sejak kemarin. Kenapa sih?”

Anisa menghela napas, kemudian ia menundukkan wajahnya lagi. “Ga ada apa-apa kok, Beb. Mungkin lagi jenuh aja.”

Aku menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Kalo kamu butuh pendengar, aku di sini ya. Cerita aja kalo kamu udah siap.”

Anisa tersenyum lesu. “Makasih, Beb. Aku cuma agak capek aja mungkin.”

Ketika aku hendak melanjutkan obrolan, terdengar suara ketukan pintu. Aku berdiri dan pergi ke pintu depan. Ketika aku membuka pintu, aku melihat Rudi si bocah yang waktu itu. Ia datang bersama temannya, Ucup. Seorang bocah hitam, keriting, kurus, dan tinggi.

“Halo, Dok,” sapa Rudi dengan senyum.

“Halo, Rudi. Apa kabar?” tanyaku sambil menatap Ucup. “Ini siapa?”

“Ini Ucup, Dok. Burungnya sakit. Dia mau diobatin sama Dokter Anisa,” jawab Rudi.

“Ayo, masuk dulu, tunggu aja di dalem,” ucapku sambil membuka pintu lebih lebar.

Rudi dan Ucup masuk ke dalam rumah, mereka duduk di sofa reot yang hanya muat untuk dua orang. Sementara itu aku pergi ke dapur menjumpai Anisa.

“Siapa, Beb?” tanya Anisa.

“Ada Rudi sama temennya, Beb.”

“Oh,” jawab Anisa datar seperti sudah skeptis dengan bocah itu. “Mau ngapain mereka?”

“Burung temennya sakit, dia butuh bantuan kamu,” ucapku sambil menyentuh bahu Anisa.

“Ke dokter hewan aja, aku ga bisa ngobatin burung,” jawab Anisa ketus.

“Beb, mereka kan masih kecil,” ucapku.

“Terus?” sambar Anisa ketus.

“Rasa penasaran mereka tinggi sama perempuan kota, apa lagi yang modelannya kayak kamu. Kasih mereka service dikit. Toh, mereka masih anak-anak.”

Anisa kini berdiri di depanku sambil menatap mataku. “Harus banget aku kocokin kontol mereka?”

“Ayolah, Beb. Mereka cuma anak-anak penasaran doang,” ucapku dengan suara lembut.

“Jujur, kamu suka liat aku begitu?” tanya Anisa.

Aku diam sejenak, lalu mengangguk pelan.

Anisa menghela napas berat, wajahnya masih terlihat ketus. “Oke, kali ini aku turutin kemauan kamu lagi, tapi ini yang terakhir.”

Aku tersenyum dan mengangguk. “Makasih, Beb.”

Mungkin ada rasa bersalah dalam dada Anisa dengan kejadian kemarin, jadi kali ini ia bersikap kooperatif tanpa banyak melawan.

Ketika kami masuk ke ruang tamu, Rudi dan Ucup masih duduk di sofa, mata mereka penasaran dan menjelajah di tubuh istriku.

Sementara itu, Anisa duduk di tengah-tengah mereka, wajahnya masih terlihat sedikit ketus.

“Kalian sakit apa?” tanya Anisa dengan nada datar.

Rudi dan Ucup saling pandang, kemudian Rudi menjawab, “Burung si Ucup sakit, Dok.”

Anisa lagi-lagi menghela napas berat tanpa ekspresi. “Oke, Dokter bantu periksa burung kamu juga.”

Anisa dengan cepat membuka celana Rudi dan Ucup, lalu mengeluarkan kelamin mereka. Ucup terkekeh, sementara wajah Rudi memerah karena malu dan bersemangat.

Dari yang ku taksir, Rudi ini bercerita pada Ucup perihal yang terjadi waktu itu, dan si cabul itu ingin memanfaatkan Rudi agar mendapatkan Anisa.

Ucup bersandar di sofa sambil memejamkan mata. “Ahhh … enak, Dok.” Bocah cabul itu seperti seorang bos sekarang.

Anisa mengocok kelamin mereka dengan gerakan yang kuat dan cepat.

Aku mengambil pelumas dan menuangkannya ke batang mereka yang sedang berada di dalam genggaman Anisa. Pelumas itu membuat gerakan tangan Anisa lebih halus dan erotis.

“Ahhh … Dok, ini enak banget,” desah Ucup sambil menutup matanya.

Rudi juga meloloskan desahan, wajahnya penuh dengan ekspresi kenikmatan. “Ahhh … Dok.”

Anisa mengocok dengan lebih cepat, tangan-tangannya bergerak dengan irama yang sempurna agar semua ini cepat selesai dan berlalu. Rudi dan Ucup mendesah tak karuan, tubuh mereka bergetar gembira.

“Ahhh … Dok, aku mau keluar!” desah Rudi sambil menggeliat.

Sebelum mereka keluar, dari belakang aku menarik kaos Anisa sampai toket dan putingnya terekspos. Anisa sempat ingin protes, terlihat jelas dari tatapan matanya, tapi sebelum sempat berkata-kata, Ucup langsung menangkap bongkahan dadanya dengan mulut dan lidahnya menyapu puting Anisa sehingga ia ikut mendesah.

“Ahhhh …,” desah Anisa.

Melihat itu, Rudi jadi ikutan menyusu di payudara satunya.

“Jangan diisep … shhhh,” pekik Anisa yang tak mampu melawan.

Pemandangan itu sangat indah. Istriku duduk di tengah dua bocah yang menyusu sambil ia kocok batang mungil mereka.

“Ahhh … dipegang ajaaa, jangan pake mulut, shhhh …,” desah Anisa sambil menutup matanya.

Rudi dan Ucup menyusu dengan semangat membara. Mereka memompa payudara istriku seperti ikan sapu-sapu. Lidah mereka sesekali bergerak dengan irama yang sempurna. Anisa berjinjit, tubuhnya bergetar karena rangsangan itu.

“Ahhh … beb, tolong …,” desah Anisa memeluk kepala Rudi dan Ucup sambil menatapku dengan tampang keenakan.

Tak tahan diperlakukan begitu, Anisa mempercepat tempo kocokannya agar urusan dunia perkocokan itu selesai.

“Ahhh … Dok, aku keluar! Uhhhhhhh,” lenguh Rudi dengan tubuh bergetar hebat. Air maninya muncrat dan mengalir ke tangan Anisa.

Ku lihat Ucup masih belum menunjukkan tanda-tanda akan klimaks. Ia tersenyum melihat istriku sambil menyusu, lalu satu tangannya bergerak dan mulai merayap ke bawah.

“Jangan di situ,” gumam Anisa, tapi tak melakukan tindakan apa pun selain protes.

Merasakan sentuhan masuk di daerah kewanitaannya, tangan Anisa kini bergerak dengan lebih cepat dan intens.

Ucup tak mau kalah seolah sedang jadi peserta lomba masturbasi melawan istriku. Ia mengobok-obok lubang vagina Anisa dengan jarinya, membuat istriku tak karuan.

“Ahhh … Ucup, jangan …,” desah Anisa, tapi suara itu terhenti saat Ucup mempercepat lagi gerakan jarinya. Anisa pun terpaksa mempercepat kocokannya. Tangannya bergerak dengan irama yang sempurna, membuat bocah itu mendesah dan berjinjit.

“Ahhh … Bu Dokter, mantep banget, anjing! Ahhhhh … aku keluar! Uhhhhhhh muncraaat,” lenguh Ucup dengan tubuh bergetar, tapi tangannya masih menyodok-nyodok vagina istriku.

“Ahhh … ahhh … teruus, dikit lagi!” desah Anisa sambil bersandar di sofa dan melebarkan kakinya sambil menatap ke arahku. “Ahhh … ahhh … aku keluar, Beb.”

Aku tersenyum padanya. “Keluarin aja, Beb.”

“Uhhhhhhhh! Keluaaar!” lenguhnya dengan tubuh bergetar dan ekspresi kenikmatan. Ia lupa sejenak, bahwa saat ini dirinya baru saja dibuat squirt oleh bocah SMP. Airnya mengalir deras membasahi tangan Ucup dan sofa.

“Enak, Bu Dokter?” tanya bocah cabul itu sambil memainkan payudara Anisa lagi dengan tangannya sambil sesekali memainkan puting.

Rudi jadi ikutan meremas bongkahan yang satunya tanpa berkata-kata.

Sementara Anisa hanya diam dengan na
pas terengah-engah. Ia bersandar dan memejamkan matanya tanpa membalas pertanyaan atau merespons kegiatan kedua bocah itu.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *