[Selamat Makan]
Malam itu, rumah dinas kami di desa ini terasa lebih sepi dari biasanya. Setelah adegan perkocokan Rudi dan Ucup hari ini, Anisa tidak banyak bicara.
Anisa duduk di sofa dengan kaki disilangkan, rambutnya yang tergerai sedikit berantakan setelah seharian berbaring di kasur. Saat ini ia sedang menatapku, matanya penuh pertanyaan. Aku tahu ia tidak bodoh. Ia pasti merasakan ada yang aneh dengan caraku membiarkan pria-pria desa ini mendekatinya, menatapnya, bahkan membuatnya harus menjadi objek masturbasi kedua anak tadi. Malam ini, sepertinya ia tidak bisa menahan pertanyaan yang sudah lama mengganjal.
“Bayu,” panggilnya dengan nada serius. “Kamu … sengaja, ya? Maksudku, kamu sengaja bikin aku jadi pusat perhatian pria-pria di sini? Kamu ga cemburu? Atau kamu memang suka pamerin aku?”
Aku menarik napas dalam-dalam, menatap wajahnya yang cantik. Kulit yang putih seolah bersinar di bawah lampu redup. Aku bisa bohong, bilang ini cuma kebetulan, tapi aku tahu Anisa pantas dapat jawaban jujur. Aku taruh gelas kopi di meja, lalu menatap matanya.
“Beb,” kataku dengan suara agak serak, “Jujur, aku emang suka. Aku suka liat tatapan mereka waktu liatin kamu, kagum sama kecantikan kamu, sama tubuh kamu yang sempurna. Di desa ini, kebanyakan dari mereka cuma jomblo atau duda, hidup mereka keras, ga punya apa-apa yang bisa bikin mereka bermimpi. Ga punya siapa-siapa juga, dan ga ada cewek kayak kamu di sini. Aku ngerasa tuh kayak lagi ngasih sedekah aja gitu, dalam bentuk bidadari kayak kamu.”
Anisa memandangku lama, alisnya sedikit terangkat. Aku tidak yakin apakah ia marah, terkejut, atau justru penasaran.
“Jadi, itu yang kamu pikirin? Kamu ga takut kalau ini bakal jadi kelewatan? Kamu ga cemburu? Kalo mereka ga cuma berani liat doag gimana? Mereka itu pria-pria ga berpendidikan loh, Bay. Ga punya moral buat … ga berbuat lebih. Aku tuh takut.”
Aku menelan ludah. “Tenang aja, Beb. Kan ada aku.”
“Kamu aneh, Bay,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Cemburu, hasrat, dan rasa takut bercampur jadi satu di dadaku.
***
Hari berganti. Pagi ini, udara di rumah dinas terasa lebih berat setelah obrolan kami semalam. Anisa tak banyak bicara sejak kami bangun.
Aku berdiri di ambang pintu kamar mandi, memandang Anisa yang baru selesai mandi. Handuk putih membalut tubuhnya, tapi aku masih bisa melihat lekuk pinggangnya yang ramping dan payudaranya yang kencang di balik kain itu. Kulitnya yang putih seolah menyala di bawah sinar matahari pagi yang masuk lewat jendela. Rambutnya yang basah menempel di pundak, dan kacamata tipis yang selalu ia pakai masih ada di meja rias, membuat wajahnya terlihat lebih polos, tapi juga lebih menggoda.
“Beb, hari ini coba pakai sesuatu yang … agak menggiurkan dong. Aku lagi pengen liat kamu agak sexy hari ini.”
Ia menoleh. “Kamu yang pengen? Atau pengen yang lain?”
Aku tertawa kecil sebagai jawaban. “Aku lah.”
“Mau yang kayak gimana?” tanyanya dengan nada pasrah diiringi helaan napas berat. “Yang agak kebuka, atau yang lekuk tubuhnya jelas?”
Aku tersenyum, dan agak jantungan karena hari ini ia tak langsung menolak. Aku melangkah mendekat, pura-pura memikirkan sesuatu, padahal di kepalaku udah ada gambaran jelas. “Pake rok pensil hitam yang pendek itu, yang sampe di atas lutut. Terus, kemeja putih yang agak ketat, yang transparan dikit, biar kelihatan renda BH kamu. Pake BH yang merah, yang push-up.”
Anisa memandangku skeptis. “Kamu beneran aneh, Bay,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Namun, ia berjalan ke lemari dan mengambil pakaian yang ku sebutkan barusan. Aku memperhatikan setiap gerakannya, bagaimana cara ia melepas handuk, cara ia mengenakan BH merah yang langsung menonjolkan payudaranya yang sempurna, caranya memakai rok pensil itu saat membalut pinggulnya dengan ketat. Kemeja putih tipis yang ia pakai itu sedikit tembus pandang, membuat renda BH-nya samar-samar terlihat. Dan ketika ia mengenakan jas putih dokternya, aku tahu bahwa di baliknya ada godaan yang berjalan.
“Ini sih kalo ada pasien cowok, bakalan tegang liat kamu, Beb,” kataku sambil nyengir.
Hatiku tak bisa nahan desiran aneh yang bercampur dengan cemburu. Aku tahu di puskesmas nanti, pria-pria desa yang entah itu pasien, atau Dedi … mereka tak akan bisa melepaskan mata dari Anisa.
“Kamu yang minta, ya,” katanya dengan nada sedikit menantang. “Jangan cemburu kalo aku diliatin.”
Setelah selesai berpakaian, ia berjalan keluar kamar dengan pinggul yang bergoyang sedikit lebih percaya diri dari biasanya.
***
Hari ini di puskesmas terasa panjang dan menegangkan, tapi entah kenapa belum ada kejadian yang menarik.
Aku menghabiskan waktu memantau Anisa lewat aplikasi CCTV spy cam yang ku pasang di ruangannya. Ia memeriksa pasien mengenakan rok pensil hitam dan kemeja putih tipis yang aku pilih, renda BH merahnya samar-samar kelihatan di balik jas dokternya. Beberapa pasien, terutama pria-pria desa, jelas tak bisa melepaskan mata dari lekuk tubuhnya yang sempurna. Payudaranya yang kencang, pinggang ramping, paha mulus yang lumayan banyak terekspos.
Dan respons para pasien hari ini pun sesuai yang aku harapkan, termasuk ekspresi Dedi. Tapi, entah kenapa, itu semua terasa biasa saja bagiku hari ini. Mungkin karena belum ada yang berani lebih dari sekadar menatap, atau mungkin aku mulai haus akan sesuatu yang lebih.
Sore menjelang malam, kami berjalan keluar dari puskesmas. Anisa masih memakai outfit pilihanku, jas dokternya kini dilipat di tangan karena gerah. Aku meliriknya sejenak. Ia sungguh menggiurkan. Rasanya seperti ada dorongan untuk melakukan permainan ini lebih jauh.
“Beb, mau makan di mana malem ini?” tanyaku.
Anisa menghela napas, lalu menatapku sekilas sebelum pandangannya kembali terpaku ke ponselnya, “Terserah, Bay. Aku capek, pokoknya makan aja.”
Senyum nakal ku muncul. ‘Terserah’ adalah kata yang ku tunggu darinya. “Oke kalo gitu.”
***
Sesampainya di lokasi, ia memicingkan mata. “Kok ke sini lagi sih, Bay? Kamu kan tau, aku ga suka, kumuh banget. Mana banyak cowok-cowok begitu lagi. Aku ga mood makan di sini. Menunya juga cuma mie instan doang, apanya yang warung nasi coba?”
Aku memandangnya. “Lah, tadi bilang terserah, kok sekarang nolak? Kalo ga mau, bilang dari tadi dong, Beb.”
Anisa menghela napas berat. Ia menyesal karena sudah menjawab dengan kata-kata klise tersebut.
“Ya udah, terserah deh.” Nadanya terdengar pasrah, tapi ada nada kesal yang samar.
Aku cuma tersenyum menahan gejolak di dada. Aku tahu warung itu akan jadi panggung yang sempurna malam ini.
Warung nasi kumuh itu penuh asap rokok dan bau keringat yang menyengat. Meja-meja kayu reyot dan lampu remang membuat suasana semakin terasa mentah.
Kami duduk di sudut, dan Anisa langsung jadi pusat perhatian. Kemejanya yang tipis memperlihatkan renda BH merah di baliknya, dan rok pendeknya naik sedikit saat ia duduk, memperlihatkan paha mulusnya.
Dua pria di meja sebelah langsung tersenyum dan berbisik-bisik. Dari tampilannya, yang satu terlihat seperti sopir truk antar kota yang sedang singgah, dan satu lagi mungkin keneknya. Pandangan mereka tajam, seolah tak bisa melepaskan pandangan dari Anisa sejak kami masuk.
Si sopir punya perawakan seperti badut. Perutnya membuncit di bawah kaus oblong yang sudah kusam, wajahnya penuh bekas jerawat dan kumis tebal yang tidak rapi. Giginya kuning, mungkin karena kebanyakan merokok, dan rambutnya pendek berminyak.
Keneknya bertubuh kurus kering seperti tiang listrik, tulang pipinya menonjol di wajahnya yang cekung, dengan mata cekung yang membuatnya kelihatan seperti kurang tidur. Kepalanya botak dengan rambut tipis yang sudah beruban.
Di warung hanya ada tiga pria saat ini. Dan pria ketiga adalah si penjaga warung yang berdiri di balik meja etalasenya. Ia berbadan agak kekar, tapi jauh dari kata menarik. Ototnya terbentuk seperti hasil angkat beban sembarangan, wajahnya penuh bopeng, dan kulitnya gelap mengilap karena keringat.
Ketiganya jelas bukan tipe pria yang bisa membuat Anisa sudi melirik, tapi di luar itu, Anisa takut melirik karena tatapan mereka yang penuh nafsu, seolah Anisa adalah sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Aku memesan mie instan, lalu memulai obrolan ringan. “Tumben nih agak sepi.”
Si penjaga warung tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang tidak rata. “Sayang banget padahal ya, Pak, apalagi malam ini ada Bu Dokter.”
“Walah, mbaknya dokter toh?” celetuk si sopir buncit, matanya menjelajahi Anisa tanpa malu-malu. “Pantesan beda, kayak artis ibukota.”
Istriku cuma diam, wajahnya menegang. Aku tahu ia risih, tapi aku juga tahu kalau Anisa tidak akan protes. Aku pun memutuskan untuk memancing lebih jauh.
“Minumnya biasa, Pak Dokter?” tanya si penjaga warung sambil melirik ke arah dada Anisa. “Susu anget?”
“Iya, Bang, tau aja,” jawabku. Tatapanku refleks menoleh ke arah dua pria lainnya “Eh, ngomong-ngomong, bapak-bapak pada suka minum susu juga ga? Kalo suka saya kasih nih, eh maksudnya saya beliin.”
Si kenek kurus kering ketawa. “Kalo susu mah saya suka banget, Dok. Apalagi kalo minum langsung dari sumbernya.” Ia melirik Anisa.
Si sopir buncit nyengir, lalu menambahkan.
“Bener, Dok. Kalo susunya dari pabrik yang bagus, pasti rasanya beda. Kayaknya Bu Dokter tahu banyak soal susu ya, Bu?” Ia menatap Anisa langsung, matanya tertuju pada dada Anisa, di mana renda BH merah samar-samar kelihatan di balik kemeja tipisnya.
Anisa menoleh sekilas dengan wajah memerah. Ia tidak berani protes, marah, atau pun menyanggah.
“Ga tau,” ucapnya ketus dengan senyum dipaksakan.
Si penjaga warung tersenyum. “Kalo saya mah suka yang penuh. Yang bikin puas minumnya. Kalo bisa sampe pabrik-pabriknya saya sedot.”
Mereka bertiga memandang ke arah Anisa, seolah pabrik susu yang dimaksud adalah payudaranya yang besar, kencang, dan bulat itu. Ketiganya tertawa. Suasana warung tiba-tiba terasa lebih panas.
Si sopir tiba-tiba tersenyum. “Bu Dokter, kalo boleh tau, susu dari pabrik Ibu ini … produksinya banyak ga? Soalnya kayaknya premium banget gitu.”
“Ah, dia mah empengnya doang, Pak,” jawabku.
“Masa sih?” tanya si sopir lagi sambil nyengir lebar. “Pasti banyak lah, lihat aja bentuknya.”
“Coba aja sendiri. Pabriknya doang itu,” jawabku.
Anisa mencubit pinggangku. “Beb, apaan sih!”
Aku nyengir, dan tanpa pikir panjang, tangan kananku meraih dada Anisa, lalu meremas pelan payudaranya yang kencang.
“Ini tuh gede doang, tapi ga ada susunya, Pak.”
Anisa menatapku dengan mata membelalak, seolah tak percaya bahwa aku akan meremasnya di depan umum. Wajahnya semakin merah, tapi ia tak menepis tanganku. Ia hanya menggigit bibir bawahnya, seolah bingung antara malu dan marah.
“Saya sih tetep ga percaya sebelum coba sendiri, Dok,” ucap si sopir sambil tersenyum. Matanya tak lepas dari dada Anisa, di mana tanganku masih meremasnya.
Si kenek ikut tersenyum. “Kalo pun bener ga ada susunya, ga apa-apa deh cuma mainin empengnya Bu Dokter aja. Boleh ga sih?”
Penjaga warung ikut nimbrung. “Bener tuh. Kita-kita mah, ga perlu susu, Dok. Pabriknya aja udah bikin seneng,” katanya sambil memasang senyum nakal ke arah Anisa.
Istriku merinding saat mulut mereka mulai beringas dan tak punya malu. Suasana warung sekarang seperti bom yang siap meledak.
Pada satu titik, aku menatap Anisa dalam keheningan. Ia pun menatap balik seolah meminta ingin cepat pergi.
“Boleh ga, Beb?” tanyaku.
Anisa hanya diam sambil menunduk tanpa jawaban. Raut wajahnya lemas dan terlihat kecewa. Namun, tanpa menunggu jawaban, aku meremas bongkahan payudaranya semakin berani.
Anisa terbelalak dan berusaha menepis tanganku. “Beb, gila kamu ya?” bisiknya.
Aku meremas payudara Anisa lebih kuat sambil memberinya senyum. Anisa protes, tapi tidak menolak secara keras. Wajahnya merah, tapi ia tak sepenuhnya menolak, seolah-olah sudah terperangkap dalam situasi ini.
“Beb, apaan sih!” ucap Anisa lagi. “Nanti aja di rumah!”
Aku hanya tersenyum dan menatapnya dengan mata penuh nafsu.
“Boleh ya, Beb. Kasih pegang aja?”
“Pegang apa?” tanya Anisa dengan nada ketus.
“Toket kamu. Kasihan mereka tuh, udah pada mupeng,” jawabku.
“Kamu udah gila apa gimana sih, Bay?! Kok ga ada otaknya!” Anisa berusaha melepaskan tanganku, tapi tidak berusaha keras untuk itu. Ia hanya terlihat seperti sedang melakukan sebuah formalitas saja.
Sekilas Anisa melirik pada wajah-wajah senyum pria di warung itu. Tekanan dan nafsu mereka semakin meningkat.
Dengan gerakan mata, aku memberi kode pada si sopir truk untuk mendekati Anisa.
Si sopir menangkap kode itu dan mendekati sambil tersenyum. Ia duduk di sisi kiri Anisa.
“Bapak mau ngapain?” tanya Anisa yang bergeser mepet ke arahku. Matanya waspada dengan pria buncit di sebelahnya.
Sopir truk buncit itu duduk di sisi kiri Anisa tanpa ragu. Bau keringat dan rokok murahan langsung menyengat hidungku, tapi itu justru menambah sensasi aneh di dadaku. Wajahnya yang kasar penuh bekas jerawat, dan senyum psikopat lebarnya membuatku terangsang parah. Matanya langsung tertuju pada dada istriku, di mana kemeja putih tipis itu masih memperlihatkan renda BH merah yang samar-samar.
“Bu Dokter, boleh ga saya pegang bentar? Biar yakin kalo bener ga ada susunya,” katanya dengan suara serak penuh nafsu yang tak disembunyikan.
“Boleh ga tuh, Beb?” tanyaku.
Anisa makin mepet denganku. Ia berusaha menghindar, tapi tak bisa kabur.
“Jangan macem-macem kamu, ya!” serunya dengan wajah panik.
Tangan kanan si sopir sudah menggantung di udara dan siap meraih, tapi ia masih menunggu isyarat dariku.
Aku cuma mengangguk pelan memberikan persetujuan, senyumku masih terpasang meski hati ini berdebar kencang antara cemburu dan nafsu.
Anisa menoleh ke arahku dengan mata membelalak, wajahnya semakin merah.
“Bay—” Anisa mencoba menarik tubuhnya ke belakang, tapi meja reyot itu membuatnya terperangkap.
Ucapan Anisa terhenti saat tangan kasar si sopir yang penuh kapalan itu meraih dada kirinya.
“Bayu, tolong!” pekik Anisa.
Pria itu meremas pelan seperti sedang menguji kelembutan susu istriku, lalu perlahan tenaganya makin kuat.
“Wah gede banget pabriknya, empuk lagi. Saya ga percaya kalo ga ada susunya.” Jarinya bergerak mencoba menyentuh area puting yang masih berada di dalam kain kemeja.
Anisa menggigit bibirnya kuat-kuat dan menatap ke arahku dengan tatapan melas. Ia kini berhenti berontak dan tubuhnya mendadak lemas.
“Beb … Please udah …,” keluh Anisa pelan, tapi tangannya tak berusaha menepis.
“Sebentar aja, Beb, ya … kasih mereka sedikit,” balasku sambil mengusap rambutnya.
Anisa memejamkan mata sejenak. Napasnya mulai terengah. Wajahnya pun campur aduk antara malu dan risih.
Si kenek kurus kering yang dari tadi cuma mengamati dari meja sebelah, tak tahan lagi. Ia bangun dan mendekat.
Aku bangun dan hendak pergi, tapi Anisa menarik tanganku dan menggeleng seolah memintaku jangan pergi. Namun, aku melepasnya dan tersenyum.
“Ga apa-apa, aku liatin,” bisikku.
Akhirnya si gundul ceking duduk di sisi kanan Anisa. Kedua pria itu mengapitnya dari kedua sisi.
“Saya juga boleh dong Bu Dokter? Cuma pegang bentar janji deh,” katanya dengan suara parau.
Tangannya dengan cepat terulur ke arah dada kanan Anisa tanpa peduli dengan izinku. Tangan kurusnya kini meremas payudara Anisa dengan gerakan kasar, seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru.
“Shhhh.” Anisa mendesis dan hanya bisa pasrah sambil matanya menatap ke arahku.
“Ini mah lebih gede dari yang saya bayangin. Lembut banget kayak bantal surga,” kata si kenek sambil tertawa, jarinya mencoba membuka satu kancing kemeja Anisa tanpa izin.
Anisa tercekat, tubuhnya menegang. “Jangan … kancingnya jangan dibuka,” protesnya.
Namun, si kenek yang nakal itu sudah berhasil membuka satu kancing istriku dan membuat belahan dada Anisa lebih terekspos. Renda BH merahnya sekarang jelas terlihat, dan putingnya yang mengeras samar-samar menonjol di balik kain tipis itu.
Si penjaga warung yang selama ini berdiri di belakang etalase, akhirnya ikut nimbrung. Ia mendekat dengan langkah mantap, badannya yang kekar itu membuatnya terlihat seperti preman pasar.
“Wah … saya ikut dong, Pak Dokter. Kan ini warung saya, hak saya juga buat icip-icip,” katanya sambil nyengir ke arahku.
“Silakan, Mas,” jawabku.
Ia kini berdiri di depan Anisa, tangannya langsung meraih rok pendek istriku dan menggesernya naik sedikit, memperlihatkan celana dalam hitamnya yang tipis.
“Tolong jangan yang bawah, ya!” protes Anisa sambil tangannya menahan tangan si penjaga warung.
“Yang atas kan udah penuh, saya ga kebagian. Bu dokter pilih aja deh, mau emut pisang saya apa saya obok-obok lobangnya? Kalo Bu dokter laper, saya sih ikhlas aja pisang saya diemut-emut sama Bu dokter.”
Tanpa menunggu jawaban, tangan kekarnya meraba paha Anisa.
Anisa menggeliat, napasnya semakin cepat.
“Bay—ahhhh cukup … ini udah kelewatan shhhh,” ucapnya sambil menggeliat berusaha berontak lagi, tapi suaranya lebih seperti rintihan daripada protes.
Mata Anisa melirikku. Ada marah dan kecewa yang mengendap, tapi juga nafsu yang mulai bangkit. Aku bisa lihat putingnya semakin mengeras di balik BH, dan pahanya yang sedikit melonggar seolah tak sepenuhnya menolak.
Si sopir tertawa. “Lihat nih, Bu Dokter kayaknya suka juga. Putingnya udah tegang gini.” Ia mencubit pelan dari balik kain, membuat Anisa mendesah pelan tanpa sadar.
“Ahhhh, cukup ….”
Ketiga pria itu saling bergantian meremas dan meraba Anisa, sementara aku duduk di seberangnya, memantau dengan jantung berdegup kencang. Cemburu membara di dadaku, tapi hasrat ini jauh lebih kuat.
“Ga apa-apa, Beb, pegang-pegang doang kok. Nikmatin aja sebentar, oke?” tanyaku sambil tersenyum dengan suara agak gemetar.
Anisa tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata. Tubuhnya mulai rileks dijamah tangan-tangan asing itu.
Tiba-tiba si penjaga warung menoleh ke arahku, “Pak Dokter, istrinya saya buka dikit boleh, ya?”
Anisa ikut menatapku. Ia menggeleng tipis seperti sedang memohon. “Beby, please ….”
Aku meneguk ludah dan membayangkan lebih jauh. Ku tatap ketiga pria itu dan mengangguk pelan sebagai jawaban.
Mereka bertiga sontak tersenyum. Perlahan mereka semakin aktif menggerayangi Anisa dan melepaskan pakaiannya.
Anisa tampak sudah lelah melawan. Ia kini hanya diam dan pasrah pada keadaan.
Kemeja Anisa perlahan terbuka. Kancing demi kancing kemeja putih tipis itu terbuka dipereteli si sopir truk dan keneknya. BH merah istriku menyala kontras dengan kulit pucatnya. Lekuk payudaranya yang montok membuat mereka semua meneguk ludah.
“Bener-bener … premium, Bu Dokter! Ahhh mantap,” ucap si kenek.
Tangan kurus itu mencengkeram erat pinggang Anisa, mencegahnya mundur saat si sopir menunduk. Bau rokok dan keringat menyergap wajah Anisa sebelum mulut lebar itu menutupi puting kirinya.
“Ga, jangan—!” Anisa melengkungkan punggung, tangan mungilnya mencengkeram tepi meja. Kukunya meninggalkan bekas di permukaan kayu usang itu “ahhhh.”
Tangan kotor si penjaga warung merayap di paha bagian dalam Anisa. “Tenang aja, Bu Dokter, saya bikin enak.” Jari-jarinya aktif di celana dalam hitam istriku, dan menggesek lipatan basah yang sudah mulai menetes.
Rangsangan tiga arah itu membuat Anisa lambat laun terjebak dalam badai sensasi. Si sopir menghisap putingnya dengan rakus, gigi kuningnya sesekali menggigit manja.
Di sisi lain, si kenek mengulum payudara kanan Anisa. Lidahnya menyapu mengitari areola.
“Ahhhh … stop, Bang ….”
“Kalo Abang ga mau berhenti gimana?” tanya si penjaga warung dengan suara lembut meledek. Dua jarinya menyusup ke dalam celana dalam Anisa.
“Ohhh my god.” Anisa menutup mulutnya sambil perlahan melebarkan kaki. Entah ia sadar atau tidak.
Suara kobokan tangan si Abang penjaga warung yang masuk-keluar lubang basah istriku menjadi nyanyian yang membuatku semakin tegang.
“Abang ….ahhhhhh ….” Rintihan Anisa terpotong desahan panjang saat jemari kekar itu menekan titik G-nya. Matanya setengah terpejam, bibirnya menganga, dendam malu berubah jadi getaran nikmat di bawah dominasi kolektif mereka.
Anisa gemetar, tubuhnya mulai berkhianat. “Ahhhh ….” jeritnya lemah.
Tangannya memeluk kepala si sopir dan kenek yang semakin asik memompa payudaranya. Kakinya melebar membuka akses untuk si penjaga warung, seolah tubuhnya tahu persis apa yang diinginkan. Pinggulnya menggeliat pelan, mencari gesekan lebih dalam.
Si kenek tertawa kecil, ia melepaskan mulutnya dari payudara istriku dan menatap wajah Anisa.
“Enak ya, Bu Dokter?” Tangan kurusnya memilin puting Anisa, dan sesekali mencubitnya. Membuat istriku mengerang lebih keras. “Ga ada yang nolak kalo udah kayak gini, Bu. Kita bikin semuanya enak bareng-bareng.”
Desahan Anisa terdengar semakin tak terkendali. “Isep lagi ….” katanya lirih.
Si kenek tersenyum dan kembali menghisap kuat payudara istriku.
Punggung Anisa melengkung, menekan payudaranya lebih dalam ke mulut kedua pria itu. Matanya terpejam, wajahnya merah padam.
Si penjaga warung tersenyum nakal saat melihat wajah Anisa. “Liat nih, Bu Dokter, memek Bu dokter udah basah banget. Abang bikin keluar ya, biar puas.”
Pria itu mempercepat gerakan jarinya, menusuk lebih tegas ke dalam, mencari titik sensitif yang membuat Anisa hampir kehilangan akal.
“Ahhhh … ahhhh … gilaaaaa … teruuusss ahhhh.”
“Ayo, keluarin semuanya, Sayang,” balas si penjaga warung.
“Ahhhhhhhh my goooddd mphhhh.”
Anisa menjambak rambut si sopir dan menekan kepala si kenek semakin dalam ke payudaranya. Rintihannya penuh hasrat. Tiap embusan napasnya membawa desahan yang panjang, tubuhnya kini menari di antara rangsangan tiga arah itu.
Saat tekanan mencapai puncaknya, si penjaga warung memutar jarinya dengan presisi, membuat Anisa meledak.
“Abaaaaang, ahhhh … aku keluaaar!”
“Keluarin semua ya, sayang,” balas si penjaga warung.
Cairan kenikmatan Anisa menyembur, membasahi wajah dan tangan si penjaga warung yang tersenyum. Tubuhnya melengkung.
“Uhhhhhhhh … Aku keluaar, babyyyyy!”
Untuk sesaat, suasana warung seperti membeku dalam keheningan. Aku menatap mereka dengan jantung berdebar.
Anisa perlahan membuka mata dengan napas terengah-engah. Ia kembali ke dunia nyata. Matanya bertemu denganku. Tatapan itu terlihat seperti malu.
Anisa langsung mendorong mereka bertiga dan mengambil barang-barangnya, juga menutupi dirinya dengan jas putihnya yang berada di meja. Ia berjalan ke arah mobil.
“Bang, saya bayar dulu. Jadi berapa?” tanyaku pada si penjaga warung.
Pria itu sedang mencium jarinya yang basah oleh lendir Anisa. Ia tersenyum padaku.
“Ga usah bayar, Pak Dokter. Saya yang makasih loh udah dikasih mainin istrinya.”
Aku pun tersenyum pada mereka dan mengangguk, lalu berjalan cepat menyusul Anisa ke mobil.
Saat berada di samping mobil, Anisa enggan menatapku.
“Bay …,” bisiknya lirih dengan suara gemetar. “Nanti di rumah ada yang mau aku omongin.”