USTADZAH AISYAH – Part 11

Sungguh selama dua hari ini Ustadzah Aisyah dibikin gelisah oleh permintaan Darto. Ia telah bersumpah akan menuruti permintaannya, akan tetapi, memerawaninya, adalah hal yang tidak bisa ia bayangkan. Ia tak pernah berpikir akan melakukan itu. Lubang itu tempat keluarnya tai. Memasukan kemaluan Tukang Galon itu—selain rasa sakit yang ia bayangkan—ke dalam lubang duburnya, membuatnya tak ubahnya seekor binatang.

Andaikata ia menolak, ia telah melanggar sumpahnya. Dan ia tidak seperti itu. Andaikata dia menerimanya, ia bahkan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada tubuhnya. Barangkali akan pingsan. Atau justru sebaliknya. Membayangkan itu saja membikinnya merinding.

Akan tetapi Darto bilang akan melatihnya. Bermaksud tak`langsung menyodominya, melainkan melalui tahap-tahap tertentu. Kata Darto, dia akan mengoleskan cairan pelumas dan mencoba dengan jarinya terlebih dahulu, kemudian jika Ustadzah Aisyah telah terbiasa, dia akan menggunakan dua jarinya, kemudian tiga, dan seterusnya. Akan tetapi, Ustadzah Aisyah sewaktu itu, tidak langsung mengiyakan. Ia meminta waktu untuk memikirkannya. Dan Darto terus berkata bahwa Ustadzah AIsyah tidak bisa menolak.

Demikian hari-harinya dihantui oleh bayang-bayang dirinya di sodomi, ketika ia tidur, mandi, membereskan rumah, dan menjemput Si Kecil Nana. Sebab itu suaminya kerap mendapatinya termenung dengan wajah meringis, sehingga membuatnya buru-buru merubah roman wajahnya, dan berkata bahwa ia sedikit capai.

Sekali waktu ketika mandi, Ustadzag Aisyah mengoles sabun ke duburnya, kemudian mencolok duburnya dengan jari kelingkingnya, sehingga keluar jerit sakit dari bibirnya yang terendam oleh gemercik air. Menggunakan jari saja sakit, pikirnya, bagaimana menggunakan penis yang besar seperti kepunyaan Darto.

Selain itu, Zubaidah terus saja mengejarnya. Seperti yang terjadi sore ini, sehabis berceramah kala biasa.

“Saya mau menagih janji saya, Ustadzah,” berkata Zubaidah, sekonyong menghampirinya. “Saya penasaran.” Dan penuh goda ia tersenyum.

Jika sudah begini, Ustadzah Aisyah tidak bisa lagi menolak. Demikian pada akhirnya keduanya kembali ke masjid dan duduk di satu bangku di samping beduk. Cukup lama Zubaidah berbasa-basi. Sebelum kemudian menampakan niatnya.

“Jadi, Ustadzah, apa yang terjadi?” Kata Zubaidah.

Ustadzah AIsyah menunduk. Tenggorokannya tercekat. Tak tahu harus mulai dari mana. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyakinkan dirinya sendiri, kemudian ia ungkap suara:

“Kemarin Darto datang lagi,” Katanya pelan.

Zubaidah membenarkan posisinya, menghadap Ustadzah Aisyah.

“Terus, terus, apa yang terjadi, Ustadzah?”

“Kami melakukannya.”

“Melakukannya?”

“B-berzina.”

Meneguk ludah Zubaidah. Kemudian ia meminta detail spesifik apa yang telah mereka lakukan. Meskipun Ustadzah Aisyah berusaha untuk mengelak, akan tetapi ceketan Zubaidah merundungnya.

“Ia datang ke rumah saya, pukul sembilan. Tetapi kala itu ia menyuruh saya menggunakan gamis ini,” Ustadzah AIsyah menyentuh gamisnya. “Ia mempunyai keinginan untuk menyetubuhi saya seperti itu. Kemudian…” Ia menceritakan yang sesungguhnya, meskipun agak malu dan terbata-bata. Zubaidah mendengarkan seksama. “Hari itu, entah kenapa, saya merasa menerimanya, Zubaidah. Mungkin kamu bakal memandang saya sebagai perempuan lalim dan munafik. Meskipun itu memang benar. Dan saya tidak mengelak akan hal itu. Saya bahkan menerima semua yang dilakukan oleh Darto. Saya menikmati bagaimana ia menyentuh saya. Ketika ia mencium saya, memberi tanda di tubuh saya, atau bahkan ketika ia melakukan hal-hal yang tak pernah saya lakukan dengan suami saya.” Sekonyong ia menyeka segumpal air yang hendak turun dari kelopak matanya. “Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan saya, Zubaidah. Di lain sisi, saya merasa bersalah. Akan tetapi, di lain sisi pula saya tidak mau berhenti. Saya ingin terus berhubungan dengan Darto. Ia membuat saya merasa seperti perempuan pada umumnya. Bukan hanya tentang seks, melainkan tentang hal lain. Bahwa saya ini berhak memilih. Mungkin terdengar aneh keluar dari mulut seorang alim seperti saya.” Pertama kalinya ia melihat Zubaidah dengan senyum kecil di bibirnya. “Darto tidak pernah mengancam saya untuk terus bersetubuh dengannya. Tidak pernah sama sekali. Dan saya menghargai itu. Dari awal, bahkan saya tidak benar-benar berniat untuk menghentikannya. Saya merasa kehadirannya sebagai warna, atau hal lain yang menjelma rasa bahagia. Meskipun, di lain sisi, ia suka menghina saya.”

Sebagai sesama perempuan, Zubaidah mengerti banyak-sedikit yang dirasakan oleh perempuan di sampingnya itu. Kemudian, sekonyong-konyong ia menghambur memeluk Ustadzah Aisyah. Mengusap punggungnya dengan lembut. Setelahnya ia berkata dalam satu kesan bersahabat, yang membikin Ustadzah Aisyah merasa perempuan ini bukanlah ancaman:

“Menjadi perempuan memang sulit, Ustadzah. Kita dipaksa untuk bertingkah sebagaimana anjuran. Bahwa perempuan tidak boleh memilih. Bahwa perempuan harus ini dan itu. Sulit sekali. Kita tidak bisa memilih bagaimana kita ingin mau. Seolah-olah hidup kita diatur oleh semacam aturan yang keji dan bersifat final. Akan tetapi, saya tidak sepenuhnya menyalahkan Ustadzah. Toh, saya tidak merasakan apa yang dirasakan oleh Ustadzah. Meskipun saya tertarik untuk tahu dan mendengar hal-hal yang Ustadzah lakukan dengan Darto. Lebih daripada itu, saya cukup menghargai Ustadzah sebagai perempuan. Kita berhak untuk memilih akan bagaimana kedepannya. Pilihan kita, mungkin salah. Tapi, toh, siapa peduli?”

Daun-daun sawo berjatuhan. Angin melesat lumayan kencang. Untuk sesaat keduanya merasa saling memahami. Entah kenapa, Ustadzah Aisyah merasa Zubaidah terkekang pula, sama sepertinya. Sehingga ia bertanya, apa yang sesungguhnya terjadi kepada Zubaidah ini. Cukup terhenyak ia ketika mengetahuinya. Demikian Zubaidah bercerita:

“Ayah saya selalu memaksa saya untuk menikah. Kata ia, umur saya sudah matang, dan seharusnya lekas memiliki suami. Saya pribadi, Ustadzah, sejujurnya belum mau terikat dalam hubungan seperti itu. Saya merasa diri saya ini, tak cocok untuk mengikrar dalam sumpah sehidup semati. Ayah saya, barangkali tidak tahu bahwa saya ini tak perawan lagi. Sudah pernah disentuh anak gadisnya. Toh, walaupun ia tahu, ia akan memukuli saya, dan memaki saya. Sebab tak lain adalah calon suami saya, yang berasal dari kalangan terdidik. Justru itu yang membuat saya takut. Andaikata ia mengekang saya, saya hanya bisa menurut. Lagian saya dan calon suami memiliki perbedaan dalam bersikap. Seperti misalnya, ketika ia berkunjung menemui orang tua saya, ia tampak takzim, dan berkata bahwa jika telah menikah, ia tak akan membiarkan saya bekerja. Patriarki, lelaki itu. Dengan begitu, saya tidak bisa mengajar lagi. Ayah saya, setuju sekali. Bahkan ia menanggapi itu dengan meriah, seolah-olah sejalan dengan pikirannya.” Zubaidah sesekali berhenti. Wajahnya terlihat memelas. Kemudian melanjutkan, “Sekarang tersisa dua bulan lebih sebelum hari pernikahan terjadi. Hari ke hari saya semakin bingung, apakah pilihan saya salah atau tidak. Andaikata saya menerima, apakah saya bisa menjalani pernikahan ini. Barangkali nantinya saya akan seperti Ustadzah; berzina dengan lelaki lain. Saya menyadari gejala itu akan terjadi kepada saya. Boleh dibilang saya ini perempuan nakal. Saya melepas keperawanan saya dengan murid saya sendiri. Bahkan sekali waktu saya masih melakukan dengannya. Di toilet sekolah, di dalam kelas, atau tempo waktu saya diajaknya ke rumahnya. Demikian ketika ia mendengar saya mau menikah, ia marah dan sempat memprotes. Saya katakan kepada murid saya untuk menikahi saya. Akan tetapi, saya tahu bahwa itu tidak mungkin. Dia bilang, dia akan menikahi saya, tetapi menunggu beberapa tahun lagi. Oh, Ustadzah. Saya ini bukan perempuan bodoh. Ia sudah memakai saya sesuka hati. Andaikata ada perempuan yang lebih cantik daripada saya, dan lebih enak. Pastilah dia mencampakkan saya. Toh, umur saya juga semakin bertambah.”

Sepanjang perjalanan pulang, keduanya tenggelam dalam urusan masing-masing. Ustadzah Aisyah mendapati dirinya tak jauh berbeda dengan Zubaidah. Sebab terikat dalam satu pola yang sama pula, ia menyakinkan Zubaidah untuk menyakini pilihannya. Dalam satu kesan ia berkata bahwa ia sesungguhnya tidak pantas memberi nasehat. Tetapi Zubaidah menghargai itu.

Di simpang jalan, Zubaidah berkata bahwa Ustadzah Aisyah harus menceritakan lebih banyak hal lagi perihal hubungan seksnya dengan Darto. Ustadzah Aisyah kali ini tertawa penuh genit. “Kamu juga harus cerita perihal hubungan kamu dengan muridmu, Zubaidah,” katanya. Kemudian keduanya mengambil langkah masing-masing.

***​

Malam turun kala biasa. Lolongan anjing terdengar di kejauhan. Bulan terang di atas. Beberapa warga lalu-lalang di sekitar. Seperti hari-hari biasa, Ustadzah Aisyah makan malam dengan keluarga kecilnya. Si Kecil Nana berceloteh penuh riang. Sesekali telapak tangan mungilnya memukul meja bersemangat, menceritakan bagaimana hari-hari di sekolah. Sementara Farhan lebih banyak mendengar, kadang-kadang memuji si kecil dan mengusap kepalanya. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, ada rasa senang tak tertahan di wajahnya, seolah-olah menyimpan sesuatu.

Ustadzah Aisyah kepalang tahu gelagat itu. Bertanyalah dia. Lantas suaminya dalam satu senyum merekah berkata:

“Abi tadi ambil cuti, Umi. Dan ini perihal Nur. Abi terlambat kasih tahu Umi, kalau dia akan menikah minggu depan. Abi sendiri dikasih tahu mendadak.”

Farhan merasa istrinya akan gembira oleh kabar itu sebagaimana yang ia tahu bahwa istrinya begitu akrab dengan adiknya. Akan tetapi ia melihat wajah istrinya seperti tidak ada kerelaan. Tak seperti biasa, pikirnya. Barangkali sebab ia sedang sibuk dengan jamaahnya.

“Kemungkinan besok kita berangkat Umi.” katanya lagi. “Maaf mendadak banget Abi ngabarinnya.” dan ia terkekeh kecil.

Si Kecil Nana tampak mengerti dan bersorak riang. “Yeay! Jalan-jalan! Yeay!”

Ustadzah Aisyah termenung lama sekali, bahkan hingga makan malam usai. Terpenting baginya adalah cara memberitahu kepada Darto agar ini tak terlihat sebagai pengelakan.

“Umi? Mi? Umi?” Farhan menyentak lamunannya. “Gimana umi? Umi pasti ikut, kan?”

Si Kecil Nana melompat ke pangkuan uminya, berkata, “Liburan Yeay. Liburan. Yeay!”

Ustadzah Aisyah mengangguk pasrah.

***​

Ustadzah Aisyah tak bisa tidur. Pikirannya membentuk bermacaman-macam kemungkinan. Tentu saja ia bahagia atas pernikahan Nur. Akan tetapi kekasih gelapnya tidak bisa ditinggal begitu saja. Nanti pastilah Tukang Galon itu akan marah. Oleh karena itu Ustadzah Aisyah memutuskan untuk menghubungi Darto. Akan tetapi, kali ini tanpa berkirim pesan, melainkan menelpon langsung.

Keluar dari kamar secara hati-hari, ia menuju dapur dan menyalakan lampu. Kemudian menghubungi Darto. Tak butuh waktu lama terdengar suara Darto yang riang di ujung telpon.

“Ah, gimana, Ustadzah? Apakah besok saya bisa langsung ke rumah? Seperti biasa? Atau Ustadzah mau coba di rumah saya? He, He, He.”

Setelah memastikan dirinya mampu, Ustadzah Aisyah berterus terang sebagaimana` yang terjadi di meja makan tadi. Kemudian ia mendapati reaksi tak terduga oleh Darto yang bersuara tinggi, dalam satu kesan memaksa bahwa Ustadzah Aisyah tak boleh pergi. Dan bagaimanapun ia harus melayaninya.

“Ini urusan penting, Darto! Ia adik suami saya. Ini acara keluarga. Dan saya`harap kamu mengerti. Bukan bermaksud saya mau`ingkar. Ada urusan yang lebih penting.” Kata Ustadzah Aisyah.

“Berarti saya tidak penting Ustadzah?”

“Bukan begitu Darto.”

“Apakah Ustadzah berusaha menghindari saya?”

“Tidak begitu, Darto.”

“Bagaimana jika saya ke rumah Ustadzah? Dan lekas melakukannya? Ah, sepertinya itu ide bagus. Baiklah, saya berangkat sekarang Ustadzah.”

Sekarang pukul dua belas lewat delapan belas. Darto mematikan saluran, membikin Ustadzah Aisyah segera menghubunginya kembali. Akan tetapi tampak mustahil sebab ponselnya hanya berdering tanpa tanggapan. Oleh karena itu ia dirundung gelisah atas sikap Darto yang seperti ini. Beberapa menit kemudian ia menyadari bahwa Darto bersungguh-sungguh, Ustadzah Aisyah lekas kembali ke kamarnya, mengendap-endap mengambil jaket katun tipis dan`mengenakan hijab rumahan. Entah dapat keberanian dari mana dirinya sehingga mampu untuk keluar rumah, menunggu Darto di satu tempat yang sepi secara berhati-hati. Sunyi malam dan angin dingin membuatnya memeluk dirinya sendiri. Menggigil.

Demikian ia menunggu di sebuah Pos jaga tak terawat, mengumpat di pojok dalam sambil menepuk lengannya sebab digigit oleh nyamuk. Barulah kemudian ia bereaksi ketika terdengar suara motor yang kepalang ia kenal, untuk kemudian membuatnya keluar dari sarangnya, dan menyetopkan si pengendara.

Ketika Darto turun dari motor, belum sempat Ustadzah Aisyah memberi pengertian, tubuhnya ke buru terseret dan terdorong kuat sehingga ia terbaring di post berlantai kayu itu. Kemudian tubuhnya dibalik dengan paksa dan bibirnya ditutup rapat-rapat. Pantatnya digerayangi, dan dasternya disingkap, kemudian ia merasakan cangcutnya di tarik ke bawah.

Darto ternyata sudah menurunkan celananya, sehingga penisnya yang mancung dan tak terbalut cangcut langsung saja terlihat. Ia pegangi pantat perempuan alim ini yang memberontak sedemikian mungkin.

Nyamuk-nyamuk terganggu. Burung hantu di satu pohon melihat ke arah mereka. Bulir pasir terhempas oleh angin yang memang kencang, sehingga mereka bisa rasakan hawa dingin menusuk-nusuk.

Ustadzah Aisyah berusaha sebisa mungkin untuk tidak digagahi. Agak menyesal ia ketika akhirnya memutuskan untuk menggigit telapak tangan Darto kuat-kuat sehingga Tukang Galot itu menjerit.

“Saya tidak suka kamu kasar begini Darto!” Katanya dengan suara tertahan. Begitu ia mau melontarkan kalimat berikutnya, Darto sudah membalik dan menindih badannya. Ustadzah AIsyah tak bisa bergerak sebab tubuhnya terhimpit. Ketika ia menjerit sebab duburnya di korek oleh satu jari. Dikerahkannya lagi segala kemampuannya.

“Saya udah gak tahan Ustadzah. Ustadzah nikmatin aja. Mungkin ini sedikit sakit. Tapi saya bersumpah kalau nanti bakalan enak.”

Sekonyong-konyong Ustadzah AIsyah membelangak ngeri bagaikan melihat hantu paling menakutkan. Pucat wajahnya seluruh. Tubuhnya kaku seketika bagaikan mayat. Rasa sakit ini luar biasa. Sungguh luar biasa sekali. Sehingga tubuhnya secara refleks memberikan perlawanan yang sama mengerikannya pula.

Darto yang kepala penisnya sudah masuk di dubur Ustazah Aisyah, berusaha untuk menenggelamkan lebih dalam. Akan tetapi tubuh itu meronta-rontah sehingga kepala penisnya kembali tertarik. Kemudian ia paksakan lagi. Cukup susah sebab lubang itu sempit bukan main. Bahkan ia perlu berkali-kali mengulangi dengan tingkat kesusahan yang sama. Ketika kepala penisnya masuk, satu tangannya mencoba mendorong lebih dalam lagi. Akan tetapi, ketika penisnya masuk seperempat terasa bahwa dubur itu seperti buntu oleh sesuatu. Untuk kemudian ia tarik lagi kemaluannya dan meludahi lubang dubur Ustazah Aisyah yang berkedut. Sementara si pemilik dubur agaknya mau pingsan, meskipun sebisa mungkin ia terus melawan.

Darto yang tak sabar kembali memasukan kemaluannya. Susah betul. Ketika ia mencoba untuk mencolok dubur itu dengan jari kelingkingnya, ia rasakan bahwa jarinya terasa penuh lendir. Demikian ia mendapati cairan kuning lengket di jarinya dan berbau tak sedap. “Ustadzah berak,” katanya. Namun seketika ia mematung kala dilihatnya Ustadzah Aisyah menangis dengan mata terbuka bagaikan orang mati. Menakutkan. Seperti hantu. Melihat itu Darto pikir Ustadzah Aisyah telah menjadi jasad. Untuk memastikan, ia dorong pelan tubuh itu. Barulah kemudian samar-samar terdengar suara dari perempuan alim ini:

“Terkutuk kamu, Darto.”

Penuh tenaga kemudian Ustadzah Aisyah berbalik dan menendang kuat dada Darto sehingga pemuda itu terpental dan terduduk di atas tanah. Ketik bergerak Ustadzah Aisyah merasakan sakit yang luar biasa di duburnya, bahkan nyeri itu menjalar hingga ke perutnya. Cepiritnya tumpah sedikit, mencecer di pantat mulusnya. Setelah mengenakan cangcutnya, dihampirinya Darto yang memandangnya dengan pesona terkaget.

Sekonyong-konyong Ustadzah Aisyah menendang kaki Darto berkali-kali sambil menangis tertahan. Kini ia tidak peduli lagi oleh siapapun yang mendengar atau siapapun yang keluar. Meraung-raung pula ia. Menggigit bibir bawahnya hingga kulit itu terkelupas dan mengeluarkan darah.

“Saya benci kamu. Benci kamu. Sangat-sangat benci kamu. Betul-betul membenci kamu.”Ia tergagap. Dadanya meluap-luap. Pipinya banjir oleh tangis. “Kamu perlakukan saya serupa binatang, Darto.” Sebelum ia melangkah dengan terpincang, segenggam pasir dilemparnya ke arah Darto, dan berkata dengan lirih, “Seharusnya jika kamu mencintai saya, tidak kamu perlakukan saya seperti ini. Dasar bodoh. Tak tamat sekolah. Bodoh. Darto Bodoh. Bodoh Darto!”

***​

Setelah membasuh duburnya yang terasa masih nyeri, Ustadzah Aisyah kembali ke kamar. Di tengah pintu ia lihat suaminya masih tertidur. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apa yang telah ia lakukan selama ini terhadap suaminya. Adakah ia merasa bersalah oleh karena itu. Atau ia merasa begini sebab mendapati bahwa`Darto memperlakukannya dengan buruk. Ia terus bertanya-tanya.

Disentuhnya wajah suaminya. Wajah pulas dan tenang itu tampak membuatnya demikian tertusuk-tusuk. Kemudian ia berbaring di atas ranjang. Ditatapinya wajah lelaki yang memberinya satu anak itu sambil mengingat bagaimana suaminya memperlakukannya dengan lembut. Bahkan tidak pernah meminta hal-hal aneh ketika bercinta. Terpikir untuk menyodominya pun tidak. Sama sekali tidak. Perlakukan lembut suaminya, sentuhan yang selalu dikawal oleh perasaan, dan perlakuannya. membuatnya tampak melankolis.

Dikecupnya pipi suaminya.. Sakit dadanya ketika ia berusaha memahami apa yang terjadi; ketika suaminya bekerja untuknya dan Si Kecil Nana, ia malah bersuka cita digoyang Tukang Galon itu; ketika suaminya menyentuhnya dengan lembut, ia merasa jijik sebab baginya hanya Darto yang boleh menyentuhnya seseorang; ketika suaminya meminta bercinta ia tolak sebab baginya kemaluannya hanya untuk kemaluan Darto yang bisa mengoyak-ngoyaknya. Ia berfikir apa yang telah ia lakukan sungguh tak bisa dimaafkan; tentu saja ia seorang alim.

Keluar dari kamarnya ia masuk ke dalam kamar si Kecil. Tampak Si Kecil Tukang Rengek mengeler sambil memeluk boneka kucing. Menggemaskan sehingga ia tersenyum kecut. Dijatuhkan tubuhnya di samping si kecil dan memeluknya dan mengelus rambutnya. Dikecupnya dalam satu kecupan hangat yang lama. Kepada dirinya ia katakan bahwa bodoh sekali ia sebab bisa-bisa bercinta kala si Kecil di depan pintu tempo lalu. Apa yang terjadi jika si Kecil Tukang Rengek ini melihatnya begitu. Sebagai seorang ibu ia telah gagal.

Pelukannya ia eratkan. Kepalanya ia tempelkan di rambut Si Kecil Nana, menguselnya bagaikan si kecil adalah kucing. Untuk waktu yang cukup lama ia melakukan itu terus menerus. Hingga ia terlelap dan tertidur dengan genang air di pelupuk matanya.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *