USTADZAH AISYAH – Part 2

Seminggu setelah memutuskan obrolan dengan Darto. Ustadzah Aisyah menyadari tindakannya itu tepat. Sebab percakapan mereka tidak didasari oleh kepentingan, atau tukar tambah ilmu, atau transaksi yang bersifat halal. Itu adalah jebakan setan, demikian pikirnya.

Setiap harinya ia disibukkan merawat keluarga kecilnya. Si Kecil Nana yang sekian hari selalu mengambek, tak boleh salah sikit. Nanti pastilah ia merengek. Juga suaminya yang selalu sibuk kapan hari. Menghabiskan waktu malam dengan Laptop yang selalu bertengger di pangkuan. Kadang-kadang hampir separuh waktu kumpul keluarga, dihabiskan olehnya dengan suara ketik keyboard. Tetapi Ustadzah Aisyah memberi pengertian, mau bagaimana pun yang dilakukan oleh suaminya, tentu saja untuk keluarganya, untuk keluarga kecil mereka, yang, semoga, terus akan berbahagia.

Ustadzah Aisyah, juga hari ke hari disibukan oleh jemaahnya. Ia beberapa kali mengisi pengajian di Masjid Al-Nurul. Memberi ceramah bertema: kepatuhan seorang istri terhadap suami. Demikian isinya: Adalah istri harus berlaku baik. Sebaik-baiknya. Dan pabila seorang istri tidak melayani suami dengan baik. Sungguh mereka adalah orang-orang yang mengisi neraka. Dan pabila seorang istri berlaku menyimpang terhadap kesetian pernikahan mereka. Maka tak ada tempat lain selain neraka. Pabila seorang istri berperilaku baik dan melayani suami, sungguh tak ada tempat selain mereka daripada surga.

Setelah mengisi ceramah di masjid. Ustadzah Aisyah kemudian disibukan oleh kegiatan kerja bakti di masjid. Sebagai jemaah yang baik—tentunya—ia tak pernah absen. Demikian pada akhirnya, bersama warga-warga lain ia ikut menyapu halaman. Dibagi menjadi beberapa kelompok—kelompok lelaki fokus membersihkan bagian dalam. Halaman parkir terlihat bersih tanpa dedaunan kering yang berhamburan dari pohon sawo di samping Masjid. Keset-keset kaki di taruh di setiap ruang masuk; tempat wudhu, ruang belakang, juga ruang masuk.

Zubaidah—salah satu jamaah—mendekati Ustadzah Aisyah. Terjadi percakapan ringan antara mereka. Zubaidah yang masih muda—23 Tahun—bertanya perihal jodoh. Ia singgung malu-malu kalau dirinya, didekati seorang pria, yang lebih tua daripadanya. Berbulan-bulan mereka dekat dan saling berkirim pesan. Zubaidah menambahkan: lelaki itu mapan perihal Materi, memiliki pekerjaan yang layak, dan paham agama. Kemudian ia sampai pada intinya bahwa lelaki itu hendak melamarnya.

“Kamu sendiri, bagaimana, Zubaidah?” Ustadzah Aisyah balik bertanya. “Kalau kamu merasa siap. Dan keluarga kamu setuju. Tunggu apalagi?”

Zubaidah mendekat, membisikan sesuatu di telinga Ustadzah Aisyah. “Umurnya enam tahun di atas saya, Ustadzah.”

“Bukankah lebih bagus?” Ustadzah Aisyah balik bertanya. “Saya dan Suami berbeda tiga tahun, lho, Zubaidah. Tidak ada masalah perihal umur. Terpenting, toh, keyakinan kalian berdua dan bagaimana kalian menjalani pernikahan. Kalau kamu dan dia sudah merasa cukup matang`untuk masuk ke jenjang berikutnya. Menurut saya, silahkan. Terlebih kamu bilang, dia paham agama, bukan?”

Zubaidah medapatkan pencerahan. Seminggu ia dilanda dilema. Pada akhirnya, jawaban dari Ustadzah Aisyah memberinya kesimpulan. Kemudian ia berterimahkasih yang banyak kepada Ustadzah Aisyah. Ustadzah itu membalas dengan senyum singkat dan doa agar pernikahan mereka berjalan dengan lancar.

Setelah beres-beres itu, Ustadzah Aisyah pulang berbarengan dengan Zubaidah. Sedikit menyinggung pernikahan, Ustadzah Aisyah memberikan tuntunan bagaimana menjadi istri yang saleh. Dijelaskannya secara rinci.

Kemudian mereka berpisah di persimpangan jalan. Zubaidah mengambil kiri. Dan Ustadzah Aisyah mengambil kanan, mengarah ke rumahnya. Pada saat ia memasuki satu gang kecil—Tempat Darto bekerja berada di samping gang—ia bertemu Darto yang tengah mengendarai motor butut dengan Ambong besi di jok belakang, bertumpuk galon-galon kosong di sana. Merasa tak enak, Ustadzah Aisyah mengambil langkah memutar, memilih agar Darto lewat lebih dahulu.

Akan tetapi Darto malah berhenti di penghujung jalan di sebelah Ustadzah Aisyah yang menunduk menjaga marwah. Tukang Galon itu sekonyong pada intinya, bertanya kenapa Ustadzah Aisyah tidak membalas pesannya. Ia menanti. Dan sungguh ia meminta maaf jika ada salah ucap atau kalimat. Ia hendak turun dari motornya, tetapi Ustadzah Aisyah sudah lebih dahulu mengambil langkah. Membuatnya mendengus kesal dan berkata kotor dalam hati, bukan kepada perempuan itu, tetapi lebih kepada dirinya sendiri.

Dihempasnya tubuhnya di sofa sesampainya ia di rumah. Ia merasa bersalah kepada Tukang Galon itu. Andaikata jika Darto mendekatinya. Maka tindakannya yang
berkirim pesan tempo hari, adalah memberi harapan secara tidak langsung kepada Tukang Galon itu. Walaupun ia sama sekali tidak berniat seperti itu.

Ia mengecek ponselnya, dan rupanya benar Darto mengirim pesan sebanyak 130. Ustadzah Aisyah sungkan untuk membuka, takut rasa bersalahnya itu, nantinya, membuatnya membalas pesan Darto. Dibiarkannya itu begitu saja, sementara ia beranjak ke dapur, selagi si Kecil tukang Rengek masih tertidur, ia harus cepat membikin masakan untuk nanti makan malam.

***​

Tempo hari Zubaidah semakin gencar mendekati Ustadzah Aisyah dalam satu kesan meminta nasehat. Sehabis dari memberi ceramah, Zubaidah akan menggiring pulang ustadzah itu. Sambil terus bertanya—atau lebih tepatnya menyakinkan dirinya sendiri—perihal pernikahan keduanya, yang akan diadakan tiga bulan lagi. Ia mendengarkan Ustadzah Aisyah, yang menyuruhnya untuk melaksanakan Solat dalam waktu tertentu, dan berpuasa.

Ustadzah Aisyah mengatakan itu tak serta-merta. Ia punya landasan kuat, sebagaimana yang ia pelajari dari kitab-kitab berisi huruf-huruf gundul. Bahwa beberapa keyakinan bisa diperkuat atas petunjuk-Nya. Dan oleh karena itu senantiasa melakukan apapun, yang oleh-Nya diperintahkan. Ustadzah kemudian berkata lagi: “Segala hal yang baik, akan dipermudah, Zubaidah.” Lantas ia mengemukakan pendapatnya, bahwa pilihan seorang perempuan`yang dilandasi kecintaan terhadap Tuhan-Nya, dan melakukan itu sebagai sebuah tuntunan, bukan sebagai keinginan pribadi dan nafsu yang memaharaja. Senantiasa akan berakhir dengan kebahagian. Sebagaimana ia mencatut pernikahannya, sebagai bukti hubungan yang dilandasi atas dasar agama.

Sesungguhnya itu benar. Ustadzah Aisyah, tak sama sekali mencintai Farhan mula-mulanya. Mereka terhubung atas dasar kedua orang tua saling mengenal. Dan kemudian terjadilah perjodohan. Ustadzah Aisyah yang ketika itu berumur 22 tahun, setelah menyelesaikan kuliahnya, di bulan Oktober, akhirnya menyetujui lamaran Farhan. Di bulan Februari, mereka menikah. Tak lama selang dari itu, ia mengandung Si Kecil Nana.

Ustadzah Aisyah beranggapan bahwa cinta bisa timbul dibersamai oleh waktu. Seperti yang ia dapati terhadap dirinya sendiri, ia mencintai suaminya pada bulan ke empat setelah pernikahan. Ketika ia melihat tingkah sungguh-sungguh suaminya, yang memperlakukannya penuh lembut dan cinta. Kehamilannya, pada akhirnya, mengokohkan cintanya terhadap Farhan. Sebab lelaki itu berperilaku demikian manis ketika ia mengandung. Bahkan suaminya sempat menolak kerja, disebabkan menjaganya. Alangkah manisnya pernikahan mereka di masa-masa awal.

Untuk kali terakhirnya, Zubaidah bertanya sebelum mereka berpisah di simpang. Perempuan itu menunduk. Wajahnya sedikit ragu. Suaranya kecil ketika ia berkata:

“Saya takut pilihan saya salah, Ustadzah,” katanya. “Saya sendiri merasa tidak menyukai lelaki yang melamar saya. Meskipun dia lelaki baik. Tetapi, saya takut, andaikata saya tidak bisa mencintainya. Saya takut ia tersiksa atas perilaku saya. Saya takut ketika dia hidup dengan saya, saya menderita, dia pun sama. Tapi, Ustadzah, jauh dilubuk hati saya. Saya menghormatinya sebagai lelaki yang berani.”

Mendengar itu Ustadzah Aisyah tersenyum. Alangkah elok pemikiran gadis ini, Pikirnya. Kemudian ia mengusap lembut punggung tangan gadis itu. Menyemangatinya. Dan pada akhirnya ia menyerahkan keputusan terbaik kepada sang pemilik keputusan.

“Apapun pilihan kamu,” Berkata Ustadzah Aisyah. “Itu yang terbaik untukmu, Zubaidah.”

Mereka berpisah di persimpangan.

Sesampai di rumah, Ustadzah Aisyah langsung disambut oleh Si kecil tukang rengek di meja dapur. Tampak matanya diseliputi rasa kantuk. Kemudian ia meminta makan kepada uminya dengan nada sebal, minta dibuatkan goreng ayam dan jus jeruk. Ustadzah Aisyah menuruti permintaan putrinya yang, menurutnya, sungguh lucu dan menggemaskan, tingkahnya.

***​
Malam itu, di dalam kamar, Ustadzah Aisyah membuka kerudungnya. Berjuntailah rambut panjang dan hitam dan halus itu, sepundak. Ia mengenakan baju tidur. Sungguh wajahnya terlihat bagaikan rembulan di langit malam, dengan bulu mata lentik, dan pipi bening sehingga urat pipinya terlihat bagaikan akar serabut.

Pelan-pelan ia mendaratkan tubuhnya di atas kasur, ikut bergabung dengan suaminya yang berkutat dengan layar Laptop. Jika sudah begini, dianggurilah istrinya itu—yang sesungguhnya ingin meminta jatah. Demikian pada Akhirnya Ustadzah Aisyah, sedikit sebal, membalik tubuhnya, dan berusaha memejamkan mata kuat-kuat. Ketika suaminya mengajak mengobrol, tak ia jawab, bahkan cenderung merengek kekanakan-kanakan. Terlihat bahwa si kecil tukang merengek mewarisi sifat uminya.

“Abi minta maaf, Umi.” Farhan mencoba memeluk istrinya. Meskipun istrinya tampak tak ingin disentuh. Kemudian ia berbisik manja. “Mau bikin adek buat Nana, Umi?”

Bersemu merah pipi Ustadzah Aisyah. Seperti bertahun-tahun yang lalu, berdebar pula jantungnya. Jika sudah begini, maka mereka akan bercinta. Tetapi ia masih ingin melihat usaha suaminya dalam meruntuhkan ngambeknya. Maka tak ia tanggapi.

Kemudian sekonyong suaminya memasukan jemari ke dalam baju tidurnya. Membuat Ustadzah Aisyah meliuk kanan-kiri, tetapi tak ia keluarkan jemari nakal itu, yang kini sudah memelintir putingnya. Sehingga membuatnya nyaris menyerah dengan mengeluarkan desah. Tetapi ia tahan. Ia tak mau kalah.

Farhan semakin gencar. Ia suka sikap istrinya yang begini. Sebuah tantangan, pikirnya. Kemudian ia bergerak mematikan lampu, lalu kembali ke atas ranjang, berbalik memeluk istrinya. Disibaknya rambut yang menutupi leher istrinya, kemudian bibirnya menjelajah di sana. Dikecupnya. Dibasahinya. Sementara jemarinya menyusuri buah dada istrinya. Di dalam kegelapan tampak suami-istri itu memacu gairah.

Menerima sentuhan demikian bertubi-tubi, pada akhirnya Ustadzah Aisyah menyerah. Berbalik. Menatap suaminya. Lalu mereka terlibat dalam adu cium yang kikuk, sebab tak ada lidah yang ingin mencari satu sama lain.

Mereka bersetubuh dalam gelap. Saling mengeluarkan desah kecil—tak ingin mengganggu lelap si kecil di kamar sebelah. Selalu Ustadzah Aisyah berada di bawah, membiarkan suaminya menggempurnya secara perlahan, sementara ia bertugas memejamkan mata dan meliuk-liuk menikmati setiap gempuran yang diberikan. Untuk kemudian suaminya akan mengerang sedikit panjang tetapi pelan, lalu ambruk di sampingnya, lalu tertidur pulas.

Demikian persetubuhan itu berlangsung. Meskipun Ustadzah Aisyah tidak bisa mencapai orgasme, bukanlah berarti ia tidak menikmati itu. Tugas seorang istri adalah melayani suami. Jika suami sudah merasakan puas. Maka sudah lebih dari cukup. Seorang istri, menurut cara pandang Ustadzah Aisyah, tak perlu mendapatkan kebutuhan puncak. Itu bonus, katanya.

Ia tak langsung tidur. Ia kembali mengenakan baju tidurnya tanpa dalaman. Mencari saklar dan menghidupkan lampu. Setelah itu ia membuat Es Jeruk untuk dinikmatinya di ruang tamu. Duduk disana sambil menggulir ponsel, melihat jadwal ceramah untuk diisi beberapa hari kedepan.

Saat ia menggulir ponselnya, satu pesan masuk dari Darto kembali muncul—ketika itu sudah pukul sepuluh lewat empat puluh—di pandanginya sejenak pesan itu, tanpa niat membukanya. Lagi pula nomer Darto tak disimpannya. Dan ia tak berminat untuk kembali terlibat dalam percakapan basa-basi. Ia meneguk Es Jeruknya. Kemudian bersendawa kecil sambil menutup mulutnya.

Bunyi pesan Darto terus bermunculan. Sehingga membuat Ustadzah Aisyah, pada akhirnya, mengetuk ruang percakapan itu. Kalimat-kalimat bertumpuk. Tanda baca tidak beraturan. Lebih sering menggunakan tanda seru pada akhir kalimat. Kemudian ia menggulir percakapan dari terakhir kali mereka berkirim pesan. Digulirnya hingga ia mencapai titik akhir, lalu satu pesan baru muncul: Ustadzah, mohon kesediaannya untuk membalas!

Ustadzah Aisyah sedikit terenyah dengan ketekunan Tukang Galon itu. Ketika ia membaca pesan bertubi-tubi singkat itu, yang cenderung mengirimkan satu kalimat yang sama setiap harinya: Lagi apa, Ustadzah? Ustadzah Aisyah tidak menyadari ia tersenyum kecil. Pada sudut bibirnya terlukis satu gores tak sampai mata. Tetapi ia tersenyum. Jelas. Dan betul-betul tersenyum. Tetapi bukan berarti ia mau membalas pesan Darto.

Malam itu ia kembali ke kamarnya. Mematikan lampu. Kemudian tidur di samping suaminya, yang barangkali sudah mimpi ke dunia antah berantah.

***​

Sore itu hujan turun semena-mena. Ustadzah masihlah berada di Masjid. Menunggu hujan kian meredah. Ia duduk di satu bangku lebar di dekat beduk. Kakinya bergerak turun-naik diakibatkan kebosanan. Kepalanya liuk kanan-kiri. Ia bangkit sebentar untuk melihat awan yang gelap. Ketika petir menyambar dan geledek bergemuruh, Ustadzah Aisyah memeluk dirinya sendiri sambil memejamkan mata, kemudian kembali duduk. Ia merasa kedinginan, dan sungguh ia tak menyangka hujan akan turun, kalau tahu begitu ia akan membawa payung.

Ia tampak gusar sebab Si Kecil Nana sendirian di rumah. Si kecil tukang rengek itu takut geledek, juga petir. Bagaimana jika ia terbangun dari tidur sorenya, dan kemudian menangis mendapati tidak ada satu pun orang di rumah? Dan itu membuat Ustadzah Aisyah semakin gusar, sehingga berpikir akan menerobos hujan. Tetapi bagaimana jika tubuhnya kuyup oleh air dan…pada akhirnya ia menunggu sedikit lebih lama. Berharap hujan memberi pengertian.

Pukul setengah lima sore, hujan berhenti, membawa serta aroma tanah basah. Setelah merapikan gamisnya, Ustadzah Aisyah melangkah terburu-buru,sehingga bulir pasar terangkat dan tersangkut di gamis yang menutup mata kakinya. Di persimpangan ia memilih jalan lain, tentu menghindari tempat Galon Darto bekerja. Ia mengambil jalan kanan, lalu berbelok ke kiri. Meskipun sedikit jauh.

Sampai di rumah, bergegas ia membuka pintu. Begitu pintu terbuka Si Kecil Nana langsung berlari kecil-kecil, memeluk kakinya. Tetapi ia tak menangis, membuat Ustadzah Aisyah melenguh syukur.

“Umi, kok, lama Umi.” Berkata si kecil. “Ada geledek, Umi. Nana takut. Untung ada om-om jelek.”

Mendengar itu, Ustadzah Aisyah bingung. Om jelek? Pikirnya. Kemudian ia meminta penjelasan kepada si kecil. Nana menjelaskan ketika ia terbangun oleh suara geledek ia buru-buru ke ruang tamu. Tetapi tak ada orang. Lalu ia menangis. Tak lama dari itu. Om-om jelek, katanya, mengetuk pintu. Olehnya dibuka.

“Tukang Galon itu, Umi.” Nana menjelaskan.

Kemudian Si Kecil bilang bahwa ia meminta Tukang Galon itu untuk menemaninya bermain di ruang tamu. Si Kecil Nana menunjuk Lego yang telah jadi—Terlihat Batman sedang berdiri di depan Mobilnya. “Lihat Umi.” Ia menarik tangan uminya. Penuh girang wajahnya meriah.

Ustadzah Aisyah merasa bersalah. Bukankah tindakan Darto untuk menjaga anaknya—meskipun tak diminta—adalah perbuatan baik? Berbanding terbalik dengan sikapnya. Akan tetapi, Ustadzah Aisyah juga berfikir demikian, bukankah ia tidak berlanggan Galon Isi Ulang ke Darto lagi? Lantas kenapa bisa demikian terjadi?

Ada kecurigaan dan terima kasih. Saling menghajar dalam benak pikirnya. Tetapi untuk sesaat ia singkirkan rasa was-was. Mau bagaimanapun Darto sudah menemani putrinya. Dan jauh di dalam benaknya tidak sekalipun ia menganggap Tukang Galon itu berniat jahat.

Maka sehabis Sholat Magrib, masih dalam balutan telengkong, sambil menemani Si Kecil Nana bermain. Ia mengirim satu pesan singkat kepada Darto. Ucapan terima kasih sebab sudah menemaninya anaknya. Dan ia juga tak tahan untuk menulis kalimat berikut, yakni kenapa Darto mengantar Galon ke rumahnya.

Tetapi selang beberapa jam, tak pula Tukang Galon itu membalas pesannya. Bahkan ketika Suaminya pulang, dan sehabis makan malam, dan bersantai lagi di Ruang tamu. Darto tak kunjung memberi balasan. Itu membuat Ustadzah Aisyah kesal, sebab ia mengira Darto membalas dendam. Tetapi kenapa ia kesal? Ia pun tidak tahu.

Di kamarnya menjelang tidur, Ustadzah Aisyah masih kepikiran. Ia bolak-balik mengecek ponselnya. Suaminya bertanya. Dibalasnya bahwa ia menanti jadwal ceramah untuk esok harinya.

Sebab ia tidak bisa tidur seperti biasanya. Ia ke ruang tamu setelah membuat Es Jeruk. Menggulir ponselnya. Sudah Pukul sebelas lewat dua puluh. Tukang Galon itu sama sekali tidak membalas. Ustadzah Aisyah menghembus nafas. Biarlah, pikirnya. Toh, ia sudah mengucap terima kasih.

***​

Pagi harinya ia masih dibebani akan hal itu. Masih belum ada balasan. Ia bersikeras menyangkal bahwa ia tidak menunggu balasan dari Tukang Galon itu dengan berbagai cara; Ia akan menggulir ponselnya dan melihat percakapan lain atau berpindah sosial media. Tetapi setiap beberapa menit ia kembali membuka Whatsappnya. Melihat apakah Darto sudah membalas. Ia resah. Sungguh. Berpikir untuk menemuinya secara langsung, membuatnyaa menggeleng-geleng.

Setelah semua pekerjaan rumah beres ia kembali mengecek ponselnya. Sama. Pada akhirnya ia menulis pesan kepada Tukang Galon itu: Saya pesan satu Galon. Tolong diantar. Sedikit kesal ia menambahkan: Sekarang!

Di ruang tamu ia menunggu. Gelisah. Jemarinya secara reflek meremas gamisnya, memelintirnya sehingga terlihat berantakan. Jilbabnya ia rapikan. Tubuhnya ia tegapkan dengan kokoh. Tingkah yang seolah-olah akan bertemu dengan orang penting.

Ketika suara ketukan terdengar. Secara tak terduga tubuhnya mengirim debur ombak ke jantung, sehingga geraknya menjadi canggung membuka pintu. Dan debur ombak pada jantungnya, mengirim semu merah di pipi ketika Darto muncul di hadapannya. Semu merah itu merangkak menjadi gelagap. Beberapa burung camar mengepak di dalam perutnya.

Ia mengikuti Darto. Ia ingin mengucapkan terima kasih. Tetapi bibirnya seolah-olah terkunci. Maka ia perlahan menyaksikan Pemuda itu melewatinya. Sekuat tenaga, nyaris berteriak Ustadzah Aisyah berkata:

“Terima Kasih, Darto. Perihal tempo hari.” Gelagap sambil menunduk ia melanjutkan. “Saat hujan.”

Darto membalik tubuhnya. Ia tergelitik dan ingin tertawa kecil. Juga ia merasa puas, sebab inilah yang diinginkannya. Dan barangkali rencananya tempo hari itu membuahkan hasil. Terlebih ketika ia menahan rindu untuk tidak membalas pesan Ustadzah yang berdiri malu-malu di hadapannya ini.

“Maksudnya, Ustadzah?” Darto bertanya sambil menggulung senyum. “Saya gak ngapa-ngapain, perasaan. Lagian, Ustadzah tumben mau omong sama saya? Hm… kenapa Ustadzah?”

“Begini, Darto. Perihal kamu nemenin anak saya. Saya berterima kasih. Tetapi…boleh saya tanya? Kenapa kamu mengantar galon? Saya merasa tidak pernah memesan.”

“Ah, jadi Ustadzah ini mau berterima kasih atau…menuduh?”

Ustadzah Aisyah gelagapan. Ia tanpa sengaja mengatakan dua hal yang kontradiktif. Lalu bersungguh ia meminta maaf. Kemudian terlihat kecewa pada mimik Ustadzah Aisyah ketika Darto pergi tanpa sepatah kata. Ketika ia kembali ke ruang Tamu. Ia mengirim satu pesan kepada Darto:

“Kamu marah?”

Darto yang barangkali melaju motornya secepat kilat, membalas secepat itu pula:

“Engga, Ustadzah. Kenapa?”

“Kenapa kamu pergi begitu saja?”

“Lho, lho, emang Ustadzah mau omong lebih lama?”

Ustadzah memperoleh malu. “Engga!” tulisnya.

“Saya tadi mau ngobrol, kok, Ustadzah. Tetapi saya pikir, Ustadzah, kan, ngejauhin saya. Lagian saya juga akhir-akhir ini sudah bisa menerima itu.”

Ustadzah Aisyah merasa terhenyak ketika membaca bagian “Menerima”. Debur dadanya berganti badai, memporak-porandakan ia punya perasaan, mengubur kehadirannya. Ia tak ingin Tukang Galon itu terbiasa atas ketidakadaan dirinya. Jauh di lubuk hatinya. Ia ingin dikejar. Seperti burung. Seperti kunang-kunang. Ia ingin ditangkap.

“Baiklah kalau gitu, Darto. Saya blok, ya, kamu?”

Ustadzah Aisyah memperlihat lagak kekanakannya itu. Sungguh ia merasa dirinya bagaikan tercampakan. Sehingga membuatnya merasa kesal. Tetapi tak ia lakukan itu. Ia menunggu. Menunggu balasan dari Tukang Galon itu.

“Lho, belum di blok, Ustadzah?” Tulis pemuda itu. Jauh di tempat ia berasal, ia tengah tersenyum girang. Mempermainkan istri beranak satu itu.

Jengkel bukan main Ustadzah Aisyah dibuatnya. Sehingga ia ingin memekik. Membuncah barah dalam tubuhnya.

“Oh. Sungguh. Darto?”

Di kejauhan Darto merasa panik. Ia tidak mau begini pada akhirnya. Jadi ia menulis:

“Permintaan maafnya, saya terima, kok, Ustadzah. Tetapi saya mau jelasin juga. Saya ketika itu berniat untuk bertemu Ustadzah. Makanya saya anter galon. Hujan, lho, Ustadzah. Tetapi saya tetap terobos. Meskipun saya basah kuyup. Tetapi malah si kecil yang muncul. Kemudian saya lihat si kecil ketakutan. Dia meminta saya untuk nemenin bongkar-pasang lego. Begitu, Ustadzah. Demi Tuhan, saya tidak berniat apapun. Sungguh. Beneran.”

Ustadzah Aisyah membaca itu sambil bibirnya tersungging.

“Kenapa kamu mau ketemu saya, Darto?” Ia menulis.

“Sebab Ustadzah perempuan idaman saya.”

Debur ombak berubah menjadi desir aneh. Menjalar pada sendi dan darahnya. Membuat bulu kuduknya meremang. Jantungnya bagai dipacu sembarangan. Ia perempuan beristri dan beranak satu, juga seorang alim. Seorang Ustadzah. Tetapi tak biasa ia bohongi perasaannya sebab tubuhnya merespon dengan cara paling jahanam.

***​

Sungguh pesan yang dikirim Darto Itu tertanam dalam tempurung otaknya. Di kamar ia tak henti-hentinya memikirkan itu. Gerak tubuhnya menjadi aneh di atas tempat tidur. Gulingnya ia peluk rapat-rapat. Sesekali ia gigit sarungnya. Ia rasa ia perlu membalas kalimat itu, tentu dengan pertanyan, “Kenapa”. Lantas ia lihat suaminya yang tengah tertidur demikian lelapnya. Bagaikan pencuri ia mengendap-endap keluar, membawa ponselnya.

Di ruang tamu ia sempat kesal ketika mendapati Tukang Galon itu tak mengirim pesan lagi. Butuh waktu sepuluh menit untuk ia meyakini dirinya untuk kembali mengirim pesan:

“Darto? Kamu sudah tidur?”

Ia sempat ingin menghapus pesan itu. Sebab terlalu aneh, baginya. Terlalu aneh untuk dikatakan perempuan yang telah menikah. Tetapi keburu terlambat sebab si penerima pesan langsung membalas.

“Belum, Ustadzah. Tumben, chat duluan. Suaminya gak marah?”

Seharusnya ia membalas dengan memaki. Sebab secara tidak langsung itu adalah penyerangan terhadap kehormatannya. Tetapi ia malah berlagak canggung seolah-olah Tukang Galon itu tengah ada di depannya. Dan berikut ia membalas:

“Dia sedang tidur, Darto.”

Di kediamannya, Darto tengah tersenyum-senyum. Ikannya masuk dalam perangkap. Bahkan dengan itu pula ia merasa bahwa ia pantas melakukan tindakan lebih lanjut. Tetapi agaknya ia menahan diri. Maka ia membalas:

“Ada keperluan apa, Ustadzah?”

Bimbang dan ragu. Ustadzah Aisyah berdiam cukup lama, membiarkan jemarinya kaku untuk mengetik. Meyakinkan dirinya untuk menanyakan apakah pantas bertanya perihal yang ingin ditanyakan. Kembali dirinya berkutat dalam ketidakpastian itu. “Kenapa?” Bahkan untuk mengetik itu ia pun susah, seolah-olah itu kalimat paling jahanam yang pernah manusia ciptakan. Andaikata ia menerima jawaban dari kalimat: “Kenapa?” Apakah ia sudah siap untuk jawabannya? Bagaimana jika sekonyong pada akhirnya ia merasa luluh. Tetapi, agaknya, tidak mungkin, Sebab ia perempuan saleh. Sebagaimana yang ia katakan di ceramahnya saban hari bahwa perempuan yang melanggar ikrar pernikahan, akan dilaknat di Neraka Jahanam.

Tetapi ia malah membiarkan jemarinya mengetik. Ia pun tidak tahu kenapa. Ia menulis demikian:

“Apa maksud kamu perihal saya wanita idaman kamu?” Sebab menjaga kehormatannya, ia menambahkan, “Saya perempuan telah menikah. Jangan berlaku kurang ajar, Darto.” Sungguh ia ingin menghapus kalimat ke dua itu. Sebab bagaimana seandainya Galon itu tak menghubunginya lagi? Tertanda sudah dibaca. Ia memejamkan mata. Berharap-harap. Entah berharap apa. Ia pun tak tahu.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *