Gairah di Balik Tugas Dokter (Cuckold Story) – Part 14

[Nobar]

Minggu paginya, aku duduk di depan teras ditemani secangkir kopi hitam panas tanpa gula. Kopinya sudah manis karena Ada Anisa di depanku. Ia sedang menjemur pakaian.

Dari rumah sebelah, terdengar suara pintu berdecit. Mang Ujang keluar rumah sambil membawa segelas kopi juga. Kami saling menatap satu sama lain.

“Assalamualaikum, Pak,” sapa Mang Ujang sambil tersenyum.

“Waalaikumsalam, Mang. Ngopi bareng sini,” ucapku sambil menunjuk ke kursi di sampingku.

Mang Ujang mengangguk sambil berjalan dan duduk di sampingku. Kami mulai berbicara tentang hal-hal umum, seperti kondisi kesehatan warga desa dan pekerjaan masing-masing.

Seiring kami berbicara, aku bisa melihat mata pria gemuk itu sering kali melirik ke arah Anisa yang sedang menjemur pakaian di depan kami.

Anisa pagi ini mengenakan kaos oversize berwarna putih dan celana hot pants hitam. Pantatnya yang bahenol membuat Mang Ujang sesekali meneguk ludah. Karena sadar akan hal itu, refleks aku menggodanya.

“Kalo mau bantu jemur, bantu aja, Mang,” ucapku sambil tersenyum. “Pake diliatin mulu.”

Mang Ujang tersenyum dan menatap Anisa. “Bisa dibantu apa, Bu Dokter?”

Anisa menoleh dan menatap Mang Ujang sambil tersenyum. “Ga usah, Mang, udah beres juga ini. Sisa daleman-daleman doang. Makasih tawarannya.”

“Ya udah ga apa-apa, biarin Mang Ujang yang bantu jemur sisanya,” balasku. “Bantuin tuh, Mang.”

Anisa menatapku dengan tampang skeptis sambil menghela napas. Sementara aku hanya terkekeh membalasnya.

Mang Ujang mengangguk dan berjalan ke arah istriku. Ia langsung saja mengambil satu BH Anisa untuk membantu menjemurnya. Namun, saat ia melihat ukurannya, ia diam dengan tampang terpana.

Anisa memicingkan mata. “Kenapa, Mang?”

Ia bertanya pada Anisa. “Bener ukurannya segitu, Bu Dokter?”

Aku makin terkekeh mendengar pertanyaan itu. “Pegang aja kalo ga percaya, Mang.”

Anisa yang mendengar pertanyaan itu, langsung menggelengkan kepala dan menatap skeptis pada Mang Ujang. “Jangan didengerin, Mang. Emang rada gila dokter yang satu itu.”

Setelah berucap begitu, Anisa berjalan masuk ke dalam rumah membawa ember hitam sambil meledek Mang Ujang. “Kalau Mang Ujang butuh pegangan hidup, cari aja yang lain.”

Mang Ujang hanya bisa tertawa sambil mengangguk kepalanya sendiri. “Siap, Bu Dokter.”

Setelah Anisa pergi ke dalam, kami melanjutkan obrolan. Mang Ujang mengajakku nobar bola nanti malam untuk laga Manchester United vs Liverpool di sebuah kafe saung bernama Kafe Bumi.

“Di mana lokasinya, Mang?” tanyaku.

“Di tengah sawah arah ke puskesma, Pak. Sebelum pertigaan, yang ada jalanan aspal setapak ke masuk ke sawah. Tenang aja, Pak Dokter. Meskipun di tengah sawah, tapi ga ada nyamuknya! Udah estetik juga kayak kafe-kafe kekinian di Jakarta,” jawab Mang Ujang.

“Biasanya rame, Mang?” tanyaku.

“Enggak sih, Pak. Paling banyak juga tujuh sampe sepuluh orang doang paling kalo ada yang ronda. Kalo sekarang mungkin ga sampe segitu.”

“Oke deh, boleh.” Aku mengangguk setuju untuk pergi bersama-sama nanti malam.

“Ajak Bu Dokter dong, Pak. Biar seru gitu,” ucap Mang Ujang malu-malu.

Aku tersenyum padanya. “Harus. Kopites angel harus dateng buat dukung tim kesayangan.”

Ia terkekeh. “Nanti berangkatnya bareng aja dari sini, naik motor saya.”

“Bonceng tiga?” tanyaku.

“Bisa diatur pokoknya, Pak Dokter. Aman kalo motor mah.”

***​

Selesai ngopi, aku dan Mang Ujang berpisah. Ia pulang ke rumahnya, dan aku masuk ke dalam rumah dinas. Aku duduk di sebelah Anisa yang sedang bermain ponsel.

“Beb, Mang Ujang mengajak nobar malam ini di Kafe Bumi,” ucapku sambil menatap Anisa.

“Ya udah ACC, nonton aja,” jawab Anisa.

“Kamu ikut, ya.”

Anisa memicingkan matanya padaku. “Aku males ah nobar-nobar, apa lagi di kampung ini. Ih, kebayang banyak bapak-bapak aneh. Lagian juga aku udah nyium pikiran kotor kamu. Kamu pasti ngerencanain sesuatu, kan? Iya, kan? Gara-gara tadi pas kamu nawarin Mang Ujang pegang aku, akunya kabur?”

“Ayo, Beb. Kita seru-seruan aja. Kita jarang banget keluar sama-sama di luar hari kerja. Mang Ujang bilang tempatnya asik. Lokasinya di tengah sawah gitu, tapi udah estetik kayak kafe kekinian. Nanti kamu bisa foto-foto buat di sosmed,” ucapku sambil mengusap pundak Anisa dengan lembut. “Terkait pikiran kotor aku … palingan juga kalo aku mau iseng ya cuma nawarin liat atau pegang doang kok. Selebihnya kan tergantung kamu. Kalo kamu ga nyaman, aku pastiin mereka stop.”

Anisa menghela napas dan menatapku. “Tapi aku ga suka rame-ramean, Beby.”

“Kata Mang Ujang hari ini sepi,” ucapku sambil tersenyum. “Pertama ga ada yang ronda, kedua banyak warga desa yang kerja kasar lagi lembur proyekan, termasuk Bang Baron yang kamu takutin tuh. Jadi aman kok.”

Anisa mendesah dan mengangguk pelan. “Oke, tapi abis itu langsung pulang, ya. Aku ga mau pulang kemaleman. Aku juga takut setan di desa ini.”

“Oukai, Babyyyy,” ucapku sambil mengecup jari Anisa dengan lembut.

***​

Malam sudah tiba. Aku dan Anisa sudah siap dengan jersey Liverpool kami. Anisa tampak cantik saat mengenakan jersey Liverpool miliknya yang agak ketat. Jersey itu menempel pada kurva-kurva tubuhnya, menampilkan payudara yang bulat dan punggung yang lebar. Celana hot pants hitam yang ia pakai membuat tubuhnya terlihat lebih panjang dan seksi. Rambutnya yang panjang dan berkilau diikat ke belakang. Kacamatanya menambah kesan intelektual pada sosoknya.

Kami dijemput oleh dua motor. Satu milik Mang Ujang dan yang lain milik Bopeng, pemuda kampung yang masih duduk di bangku SMA. Bopeng memiliki tubuh atletis, tetapi wajahnya jelek dan jerawatan.

“Udah siap kalah Liverpool, Pak?” tanya Mang Ujang yang sudah siap dengan jersey bututnya.

“Liverpool pasti menang, Mang,” balasku sambil terkekeh.

Anisa tiba-tiba menarik jersey ku dengan tampang cemberut. “Bay, kita ga naik mobil aja?”

“Aksesnya ga bisa masuk mobil, Beb. Jadi mau ga mau kita ke sana harus naik motor. Kamu pilih mau dibonceng siapa?”

Anisa menghela napas pasrah dan menatap kami, lalu memilih untuk dibonceng Mang Ujang. “Oke, aku naik motor Mang Ujang aja.”

Anisa dibonceng Mang Ujang, dan aku naik ke motor si Bopeng. Motor Mang Ujang bergerak di depan, sementara aku dan Bopeng membuntuti dari belakang.

Suasana menjadi semakin menarik saat kami berangkat menuju Kafe Bumi. Sepanjang perjalanan, aku sering melihat Mang Ujang kerap melakukan rem dadakan karena akses jalan yang jelek, membuat punggungnya menempel dengan payudara Anisa.

Anisa terlihat risih dari belakang. Setiap ada kesempatan, ia berusaha mundur untuk menjaga jarak. Namun, karena jok motor Mang Ujang yang agak licin, ia jadi maju-maju lagi dan menempel dengan Mang Ujang.

Suasana semakin gelap saat kami mendekati lokasi. Kafe Bumi terletak di tengah sawah, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil yang berpendar lemah, tapi romantis. Suasana di sekitarnya tenang. Konser para serangga dan bisikan angin lembut menjadi instrumen musik yang menenangkan.

Kami tiba di Kafe Bumi. Di lokasi itu tidak sesuai ekspetasiku. Ku kira akan ada setidaknya lima sampai enam orang di luar kami berempat. Namun, di luar kami, hanya ada dua pria yang sedang bermain catur. Satunya ku taksir penjaga kafe ini, dan satunya lagi seorang kakek-kakek beruban yang memakan outer berupa sarung.

Suasana di kafe ini ramah dan nyaman, dengan beberapa meja dan kursi yang teratur di luar, di mana tamu dapat menikmati pemandangan sawah yang luas. Sayangnya, saat malam pemandangan sawahnya tidak terlalu kelihatan.

“Assalamualaikum, Pak Dokter dan Bu Dokter. Selamat datang di Kafe Bumi,” ucap Kang Didi selaku penjaga kafe tersebut. “Sudah siap untuk laga malam ini, Pak, Bu?”

“Siap, Pak. Saya sama istri ga akan dateng ke sini kalo Liverpool ga pasti menang mah,” balasku meledeknya.

Mang Ujang, Bopeng, Kang Didi, dan pak tua bernama Suryo itu mengenakan jersey setan merah semua. Mereka berempat pendukung MU. Sesuai dugaanku, tatapan mereka sering kali mencuri pandang ke arah Anisa yang sedari tadi hanya diam saja tak berkomentar.

Kami pesan beberapa camilan dan minuman untuk persiapan laga. Karena lokasi nonton yang tidak terlalu besar, jadi kami semua menumpuk di tengah.

Saat laga berjalan beberapa saat, Anisa tampak celingak-celinguk.

“Cari apa, Beb?” tanyaku.

“WC di mana deh?”

Kang Didi menunjuk sebuah ke arah bilik di luar kafe utama. “Di situ, Bu Dokter.”

Anisa meneguk ludah. “Ih, serem banget. Temenin dong, Beb,” bisiknya.

Aku menatap Bopeng. “Peng, temenin istri saya dong, dia mau ke kamar mandi, tapi takut.”

Anisa menjitak kepalaku, tapi ia tidak ambil pusing dan berjalan ke bilik itu ditemani bopeng.

Saat Anisa berjalan, semua mata tertuju padanya dan lupa pada laga pertandingan. Aku tegang membayangkan kalau malam ini Anisa menjadi santapan para pecundang ini.

Karena aku tidak melihat gelagat menyenangkan dari Anisa, aku diam-diam mengeluarkan sebotol kecil obat perangsang racikan ku dan memberikan dua tetes ke dalam minumannya tanpa disadari yang lain.

Saat Anisa kembali dari kamar mandi, aku tidak banyak tingkah dan fokus menonton laga. Sampai pada satu titik, ia meneguk minumannya.

Tiba-tiba, Mang Ujang dan Pak Suryo mengajak taruhan antara fans Liverpool dan MU. Para fans MU mengumpulkan uang mereka. “Pak Dokter, taruhan yuk biar seru. Kalo Liverpool menang, nih duit kita semua bawa pulang aja.”

“Wah, Pak … saya lagi ga bawa uang banyak, jadi cuma pas buat bayar minuman sama makanan aja,” ucapku.

Mereka semua serempak menatap Anisa. “Kalo ga ada uang juga ga apa-apa, Pak Dokter.”

“Adanya istri saya nih,” balasku menjadikan Anisa sebagai taruhan.

“Ih, apaan sih, Beb. Kok aku?” protes Anisa.

Anisa menolak berat karena harga dirinya, dan ia sedang tidak mau supportif dengan fantasiku malam ini. Hanya saja, desakan orang-orang ini dan efek obat yang perlahan muncul membuatnya terombang-ambing.

Karena Liverpool sedang kuat-kuatnya, akhirnya aku meyakinkan Anisa bahwa semua itu tidak akan terjadi. Aku mendekatkan mulut ke telinga Anisa.

“Udah, Beb, aman. Liverpool lagi kuat musim ini, ga akan bisa kalah. Aku bakal ngajak mereka taruhan gol aja, bukan menang kalah.”

Anisa pada akhirnya hanya bisa menarik napas pasrah. “Oke, Bay. Tapi jangan sampe kelewatan, ya?”

Pada akhirnya, kami sepakat. Jika MU menang, uang mereka akan menjadi milik kami. Dan aku menawarkan hal yang berbeda. Aku akan mempertaruhkan Anisa untuk setiap gol MU yang bersarang ke gawang Liverpool. Setiap Manchester United mencetak satu gol, maka Anisa harus menanggalkan satu per satu pakaiannya.

Pertandingan masih berjalan dengan skor 0-0.

Suasana menjadi semakin panas saat Manchester United mencetak gol pertamanya. Anisa menatapku dengan wajahnya yang merah.

“Buka! Buka! Buka!” sorak sorai para pendukung MU ini membuatku dag-dig-dug.

Anisa tak punya pilihan. Ia berdiri dan mulai mengangkat jersey Liverpool yang ia kenakan perlahan, menampilkan punggung yang lebar dan payudara yang bulat. Jersey itu kini berada di atas meja, meninggalkan Anisa hanya dengan celana hot pants hitam dan BH merah jambu bermerek Victoria Secret.

“Selamat, Pak. Gol pertama,” ucap Mang Ujang sambil tersenyum lebar menatap istriku.

Anisa hanya bisa menahan malu sambil memeluk dirinya sendiri untuk menutupi tubuhnya. Aku bisa merasakan ketegangan di lokasi dan berharap bahwa situasi ini akan menjadi lebih panas.

Perlahan, Manchester United mendominasi permainan. Pemain Liverpool kerap melakukan blunder dan kehilangan semangat juang sampai gol kedua pun lahir.

“Buka! Buka! Buka!” Mereka kini lebih bersemangat lagi menyoraki istriku.

Kini, Anisa harus memilih untuk melepas BH atau hot pants. Ia pun memilih melepaskan BH nya dan menutupinya dengan tangan selama laga dimulai kembali. Payudara Anisa yang bulat dan besar itu, menarik perhatian semua orang di kafe.

“Capek atuh, Bu Dokter kalo ditutupin mulu mah,” ledek Kang Didik. “Biarin aja dibuka atuh.”

Anisa tidak peduli dan masih tetap menutupi gunung kembarnya dengan memeluk dirinya sendiri.

Saat skor kembali berubah menjadi 3-0. Anisa mau tidak mau harus membuka celana hot pants-nya, dan saat ia melepaskan celana gemas yang ia kenakan, payudaranya menggantung bebas dengan areola besar dan puting merah jambu.

Ku lihat mata keempat lelaki itu itu fokus pada gundukan dada Anisa yang menggantung dan bergoyang. Mereka berempat meneguk ludah sambil menggaruk kejantanan mereka semua.

Kini hanya tersisa celana dalam merah jambunya saja yang tersisa di tubuh Anisa. Ia kembali menutupi payudaranya.

Tibalah di menit ke 80. MU kembali menorehkan gol keempat mereka.

Saat skor 4-0, Anisa disuruh memiliih untuk melepas celana dalam, atau mau dipangku bergilir. Anisa dengan wajah yang canggung, menatap kami dan akhirnya memilih untuk duduk dipangku bergilir saja, daripada harus bertelanjang bulat.

Setiap lima menit sekali, Anisa berpindah dari satu lelaki ke lelaki lainnya dan duduk dipangku secara bergantian.

Saat aku sedang fokus pada laga dan kesal karena Liverpool bermain jelek, tanpa sadar, tiba-tiba ada suara desahan Anisa. Aku refleks melirik ke arah istriku yang sedang dipangku oleh Kang Didi.

Mereka berempat sudah tidak fokus pada pertandingan lagi dan hanya terfokus menatap Anisa. Ku lihat tubuh Anisa naik turun saat dipangku Kang Didi.

“Ahhh … jangan, Kang …,” lirih Anisa yang tubuhnya naik-turun sambil menggigit bibir bawahnya.

Rupanya, diam-diam tangan pria itu sedang meremas bongkahan payudara kanan istriku dari posisi yang agak jauh dari penglihatan ku, tapi sesekali tangannya terlihat dari lirik aku sedang memainkan puting Anisa.

Anisa tampak menolak dan berusaha melepaskan tangan Kang Didi, tapi Mang Ujang, dan Pak Suryo agak merapatkan posisi sehingga mempersempit ruang gerak Anisa, sekaligus agak menutupi tubuh istriku dari pandanganku.

“Wah, hampir aja gol kelima.” Kang Didi terus meremas payudara Anisa sambil menatap layar televisi, dan sesekali ikut mengomentari pertandingan.

Dari sudut mataku, terlihat Anisa yang sedang berusaha menahan diri untuk tidak berteriak. Ia menutupi mulutnya sambil satu tangannya berusaha melepaskan tangan nakal Kang Didi.

Mang Ujang yang duduk di samping istriku, kini mulai berani mengusap-usap punggung Anisa dengan tangannya.

Sementara Pak Suryo yang duduk membelakangiku mulai terlihat bergerak memainkan payudara kiri Anisa.

Suasana di kafe menjadi semakin panas. Sengan suara desahan samar dan gemetar yang mendengung di telingaku membuatku semakin terangsang. Hatiku berdebar saat membayangkan Anisa dan para pria ini berhubungan intim.

Aku bangkit dari dudukku tanpa menoleh ke arah mereka. Namun, mataku melirik. Ku lihat sontak semua kegiatan itu berhenti sejenak. Ketiga pria itu refleks melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuh istriku.

“Duh, kebanyakan kopi nih jadi mules. Aku ke toilet dulu, Beb.”

Aku pun pergi meninggalkan Anisa bersama mereka semua. Anisa pun tidak bilang apa-apa dan hanya melihatku dengan tatapan menahan tangis. Aku paham seberapa takut ia saat ini, tapi aku pun yakin … karena efek perangsang dan juga situasi, ia akan baik-baik saja.

Aku pergi ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil. Setelah itu, aku kembali lagi. Namun, baru ku tinggal beberapa menit, situasi sudah berubah total.

Anisa sudah telanjang bulat dan berbaring di atas meja dengan kaki melebar. Ia menjerit keenakan saat tangan Kang Didi mengobok-obok lubangnya dengan cepat. Kedua payudaranya juga sedang dilahap oleh Mang Ujang dan juga Pak Suryo.

“Ouuuuhh!” Cairan memeknya menyembur membasahi tangan Pak Didi. “Saya keluar, Kang … uhhhh.”

Mereka semua terkejut saat aku muncul, tapi aku tersenyum pada mereka semua.

“Lanjut aja, Pak,” ucapku. “Tapi pake pengaman, ya.”

Aku memberikan kondom pada mereka.

“Maaf, Pak Dokter,” ucap Mang Ujang sambil tertawa canggung. “Gara-gara MU merkosa Liverpool 4-0, saya jadi mau merkosa Kopites Angel juga nih.”

“Silakan, tapi pake kondom ya, Mang,” balasku.

“Babyyy ….” Anisa menatapku dengan napas terengah-engah.

Aku mendekatinya dan mengusap kepalanya. “Ga apa-apa, Beby. Nikmatin aja, oke?”

Anisa mengangguk sebagai jawaban.

“Boleh kan, Pak? Saya pake Bu dokter,” tanya Kang Didi ragu.

“Tanya aja istri saya, kalo dia boleh, saya juga boleh,” balasku.

Kang Didi dan ketiga pria itu menatap Anisa. “Bu, boleh saya masukin?”

Anisa tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Istriku kini sudah memberi lampu hijau untuk mereka boleh mencampurinya, asal memakai kondom. Namun, aku hanya bawa 1 pack isi 3. Bopeng tidak kebagian dan hanya duduk saja menonton.

Aku pun mendekat pada bocah itu.

“Udah, join aja sana.”

Tanpa berkata-kata. Bocah itu bangkit dan mendekati istriku yang sedang dimangsa ketiga srigala kampung.

Kang Didi mengangkat tubuh istriku dan membuatnya nungging. Ia menempelkan kepala pusakanya ke bibir vagina Anisa, lalu menggeseknya sedikit.

“Shhhh …” desah Anisa.

“Saya masuk, Bu. Ahhhhh, mantaaap.”

“Ahhhh ….” lenguh Anisa saat batang Kang Didi menerobos masuk.

“Ah, enak banget, Bu,” ucap Kang Didi.

“Iyaaah,” balas Anisa.

Mang Ujang menyodorkan batangnya ke mulut Anisa. “Saya mau juga dong, Bu Dokter.”

Anisa meraih batang mini milik Mang Ujang, lalu dengan wajah penuh nafsu, ia menghisap kontol berukuran kecil itu dengan lahap.

Di sisi lain, Kang Didi dengan gerakan yang kuat terus menggenjot istriku dengan gaya doggy sampai Anisa gemetar.

Istriku melepaskan kontol Mang Ujang dari mulutnya. “Ahhh … enak, Kang Didi ….”

“Ahhhh, Bu … saya juga enak nih. Memek orang kota emang beda. Sempit banget … uhhhhhh!”

Sementara itu, Pak Suryo memainkan payudara Anisa. Ia menggesek-gesek areola dan memilin putingnya.

“Ahhhh … enak banget sumpah, Bebiiii!” lenguh Anisa dengan tubuh berguncang dan dipakai tiga arah.

Saat Bopeng mendekati, Anisa menatapnya tanpa kata-kata. Bocah SMA itu dengan wajah yang penuh nafsu mulai memainkan puting Anisa yang menganggur dengan jarinya, membuat Anisa menggigit bibir bawahnya lebih kuat.

Kini Anisa harus melayani nafsu dahaga 4 pria kelaparan itu. Suasana di kafe menjadi semakin panas diisi oleh suara desahan kuat istriku. Aku ikut membuka celana dan mulai mengocok kontolku sendiri.

“Ahhh, babyyy … enjoy,” lirihku.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *