Suasana malam di sebuah kafe pinggir jalan agak sepi, hanya deru motor besar yang parkir berjajar membuat suasana jadi khas tongkrongan klub motor. Rizal duduk santai, mengisap rokoknya sambil menunggu pesanan kopi datang. Di sebelahnya, Arga—teman satu klub—tampak lebih banyak bercerita daripada biasanya.
Obrolan mereka awalnya ringan, soal rute touring dan jadwal kumpul. Tapi lama-lama Angga membuka cerita masa lalunya. “Lo tau gak, bro… dulu pas kuliah gue sempet main sama seorang janda,” katanya setengah berbisik, sambil nyengir nakal.
Rizal langsung menoleh, penasaran. “Serius? Lo ga punya pacar waktu itu?”
Angga mengangguk. “Iya, gue punya pacar dan pacar gue itu temen sekantornya dia juga. Nah, si janda ini… namanya Naira. Sekarang dia kepala TU, pinter, berwibawa, tapi aslinya—gue kasih tau ya—dia tuh suka petualangan. Bahkan hubungan pertama gue sama dia, itu karena dia kepo soal pacar gue. Dia nanya apakah gue udah pernah tidur sama pacar gue, terus bandingin rasanya dengan dia. Lo bisa bayangin, kan? Gue sampai kaget, soalnya awalnya keliatan alim ga neko neko.”
Rizal mendengarkan dengan penuh perhatian. Kata-kata Angga semakin detail—tentang bagaimana Naira yang justru mengajak duluan, bagaimana mereka sering “main” saat pura-pura lembur mengerjakan tugas atau sebelum bimbingan tesis.
“Lo tau gak,” lanjut Angga dengan nada geli, “dia pernah bilang kalau pacarnya waktu itu, yang sekarang malah jadi suaminya, udah keluar cuma gara-gara ciuman. Bahkan baju aja belum kebuka. Dan dia bandingin sama gue, katanya jauh lebih puas tidur sama janda ketimbang perawan. Gue ngakak waktu dia ngomong gitu.”
Rizal tertawa kecil, tapi rasa penasaran jelas tergambar di wajahnya. “Terus sekarang gimana? Masih ada kontak sama dia?”
Angga membuka ponselnya, memperlihatkan nama Naira di daftar kontak. “Masih. Dia sekarang udah nikah juga, punya anak. Tapi gue udah jarang komunikasi. Kalau lo mau, gue kasih kontaknya. Dia lumayan aktif di sosmed juga.”
Tanpa pikir panjang, Rizal mengangguk. “Kasih sini. Gue penasaran.”
Tak lama, notifikasi muncul di HP Rizal—kontak WhatsApp dan akun Instagram Naira. Dari situ, langkah pertama Rizal dimulai: follow akun Naira, scroll foto-foto yang diunggah, dan mulai memberikan like. Foto Naira dengan balutan hijab rapi, senyum kalem, tetap saja memancarkan aura sensual yang tak bisa disembunyikan. Rizal lalu menulis komentar, sederhana tapi menggoda:
“Cantik banget, Bu… nggak nyangka auranya bikin adem sekaligus panas.”
Komentar itu jadi awal interaksi—sesuatu yang pelan-pelan mulai membuka pintu rahasia lama Naira.
Malam itu juga Rizal langsung mencari akun Naira. Foto-fotonya berderet rapi: Naira dengan hijab elegan, sesekali tersenyum manis di depan kamera. Ada sesuatu di balik matanya—semacam kilatan nakal yang hanya bisa terbaca oleh orang yang jeli.
Rizal mulai pelan-pelan. Follow, lalu me-like beberapa postingan lama. Tak lama, Naira notice. Sebuah notifikasi muncul: Naira Rista followed you back.
Hati Rizal berdegup. Ia memberanikan diri berkomentar di salah satu postingan:
“Elegan banget, Teh. Cantiknya nggak pernah hilang.”
Awalnya hanya like balik. Tapi keesokan harinya, Naira membalas di kolom komentar lain, dengan emoji senyum tipis. Kecil, sederhana, tapi bagi Rizal, itu seperti pintu yang mulai terbuka.
Tak puas di situ, Rizal mencoba DM.
“Assalamualaikum, Teh. Maaf, nggak bisa tahan buat bilang, pesona teteh itu… luar biasa. Salut, tetap cantik dan anggun meski kesibukan pasti luar biasa.”
Butuh beberapa jam, sebelum ada balasan. Singkat, tapi menohok:
“Wa’alaikumussalam… kamu bisa aja. Hati-hati, kata-kata manis itu bisa bikin orang salah paham.”
Rizal tersenyum puas. Balasan itu bukan penolakan. Justru seperti tantangan.
Sejak saat itu, komunikasi mereka semakin intens. Naira sering menggoda dengan cara halus: kalimat yang ambigu, emoji yang tak perlu dijelaskan. Rizal tahu, ia sedang masuk ke dalam permainan seorang wanita matang yang sudah kenyang pengalaman, namun masih haus akan sensasi petualangan.
Dan Rizal, dengan keberaniannya, memilih untuk terus melangkah lebih dalam.
Sejak balasan pertama itu, Rizal semakin berani. Malam-malamnya kini diisi dengan menunggu notifikasi dari Instagram.
DM malam pertama
Rizal: “Hehe, kalau salah pahamnya bikin hati seneng, nggak masalah kan, Teh?”
Naira: “Bahaya kalau hati jadi seneng… nanti susah dikendalikan.”
Rizal: “Berarti ada kemungkinan Ibu bisa seneng karena saya?”
Naira: “…nakal juga kamu.” disertai emoji senyum tipis.
Balasan itu membuat Rizal bersemangat. Ia tahu, wanita matang jarang memberikan celah seperti ini kecuali memang ingin bermain-main dengan batas.
DM beberapa hari kemudian
Rizal sengaja memuji sebuah foto Naira dengan pose formal di kantor.
Rizal: “Kalau semua kepala TU kayak Teteh, saya yakin banyak pegawai betah di kantor. Anggun, seksi tapi tetap berwibawa.”
Naira: “Kamu ini, masa pakai kata ‘seksi’ buat orang berhijab.”
Rizal: “Justru itu… auranya keliatan lebih menggoda. Ada sesuatu yang nggak kelihatan, tapi bikin penasaran.”
Naira: (diam cukup lama, lalu akhirnya balas) “Hati-hati… penasaran itu sering bikin orang kelewat batas.”
Rizal merasa berhasil. Ia tahu Naira sedang tersenyum membaca pesannya, meskipun mencoba menutupinya dengan kalimat hati-hati.
Suatu malam…
Naira mengunggah instastory sederhana—hanya secangkir kopi dan caption “lelah, tapi harus kuat”.
Rizal langsung membalas:
Rizal: “Kalau ada saya di situ, pasti nggak akan lelah, Teh. Paling malah deg-degan.”
Naira: “…deg-degan kenapa?”
Rizal: “Soalnya saya nggak yakin bisa tahan kalau duduk deket Teteh lama-lama.”
Naira: (balas dengan emoji
dan titik-titik) “…dasar.”
Ada jeda lama, sebelum akhirnya Naira menambahkan pesan lain.
Naira: “Kamu sering godain orang gini ya? sering berhasil ya?”
Rizal: “Saya cuma berani sama yang spesial. Dan jujur, Teteh beda dari semua yang pernah saya kenal.”
Obrolan mereka makin intens, tapi DM Instagram terasa sempit. Rizal pun memberanikan diri.
Rizal: “Teh, kalau ngobrol di sini suka ribet ya… suka delay. Gimana kalau kita ngobrol di WhatsApp aja? Biar lebih gampang.”
Naira: (butuh waktu lama, lalu balas) “…kamu niat banget, ya.”
Rizal: “Niat banget. Karena kalau ngobrol sama Teh, rasanya nggak mau putus.”
Naira: (akhirnya mengirim sebuah nomor) “Jangan disalahgunakan, ya. Saya percaya kamu.”
Rizal menatap layar HPnya, tersenyum lebar. Nomor itu sebenarnya sudah ada di kontaknya sejak dikirim Angga. Tapi cara Naira memberikannya sendiri—dengan sedikit ragu namun akhirnya menyerah—justru membuat Rizal merasa menang.
Malam itu, sebelum tidur, Rizal hanya bisa bergumam pelan:
“Game baru aja dimulai…”
Malam pertama setelah dapat nomor WA
Rizal:
“Assalamualaikum, Teteh… makasih udah percaya kasih nomor. Semoga nggak ganggu ya.”
Naira (balas agak lama):
“Wa’alaikumussalam… iya, sama-sama. Tapi inget, saya ini udah bersuami. Jadi jangan aneh-aneh.”
Rizal:
“Hehe, justru karena Teteh istri orang saya jadi hati-hati… tapi makin penasaran juga.”
Naira:
“Penasaran sama apa coba?”
Rizal:
“Sama sosok istri yang anggun, cantik, mateng… biasanya kalau udah nikah tuh lebih jujur sama dirinya sendiri, ga banyak basa basi. Lebih… terbuka, daannn… ga perlu ngajarin.”
Naira:
“…kamu bahasanya ngeri, Jal. Harusnya sih saya block.”
Rizal:
“Tapi kan nggak Teteh lakuin. Itu tandanya Teteh juga penasaran sama saya
.”
Naira nggak langsung balas. Rizal sengaja biarin pesannya menggantung. Dua puluh menit kemudian baru muncul notifikasi.
Naira:
“Kamu masih bujangan ya? Umur berapa sih?”
Rizal (senyum puas):
“Masih, Teh. 31 tahun”
Naira:
“…pantes aja cara ngomongnya berani. Masih muda, 8 tahun di bawah saya, darahnya panas.”
Rizal:
“Kalau sama Teteh, mana bisa nggak panas? Dari pertama saya udah tahu Teteh tuh beda.”
Naira:
“…jangan lebay ah. Saya biasa aja.”
Rizal:
“Biasa? Finalis putri kota, sekarang kepala TU, ibu berhijab yang tetep keliatan… seksi. Nggak ada yang bisa bilang Teteh ‘biasa’.”
Balasan Naira lama. Kali ini cuma emoji
. Tapi buat Rizal, itu lebih dari cukup.
Hari-hari berikutnya
Naira mulai mainin tempo. Kalau suaminya ada di rumah, balasannya singkat, potongan pendek:
“lagi sibuk.”
atau sekadar
.
Tapi kalau suaminya lagi dinas luar kota, atau pas Naira masih di kantor sendirian abis jam kerja, obrolannya berubah—lebih intens, lebih terbuka, dan kadang… agak panas.
Rizal:
“Kok kalau di kantor balasan Teteh bisa panjang, tapi di rumah cuma sepotong doang?”
Naira:
“Ya iyalah, masa di rumah saya senyum-senyum sendiri pegang HP. Bisa dicurigain misua.”
Rizal:
“Berarti kalau balasan Teteh panjang, itu artinya lagi bebas ya?”
Naira:
“…dasar nakal. Iya, kalau di kantor lebih leluasa.”
Rizal:
“Saya suka, Teh. Rasanya kayak punya ruang rahasia cuma berdua.”
Naira:
“Jangan bikin saya kebawa suasana, Jal. Inget, saya ini istri orang.”
Rizal:
“Justru itu yang bikin saya nggak bisa berhenti kepikiran Teteh. Ada auranya… terlarang. Dan biasanya yang terlarang itu paling bikin nagih.”
Naira cuma balas dengan
dan titik-titik. Tapi Rizal tahu: Teteh yang satu ini sebenarnya lagi nahan senyum… sekaligus nahan sesuatu yang pelan-pelan mulai goyah.
Malam itu – rumah terasa sepi, suami dinas luar kota
Naira (lebih dulu mengetik):
“Jal… lagi apa?”
Rizal yang kaget langsung senyum lebar baca notif itu. Biasanya dia yang mulai duluan.
Rizal:
“Baru mau tidur, Teh. Eh kok tumben Teteh duluan yang nyariin saya? Kangen ya?
”
Naira:
“Halah… jangan ge-er. Cuma lagi bosen aja di rumah sendirian.”
Rizal:
“Misua kemana? Bosen atau… kesepian, Teh?”
Naira berhenti sejenak. Jemarinya sempat ragu di layar HP. Tapi entah kenapa, malam itu ia merasa lebih berani.
Naira:
“…gimana ya, sepi banget. Biasanya ada suami, sekarang nggak ada, anak juga uda tidur. Jadi kepikiran macem-macem.”
Rizal:
“Macem-macem? Hehe, saya boleh nebak ga teh? Biasanya kalau istri lagi sendiri tuh pikirannya suka… ngelonjor, Ngelamun Jorok 😀 .”
Saat membaca kata itu, Naira refleks menggigit bibir. Pipinya panas. Ada sensasi aneh di perutnya. Ia pura-pura jaim mengetik singkat:
Naira:
“Ngaco…tau dari mana coba?”
Rizal:
“Soalnya saya lagi bayangin Teteh sekarang. Pake daster tipis, sendirian di kamar… hp di tangan… tapi pikirannya mikir yang ena ena.”
Naira menahan napas. Tangannya yang memegang HP bergetar halus. Ia meletakkan hp sebentar di dada, merasakan degup jantungnya makin kencang. “Dasar, Jal… nakal banget,” batinnya. Tapi jari-jarinya malah kembali mengetik.
Naira (pelan berubah gaya bahasa):
“…Jal, jangan suka bayangin gue gitu deh. Bahaya tau.”
Rizal (terkejut sekaligus puas lihat perubahan):
“Eh… kok jadi ‘gue’ sama ‘lo’? Hehe, saya makin suka nih. Berarti Teteh udah mulai nyaman.”
Naira:
“Gue cuma… males ribet aja ngetik panjang. Jangan ge-er lo.”
Rizal:
“Justru gue makin penasaran, Teh. Kalau lagi sendiri gini, suka kepikiran apa? Jangan-jangan… rindu belaian?”
Naira menutup wajahnya dengan bantal sambil cekikikan kecil. Tapi bagian tubuh lain terasa tegang, berdenyut halus. Ia coba jaga elegansinya, tetap seakan dingin.
Naira:
“…lo ini ya, bahasanya ngaco banget. Tapi jujur… iya, ada rasa yang kayak gimana gitu. Kayak badan gue pengen sesuatu.”
Rizal:
“Kalau gitu… coba bayangin tangan gue, pelan-pelan nyusurin dari leher Teteh… turun ke pundak… terus……—”
Naira buru-buru mengetik sebelum pikirannya kebawa lebih jauh.
Naira:
“Stop, Jal! Jangan terusin. Gue takut kebayang beneran.”
Tapi justru setelah menekan “send”, Naira menutup mata, dan otaknya otomatis memutar bayangan itu: tangan Rizal yang lebih muda, hangat, berani… menyentuh kulitnya di balik daster. Tubuhnya bereaksi, jantungnya berpacu, dan ada sesuatu yang basah di dalam dirinya.
Dengan malu-malu ia kembali mengetik, kali ini pakai emoji untuk nutupin rasa bersalahnya.
Naira:
“…lo emang bikin gue gila
”
Lanjutan malam itu
Rizal:
“Teh… serius, coba bayangin. Kalau gue ada di sebelah lo sekarang, gue bakal peluk Teteh trus kecup telinga lo… terus tangan gue nggak akan diem.”
Naira menggigit bibir bawahnya. Ia menekan layar hp, mengetik lalu menghapus berkali-kali. Badannya terasa panas. Dadanya naik turun.
Akhirnya jari-jarinya mengetik cepat:
Naira:
“…anjir Jal, lo tau nggak… gue malah beneran kebayang. Kayak lo duduk di belakang gue, nafas lo nempel di leher, terus tangan lo nyelusup ke dalem daster gue.”
Begitu pesan terkirim, Naira langsung menutup mulutnya sendiri. “Astaghfirullah… kok gue bisa ngetik gitu?” pikirnya panik. Tapi notifikasi balasan cepat muncul.
Rizal:
“Teh… sumpah, gue kebawa banget. Bayangan lo kayak gitu bikin gue gila. Gue jd ngaceng ini Teh.”
Naira menatap layar hp dengan wajah merah padam. Kakinya tanpa sadar saling menggesek di bawah selimut. Ada denyut halus di tubuhnya yang tak bisa ia bohongi. Ia mengetik lagi dengan jujur, terlalu hanyut dalam suasana.
Naira:
“Gue juga… badan gue sekarang gemeter. Gue pegang hp aja tanganku gemeter. Sial… memew gue jadi kerasa becek.”
Pesan itu terkirim. Rizal membaca dengan mata terbelalak, jantungnya seperti mau meledak. Ia langsung mengetik panjang.
Rizal:
“Ya Allah, Teteh… jangan bikin gue makin panas. Gue bayangin Teteh lagi tiduran, daster kebuka, gue turun pelan-pelan ke paha Teteh… terus—”
Sebelum Rizal selesai, Naira buru-buru mengetik lagi.
Naira:
“Cukup! Stop, Jal! Gue udah kelewatan ngomong. Gue nggak mau ngetik aneh-aneh lagi.”
Dan tiba-tiba… Naira tidak membalas lagi. Chat terakhirnya benar-benar jadi penutup malam itu.
Rizal menatap layar hp, menunggu. Jam menunjukkan hampir tengah malam. Tapi centang biru terakhir itu tetap tanpa balasan lagi.
Ia tersenyum miring.
“Dasar Teteh… udah buka pintu dikit, terus kabur. Tapi gue tau, Teteh nggak bisa tidur tenang malam ini.”
Keesokan paginya
HP Naira bergetar di meja kerja. Notif WA dari Rizal.
Rizal:
“Selamat pagi, Teteh. Udah sarapan? Jangan lupa minum kopi, biar nggak gemeteran kayak semalem
.”
Naira berhenti sejenak membaca pesan itu. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya memanas. Ia mengetik singkat, mencoba jaim.
Naira:
“…pagi. Lo ini ya, suka banget nyindir.”
Rizal:
“Nyindir? Hehe, saya cuma khawatir aja. Takut Teteh kurang tidur. Katanya semalem ada yang bikin panas badan.”
Naira mendengus sambil menutup mulutnya sendiri, berusaha menahan senyum. Ia balas dengan dingin:
Naira:
“Lo jangan GR. Gue tidur nyenyak kok.”
Rizal:
“Bener? Tapi kenapa mata Teteh gue bayangin masih merah? Hehe… kayak abis… mikirin sesuatu.”
Naira menghela napas panjang. Ia ingin mengabaikan, tapi jari-jarinya justru mengetik cepat.
Naira:
“Lo ini parah, ya. Gue udah bilang stop malah makin ngaco.”
Rizal:
“Ya kan gue cuma nanya. Tapi jujur, Teh… obrolan semalem masih muter di kepala gue. Gue kerja aja jadi nggak fokus. Bayangan Teteh pake daster tipis itu kebawa terus.”
Naira meletakkan HP, menutup wajah dengan tangannya. Pipinya merah padam. Ada perasaan geli bercampur malu yang bikin perutnya bergejolak. Ia mengetik lagi, kali ini tanpa sadar mulai membuka diri:
Naira:
“…gue juga kebawa mimpi tau Jal. Malah kebangun tengah malam gara-gara kebayang omongan lo.”
Rizal (langsung menyambar):
“Serius? Hehe… berarti bukan cuma gue yang nggak bisa tidur. Apa yang Teteh rasain pas kebangun?”
Naira terdiam lama. Ia tahu harusnya berhenti. Tapi ada bagian dirinya yang ingin Rizal tahu. Ia mengetik, menghapus, lalu mengetik lagi.
Naira:
“…gue bangun badan gerah, Jal. Selimut gue sampe kebuang. Gue ngerasa gimana gitu, kayak nyari sesuatu. Sialnya… gue malah inget lo.”
Setelah mengirim itu, Naira buru-buru meletakkan HP, menarik napas panjang.
“Ya Allah… kenapa gue bisa jujur gini?” batinnya.
Tak lama, balasan Rizal muncul.
Rizal:
“Teh… makin hari gue yakin, lo sebenernya udah nggak bisa nutupin rasa penasaran itu. Dan gue janji, kalau suatu saat kesempatan itu ada… gue bakal isi kekosongan yang lo rasain.”
Naira menggigit bibir. Ada rasa takut, ada rasa bersalah… tapi lebih besar lagi adalah rasa bergetar di seluruh tubuhnya. Ia tak langsung balas, membiarkan pesan itu menggantung.
Rizal tersenyum puas, tahu bahwa diamnya Naira adalah tanda… ia sedang goyah.
”
”
Beberapa menit kemudian – chat lanjutan
”