Ustadzah Aisyah mendengar suara pintu kamar mandi ditutup, lalu suara pancuran air yang deras. Kamar mandi mereka. Ia memaksa tubuhnya bergerak dengan cara merangkak. Di lantai teronggok hijabnya di samping kaos oblong hitam kotor milik pemuda itu.
Suara pancuran berhenti. Hening sejenak. Jantung Ustadzah Aisyah serasa diremas. Ia panik. Ia harus berpakaian. Ia harus menutupi diri. Ia buru-buru menarik selimut bernoda itu, melilitkannya di tubuh.
Terlambat.
Pintu kamar mandi terbuka.
Darto keluar. Rambut basah, menetes. Dia tidak memakai celananya. Sekonyong, Ustadzah Aisyah melihat apa yang ia pakai. Handuk Farhan. Handuk biru tua yang biasa dipakai suaminya setelah mandi. Kini handuk itu melilit longgar di pinggang Tukang Galon itu. Darto berjalan santai mengambil handuk kecil milik Ustadzah Aisyah di meja rias. Mengeringkan rambutnya dengan itu.
“Handuk Ustadzah wangi,” kata Darto, tersenyum.
“Itu handuk kepunyaan suami saya.” berkata Ustadzah Aisyah.
“Saya tahu,” katanya. “Udah saya pakai. Jadi punya saya sekarang.”
Pemuda itu tidak langsung pergi. Ia duduk di kursi meja rias. Kursi tempat Ustadzah Aisyah biasa bersolek tipis. Kemudian dikeluarkannya sebatang rokok.
“Jangan merokok di sini, Darto…”
Darto membakarnya. Mengembuskan asap ke arah cermin. “Kenapa? Bau? Tadi Ustadzah cium mulut saya,” Ustadzah Aisyah memerah padam. Tak bisa membantah. “Ganti spreinya.” Ustadzah Aisyah terdiam. “Nanti suami Ustadzah curiga,” Darto melanjutkan. “Nanti dia cium bau saya di bantalnya.”
“Besok saya datang lagi,” katanya. “Jam yang sama.”
“Saya… saya ada urusan…”
“Saya gak peduli,” potong Darto. “Ustadzah atur aja. Saya datang. Besok Saya mau Ustadzah yang di atas. ”
Tubuh Ustadzah Aisyah merespon lagi. Di balik selimut, ia bisa merasakan kemaluannya yang nyeri itu berdenyut basah. Sialan betul nafsunya. Darto bangkit. Mematikan rokoknya di cawan keramik hiasan di meja rias. Ia menepuk pipi Ustadsah Aisyah. “Jangan lupa dibersihin. Saya gak mau berbagi.” Kemudian ia memakai kausnya dan pergi, meninggalkan bau tembakau pekat di kamar itu.
Ustadzah Aisyah sendirian.. Kemudian bergerak. Panik. Ia lucuti sprei itu, ia kumpulkan hijabnya yang ternoda, ia bawa ke kamar mandi. Saat ia sedang memasukkan sprei ke mesin cuci, ponselnya berdering. Ia berlari.
Nomor Zubaidah.
“Assalamualaikum, Ustadzah…” Suara Zubaidah terdengar ceria.
“Waalaikumsalam, Zubaidah. Ada apa?”
Terdengar tawa kecil. “Maaf ganggu, Ustadzah. Tadi pagi saya niatnya mau ke rumah, mau tanya soal… mahar,”
“Oh, iya… silahkan…”
“Tapi pas saya sampai kayaknya Ustadzah lagi ‘sibuk’ ya?”.
ustadzah Aisyah menelan ludah.
“Saya di depan pagar. Saya lihat motor Darto… terus saya dengar… Ustadzah kayaknya lagi kesakitan?”. Suara Zubaidah kini berbisik, penuh makna. “Suara Ustadzah kenceng juga, ya?”
Ustadzah Aisyah terduduk di lantai dapur. Ponselnya nyaris jatuh.
“Nanti sore saya datang ke pengajian ya, Ustadzah. Saya mau duduk paling depan. Mau dengar Ustadzah ceramah soal menjaga kehormatan,”
KLIK.
Zubaidah menutup telepon.
***
Sore itu, Masjid Al-Nurul terasa menyesakkan. Ustadzah Aisyah berjalan ke mimbar. Tubuhnya masih sakit. Pantatnya masih perih. Vaginanya ngilu. Dia sudah mandi wajib, mengenakan gamis bersih dan wewangian, tetapi ia masih merasa kotor. Para jamaah, ibu-ibu kampung Damai , menatapnya dengan takzim. Menatap sang ‘ahli surga’. Kemudian ia melihatnya. Zubaidah. Duduk di barisan paling depan, persis seperti janjinya. Ia tersenyum manis ke arah Ustadzah Aisyah.
Ustadzah Aisyah membuka catatannya. Tema hari ini: “Kepatuhan Istri dan Benteng dari Godaan Setan,” Ironi yang brutal.
Ia mulai bicara. “Seorang istri… adalah tiang rumah tangga. Ia… ia harus menjaga… kehormatannya…” Matanya bertemu dengan mata Zubaidah. Zubaidah mengangguk pelan, seolah sangat setuju.
“Dan pabila seorang istri berlaku menyimpang terhadap kesetian pernikahan mereka…”. Sekonyong, ia teringat suara Darto (“Bilang, ‘masukin lagi, Darto’…” ). Ia teringat tamparan di pantatnya. Ia teringat dirinya menjerit.
Kalimatnya terputus. Keringat dingin sebesar biji jagung mengalir di pelipisnya. Ia terbatuk.
“Ustadzah sakit?” tanya seorang jamaah dari samping.
“Maaf… tiba-tiba… tidak enak badan.” Ia mempercepat ceramahnya. Mengutip dalil-dalil tentang neraka. Mulut yang sama yang tadi pagi menjeritkan nama Darto. Zubaidah hanya menatap, senyumnya tak luntur. Selesai pengajian, Zubaidah menghampirinya. “Ustadzah pucat sekali,” kata Zubaidah sambil memegang lengan Aisyah. “Pasti capek sekali ya, Ustadzah. Tadi pagi ‘kerja keras’.” Bisikan itu halus, di antara kerumunan ibu-ibu lain yang hendak bersalaman.
Ustadzah Aisyah menarik lengannya. “Saya permisi.” dan ia kabur.
***
“Ustadzah! Ustadzah Aisyah, tunggu!”
Ustadzah Aisyah mempercepat langkahnya, nyaris tersandung ujung gamisnya sendiri. pura-pura tak dengar. Mungkin Zubaidah akan menyerah. Mungkin—Sebuah tangan halus namun kokoh mencengkram lengannya. Ustadzah Aisyah tersentak, terpaksa berhenti. Ia berbalik. Zubaidah berdiri di hadapannya, tersenyum manis.
“Ustadzah jalannya cepat sekali,” Zubaidah berkata. “Kayak dikejar sesuatu. Ada yang ketinggalan, Ustadzah?”
Ustadzah Aisyah menarik lengannya, tetapi cengkeraman Zubaidah mengerat sesaat sebelum melepasnya. agaknya itu peringatan. “Saya harus segera pulang, Zubaidah. Nana sendirian.”
“Ah, Si Kecil Nana,” Zubaidah mengangguk-angguk. Ia mulai berjalan di samping Ustadzah Aisyah, menyamakan langkahnya. “Tadi ceramahnya bagus sekali, Ustadzah. Menyentuh sekali. Terutama bagian soal menjaga kehormatan itu. Saya jadi tercerahkan.”
Ustadzah Aisyah hanya mampu bergumam tak jelas.
“Saya jadi kepikiran,” lanjut Zubaidah. “Soal ‘kerja keras’ yang Ustadzah bilang pagi tadi. Saya, kan, dengar. Sepertinya. Darto membantu Ustadzah… sungguh-sungguh, ya?”
Darah serasa surut dari wajah perempuan alim itu. Ia berhenti lagi. Mereka kini di bawah pohon sawo yang rindang. Beberapa ibu-ibu lain melewati mereka, melempar senyum takzim.
“Maksud kamu apa, Zubaidah?”
Zubaidah terkekeh pelan. Sungguh mengerikan tawanya itu. “Maksud saya? Lho, Ustadzah. Saya, kan, dengar suara Ustadzah. Kencang sekali. Saya kira Ustadzah kesakitan. Makanya saya khawatir. Tapi, kok, didengar-dengar lagi. jeritannya bukan jeritan sakit, ya?” Zubaidah memajukan wajahnya sedikit. “Itu ngapain aja, Ustadzah? Kok, kayaknya seru sekali?”
Pertanyaan itu, dilontarkan dengan nada genit dan polos, menghantam Ustadzah Aisyah lebih keras daripada tamparan Darto di pantatnya. Ngapain aja. Sebuah pertanyaan sederhana yang merangkum segala kekacauan pagi tadi.
“Jaga ucapan kamu, Zubaidah!” Ustadzah Aisyah akhirnya berkata, meski bergetar hebat. “Itu fitnah!”
“Fitnah?” Zubaidah mengangkat alis. “Saya lihat motornya, Ustadzah. Saya dengar suaranya. Saya bukan anak kecil. Ustadzah pikir saya bodoh?” berhenti sejenak ia. “Ustadzah yang terhormat, ‘ahli surga’… ternyata sama saja, ya? Sama-sama becek,”
“Saya… saya…” Aisyah tak mampu merangkai kata. Sudahlah ia terpojok.
Zubaidah tiba-tiba tersenyum lagi sambil meraih tangan perempuan alim itu dan mengusapnya pelan. “Tapi, Ustadzah tenang saja. Saya gak bakal bilang siapa-siapa, kok. Kan, kita sama-sama perempuan. Punya rahasia,” ia mengedipkan mata. “Saya juga punya rahasia, Ustadzah tahu?”
Aisyah hanya menatap nanar.
“Anggap saja ini pertukaran,” bisik Zubaidah. “Ustadzah bantu saya soal pernikahan saya. Ustadzah jadi penasihat saya. Dan saya akan simpan rahasia ‘kerja keras’ Ustadzah dengan si Tukang Galon.”
Zubaidah menepuk punggung tangan Aisyah. “Sudah, ya, Ustadzah. Saya duluan. Assalamualaikum.”
Ia berlalu begitu saja, berjalan lenggang dengan santai, meninggalkan Ustadzah Aisyah yang membeku. Rasa ngilu di vaginanya berdenyut-denyut nyeri, seolah mengejeknya. Di sepanjang perjalanan pulang, Ustadzah Aisyah merasa setiap mata yang memandangnya—ibu-ibu yang menyiram tanaman, anak-anak yang bermain kelereng—semua tahu. Mereka semua tahu bahwa dirinya, panutan mereka, baru saja digagahi dan kini diperas oleh jamaahnya sendiri.
***
“Umi, kok, diem aja?”
Suara Si Kecil Nana menariknya dari lamunan. Ustadzah Aisyah mengerjap. Ia kini berada di ruang tamu. Di atas karpet, kepingan-kepingan lego berserakan. Di hadapannya, Nana duduk bersila, bibirnya mengerucut sebal. Di sampingnya, suaminya.
“Umi capek, ya, habis ceramah?” Farhan bertanya. Mengusap bahu istrinya/.
“Iya, Bi. Agak ramai tadi,” jawabnya sambil bergeser sedikit, secara halus melepaskan diri dari sentuhan suaminya.
“Bukan begitu, Umi!” Si Kecil Nana merengek, merebut kepingan lego dari tangan Uminya. “Ini di sini! Umi, kok, gak bisa-bisa, sih?”
“Maaf, sayang. Umi lagi… kurang fokus.”
Farhan menutup laptopnya. Tumben. Biasanya benda itu lebih menarik dari apapun. Ia ikut turun ke karpet, duduk lebih dekat. “Umi beneran gak apa-apa? Dari sore tadi Umi pucat. Mau Abi pijit?”
“Engga, Bi. Engga usah.” Aisyah menggeleng cepat. “Umi cuma capek.”
“Tadi Zubaidah kirim pesan,” kata Farhan santai, sambil membantu Nana memasang roda di mobil-mobilan legonya. “Katanya ceramah Umi bagus sekali. Dia muji-muji Umi.”
Tangan Ustadzah Aisyah yang sedang memegang balok kuning berhenti di udara. Zubaidah. Lagi lagi.
“Oh ya?”
“Iya. Dia bilang Umi itu panutan.” Farhan tertawa kecil. “Bangga Abi sama Umi.”
Farhan merangkul bahunya, kali ini lebih erat, dan mengecup pelipisnya.
Dan Ustadzah Aisyah tidak bisa menahannya lagi. Ia memejamkan mata rapat-rapat. Merasakan gelombang mual yang hebat.
Ia teringat Darto.
Ia teringat janjinya. Besok saya datang lagi.
Ia teringat permintaan Darto. Besok Saya mau Ustadzah yang di atas.
Dan di balik selimutnya tadi malam , di balik penolakannya yang setengah hati, kemaluannya yang nyeri itu berdenyut basah.
“Umi!” Si Kecil Tukang Rengek kembali berseru, kali ini gemas. “Legonya salah lagi! Ih, Umi!”
Ustadzah Aisyah membuka matanya. Ia menatap suaminya yang tersenyum tulus, menatap putrinya yang merengut lucu. Ia adalah pusat dunia mereka. Dan ia adalah perempuan jalang yang sedang menunggu Tukang Galonnya datang besok pagi.
Ia mengambil kepingan lego itu.
“Iya, sayang. Maaf. Umi pasang lagi, ya.”
Ia memasang kepingan itu. Di tempat yang salah lagi.
***
Itu adalah hari Minggu. Ustadzah Aisyah telah memutuskan, dalam kebungkaman paginya, bahwa hari ini akan berjalan seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia akan menekan ingatan akan janji Darto jauh ke dasar benaknya, menguburnya di bawah rutinitas. Oleh karena itu, ia menggelar karpet di ruang tamu dan mengeluarkan kotak lego besar. Si Kecil Nana, yang merajuk sebab Uminya tampak melamun sedari sarapan, seketika bersorak.
Demikian, mereka bermain. Ustadzah Aisyah berusaha keras memusatkan perhatiannya pada kepingan-kepingan plastik itu, menyusun sebuah menara yang terus-menerus rubuh. Si Kecil Nana mengomel, merengut, lantas mengambil alih, menguliahi Uminya perihal konstruksi yang benar. Ustadzah Aisyah hanya mengangguk-angguk. Pikirannya tertuju pada jarum jam, pada langkah-langkah kaki yang terdengar di luar, pada janji pukul sepuluh yang ia berharap akan diingkari Darto.
Waktu merangkak lambat. Pukul sembilan lewat empat puluh lima. Ustadzah Aisyah, dengan dalih hendak menyiapkan minum, bangkit. Ia melangkah ke dapur, membuka kulkas, membiarkan hawa dingin menerpa wajahnya. Kemudian, dari ruang tamu, Si Kecil Nana berseru dengan nada riang yang memekakkan. “Umi! Umi! Ada Om-om Galon! Om Jelek dateng lagi!”
Ustadzah Aisyah memejamkan mata. Tangannya yang memegang gagang kulkas mencengkeram begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia tidak ingkar.
***
Ia berbalik, mendapati Darto sudah berdiri di ambang pintu dapur, tidak di ruang tamu. Pemuda itu tidak membawa galon. Ia mengenakan kaus oblong yang sama dengan kemarin, kotor oleh noda Rambutnya yang gondrong tampak lembap oleh peluh. Sekonyong ia tersenyum, yang sama sekali tidak ramah.
“Pagi, Ustadzah.”
Darto melangkah melewatinya, begitu dekat hingga bahu mereka nyaris bersentuhan. Berjalan lurus ke ruang tamu, di mana Si Kecil Nana sudah melompat-lompat girang.
“Om! Om! Ayo main Lego lagi! Nana udah bikin mobil Batman!”
Ustadzah Aisyah, menutup pintu kulkas. Ia mendengar suara Darto tertawa di ruang sebelah. Ia harus ke sana. Ia tidak bisa membiarkan Nana sendirian dengan… dengan itu. Lantas, ia mengambil langkah-langkah berat, kembali ke ruang tamu.
Pemandangan yang menyambutnya adalah pemandangan yang aneh. Darto telah duduk bersila di karpet, berseberangan dengan Si Kecil Nana. Pemuda itu dengan tangkas mengambil alih susunan lego, menatanya menjadi bentuk yang lebih rumit. Nana, seperti biasa, terpesona oleh keahlian Om Jelek itu.
“Begini, Nana,” Darto menjelaskan. “Kalau mau bikin tinggi, bawahnya harus kuat. Harus ada pondasi.”
Ustadzah Aisyah tidak ikut duduk di lantai. Ia mengambil posisi di sofa, di tepi, melipat tangannya di pangkuan, meremas-remas jemarinya sendiri.
“Umi! Sini, Umi!” Nana memanggil. “Bantuin!”
“Umi lihat dari sini saja, sayang,” jawab Ustadzah Aisyah.
Darto mendongak, menatapnya dari bawah. “Iya, Ustadzah. Duduk saja. Lihatin kami.”
Kemudian, Darto menggeser posisi duduknya. Ia tidak lagi bersila menghadap Nana. Ia bergeser miring, tubuhnya kini sejajar dengan sofa tempat Ustadzah Aisyah terduduk. Punggungnya setengah menghadap Nana, tetapi wajahnya masih menoleh pada si kecil. Kaki kanannya ia luruskan, menyentuh lantai tepat di bawah kaki sofa.
Ustadzah Aisyah sontak menarik kedua kakinya ke atas sofa, memeluk lututnya. Gamisnya tertarik, menampakkan sedikit mata kakinya.
“Lho, Umi kok, gitu?” Si Kecil Nana memprotes. “Kayak ketakutan.”
“Umi… dingin,” dalih Ustadzah Aisyah, merapatkan pelukannya pada lutut.
“Dingin?” Darto berkata. “Padahal di sini panas sekali, lho. Ustadzah gak ngerasa?” Ia menoleh pada Nana. “Nana, tahu gak, kalau kepanasan, enaknya ngapain?”
“Minum es!” seru Nana.
“Bukan,” kata Darto. “Enaknya… dibuka. Biar anginnya masuk.”
Ustadzah Aisyah menelan ludah.
Darto kembali fokus pada mainannya. “Ini, Nana, kita pasang di sini.” Ia mengulurkan tangan, mengambil kepingan lego lain yang terletak di lantai, agak jauh di dekat sofa. Ketika ia meraih kepingan itu, tangannya yang terulur berada tepat di samping kaki Ustadzah Aisyah yang tertekuk di atas sofa. Ia mengambil kepingan itu. Tetapi, tangannya tidak langsung ditarik kembali. Jemarinya yang diam di atas bantal sofa. Hanya berjarak satu jengkal dari betis Ustadzah Aisyah yang tersembunyi di balik gamis.
“Om, kok, diem?” Nana bertanya.
“Om lagi mikir,” jawab Darto sambil menatap Ustadzah Aisyah lekat-lekat. “Mikir… ini enaknya ditaruh di mana.”
Jemarinya bergerak. Merayap pelan di atas bantal sofa. Satu senti. Dua senti.
Ustadzah Aisyah membeku. Ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan jemari itu mendekat.
Kemudian, jemari itu menyentuh ujung gamisnya.
Ustadzah Aisyah terlonjak, kedua kakinya sontak turun dari sofa, menghentak lantai. Ia berdiri tegak. Begitu cepat.
“Umi!” Nana kembali berseru kaget. “Umi kenapa, sih?”
“Umi… Umi mau ke dapur. Bikin… bikin minum.” Kalimat itu keluar terbata-bata. Sekonyong ia berbalik dan melangkah cepat-cepat, nyaris berlari, menuju dapur.
“Bikinin saya juga, Ustadzah!” Darto berseru di belakangnya. “Yang manis. Saya suka yang manis-manis!”
***
Di dapur, Ustadzah Aisyah bersandar di meja konter. Kedua tangannya mencengkram pinggiran meja batu itu. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Napasnya memburu bagaikan sehabis berlari. Sambil memejamkan mata, Ustadzah Aisyah mencoba mengusir bayangan jemari itu. Tetapi Ia gagal.
Langkah kaki terdengar di belakangnya. Bukan langkah kaki kecil milik Si Kecil Tukang Rengek. Ini langkah kaki berat dan diseret-seret. Adalah Darto, berdiri di ambang pintu dapur, menghalangi jalan keluar.
“Saya bantu, Ustadzah.”
“Tidak perlu.” Ustadzah Aisyah berbalik, membelakangi Darto. Ia membuka lemari kabinet, meraih dua gelas. “Kamu kembali saja ke ruang tamu. Kasihan Nana.”
“Nana bisa main sendiri.”
Darto melangkah masuk. Ruang dapur itu sempit. Seketika terasa sesak. Ustadzah Aisyah membuka kulkas, mengambil botol sirup dan es batu. Ia merasakan Darto berdiri tepat di belakangnya.
“Minggir, Darto.”
“Kenapa, Ustadzah? Takut?”
Darto tidak minggir. Sebaliknya, ia melingkarkan kedua tangannya; menempatkan kedua telapak tangannya di meja konter, di kedua sisi tubuh Ustadzah Aisyah. Perempuan alim itu kini terperangkap. Terkurung di antara tubuh Darto di belakang dan meja konter di depan.
“Umi! Om!” Suara Nana terdengar lagi, kini lebih dekat. “Mainnya di dapur aja, ya?”
Jantung Ustadzah Aisyah serasa melompat ke tenggorokan.
“Jangan kesini, sayang!” seru Ustadzah Aisyah, melengking panik. “Umi… Umi lagi numpahin… sirup! Lantainya lengket! Nana di sana saja!”
“Oh… oke, Umi!” Si Kecil Nana kembali menjauh.
Ustadzah Aisyah masih membelakangi Darto. Terkurung dalam lingkaran tangan Tukang Galon itu.
“Ustadzah bohongnya pinter juga,” Hembusan Nafas Darto di telinganya, membikin bulu kuduk Ustadzah Aisyah meremang.
Kemudian, ia merasakan sesuatu yang keras menekan punggung bawahnya, tepat di belahan pantatnya. Darto menggesekkan kemaluannya yang sudah tegang dari balik celananya.
“Darto… jangan…” Ustadzah Aisyah merintih.
“Jangan apa, Ustadzah?” Tangan kanan Darto bergerak dari meja konter. Kemudian mendaratkannya di pinggul Aisyah. Meremasnya.
“Sesuai janji, kan?” katanya lagi. “Hari ini Ustadzah yang di atas.”
Tangan Darto yang lain bergerak ke perut Ustadzah Aisyah. Merayap naik, mencari kaitan bra dari balik gamis. Ustadzah Aisyah terkesiap, ia mencoba memutar tubuhnya, tetapi cengkeraman Darto di pinggulnya terlalu kuat.
“Di sini… sempit,” kata Ustadzah Aisyah, mencari alasan apa saja. “Nana… Nana bisa lihat.”
“Justru itu serunya, Ustadzah.”
Tangan Darto di perutnya sekonyong bergerak ke bawah. Untuk kemudian menyelusup ke dalam gamisnya dari ujung bawah, merayap naik di sepanjang betisnya yang telanjang. Ustadzah Aisyah memekik tertahan. Ia tidak mengenakan celana dalam. Kenapa? Ia pun tak tahu.
Jemari itu kini telah mencapai pahanya. Kemudian Ustadzah Aisyah mendesah. “Darto…” katanya. Tubuhnya luruh. Lututnya lemas. Ia akan jatuh jika Darto tidak menahan pinggulnya.
“Udah basah lagi,” Darto terkekeh. Jemarinya kini telah mencapai bibir kemaluan Ustadzah Aisyah. Ia tidak ragu. Dua jarinya langsung menusuk masuk ke dalam lubang yang licin itu.
“Nnggh!” Ustadzah Aisyah membekap mulutnya sendiri dengan tangan yang bebas. Matanya terbelalak, menatap dinding dapur di depannya. Kepalanya tersentak ke belakang, membentur dada Darto.
Darto mulai menggerakkan jari-jarinya. Keluar-masuk. Cepat dan kasar.
“Om! Umi!” Suara Nana terdengar lagi. “Nana bosen!”
Darto menghentikan gerakan jarinya, tetapi tidak mengeluarkannya. “Jawab, Ustadzah,” perintahnya.
Ustadzah Aisyah terisak, air mata mengalir di pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan suaranya. “I-iya, sayang… Sebentar lagi… Umi… Umi lagi…”
“Lagi apa, Umi?”
Darto memutar jarinya di dalam. Ustadzah Aisyah menggigit bibir bawahnya hingga nyaris berdarah.
“Lagi… bikin kue!” pekiknya.
Darto tertawa pelan di belakangnya. Ia menarik jari-jarinya keluar. Suara plop basah terdengar. Ustadzah Aisyah terkulai lemas, bersandar sepenuhnya pada tubuh Darto.
“Ustadzah nurut, ya,” kata Darto sebelum kemudian membalik tubuh Ustadzah Aisyah dengan paksa, sehingga kini perempuan itu menghadapnya. Darto menatapnya sejenak. Kemudian, ia membuka resleting celananya. Ia tidak melepaskan celananya. Ia hanya mengeluarkannya. Kemaluan berbulu lebat itu menyembul, tegang dan basah.
“Janji kemarin,” kata Darto. “Ustadzah di atas.”
Ia tidak menunggu jawaban. Darto sekonyong mengangkat Ustadzah Aisyah, mendudukkannya di atas meja konter. Gamis perempuan itu tersingkap hingga ke pinggang.
“Darto, jangan! Ini… ini meja…” Ustadzah Aisyah panik, sambil mencoba bergeser mundur.
Darto menahan kedua pahanya, membukanya lebar-lebar. Ia berdiri di antara kedua kaki Ustadzah Aisyah yang terjuntai.
“Posisi Ustadzah sudah di atas,” katanya. Ia memegang kemaluannya, mengarahkannya ke lubang vagina Ustadzah Aisyah yang terbuka dan basah. “Sekarang… masukin.”
Ustadzah Aisyah menggeleng hebat. “Engga… engga…”
“Masukin,” Darto menggeram. Kemudian meraih tangan Ustadzah Aisyah, memaksanya memegang kemaluannya sendiri. “Atau saya yang masukin. Tapi saya gak bakal pelan-pelan.”
Di ruang tamu, Si Kecil Nana mulai bernyanyi. Lagu anak-anak yang riang.
Dengan pasrah, Ustadzah Aisyah memegang benda keras dan panas itu, mengarahkannya, dan mendorong pinggulnya ke depan.
Sungguh ia memasukkan kemaluan Darto ke dalam tubuhnya sendiri.
“Aah…” Desah itu lolos begitu saja. Membuatnya segera menutup mulutnya. Dirasainya tubuhnya terasa penuh dan sesak.
Darto tersenyum puas. Ia meletakkan kedua tangannya di pinggul Ustadzah Aisyah.
“Mulai,” perintahnya.
“Ap-apa?”
“Gerak. Naik-turun. Ustadzah yang pegang kendali?”
Ustadzah Aisyah membuka matanya. Ketika ia menatap Darto, terdapat kebencian di sana, tetapi juga ada sesuatu yang lain. Setelah menghirup udara, Kemudian, ia mengangkat pinggulnya sedikit, lalu menurunkannya kembali.
Satu kali.
Dua kali.
Setiap gerakan terasa menyakitkan sekaligus… ia tak tahu. Ia hanya menuruti perintah.
“Nana!” Darto tiba-tiba berseru.
Ustadzah Aisyah membeku, kemaluan mereka masih menyatu.
“Iya, Om?”
“Kata Umi bawa Lego lagi dari kamar Nana! Coba Nana cari, ya! Yang warna biru!”
“Oke, Om!” Terdengar suara langkah kaki Nana berlari menjauh.
“Pinter,” bisik Darto pada Ustadzah Aisyah. “Sekarang kita punya waktu.”
Ia mencengkeram pinggul Ustadzah Aisyah lebih erat. “Lebih cepat, Ustadzah. kita gak punya banyak waktu.”
Ustadzah Aisyah mulai bergerak lebih cepat. Naik dan turun. Tubuhnya yang terbalut gamis bergesekan dengan kaus kotor Darto. Suara decit kulit bertemu kulit mulai terdengar, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas yang ia lupakan.
Darto mencondongkan tubuhnya ke depan. Mulutnya mencari dada Ustadzah Aisyah. Ia menyibak gamis dan bra-nya, lalu melahap puting perempuan itu.
“Nghh… Darto… ja-jangan…” Ustadzah Aisyah terengah-engah. Ia memegangi bahu Darto untuk menjaga keseimbangan. Ia tak bisa menahannya lagi. Dapur ini terlalu terbuka. Suara Nana bisa terdengar kapan saja. Tetapi sensasi putingnya yang dihisap kasar sementara kemaluannya ditusuk dari bawah sungguh membuatnya tak alang merasa nikmat.
“Saya mau… keluar…” geram Darto.
“Jangan di sini!” pekik Ustadzah Aisyah panik. “Jangan di dalam! Darto!”
Tetapi Darto tidak mendengarkan. Ia malah mencengkeram pinggul Ustadzah Aisyah, menahannya agar tidak bergerak, sementara ia sendiri menghunjam ke atas berkali-kali.
Ustadzah Aisyah menjerit. Tetapi ia tidak orgasme. Tepat ketika ia merasa akan meledak, Darto berhenti.
Pemuda itu menarik kemaluannya keluar.
Seketika.
“Hah… hah…” Ustadzah Aisyah terengah-engah, tubuhnya luruh ke depan, bersandar di dada Darto. Nyaris ia pingsan. Darto, anehnya, tidak memuntahkan cairannya. Masihlah pula kemaluannya tegang. Kemudian ia terkekeh. Merasa puas akan Kebohongannya, yang untuk menakut-nakuti Ustadzah AIsyah.
“Di sini kurang enak, Ustadzah.” katanya. “Terlalu terburu-buru.”
Kedua tangannya berada di ketiak Ustadzah Aisyah. Berangsur-angsur diturunkannya Ustadzah Aisyah dari meja.
“Om! Gak ada yang biru!” Suara Nana kembali terdengar, mendekat.
Darto dengan cepat merapikan gamis Ustadzah Aisyah. Kemudian menarik perempuan itu, mendorongnya ke sudut, di antara kulkas dan dinding, bersembunyi.
“Tadi Umi Nana bilang begitu!” Darto berjalan ke pintu dapur, menghalangi pandangan Si Kecil. “Kayaknya Om salah denger deh.”
“Om, kok, keringetan?” Nana bertanya polos.
“Panas, Nana. Dapur Umi panas sekali.” Darto tertawa. “Ayo kita kembali ke ruang tamu. Om haus.”
Darto menoleh ke belakang, ke sudut tempat Ustadzah Aisyah bersembunyi.
“Ustadzah,” panggilnya. “Minumnya.”
Ustadzah Aisyah, dengan sisa tenaga yang ia punya, mendorong dirinya dari dinding. Kemudian berjalan bagaikan mayat hidup. Mengambil gelas yang tadi ia siapkan, menuangkan sirup dan air dengan tangan yang bergetar hebat. Es batunya sudah mencair. Lalu membawa nampan itu ke ruang tamu.
Darto dan Si Kecil Nana sudah kembali duduk di karpet. Darto mengambil gelas itu dari tangan Ustadzah Aisyah. Sekejap meminumnya sekali teguk. “Ah… segar,” desahnya. Ia meletakkan gelas itu. “Nana,” katanya.
“Iya, Om?”
“Om capek main di lantai. Kita main di kamar Nana, ya? Di sana ada tempat tidur, kan? Om bisa main sambil tiduran.”
Nana bersorak. “Ayo! Ayo!” Ia bangkit dan berlari lebih dulu menuju kamarnya.
Darto berdiri di hadapan Ustadzah Aisyah, yang masih mematung memegang nampan. Pemuda itu tidak berkata apa-apa. Kemudian, ia mengulurkan tangannya.
Bukan untuk meminta sesuatu.
Itu adalah ajakan.
Atau mungkin, perintah.
Ustadzah Aisyah menatap tangan yang baru saja menjamahnya itu, yang baru saja menusuknya di dapurnya sendiri.
“Umi! Om!” Suara Nana terdengar kecil dari kejauhan. “Ayo!”
Darto masih menunggu.
Tangannya masih terulur.
Ustadzah Aisyah menelan ludah. Diletakannya nampan di atas meja. Kemudian, perlahan, ia mengangkat tangannya. Dan ia meletakkannya di atas telapak tangan Darto.
Pemuda itu menggenggamnya erat.
“Ayo, Ustadzah,” katanya. “Kita selesaikan janji yang kemarin.”
Demikian, ia menarik Ustadzah Aisyah, menuntunnya melewati ruang tamu, menuju kamar Si Kecil Nana.
Menuju dosa berikutnya.