Jejak Rahasia Naira – Part 2

Videocall malam hari – Ruang Keluarga Rumah Naira, suami sedang dinas luar

Malam itu rumah sudah hening. Suami Naira sedang dinas luar kota, dan anaknya terlelap pulas di kamar.
Ruang tamu yang hanya diterangi lampu redup menjadi panggung rahasia. Di layar HPnya, wajah Rizal muncul—tatapannya tajam, penuh gairah, seolah menembus batas layar.
Malam itu, layar HP menjadi dunia kecil yang hanya milik mereka berdua.
Naira rebah di atas Sofa bed, hanya berbalut kimono tipis menerawang, sementara Rizal duduk di ranjang kamarnya dengan lampu kamar yang redup.

Awalnya, obrolan mereka terdengar ringan—candaan, godaan, sindiran manja. Namun semakin lama, sorot mata mereka yang tertangkap kamera berubah jadi penuh hasrat.
Naira sengaja mengubah posisi tubuhnya, bersandar dengan kaki sedikit terangkat, membuat kain tipis kimono itu tersingkap hingga pahanya terlihat jelas.
“Lihat, gara-gara kamu aku nggak bisa tidur,” bisiknya, sambil memainkan rambutnya sendiri.

Naira awalnya menahan diri. Lighting ruang tengah rumahnya dibuat remang, hanya lampu meja yang menyinari sebagian wajahnya. Rizal dalam videocall terlihat dengan senyum penuh arti.

Rizal hanya bisa menghela napas berat. Tangannya sudah meraih bagian bawah celana, memperlihatkan bahwa dirinya pun tak kalah tegang.
“Jangan goda aku terus… kamu tau sendiri aku nggak bisa tahan kalau kamu begitu.”

Rizal:
“Teteh keliatan capek, tapi makin manis ya… sengaja nyalain lampunya remang biar bikin gue tambah penasaran?”

Naira (tersenyum tipis, sambil merapikan rambutnya):
“Lo kebanyakan mikir, Zal. Gue cuma… ya pengen nyantai aja. Lagian suami lagi dinas luar, anak udah tidur jadi gue bisa agak bebas…”

Rizal menyipitkan mata, memperhatikan. Lalu ia mencondongkan badan ke arah kamera.
Rizal:
“Teteh pake apa sekarang? Kok keliatan tipis banget… jangan-jangan…”

Naira pura-pura jaim, mengangkat bahu.
Naira:
“Halah, lo sotoy. Lagian kalau gue bilang, emangnya lo bisa apa dari sana?”

Rizal:
“Bisa banyak, teh… cukup Teteh kasih liat aja, gue udah bisa bayangin semua…”

Naira terdiam sebentar, wajahnya antara menantang dan malu. Akhirnya ia menurunkan kamera sedikit—cukup memperlihatkan bahwa ia hanya mengenakan komono satin dan dibaliknya hanya lingerie tipis menerawang warna hitam, renda halus yang hampir nggak menutupi apa-apa, Naira melepaskan kimononya dan meletakkan HPnya agak jauh supaya terlihat seluruh tubuhnya.

Naira (pelan, dengan senyum genit):
“Puas kamu zal?”

Rizal langsung menarik napas panjang, jelas matanya berkilat.
“Gila… lo bener-bener tega, teh. Gue udah setengah gila liat beginian. Lo nggak takut gue makin nggak bisa nahan?”

Naira:
“Gue juga deg-degan, Zal. Tapi entah kenapa gue malah pengen bikin lo makin penasaran…”

Awalnya mereka masih bercanda, lo–gue seperti biasa. Tapi perlahan, nada berubah. Rizal menurunkan suaranya, berat dan dalam.

Rizal: “Teteh keliatan capek, tapi cantik banget malam ini. Gue bayangin kalau lagi ada di sebelah lo teh…”

Naira: (tersenyum, agak gugup) “Ah, jangan asal ngomong. Gue tau arah kamu ke mana.”

Rizal: “Ke Teteh, jelas.”

Naira hanya menunduk sedikit, senyumannya melebar. Tangannya sengaja membenarkan letak lingerie tipisnya. Kain tipis itu menerawang, membuat siluet kulitnya jelas. Rizal langsung terdiam, menatap layar tanpa berkedip.
Naira tersenyum nakal, lalu perlahan jemarinya naik ke dada, meremas lembut payudaranya sendiri. Tali lingerie tipisnya bergeser hingga hampir menyingkap bagian sensitif itu. Rizal langsung menegakkan tubuh, napasnya makin memburu.

Rizal: “Astaga, Teteh… lo gila ya… Teteh mau bikin gue sange?”
Naira: (genit, suaranya bergetar) “Kamu kan yang minta bayangin aku. Nih… liat baik-baik.”

Ia sedikit menyingkap kain di pahanya. Kamera menangkap kulit putihnya yang mulus. Degup jantung Naira makin kencang, wajahnya panas. Lalu, perlahan tangannya naik ke dadanya sendiri, meremas lembut bagian yang nyaris tumpah dari lingerie.

Rizal: (sambil mengusap bagian bawah layar, napas berat) “Teh… gue bisa bayangin tangan gue yang nyentuh situ. Bayangin gue deketin leher Teteh, gue cium pelan, terus gue turun ke situ…”

Naira: (mata terpejam, mengikuti irama suara Rizal, tangannya bergerak makin berani) “Ya… aku bisa rasain… seolah kamu beneran ada di sini.”

Saat puting Naira sempat terlihat sekilas di layar, Rizal menggeram kecil sambil membuka celananya, memperlihatkan Penis yang sudah keras. Tangannya mulai mengocok pelan, sementara pandangannya tak lepas dari setiap gerakan Naira.

Sementara itu, kamera Rizal sedikit bergoyang. Ia tak lagi menahan diri, tangannya jelas terlihat menggenggam dan mengocok penisnya sendiri. Nafasnya tersengal.
Naira: (terkejut melihat) “Ya Allah, Zal… kamu beneran…”

Naira meremas payudaranya lebih kuat, sesekali menekan ujungnya hingga ia sendiri menggigit bibir menahan desahan. Jemarinya yang lain turun perlahan melewati perut rata hingga menyentuh bagian paling sensitif di balik kain tipis itu.

Rizal: “Teteh yang bikin gue kayak gini. Liat gue, Teh… liat gue…”

Naira menatap tajam layar, wajahnya memerah. Ia makin keras meremas dadanya, lalu jari-jarinya terus menggesek di sela pahanya. Napasnya berat, tubuhnya melentik.

Suasana makin liar—dua tubuh jauh, tapi seolah menyatu lewat layar.

Rizal makin kasar mengocok dirinya sendiri, wajahnya tegang menahan ledakan, “Kamu gila… aku bisa habis kalau lihat kamu kayak gini Teh.”

Rizal: (gemetar) “Teteh… gue nggak tahan lagi… gue keluar… Aaaahh…!”

Rizal menegang di depan kamera, tubuhnya berguncang. Cairan putih memancar, menodai tangannya. Ia terkulai, napas tersengal.

Naira terdiam sejenak, wajahnya campuran syok dan mabuk kenikmatan. Namun jari-jarinya terus bergerak di sela pahanya, tubuhnya menegang hebat. Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya.
Naira: (menutup mulut, bergetar) “Aahhh… Rizal… gue juga…”

Tubuhnya meluruh, lengannya gemetar, lingerie tipisnya kusut tak beraturan. Kamera merekam wajahnya yang memerah dan berkeringat.

Beberapa detik mereka hanya terdiam, sama-sama terengah, kamera tetap menyorot tubuh mereka yang bergetar akibat sisa ledakan.
Beberapa detik sunyi, hanya suara napas mereka yang berat. Rizal masih terengah di layar, menatap Naira yang menunduk, lalu mengangkat wajahnya. Kini, nada bicara mereka berubah. Bukan lagi lo–gue, tapi…
Naira menutup wajahnya dengan tangan, malu tapi puas, lalu melirik lagi ke kamera sambil tersenyum manja.
“Kamu bikin aku gila, Zal…”

Rizal: (lembut) “Aku nggak nyangka kamu bisa segila ini, Teh.”

Naira: (senyum pahit, tapi tetap genit) “Aku juga nggak nyangka… hampir kepala empat… tapi bisa bikin bujangan kayak kamu keluar cuma lewat videocall. Tanpa sentuhan.”

Ia terkekeh kecil, meski matanya masih menyimpan rasa bersalah. Rizal hanya menatapnya, terpana, seperti makin terikat.

Rizal terkekeh kecil, masih ngos-ngosan. “Kalau sudah kayak gini, kita nggak akan bisa mundur lagi, Teh.”


Setelah beberapa menit bercanda dan menggoda lewat videocall, Rizal menatap lebih dalam.
“Teh… kita sampe kapan main begini doang? Gue pengen ketemu teteh beneran. Ngopi bareng aja dulu, nggak usah yang aneh-aneh.”

Naira menggigit bibir, hatinya berdebar.
“Kamu pikir gampang? Gue harus jagain martabat juga… tapi…” (senyum kecil muncul) “gue nggak bisa bohong, gue juga kepikiran soal itu sih.”

Rizal:
“Berarti Teteh setuju? Kita cari waktu aman, pas suami teteh dinas luar. Gue nggak bakal maksa, cukup bisa tatap Teteh langsung aja udah lebih dari cukup.”

Naira:
“Kamu manis banget kalau lagi ngomong gini… tapi jangan kira aku gampang ya. Aku butuh liat keseriusan lo.”

Rizal:
“Aku serius, teh. Nggak cuma buat main. Gue pengen ngerasain Teteh ada di depan mata, bukan cuma di HP.”

Naira tersenyum—tapi matanya jelas berbinar, campuran takut dan penasaran. Ia menutup videocall dengan kalimat singkat, tapi penuh tanda tanya:
“Ya udah… nanti aku yang kabarin, Zal. Siap-siap aja kalau aku tiba-tiba bilang ‘kita ketemu’.”


💭 Fantasi Naira setelah videocall
Begitu videocall berakhir, Naira terduduk di ranjangnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Jantungnya berdegup kencang. Lingerie yang ia kenakan terasa semakin menempel di kulit. Dalam hatinya ia berbisik:
“Gue udah sejauh ini… gimana kalau beneran ketemu? Gue takut… tapi juga sensasi nya luar biasa, nagih….pengen banget lagi.”

Keeseokan harinya, Kamar masih remang ketika Naira akhirnya bangkit dari ranjang. Napasnya masih belum stabil, wajahnya memerah, rambut acak-acakan menempel di kulit lembab.
HP naira berdering, panggilan video dari Rizal masuk, setelah terhubung dengan videocall, wajah Rizal terpampang jelas di layar,

Rizal : “Selamat pagi bidadariku—”
Naira (mengucek mata sambil nguap): “Ada apa pagi pagi udah videocall? Mau nakal lagi?”

Naira (tersenyum kecil, suara parau): “Aku… mau mandi dulu, ya. Tapi kamu jangan tutup dulu. Temenin aku.”
Rizal (menelan ludah): “Teh… jangan bilang kamu mau—”
Naira (berjalan pelan ke kamar mandi, kimono sudah terlepas, tubuhnya telanjang bulat): “Iya. Aku mau kamu temenin aku mandi….”

Kamera bergoyang sebentar ketika Naira membawanya masuk ke kamar mandi. Ruangan itu terang, ada cermin besar tepat di hadapannya. Ia meletakkan ponsel di dekat wastafel, sudutnya pas menyorot tubuhnya dari kepala sampai paha.
Ia menatap refleksinya di cermin, lalu menoleh ke kamera, tersenyum nakal.

Naira: “Kamu suka liat aku gini, kan? Basah gara-gara air… atau gara-gara kamu?”

Kamar mandi berkabut tipis oleh uap air. Naira sudah duduk di closed WC, punggungnya menempel pada dinding dingin, shower masih mengalir. Kulitnya mengilap, rambut basah menempel di pipi dan bahu. HP ia pindahkan di rak kecil, sudut kamera menyorot tubuhnya dari dada hingga lutut yang terbuka lebar.

Ia menatap kamera, menunduk sedikit, lalu senyum tipis terbentuk di bibirnya.

Naira: “Aku mau jujur… aku penasaran, Zal. Aku ini udah dua kali menikah, dua kali melahirkan. Menurut kamu…” (ia membuka pahanya lebih lebar, jarinya turun menyibak lembut bibir kemaluannya) “…tubuh aku masih cukup bikin kamu keras? Masih bikin kamu pengen muncrat lagi?”

Rizal terdiam. Matanya jelas-jelas menatap layar HP tanpa berkedip.

Rizal: (suara tercekat) “Teh… gila, jangan ngomong gitu. Aku liat kamu sekarang aja udah mau muncrat.”
Naira: (tertawa kecil, jari telunjuknya menekan lembut klitoris, berputar pelan) “Jawab jujur. Ini…” (ia memperlihatkan jemarinya yang basah) “…masih cukup bikin kamu pengen nyicip?”

Tubuhnya bereaksi cepat. Pinggulnya terangkat sedikit, perutnya menegang, desah halus lolos dari bibirnya. Tangannya bermain dengan ritme lambat di awal, mengusap, menekan, lalu menyibak.

Naira: (mata setengah terpejam, suara bergetar) “Aku nggak main buat keluar. Aku main biar kamu keluar. Aku mau liat kamu nggak tahan liat aku.”

Naira beranjak berdiri, Ia mengangkat kakinya, menyandarkan lutut ke wastafel, membuat celahnya semakin terbuka ke arah kamera. Satu jarinya masuk perlahan, tubuhnya bergetar, bibirnya terbuka melepas erangan kecil.

Rizal: (napas tersengal, tangannya sudah sibuk di bawah kamera) “Anjir… Teh, aku liat jelas banget… aku nggak kuat.”
Naira: (menatap kamera tajam, menggigit bibir) “Cepet… aku mau liat muka kamu waktu keluar. Aku mau tau… masih segila itu nggak liat aku?”

Ia menambah ritme, dua jarinya masuk keluar cepat, tangan kirinya memegang payudara, memutar putingnya. Pinggulnya otomatis bergerak mengikuti irama, tubuhnya berkedut, napasnya semakin cepat.

Naira: (dengan suara parau) “Liat aku… liat semua badan aku… aku masih bisa bikin kamu keras kayak bocah SMA kan?”

Air shower bercampur dengan cipratan dari gerakan jarinya, suaranya terdengar jelas di kamar mandi yang bergema. Naira sengaja tidak menahan desahannya, justru melebihkan, membisikkan namanya Rizal berulang kali.

Rizal: (suara keras, terbata-bata) “Teteeh… aku… aku udah mau keluar…!”
Naira: (senyum puas, matanya setengah terbuka, terus memainkan diri) “Ya… keluar buat aku. Buktiin kalau aku masih segila itu buat kamu. Muncrat sekarang juga.”

Beberapa detik kemudian, Rizal benar-benar tak tahan. Ia menahan napas, wajahnya memerah, lalu tubuhnya terguncang—keluar deras. Naira menatap layar, senyum puas terbentuk di wajahnya. Tangannya masih bermain, tapi ia sengaja menahan klimaksnya sendiri, hanya ingin menikmati momen itu.

Naira: (menghela napas, berhenti menggerakkan jarinya) “Hhh… liat? Aku belum keluar, tapi kamu udah kalah duluan. Jadi… menurut kamu, tubuh aku masih cukup bikin kamu gila?”
Naira: (dengan suara parau) “Liatin dong, sebanyak apa kamu keluarnya?”

Rizal hanya terdiam, masih ngos-ngosan, wajahnya penuh ekspresi lelah bercampur puas.

Rizal: “Teeh… kamu nggak cuma cukup. Kamu lebih dari cukup. Kamu bener-bener bahaya… bikin aku lupa diri.”
Naira: (tertawa kecil, menyender ke dinding, membiarkan air membilas tubuhnya) “Bagus. Berarti aku masih menantang.”

Ia mendekatkan wajah ke kamera, mata nakal penuh kepuasan dan menutup panggilan video itu.


HPnya berbunyi. Sebuah chat masuk dari Rizal:

Rizal:
“Teteh gila banget… gue masih gemeteran. Rasanya bener-bener kayak km ada di depan gue. Gue nggak nyangka teteh bisa sampai sebinal itu.”

Naira menggigit bibir bawahnya, membaca sambil menahan tawa kecil. Ia mengetik balasan dengan jari yang masih bergetar.
Naira:
“Salahin kamu sendiri yang ngajarin aku ngebayangin macem-macem. Aku kan cuma nurut…”

Rizal cepat membalas, kali ini dengan nada lebih serius.
Rizal:
“Aku makin nggak tahan, Teh. Video call aja udah bikin kita gila begini… gimana kalau ketemu beneran?”

Kalimat itu membuat dada Naira berdegup lebih keras. Ada dorongan aneh—antara takut, penasaran, dan candu. Ia berbaring sebentar, menutup wajah dengan bantal, lalu mengetik lagi.
Naira:
“Jangan keburu nekat. Aku penasaran… tapi… aku juga takut. Gimana kalau aku bener-bener ketemu sama kamu?”

Rizal:
“Semalem Teteh udah kalah. Aku keluar duluan, tp teteh juga nyusul keluar juga… dan itu baru lewat layar HP. Bayangin kalau aku bisa bener-bener cium leher teteh, sentuh teteh, bikin teteh nggak sadar, lupa udah punya suami…”

Naira menahan napas, lalu tertawa pendek sambil mengetik balasan.
Naira:
“Sialan, tapi bujangan kaya lo bisa dibikin keluar sama aku yang hampir kepala 4, hanya lewat videocall, tanpa sentuhan. Itu bukti aku masih mempesona, kan?”

Ia kirim emotikon nakal, lalu meletakkan HPnya. Tapi dalam hati, ia sadar sesuatu: rasa bersalah memang ada, tapi lebih besar lagi rasa candu yang terus menggerogoti. Pagi itu, sambil berdandan, ia terus memikirkan bagaimana nanti jika benar-benar bertemu.

Beberapa hari setelah videocall panas itu, Naira dan Rizal masih sering saling chat, kadang kirim voice note singkat dengan nada menggoda. Malam itu, setelah suami dan anak Naira tidur, mereka kembali terhubung lewat panggilan video, kali ini lebih santai—Naira di ruang tamu dengan kaus longgar dan wajah polos tanpa make-up, Rizal hanya kaus oblong.

Rizal:
“Jadi kapan nih kita bisa ketemu beneran? Jangan bikin gue penasaran terus, Na.”

Naira (tersenyum tipis, agak jual mahal):
“Ya ampun, kamu ini maksa banget. Aku kan udah bilang… aku tuh punya suami.”

Rizal:
“Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Bayangin aja kalau kita duduk berdua, ngobrol, aku bisa lihat ekspresi kamu beneran, bukan cuma lewat kamera.”

Naira tersenyum tipis sambil mengetik, mencoba menjaga kesan seolah ia masih menahan diri, padahal hatinya berdebar.

Naira:

“Hmm… kalaupun ketemu, aku maunya di tempat aman dulu. Anggep aja kita sekadar kenalan, ngobrol. Aku nggak bisa langsung deket sama orang yang baru ketemu sekali.”

Rizal:
“Kenalan dulu? Tapi rasanya kita udah kenal lama. Aku kayak udah tau kamu luar dalam.”

Naira terkekeh kecil, matanya berkilat nakal.

Naira:
“Luar dalem apanya dulu nih yang kamu tau?”

Rizal:
“Ya itu… semua yang kamu tunjukin di videocall kemarin.”

Naira menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuh lebih dalam ke bantal. Jemarinya mengetik sambil sesekali berhenti, seperti sengaja menahan Rizal menunggu.

Naira:

“Hahaha… kamu tuh maunya buru-buru aja. Aku kan perempuan, gak bisa asal ketemu terus langsung… you know.”

Rizal:
“Jadi ketemu beneran cuma buat basa-basi? Aku takutnya kamu PHP, Na.”

Naira:

“Hmm… Ketemu itu gampang. Tapi jangan keburu mikir yang aneh-aneh dulu deh. Aku kan… ya kamu tau sendiri, aku punya suami. Kalau pun ketemu, ya aku cuma mau sekadar kenal, ngobrol.”

“Kamu jangan overthinking gitu dong. Aku mau ketemu itu udah langkah besar loh. Biar aku bisa kenal kamu lebih dekat aja.”

Rizal (menarik nafas dalam, seakan menahan diri):

“Jaim banget sih. Padahal aku tau aslinya kamu liar.”

“Aku ngerti. Tapi Teteh tau gak, dari kemarin gue gak bisa ngilangin bayangan teteh dari kepala. Apalagi waktu teteh—” (ia berhenti, tersenyum nakal) “—ah, lo bikin gue gak waras, Teh.”

Naira tersenyum nakal, lalu membalas cepat.

Naira (mengerling, nada genit tapi tetap jaim):
“Ya itu kan di telepon, Zal. Cuma virtual. Aman. Dunia maya. Di dunia nyata, kalau ketemu langsung, beda cerita. Aku gak seberani yang lo bayangin, Zal.”

Rizal:
“Teteh kira gue percaya? Waktu itu teteh keliatan lebih liar daripada yang pernah gue bayangin. Sampai sekarang gue masih inget ekspresi teteh pas…”

Naira (mendadak menutup wajah dengan bantal, tapi ketawa kecil):
“Ssst! Jangan diulang-ulang dong, bikin gue malu sendiri. Lagian gue kan… istri orang. Jangan sampai lo kebayangnya terlalu jauh.”

Rizal (menatap ke HP, nada lebih serius):
“Makanya gue pengen buktiin. Ketemu sekali aja. Gue janji gak akan maksa, gak akan nyentuh. Gue cuma pengen liat lo langsung, denger suara lo tanpa delay, liat senyum lo dari dekat.”

Naira (terdiam sejenak, lalu pura-pura cuek sambil memainkan ujung rambutnya):
“Hm… ya udah. Tapi syaratnya kita ketemu di tempat aman dulu. Café atau resto, jangan hotel-hotel-an dulu ya. Gue mau tau lo aslinya gimana, bukan cuma versi liar yang di video call kemarin.”

Rizal (menyipitkan mata, senyum penuh arti):
“Berarti ada kemungkinan versi liarnya keluar lagi kalau lo udah nyaman?”

Naira (menepuk pelan bibirnya, genit):
“Jangan GR deh. Gue bilangnya mau kenal dulu. Gue kan gak bisa langsung dekat sama orang yang baru gue temuin sekali. Jadi jangan overthinking. Lo ketemu gue itu… bonus aja. Bukan buat… yang lain.”

Rizal (mendekat ke kamera, suaranya rendah):
“Teh, bahkan lo ngomong gitu aja udah bikin gue susah tidur nanti.”

Naira (menyipitkan mata, setengah tersenyum nakal, setengah jaim):
“Ya salah lo sendiri gampang panas. Gue hampir kepala empat aja masih bisa bikin lo kepikiran, padahal kita belum ngapa-ngapain beneran.”

Rizal:
“Belum. Tapi gue yakin… waktu itu bakal datang.”

Naira hanya tersenyum samar, pura-pura cuek, tapi hatinya sendiri berdetak lebih cepat. Ia tahu betul, kata-kata Rizal barusan menusuk tepat ke dalam imajinasinya—membuat tubuhnya merinding sekaligus berdebar. Ia menutup percakapan dengan alasan sudah ngantuk, padahal dalam hatinya ia juga menunggu-nunggu hari pertemuan itu.

Beberapa hari setelah obrolan itu, rencana mulai terbentuk. Naira membuka percakapan duluan lewat chat, lalu beralih ke telepon. Suaranya terdengar pelan, seolah berbisik agar tidak ada yang mendengar.

Naira:
“Zal… minggu depan aku ada dinas ke Bandung, tiga hari. Pulangnya Jumat sore. Suamiku kebetulan ada jadwal dinas luar juga, jadi… mungkin kita bisa ketemu di hari itu.”

Rizal langsung menahan napas, nyaris tak percaya.
“Ya Allah… beneran, Teh? Jadi kita bisa ketemu beneran?”

Naira cepat menimpali dengan nada jaim, seolah menjaga jarak,
“Iya, tapi jangan mikir aneh-aneh dulu. Aku kan bilang… aku cuma berani gila di videocall, tapi kalau ketemu nyata aku harus kenal dulu sama kamu. Jangan sampai aku tiba-tiba bikin masalah sama hidupku.”

Rizal:
“Paham kok… aku nggak mau bikin kamu nyesel. Aku cuma mau duduk, ngobrol, lihat teteh langsung.”
(Tapi dalam hatinya, bayangan Naira di video call—berani, menggoda, basah dengan desahannya—terus muncul tanpa bisa ditepis.)

Naira tersenyum kecil, walau ia sendiri mulai panas dengan imajinasi yang sama.
“Ya, asal kamu jangan kebawa suasana aja. Ingat, aku punya suami. Aku cuma… pengen tahu rasanya ketemu cowok yang selama ini jadi teman nakalku di videocall. Itu aja.”

Rizal:
“Kalau aku maunya lebih dari itu, gimana?”

Naira mendengus, pura-pura kesal.
“Ya jangan maksa. Aku bisa batalin kapan aja. Aku serius, Zal, aku ketemu kamu bukan buat tidur bareng. Kalau mau gila, udah cukup di videocall kemarin.”

Meski ucapannya terdengar ketus, Rizal tahu betul nada suaranya bergetar. Ada gairah yang bersembunyi di balik perisai jaim itu.


Rencana makin jelas. Naira menegaskan:

Naira:
“Kita jangan di Bandung, ya. Aku ke sana bareng staf kantor, bisa ribet kalau kamu tiba-tiba nongol. Kamu jemput aku aja pas aku pulang, di stasiun. Aku pasti sendirian, staf biasanya pulang sendiri-sendiri. Itu lebih aman.”

Rizal mengangguk mantap.
“Siap, aku jemput. Kamu pulang jam berapa kira-kira?”

Naira:
“Kereta sore, sampai Jakarta sekitar jam tuju malam. Nanti aku kasih kabar posisi.”

Rizal semalaman tak bisa tidur, pikirannya penuh dengan berbagai trik: restoran tenang buat makan malam dulu, hotel kecil yang nyaman kalau saja Naira memberi celah, bahkan dia menyiapkan alasan manis supaya Naira merasa aman. Semua detail ia susun rapi, seperti menyusun strategi misi besar.


Namun, pada hari yang dinanti, kabar mengejutkan datang. HP Rizal bergetar, ada chat WA dari Naira.

Naira (chat):
“Zal, batal ya… suamiku ternyata nggak jadi dinas luar. Dia malah bilang mau jemput aku di stasiun. Aku nggak bisa apa-apa…”

Rizal menatap HPnya lama sekali. Dadanya sesak, separuh kecewa, separuh cemas Naira akan mundur. Ia lalu menelepon, dan Naira mengangkat dengan suara lirih.

Rizal:
“Teh… aku udah siapin semua, bahkan sampe mikirin detail. Kok bisa batal gini?”

Naira menghela napas, pelan tapi terasa berat.
“Jangan marah ya… aku juga deg-degan banget. Tapi aku nggak bisa bohong, aku takut ketahuan. Suamiku tau aku pulang hari ini, dan tiba-tiba mau jemput. Mau gimana lagi? Aku nggak mau ambil resiko.”

Rizal:
“Aku ngerti, Teh… tapi aku nggak bisa bohong, aku kecewa banget. Aku ngebayangin ketemu kamu udah dari seminggu lalu.”

Naira tersenyum kecil, meski suaranya terdengar genit menahan rasa bersalah.
“Ya udah, nanti kita cari waktu lain. Jangan takut… aku masih penasaran kok sama kamu. Malah rasanya makin kangen kebayang kita ketemuan, tapi tertunda begini.”

Nada terakhir itu membuat Rizal merinding. Ia tahu, sekalipun pertemuan batal, api di dalam Naira belum padam—bahkan mungkin makin berkobar.

Begitu sampai rumah, Naira langsung masuk kamar mandi. Hari itu ia merasa perlu “menebus dosa”—karena batal bertemu dengan Rizal. Sambil menatap bayangannya di cermin, ia melepaskan jilbab dan blouse, menyisakan bra renda yang menonjolkan lekuk dadanya.

Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Kamu pasti bete banget, Zal…” gumamnya lirih, seakan sedang berbicara langsung pada Rizal. HPnya ia sandarkan di rak kecil, kamera menghadap ke tubuhnya. Lampu kamar mandi yang terang memantulkan kilaunya di kulit.

Dengan sedikit ragu—atau pura-pura ragu—ia meraih dadanya, meremas perlahan dari luar bra. Napasnya makin berat, ekspresi wajahnya dibuat seolah malu, padahal sengaja ditahan agar terlihat sensual. Jari-jarinya menggeser tali bra, memperlihatkan sedikit lebih banyak kulit, lalu menahannya di situ.

Naira menatap kamera seakan menantang, lalu berbisik lembut,
“Cuma segini ya, cukup buat permintaan maaf… jangan pikir yang aneh-aneh dulu.”

Namun tangannya justru bergerak lagi, menekan lembut belahan dadanya, membuat bentuknya semakin penuh dalam bingkai kamera. Ia tersenyum miring, lalu mematikan rekaman tepat sebelum membuka keran mandi.


Malam itu, Setelah mandi Naira berbaring di tempat tidur samping suaminya yang masih bermain HP di tempat tidur. Lampu kamar sudah redup, tapi matanya sama sekali tak bisa terpejam. Ada rasa mengganjal: rencana yang sudah ia siapkan matang-matang dengan Rizal batal begitu saja.

Pelan-pelan ia meraih HP, mengetik pelan.

Naira:

“Zal, aku kecewa banget… padahal aku udah siapin hati buat ketemu kamu. Rasanya kaya ada yang ngeganjel.”

Rizal (cepat balas):

“Ya ampun, Teh… jangan gitu. Aku juga kecewa banget. Aku udah bayangin kita duduk bareng, ngobrol, liat kamu beneran. Pas dapet kabar batal, rasanya….Kesel tau, mana aku juga uda jalan ke sana.”

Naira terdiam sejenak, lalu mengetik lagi. Kali ini lebih jujur, lebih sensual.

Naira:

“Aku tuh sampe sengaja pake bra khusus loh hari ini… push up, halfcup, cuma nutup sampe puting doang, tengahnya kebuka. Biar keliatan montok kalau ketemu, kamu pasti suka.”

Rizal (langsung panas):

“Serius, Teh? Gila… kebayang gue. Terus gimana, ada yang notice?”

Naira:

“Ya jelas lah… sepanjang perjalanan mulai di stasiun sama di kereta, banyak cowo cowo yang ngelirik. Aku sempet ketiduran, pas kebangun depan hijab gue agak geser ke samping, terus kancing atas kebuka, blum dikancingin lg. Tadinya pas sampe kereta sengaja dibuka biar ga enngab, toh ketutup hijab kan, Eh blum dikancingin lagi keburu ketiduran. Aku panik sendiri tau ga. Entah ada cowok-cowok yang sempet liat belahan aku atau nggak.”

Rizal:

“Teh… jangan bikin aku tambah gila. Aku kan jadi ngebayangin…”

Naira (membalas dengan emoji 😈, lalu menulis lagi):

“Haha… maaf ya. Tadinya niat aku kasih surprise buat kamu. Eh malah jadi ‘amal’ buat cowok-cowok random di kereta. Sial banget.”

Rizal menggigit bibir, dadanya sesak penuh nafsu. Ia lalu mengetik:

Rizal:

“Teh, aku makin penasaran. Sumpah. Tolong kasih aku bayangan, walau sedikit.”

Naira menimbang sebentar, lalu mulai berani. Ia mengirim sebuah video yang tadi sudah dia siapkan. Rizal gemetar saat melihatnya.

Rizal:

“Ya Allah, Teh… asli gue pengen gila. Bagus banget, montok, penuh. Gue pengen pegang.”

Naira (dengan nada menggoda, jaim tapi jelas nakal):

“Cukup dibayangin aja. Jangan minta lebih. Gue udah kasih lebih banyak dari yang seharusnya lo dapet, Zal.”

Namun beberapa menit kemudian, justru Naira yang semakin liar.

Ia mengirim chat :
“Zal… kirimin gue video kamu, ya. Aku pengen liat gimana kamu kalau lagi sange gara-gara aku.”

Rizal kaget, tapi juga langsung bersemangat. Tangannya refleks bergerak turun, seakan tubuhnya tak sanggup menahan reaksi yang muncul begitu cepat. Tatapan Rizal terpaku, tak ingin kehilangan satu detik pun dari rekaman singkat itu. Dan Ketika dalam video Naira menatap kamera dengan wajah jaim penuh godaan, Rizal benar-benar kehilangan kendali.

Ia terus memutar ulang, berkali-kali. Tubuhnya memanas, setiap detail gerakan Naira terasa begitu nyata, seolah wanita itu memang sengaja tampil hanya untuknya.

Tak lama, tubuh Rizal bergetar keras, desahan panjang lolos dari bibirnya. Ledakan gairahnya terjadi hanya karena sebuah video singkat—dan itu membuatnya semakin takluk.

Dengan napas masih tersengal, Rizal mengetik pesan balik, jemarinya sedikit gemetar:
“Aku nggak tahan, Teh… aku keluar cuma lihat video toket kamu kayak gitu. Kamu gila. Kamu bikin aku kecanduan.”
Video itu berakhir ketika cairan putih muncrat, berceceran di perutnya.

Beberapa menit kemudian, video itu sampai ke HP Naira. Ia menutup mulut dengan tangan, jantungnya berdebar, tapi matanya tak bisa berhenti menatap layar.

Naira (chat, sambil menahan senyum nakal):

“Ya ampun, Zal… kamu beneran ngelakuin itu? Parah sih… aku hampir teriak liatnya. Kok bisa sih cowok bujang kaya kamu ‘keluar’ cuma gara-gara liat foto bra gue?”

“Zal… kamu parah banget. Sampai segitunya cuma gara-gara aku? Aku malu bacanya. Tapi… jujur, aku suka lihatnya.”

Rizal:

“Aku nggak tahan, Teh… aku crot cuma lihat video toket kamu kayak gitu. Kamu gila. Kamu bikin aku kecanduan, Hayang ngeuwe sm kamu teh….”

Naira membaca pesan itu sambil menggigit bibir. Ada denyut aneh di bawah perutnya, rasa puas bercampur geli karena berhasil membuat Rizal takluk hanya dengan rekaman singkat. Tapi ia tak mau terlihat terlalu “gampang”. Jarinya mengetik pelan.

Naira: “Zal, kamu kok ngomongnya vulgar banget sih… malu aku bacanya.”

Pesan terkirim. Ia meletakkan HP sebentar, lalu menutup wajah dengan bantal, menahan senyum sekaligus degup kencang di dadanya. Sensasi hangat di tubuhnya tak bisa ia abaikan—kata-kata Rizal tadi justru membuatnya semakin basah.

Tak lama kemudian, notifikasi kembali berbunyi.

Rizal: “Maaf… aku kebawa suasana. Tapi sumpah, kamu terlalu seksi teh. Aku nggak bisa nahan.”

Naira menggulir layar, lalu mengetik lagi dengan gaya jaim:

Naira: “Aku kan cuma iseng, biar kamu nggak ngambek gara-gara kita batal ketemu. Jangan lebay, Zal.”

Padahal setelah menekan tombol kirim, tubuhnya bergetar kecil. Ia tahu betul itu bukan sekadar “iseng”—ia memang ingin melihat Rizal kalah di tangannya.

Rizal tak berhenti: “Kalau iseng kamu bisa bikin aku crot, gimana kalau kita ketemu trus ngewe beneran? Aku bisa gila, Teh…”

Kali ini Naira terdiam lama. Wajahnya panas, tangan gemetar saat memegang HP. Ia menulis singkat, dengan nada seolah menolak tapi justru memberi harapan samar:

Naira: “Jangan mikir aneh-aneh dulu…”

Namun setelah mengirim, ia menaruh HP di dada, menarik napas dalam-dalam. Senyum puas itu kembali muncul. Ia tahu betul, Rizal sudah semakin masuk dalam jaring permainannya—dan diam-diam, ia sendiri juga semakin ketagihan.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *