USTADZAH AISYAH – Part 12

POV AISYAH

Sepanjang hari saya mengurung diri di kamar. Saya merasa bahwa diri saya demikian kotor dan tidak bisa lagi dipulihkan. Siapakah saya sekarang ini, saya tidak tahu. Saya seolah-olah tercangkul di sebuah tempat yang asing dan gelap.

Pagi tadi saya menolak ajakan suami saya untuk mendatangi pernikahan Nur, adiknya. Dia bertanya-tanya kepada saya. Katanya, apa yang terjadi kepada saya. Saya jawab dengan kebohongan bahwa saya ini mengalami gangguan kepribadian, dan Psikiater saya mengatakan, dalam beberapa waktu ini, tidak boleh bepergian terlebih dahulu. Agar menyakinkan, saya menangis di pelukannya, kemudian saya meminta maaf karena tidak memberitahunya. Kata saya, saya malu kalau orang tau saya mengidap gangguan jiwa. Dia mengelus kepala saya sebagaimana biasa.

“Pantesan umi selama ini sering termenung dan gelisah,” kata dia sambil mengeratkan pelukannya. “Maaf Abi gak terlalu Peka.”

Kemudian dia bersikeras untuk tidak pergi ke pernikahan adiknya. Kata saya, saya hanya perlu beristirahat. Dia tidak perlu mengkhawatirkan saya. Dia berkali-kali mengatakan bahwa dia akan menemani saya. Akan tetapi, ketika saya mengatakan bahwa Zubaidah akan menemaninya saya, dengan roman wajah tidak rela, pada akhirnya dia menyetujui usul saya. Bersama si Kecil Nana dia berangkat dengan segala persiapan yang telah saya siapkan. Di tengah pintu, saya cium keduanya. Kata saya, hati-hati, dan sampaikan salam saya kepada ibu dan ayah, serta Nur dan calon suaminya. Dengan berat hati, kata saya, saya tidak bisa datang. Ketika suami dan anak saya telah pergi, tercangkul saya di kamar. Mengurung diri di balik selimut.

Kejadian semalam masih bergentayangan. Saya masih tidak menyangka bahwa Darto akan memperkosa saya, dan memaksa saya bagaikan saya perempuan murahan. Maksud saya, saya pasti akan memberinya perawan saya, akan tetapi, janganlah paksa saya ketika belum siap. Selain itu, rasa sakit yang ditorehkan di tubuh saya, sungguh masih berbekas. Bahkan ketika saya buang air kecil, saya rasakan dubur saya terbuka sedikit, dan ada semacam udara yang keluar dari sana. Pastilah sebab dubur saya sudah dilonggarkan oleh dia.

Akan tetapi, saya merasa bahwa hidup saya belumlah berakhir. Biasanya, jika dalam keadaan rumit, saya akan membaca Quran. Demikian kemudian saya terhempas di ruang tamu dengan Kitab ini di pangkuan saya. Saya buka Surah Az-Zumar, ayat 53. Demikian berbunyi:

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'”

Ketika membaca itu, seolah-olah Tuhan sedang berbicara kepada saya. “Aisyah, bertobatlah. Kamu telah melampaui batas. Dan sungguh Saya ini Maha Pengampun.” Akan tetapi. Dia juga “Maha Mengetahui”, dalam artian lain, Dia tahu bahwa saya akan melakukan ini, dan juga apa yang akan saya lakukan ke depannya. Dengan demikian, kenapa Dia menelantarkan saya di posisi saat ini. Seharusnya sedari awal Dia menolong dan menjauhkan saya dari marabahaya dan hal-hal yang Dijauhi-Nya.

Saya tidak lagi menemukan ketenangan ketika membaca Surah ini. Entah kenapa, saya merasa dikhianati. Saya merasa bahwa diri saya seolah-olah ditinggalkan dan diacuhkan oleh-Nya.

Bukankah pengabdian saya seumur-umur kepada-Nya, seharusnya mendapatkan simpatinya. Semisal ketika saya berceramah tentang hal-hal baik kepada orang-orang, dan mengamalkan setiap ajarannya. Akan tetapi, saya mendapati bahwa diri saya dicampakkan; seolah-olah ini adalah jalan hidup yang saya tempuh.

Jika semua atas Kehendaknya, berarti dosa saya adalah Kehendaknya pula. Andaikata saya memiliki kehendak sendiri, berarti dia tidak Maha Kuasa. Sebab tidak ingin kecewa lagi kepada-Nya, saya tutup kitab ini. Saya taruh kembali di Rak kamar saya, kemudian merebahkan tubuh saya di atas kasur. Beberapa menit kemudian saya menghubungi Zubaidah. Saya rasa, saya perlu kawan berbicara.

Ketika Zubaidah menjawab panggilan saya, saya berkata, “Assalamualaikum, Zubaidah. Kamu bisa ke rumah saya? Suami dan anak saya pergi untuk sementara waktu. Andaikata kamu punya cukup waktu, saya persilahkan menginap untuk beberapa hari.”

Zubaidah menjawab: “Beberapa hari ini saya luang, Ustadzah. Mungkin jika bilang ke ayah bahwa saya menginap untuk meminta nasehat dari Ustadzah, pastilah ayah mengizinkan.”

“Saya tunggu, Zubaidah.”

Saya mematikan ponsel. Kemudian beranjak dan menuju kamar mandi. Melepaskan seluruh pakaian dan bertelanjang diri di bawah guyuran air. Saya sentuh leher saya, yang pernah ditandai lelaki itu. Untuk sesaat saya merasakan perih, sebagaimana yang pernah dia lakukan tempo lalu di kamar saya.

Ketika saya menyabuni pantat saya; saya merasakan sakit hati alih-alih penghinaan. Ketika kemaluannya memasuki lubang dubur saya, saya masih ingat bagaimana rasa sakit itu; seolah-olah tulang saya diremukkan satu persatu; dan ketika kemaluannya masuk lebih dalam lagi, ingin rasanya saya berteriak kepada siapapun untuk meminta pertolongan. Akan tetapi, lebih daripada itu, hati saya terasa ngilu, sebab tingkahnya, yang semena-mena terhadap tubuh saya. Dia berpikir bahwa tubuh saya adalah miliknya, dan karena itu, dia mempunyai hak untuk memperulah tubuh saya ini. Meskipun boleh dibilang begitu, akan tetapi dia tidak mempunyai hak untuk menyakiti saya. Agaknya, saya terlalu menaruh percaya dan bersimpati kepadanya.

***

Zubaidah datang siang hari. Dia diantar ayahnya, yang kepada saya mengucapkan terima kasih sebab mau menasehati anak gadisnya perihal pernikahan. Bahkan dia memberi saya amplop sebagai tanda terimakasih, yang kemudian saya tolak, sebab tidaklah saya untuk itu, melainkan untuk hal lain. Kata saya, kehadiran Zubaidah sudah lebih dari cukup, dan saya mohon untuk tidak memandang saya terlalu tinggi.

Kepada Zubaidah saya persilahkan duduk di ruang tamu. Dia membawa koper kecil berisi pakaiannya. Setelah saya pindahkan ke kamar, saya menuju dapur untuk membuat dua gelas jus jeruk, sebelum kemudian kembali ke ruang tamu.

Hal pertama yang dikatakan Zubaidah adalah mengenai kondisi saya. Perempuan ini seperti mengerti bahwa kedatangan dia adalah untuk mendengarkan keluh kesah saya. Saya tawarkan dia untuk minum terlebih dahulu, sebelum ke pembahasan. Kemudian saya katakan yang sejujurnya; apa yang terjadi malam itu, serta pernikahan Nur, dan apa yang saya alami hari ini.

Melihat bagaimana dia menyimak, saya merasa dihargai. Sesekali dia mengangguk sambil menyeruput Es Jeruk. Sekali waktu dia memotong dan bertanya, “Bagaimana perasaan Ustadzah ketika itu?” Saya jawab sejujurnya bahwa… selepas dari itu, dia agak marah menyumpahi Darto. Bahkan dia bisa membayangkan bahwa tubuh saya mengalami rasa sakit yang luar biasa.

“Saya tidak pernah berpikir bahwa Darto akan bersikap demikian, Zubaidah,” kata saya. “Saya pikir dia menghargai keputusan saya. Bukankah saya selama ini sudah menuruti permintaannya. Akan tetapi, yang kemarin itu, sungguh tidak bisa ditoleransi lagi.”

“Andaikata saya menjadi, Ustadzah. Pun akan melakukan hal yang sama. Saya merasa tindakan Darto sudah berlebihan. Dengan demikian, dia telah menyakiti Ustadzah. Dan saya rasa dia pantas untuk dihukum karena itu. Toh, semisal, Ustadzah mendiamkannya selama beberapa hari.”

“Saya berniat untuk tidak melanjutkan hubungan ini, Zubaidah,” kata saya dengan sedikit keraguan. “Saya merasa sudah terlampau jauh dan rasa bersalah di hati saya sudah penuh.”

“Apakah benar Ustadzah ingin berhenti? Saya rasa tidak. Saya rasa Ustadzah hanya mengelak dari rasa sakit itu. Seperti seorang perempuan yang dikecewakan. Untuk menutupi rasa sakit, Ustadzah berpikir bahwa tindakan paling masuk akal adalah mengakhiri semuanya. Namun, apakah itu benar-benar keinginan Ustadzah? Atau justru sebaliknya? Lagian, seseorang perlu dimaafkan atas kesalahannya yang pertama kalinya. Bukankah Ustadzah kerap mengatakan itu?”

“Ya,” kata saya. “Tetapi Zubaidah, saya kerap merasa bersalah kepada suami dan anak saya. Perasaan seperti itu, sungguh membuat saya kepikiran melulu.”

Saya melihat Zubaidah tersenyum aneh. Kemudian berkata, “Saya kadang pernah membayangkan seperti ini, Ustadzah. Ketika sudah menikah nanti, murid saya masih menyetubuhi saya, kemudian dia melakukan penghinaan terhadap saya; semisal dia bertanya; lebih kuat suami saya atau dia. Ketika membayangkan itu, saya merasa demikian terangsang alih-alih merasa bersalah.”

Perkataan Zubaidah, bukanlah sebuah pembenaran. Itu tidak membuat saya yakin. Sebaliknya, saya semakin ragu pada ambang ini. Meskipun benar yang dia katakan sebelumnya, dan saya tidak menyangkal bahwa sebenarnya saya masih ingin berhubungan dengan Darto. Akan tetapi tidak dalam kondisi yang seperti ini.

Zubaidah kemudian menghampiri saya dan menarik tangan saya untuk mengikutinya. Dia bertanya apakah saya punya uang atau tidak. Saya mengangguk.

“Mari kita berkeliling, Ustadzah,” katanya. “Seharian berada di rumah rasanya sumpek minta ampun.”

Saya menyetujui Usul Zubaidah, kemudian kami masuk ke dalam mobil. Atas kemauannya, saya persilahkan Zubaidah menyetir. Dia tampak girang. Sepertinya dia tidak pernah diperbolehkan membawa mobil. Kata saya, kita akan kemana. Dia hanya mengedipkan mata. Rahasia, katanya.

Saya biarkan dia membawa saya keluar dari kampung ini. Berbaur di jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan dan aroma aspal. Kemudian dia terus melaju. Sesekali berhenti di lampu merah. Kemudian dia berhenti di samping warung kelontong tepian jalan, “Minta uang, Ustadzah,” katanya. Saya kasih dia satu lembar uang seratus ribu. Beberapa menit kemudian dia kembali dan tersenyum kepada saya; menjulurkan kantong kresek hitam, dan saya agak heran ketika melihat satu kotak rokok di antara tumpukan jajanan lain. “Untuk siapa?” Tanya saya. Zubaidah hanya tersenyum. “Kamu merokok, Zubaidah?” Tanya saya lagi. Kemudian dia menancap gas. Saya menggeleng-geleng.

Setelah berkeliling tak tentu arah, kami berhenti di satu taman terletak di samping Rumah Sakit terbengkalai. Saya agak ragu sebab di seberang jalan terdapat Post pemberhentian bus. Tetapi Zubaidah mengatakan bahwa dia sudah sering kesini bersama muridnya. Agak ragu saya mengikutinya; kami mengambil duduk agak tersembunyi; melewati jeramba kecil yang dibawahnya terdapat kolam, dan duduk di bangku besi bercat merah; dikelilingi oleh pepohonan dan beberapa plang Dilarang Parkir di setiap pohon.

Zubaidah menggoyangkan kepalanya sambil tersenyum-senyum, mengingatkan saya kepada tingkah si kecil Nana. Kemudian dia mengeluarkan rokoknya, dan dari kantung celananya, dia keluarkan koreknya. Kepada saya dia tawarkan. Tentu saya menolak dengan mantap. Saya terus memperhatikannya, ketika bibirnya mengatup rokok, saya merasa aneh; saya tidak pernah melihat perempuan merokok. Akan tetapi, Zubaidah ini tampaknya acuh, dan ketika segumpal asap keluar dari mulutnya, kepada saya dia tersenyum. Kemudian sekonyong-konyong dia terbatuk-batuk. Membikin saya sontak tertawa kecil. Rupanya dia ini baru merokok hari ini. Kemudian sedikit malu dan kikuk dia berkata, “Saya mau coba-coba doang Ustadzah. Lagian merokok tidak haram, bukan?”

“Itu masih menjadi perdebatan, Zubaidah. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa apapun yang merusak tubuh, boleh dibilang haram. Tetapi, beberapa ulama mengatakan merokok adalah makruh.”

“Ustadzah sendiri berpendapat gimana?”

“Saya cenderung mengatakan bahwa merokok haram, sebab lebih banyak Mudaratnya daripada manfaatnya.”

Saya lihat Zubaidah mengangguk-angguk. Kemudian dihisapnya lagi rokoknya. Dari romannya, dia seperti menahan agar tidak batu-batuk. Saya tergelitik melihatnya.

Kemudian dia berkata bahwa dia merasa terkekang oleh agama yang selalu membuatnya merasa tidak bebas. Katanya, kenapa lelaki boleh merokok dan perempuan tidak; kenapa lelaki boleh beristri empat tetapi perempuan tidak. Itu tidak adil, kata dia. Saya katakan bahwa lelaki dan perempuan adalah setara; sebab kenapa seorang perempuan tidak boleh bersuami banyak, adalah karena perempuan hanya bisa mengandung satu benih. Dalam kesan bercanda, saya katakan, bagaimana jika perempuan memiliki empat suami, dan kemudian dia hamil; di antara keempat itu siapa yang menghamilinya. Kata Zubaidah, tinggal Tes DNA saja. Dengan demikian saya kembali tertawa.

“Bener, kok. Ustadzah. Bayangin Ustadzah punya dua suami; Darto dan Pak Farhan. Andaikata Ustadzah hamil, Ustadzah tinggal Tes Dna saja. Meskipun saya yakin itu anak pastilah kepunyaan Darto,” kata Zubaidah. Kemudian dia berbisik. “Darto pernah keluarin di dalam, Ustadzah?”

Saya mengangguk, sebab itu adalah kebenarannya. Namun saya menambahkan, “Sewaktu itu hari aman saya.”

Setelah itu Zubaidah mengajak berpindah tempat; dilanjunya mobil ke jalan raya. Sambil memakan Snack, saya ajak dia omong-omong banyak hal; kebanyakan perihal pernikahannya. Dari cerita Zubaidah, dia telah memutuskan untuk menikah; perihal hubungan dengan muridnya, dia akan terus lanjutkan. Saya hanya mengangguk, lagian saya tidak punya hak untuk menasehatinya. Kemudian dia bercerita lagi, andaikata nanti suaminya sibuk oleh pekerjaan, dia bisa menuntaskan hasratnya dengan muridnya. Katanya itu adalah ide bagus, dan saya harus menerapkannya.

Saya sendiri, belum memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan dengan Darto atau menyudahi. Saya bingung. Dan kebingungan ini menuntut saya untuk mencari jawaban.

***​

Zubaidah masuk setelah membayar karcis kepada Penjaga, kemudian meliuk mobil ke kanan, sebelum berhenti di satu Gazebo mengarah ke lautan lepas. Kemudian dia mengajak saya duduk di sana. Saya tudungkan kepala saya dengan telapak tangan sebab cuaca memang panas, dan menyusulnya. Bagaikan anak kecil Zubaidah riang sekali melihat lautan.

Sepoi-sepoi angin menyapu kami. Tampak pengunjung lain sedang menikmati jajanan di sepanjang warung; beberapa memilih berkumpul di satu wahana bermain. Banyak betul anak kecil di sana, sehingga mengingatkan saya kepada Si Kecil Nana. Ada juga yang bermain lukisan-lukisan; kebanyakan kanak-kanak dengan orang tua mereka. Sementara remaja-remaja sibuk di taman bermain di belakang kami. Juga beberapa muda-mudi duduk di tepian pantai dan di sepanjang Gazebo yang terbentang.

Saya lupa kapan terakhir kali saya ke pantai ini. Barangkali ketika Si Kecil berusia dua tahun. Menyantap makanan di Warung paling ujung Pantai ini sambil melihat si Kecil bermain Odong-odong. Farhan setiap minggu sore, pastilah akan mengajak saya dan Si kecil untuk ke sini, itu sebelum dia disibukan bekerja.

Sekelompok remaja bermotor terlihat tak jauh dari kami—saya yakin mereka masih Sekolah—tampak curi-curi pandang. Saya mulanya tidak yakin, namun Zubaidah menyenggol bahu saya, dan berbisik: “Lihat, Ustadzah. Mereka pasti berpikir kotor membayangkan kita.” Saya senggol bahunya. Kata saya, jangan berpikir begitu. Mereka masih anak-anak.

Tiba-tiba Zubaidah memanggil keempat remaja itu untuk kemari. Saya lihat mereka melangkah mendekat; salah satu di antara mereka melihat saya cukup lama dan tersenyum. Kemudian dua di antara mereka duduk di belakang saya. Zubaidah merenggangkan jaraknya dengan saya sehingga Remaja yang tersenyum kepada saya tadi langsung mengambil duduk di tengah. Sementara satunya di paling ujung dekat Zubaidah.

Saya menjaga duduk agar tetap rapat ke tembok. Lagian kenapa Zubaidah memanggil mereka. Bahkan dia meladeni obrolan pemuda-pemuda ini yang memanggilnya dengan sebutan kakak. Bahkan godaan mereka ditanggapinya dengan centil dan riang. Sementara saya semakin menempel di tembok. Remaja di samping saya agaknya menyadari itu, dan menarik duduknya semakin dekat dengan saya. Membikin saya semakin tidak nyaman. Apalagi beberapa pengunjung di tepian pantai dan terutama di Taman bermain di belakang kami, pastilah memperhatikan sekitar, dan andaikata memperhati kami. Dan tidak pantas bagi saya untuk berkumpul dengan remaja seperti mereka ini.

Kemudian Zubaidah menunjuk ke arah saya dan pemuda-pemuda ini sontak memperhatikan saya. Kata Zubaidah, siapa yang lebih cantik di antara kami berdua. Dengan nada centilnya dia berkata lagi bahwa harus memilih salah satu. Oleh tingkahnya saya semakin dibuatnya menunduk.

Dua remaja di belakang ternyata memihak saya. Kata mereka saya cantik dan ayu, serta terlihat menawan dan soleha. Sedikit tersipu, saya palingkan wajah. Sementara Zubaidah hanya mendapatkan satu suara dari remaja di sebelahnya, ternyata remaja di samping saya ini, juga memihak saya. Katanya, kakak ini lebih cantik. Andaikata dia tahu bahwa saya sudah memiliki anak dan suami.

Sekilas saya lihat Zubaidah tersenyum menggoda ke arah saya. “Kalau disuruh milih. Kalian pilih siapa untuk dijadikan istri?” Ketika saya hendak menghentikan Zubaidah dengan lirikan mata, Remaja di sebelah saya menoleh sehingga wajah kami saling berhadapan, membuat saya menarik kepala dengan kencang hingga terjedot di tembok. Menimbulkan reaksi kaget dari pemuda-pemuda ini dan saya yakin pemuda di sebelah saya menyentuh pundak saya, yang kemudian langsung saya tepis.

Setelah itu saya bangkit dan kepada Zubaidah saya berikan lirikan mata untuk segera kembali ke mobil. Pemuda-pemuda ini bertanya apakah saya dan Zubaidah mau ikut mereka ke tempat seberang paling ujung. Di sana ada warung, kata salah satu. Dengan sopan saya berkata, “Terima kasih. Tapi saya mau pulang. Mending kalian pulang dan belajar sungguh-sungguh. Kasihan orang tua kalian.” Dan saya tinggalkan mereka.

Di dalam mobil Zubaidah cengengesan. Suaranya dibuat-buat tampak kecewa ketika memprotes kenapa pemuda-pemuda itu lebih memilih saya dibandingkan dia. Saya hanya menggeleng-geleng. Setelah keluar dari Pantai Wisata, Zubaidah berkata, “Remaja tanggung seperti mereka pasti berpikir untuk mendekati kita. Jika kita biarkan lebih lama, yakin saya mereka akan meminta nomer ponsel kita. Meskipun kita memberitahu mereka bahwa kita telah menikah. Penuh keyakinan saya bahwa mereka akan tetap mengejar kita. Tak lain, mereka ingin menikmati tubuh kita. Remaja seperti mereka, Ustadzah, otaknya tak jauh dari selangkangan.”

“Terus kenapa kamu menggoda mereka, Zubaidah?” tanya saya. “Gimana kalau mereka bertindak tak senonoh?”

“Tinggal saya hajar mereka.” Zubaidah tertawa renyah. Saya dibuatnya ikut tertawa. Kemudian Zubaidah menjelaskan bahwa tujuan dia memanggil remaja-remaja tadi tak lain ada untuk mengisengi mereka.

“Menurut Ustadzah gimana?” tanya dia. “mengasyikan?”

“Sedikit.”

***​

Sesampainya di rumah awan telah gelap, disusul Adzan Magrib berkumandang. Saya buru-buru masuk ke dalam kamar. Sebelumnya saya mengajak Zubaidah untuk melaksanakan sholat berjamaah. Akan tetapi dia bilang dia sedang datang bulan. Demikian saya shalat sendirian, sementara dia asik menonton Tv di ruang tamu.

Barulah selepas Shalat saya menyusulnya. Terlihat dia memeluk bantal sofa dengan wajah antusias melihat Sinetron. Ketika saya duduk di sampingnya, dia masih fokus, sehingga saya menepuk bahunya dan buyar fokusnya. Saya bertanya kepadanya, apakah dia terganggu kalau saya mengaji. Dia mengatakan tidak. Demikian saya membuka Quran-an saya, dan mulai melantunkan ayat-ayat:

“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menyebabkan saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.'”

Ketika membaca bagian ini, sejenak saya berpikir. Andaikata perbuatan iblis adalah karena Tuhan, dengan kata lain Tuhan adalah penyebab Adam dikeluarkan dari surga. Dengan demikian, bukankah berarti semua kejadian telah ditetapkan oleh-Nya? Dengan demikian perbuatan saya sudah ditetapkan oleh-Nya pula. Dalam pengertian yang lebih mendasar, saya ini tak ubahnya boneka-Nya. Lantas untuk apa saya memilih A atau B, andaikata Dia telah menentukan bahwa saya akan memilih A atau B. Di mana letak kehendak saya.

Sepengetahuan saya, Iblis menggoda adam untuk menyetubuhi hawa. Dalam konsep ini, persetubuhan belum diperkenalkan atau dianjurkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan murka dan menurunkan Adam ke bumi sebelum pada waktunya. Sesungguhnya Bumi memang diciptakan untuk anak-anak Adam.

Versi lain mengatakan bahwa Iblis menyuruh adam memakan buah “Pengetahuan”. Dan ketika Adam memakan buah itu, dia memiliki pengetahuan yang luar biasa, sehingga dia mempertanyakan “Tuhan” atau “Ketuhanan” itu sendiri. Lantas kemudian dia dihukum. Akan tetapi, pertanyaan paling mendasar adalah kenapa Tuhan membiarkan itu semua terjadi sementara Dia mengetahui segalanya. Kemudian saya bertanya kepada Zubaidah, untuk meminta dia punya pendapat. “Sebab Tuhan “Maha.” dan sebab itu Dia melakukan apapun yang Dia mau,” katanya. “Dan sebab pikiran kita tak bisa menyentuhnya. Kita tidak bisa menjawab itu. Atas karena apa atau bagaimana dan seterusnya, itu perihal keyakinan. Saya pribadi tidak yakin akan konsep yang seperti ini.”

“Kenapa kamu tidak yakin, Zubaidah?” Tanya saya. Saya merasa obrolan ini semakin menarik.

Kemudian saya mengetahui bahwa Zubaidah lulusan sastra Inggris. Oleh karena itu dia menjelaskan maksudnya dalam kisah Mahabarata. Demikian dia berkata:

“Epic Mahabarata tidak lebih dari kajian tentang Darma dan Adharma. Tentang bagaimana konsep Darma itu sendiri bekerja. Saya sendiri, Ustadzah. Tidak mengatakan apakah Pihak Kurawa jahat, dan sebaliknya. Dalam konsep ini bahkan Pandawa melakukan tindakan “melanggar” dalam perang. Sebagaimana Bima melanggar aturan duel Gada terhadap Duryudana. Dan beberapa hal lainnya; seperti misalnya Kresna memerintahkan Pandawa untuk menyerang Kurawa di malam hari.”

Sebelum Zubaidah melanjutkan, saya memotong. “Kehadiran Kresna juga termasuk ketidakadilan,” kata saya, tampak antusias.

“Akan tetapi, ketiadaan Kresna juga ketidakadilan. Jika tidak ada Kresna. Bisma Yang Agung dan Drona, barangkali tidak bisa dikalahkan. Sedari awal Kresna sudah mengetahui bagaimana peperangan akan mengalir. Toh, dia Tuhan. Dia yang menciptakan, dia pula yang menghidupkan. Dengan kata lain, fungsi Kresna tak lebih untuk mengajarkan Darma kepada pihak Pandawa—atau seluruh manusia. Akan tetapi, yang mengenaskan adalah, bagaimana Dia pula menghancurkan Darma itu sendiri. Dia dengan terang-terangan hampir membunuh Bisma disebabkan Arjuna yang enggan menarik panahnya. Andaikata Dia melakukannya, bukankah Dia melanggar sumpahnya untuk tidak mengangkat senjata. Lantas di mana letak darmanya?”

Sedari kecil, saya sudah sering menonton wayang Mahabarata. Bahkan Abi, kerap mendongengkan kisahnya sebelum tidur. Maka setiap bagian, saya hafal di luar kepala. Kepada Zubaidah, saya katakan demikian:

“Kresna melanggar sumpahnya, sebab Andaikata tidak, berarti Dia membiarkan Adharma yang menang. Baginya Darma adalah yang utama. Oleh sebab itu Dia melanggar sumpahnya.”

“Betul Ustadzah,” kata Zubaidah. “Akan tetapi. Kresna sendiri—sosok Tuhan—tidak teguh dalam sumpahnya. Meskipun setiap Tokoh dalam Mahabarata itu sendiri, tidaklah sempurna. Seperti misalnya Arjuna, yang menyebabkan Istri dari Ekalaya bunuh diri, sebab menolak cintanya. Bukankah itu sebuah kejahatan? Kemudian bagaimana dengan Kunti yang menelantarkan Karna disebabkan oleh keadaan; sehingga Karna harus menjalani hidup sebagai anak dari kusir kuda. Bahkan Yudistira yang terkenal jujur, pada akhirnya berbohong dengan mengatakan bahwa Aswatama mati, padahal itu adalah Gajah peliharaannya Bima, sehingga Drona pasrah memilih dibunuh. Meskipun demikian, perang Kurusetra itu sendiri disebabkan oleh Drupadi, dengan kata lain, oleh Pandawa itu sendiri. Dengan kata lain, Kresna itu sendiri; Jika kita mengakar kepada sebab yang paling atas. Dan bahwa Tuhan menulis takdir kita semua, dalam semua keyakinan adalah benar. Akan tetapi, apakah Tuhan itu ada atau tidak, itu perihal lain. Saya katakan bahwa saya tidak percaya konsep ini karena demikian hal-hal saling bertentangan. Jika Tuhan menulis semua takdir kita, untuk apa kita hidup? Toh, pada akhirnya kita masuk neraka atau tidak, itu sudah diketahui oleh-Nya. Dengan kata lain, dia menyebabkan kita masuk neraka atau surga.”

Saya menangkap maksud Zubaidah. Dia secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia selalu sejalan dengan Takdir yang telah ditetapkan. Seperti yang kemudian saya dapatkan dalam ayat-ayat berikut:

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab…”

Boleh dibilang bahwa yang menimpa saya telah ditentukan oleh-Nya. Saya katakan kepada Zubaidah tentang ayat tersebut dan terjemahannya. Akan tetapi dia mengoreksi saya. Dia melingkarkan kalimat “Musibah.” Dan apa yang terjadi kepada saya, apakah musibab? Dia bertanya. Jika saya merasa musibah, kata dia, memang benar bahwa itu ditetapkan. Jika tidak, berarti bukan. Saya bingung atas diri saya sendiri. Dan di saat yang bersamaan saya menyadari bahwa Zubaidah memiliki pikiran mendalam.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *