Jejak Rahasia Naira – Part 6

Bibir mereka masih saling menempel, bergantian menyedot dan mengecup, sampai Rizal tak kuasa lagi menahan tangannya. Perlahan ia turun, menyentuh sisi pinggang Naira, lalu bergerak ke lekuk pinggulnya. Sentuhannya tegas tapi gemetar, seperti lelaki yang sudah terlalu lama menahan diri.

Naira tersentak kecil, tubuhnya refleks merapat ke dada Rizal. “Zal… jangan… aku ini istri orang, punya suami” bisiknya terengah, matanya setengah terpejam. Tapi alih-alih melepaskan, tangannya justru mencengkeram bahu Rizal, seakan minta pegangan.

Rizal menempelkan keningnya ke kening Naira, napasnya berat. “Aku tau, Teh… tapi tubuhmu nggak bisa bohong. Kamu juga nikmatin ini.”

Naira menggigit bibir, wajahnya memerah, tubuhnya bergetar pelan. “Astaghfirullah… ini cobaan… Rizal stop…! berhenti…!!” katanya, tapi ia sama sekali tidak bergerak menjauh.

Tangan Rizal naik sedikit, menyapu sisi dada Naira yang tertutup blouse. Sekilas saja, tapi cukup membuat Naira mendesah pendek, buru-buru menutupinya dengan batuk pura-pura. “Eh—Zal! Inget aku punya suami… jangan macem-macem! Kalo suamiku tau abis kamu Zal”

Rizal mendekat lagi, bibirnya menyambar leher Naira dengan ciuman lembut. Nafas Naira tercekat, punggungnya melengkung kecil. “Ya Allah… astaghfirulah… emmmphhh…,” gumamnya tak jelas, tubuhnya jelas sudah menyerah meski bibirnya masih berusaha menahan.

Tangannya yang tadinya ingin mendorong dada Rizal malah berakhir mencengkeram kaus ketatnya, menariknya lebih dekat.

“Teh…” Rizal berbisik serak, “sekali ini aja… biarin aku rasain deket sama kamu, ga Cuma lewat HP.”

Naira menutup mata rapat, dadanya naik turun cepat. “Astaghfirullah, nggak boleh… nggak boleh…jangan Zal… aku punya suami…”

Di antara kata-kata jaimnya, tubuh Naira justru semakin melekat, menerima setiap rabaan Rizal dengan desah halus yang tak bisa ia kendalikan.

Rizal makin menempel erat, tubuhnya menekan punggung Naira, sementara tangannya dengan berani berusaha membuka kancing paling atas blus batik naira kemudian menelusuri tiap lekuk tubuh naira meskipun masih terhalang kain blus batik dan rok. Naira tetap berusaha menjaga sikap dengan kata-kata jaimnya, tapi tubuhnya sendiri sudah gemetar memberi jawaban berbeda.

“Rizal… jangan terlalu jauh… aku istri orang, dosa Zal…” ucapnya setengah menahan napas, suaranya terdengar rapuh di antara tarikan dan hembusan yang makin memburu.

Bibir Rizal yang semula melumat bibir Naira kini meluncur turun ke lehernya, mencumbu dengan penuh nafsu meski terhalang kain hijab. Nafasnya panas, membuat kulit Naira merinding. Rizal tak berhenti. Bibirnya terus mencumbu lembut leher Naira dari balik hijab, meninggalkan jejak basah tipis yang membuat tubuh Naira bergetar. Tangan Rizal menyusup, meremas lembut dada Naira dari luar kain batik. Naira sempat menegakkan tubuhnya, tapi tubuh itu malah melengkung pasrah tanpa ia sadari.

Desahan pertama lolos dari bibirnya, lirih tapi jelas, “Hhh…emmmhhhh… Rizal…aaarghhh…”—dan Rizal langsung menangkapnya sebagai tanda bahwa pertahanannya mulai runtuh.

Rizal tersenyum miring, bisiknya nakal di telinga, “Kata-katamu nolak, tapi tubuhmu mau teh.”

Rizal tersenyum di antara lumatan, lalu berbisik dengan napas panas.
“Aku cuma… nggak bisa nahan, Teh. Dari tadi rasanya pengen banget nyentuh teteh.”

Jemarinya naik sedikit, menyusuri pinggang hingga menyentuh sisi perut Naira di balik blouse batiknya. Naira menggeliat, kepalanya menoleh ke samping sambil mendesah tertahan.
“Hhh… astaghfirullah… kamu ini…”

Tapi lidahnya justru mencari lagi, menjemput Rizal untuk kembali berciuman. Dari jaim, kini ia sendiri yang lebih dulu membuka mulut, memainkan lidahnya, melilit lidah Rizal dengan berani.

Suasana jadi makin panas. Nafas Rizal makin berat, mendesah keras di sela-sela.
“Gila… rasanya enak banget, Teh…”

Sementara Naira, meski terus bergumam pelan seolah menegur, tubuhnya jelas melemas dalam rengkuhan. Jemari halusnya kini meremas kaus Rizal, mencengkeram seolah ingin menahan tapi juga menariknya makin dekat.

Tangan Rizal tak tinggal diam. Dari pinggang, perlahan naik dan mendarat di dadanya. Ia meremas lembut dari luar blouse batik, menekan pelan lalu melepaskan, berulang. Naira menggeliat kecil, tubuhnya menegang, tapi dari bibirnya justru lolos desahan manja yang tak bisa ia tahan.
“Hhh…eemhhhh… Zal… astaghfirullah…”

Rizal terkekeh rendah di telinganya. “Tuh kan… tubuh teteh sendiri yang nggak bisa nahan.”

Naira buru-buru menggertakkan gigi, berusaha menegakkan diri, meski tubuhnya jelas goyah.
“Inget, aku ini istri orang, Zal. Jangan kira gampang…inget dosa Zal” suaranya berat, lebih seperti peringatan. Tapi sorot matanya justru menantang, seolah berkata: –berani sampai mana kamu?-

Itu malah membuat Rizal semakin berani. Jemarinya mulai membuka kancing blouse batik satu per satu. Klik… klik… suara kancing terlepas memenuhi kamar yang sunyi. Nafas Naira makin memburu, dadanya naik-turun cepat.

Beberapa kancing blus batik Naira akhirnya terlepas satu demi satu, membuka pemandangan yang membuat napas Rizal terengah. Di baliknya, hanya ada bralette halfcup hitam yang nyaris tak menutupi lekuk dadanya. Bongkahan montok itu menyembul menantang, ¾ terbuka, bergetar tiap kali Naira menarik napas dalam.
Rizal menahan napas sejenak, matanya membesar.
“Ya ampun, Teh…” gumamnya terpesona.

Rizal menelan ludah keras.
Naira menunduk, mencoba menutupinya dengan tangan, tapi Rizal sudah lebih dulu menyelinapkan jemari ke dalam blouse, menyentuh langsung bagian lembut itu. Jemarinya langsung menyelinap ke balik kain, menyentuh kulit hangat itu. Saat jari-jarinya menemukan puting yang keras menantang dari balik bra, Naira menjerit kecil tertahan.
“Aahhh…” desahnya pecah, cukup keras hingga membuat Rizal makin terbakar. “Gila, Teh… lembut banget…” desah Rizal, suaranya serak penuh gairah.

Rizal meremas lebih berani, jarinya mencubit ringan. Nafas Naira terhuyung, tubuhnya melemas, kepalanya terdongak ke belakang. “Hhh… Zal… kurang ajar kamu… janganhhhsss…” ucapnya pelan, tapi justru nadanya terdengar seperti undangan.

Dengan gemas, Rizal menarik kain batik lebih lebar, dia meremas kemudian mengeluarkan bongkahan indah itu hingga terlepas Sebagian dari bralette rendanya. Matanya berkilat, lalu ia menunduk, bibirnya hampir menempel pada puting yang berdiri tegang. Nafasnya memburu di sana.

Tepat ketika bibirnya hampir menyentuh, Naira tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke dada Rizal dan mendorongnya menjauh. Nafasnya tersengal, wajahnya merah, bibirnya basah.

“Zal… astaghfirullah… jangan gini…” bisiknya, setengah menunduk, setengah mendesah. “Aku istri orang, kamu tau itu. Ini dosa besar, Zal… dosa zina…”

Rizal menelan ludah, menatap dada yang masih mengintip dari balik bralette hitam. Naira buru-buru merapatkan kain batiknya dengan tangan gemetar, tapi suaranya masih pecah.

“Ya Allah… kuatkan aku…” ia mendongak sebentar, menutup mata rapat. “Tubuh aku ini bukan buat kamu… ini hak suamiku, haram Zal… Jangan bikin aku tambah jauh, Zal… aku takut dosa.”
Ia menarik napas panjang, tapi justru terdengar seperti desahan panjang yang menusuk telinga Rizal. Paha Naira yang bersilang rapat makin jelas bergetar.
“Zal, kamu ini… udah kebangetan… aku takut gak bisa nahan, aku masih normal, bisa nafsu juga kalau kamu gituin…” suaranya lirih, tapi penuh getar. “Kamu ngerti kan? Zina itu dosa besar, Neraka itu beneran ada, Zal… aku gak mau balik kaya dulu lagi.”
Matanya berair, tapi sorotnya menancap ke Rizal dengan campuran marah dan pasrah. “Tolong… jangan hancurin imanku…” katanya tegas, tapi tubuhnya sendiri masih meronta halus, dadanya masih naik-turun tak terkendali.

Rizal mencondongkan tubuh, wajahnya semakin dekat, napas panasnya nyaris menyapu bibir Naira. Tangannya sudah hendak menyingkirkan tangan Naira yang menutup dada, berusaha mencari celah untuk kembali merebut manisnya ciuman itu.
Namun kali ini Naira lebih sigap. Ia menoleh cepat, menahan pipinya dengan gemetar, lalu mendorong dada Rizal dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya merah, matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya tegas.

“Cukup, Zal!” suaranya bergetar tapi tegas. “Aku… aku udah pernah dosa banyak. Masa laluku kelam, aku pernah main sama banyak lelaki…” Ia menunduk, suaranya merendah, hampir seperti mengaku dosa. “Dan aku gak mau balik ke kesalahan yang sama lagi.”

Ia menggigit bibir, menarik napas panjang, lalu menatap Rizal dengan tatapan memohon. “Aku sekarang udah berhijab, udah hijrah, sedang mencoba berubah ke jalan yang benar. Jangan paksa aku balik jadi Naira yang dulu. Aku takut… takut banget, Zal. Aku gak mau terjerumus lagi.”

Rizal yang sudah mabuk nafsu tak lagi bisa berpikir jernih. Meski ucapan Naira tadi begitu tegas, matanya tetap terpaku pada payudara yang masih terbuka sebelah dari balik bralette miring itu. Dengan berani, tangannya kembali menyelinap, meremas lembut bongkahan montok yang bergetar di depan mata.

Naira tersentak, tubuhnya merinding seketika. Ia mendorong dada Rizal lebih keras, suaranya pecah lantang kali ini, meski napasnya masih terengah.
“Zal, berhenti!! Jangan seenaknya pegang-pegang lagi!!” teriaknya, matanya berkilat marah namun juga berkaca. “Aku ini bukan perempuan nakal! Aku lagi berusaha nutup masa lalu aku, jangan kamu buka lagi!!”

“Cukup…..!!!” katanya lantang, tapi dengan nada yang jelas-jelas bergetar. Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan ke tepi tempat tidur. Duduk di sana, ia menyilangkan kaki, membetulkan hijabnya dengan tangan gemetar, dadanya masih bergetar, napasnya naik-turun kencang.
Naira masih menempelkan telapak tangannya di dadanya sendiri, nafasnya naik-turun cepat. Dadanya yang separuh terbuka berguncang setiap kali ia menarik napas dalam. Bibirnya bergetar, basah, suara tertahannya justru terdengar seperti keluhan manja.
Wajahnya tampak marah, tapi sorot matanya justru memancing.
“Kamu tuh… kelewatan banget. Baru ketemu pertama udah kayak gini. Kalau kamu makin kurang ajar, aku keluar kamar sekarang juga..!”

Tatapannya menusuk, penuh ancaman, tapi gerak bibirnya justru seperti memancing Rizal untuk makin nekat. Tubuhnya yang setengah terbuka, desahan yang belum sepenuhnya reda, dan cara ia menggigit bibir seolah marah tapi menantang—semua itu jelas sebuah undangan terselubung.

Sementara Rizal berdiri dengan napas memburu, dada naik turun tak beraturan, matanya tak lepas dari lekuk tubuh Naira. Desahan mereka berdua masih terdengar di udara, makin menebalkan ketegangan yang sudah tak mungkin kembali ke titik netral.
Naira menyibakkan sedikit hijab di lehernya, lalu menegakkan badan di tepi ranjang. Senyumnya samar, seolah menantang -Aku mau lihat, seberapa besar nyali kamu sebenarnya-.

Udara kamar semakin panas, tiap tarikan napas seperti percikan api yang siap menyulut ledakan berikutnya.

Nafas Naira masih berat, dadanya naik turun kencang. Jemarinya sibuk merapikan hijab yang sudah miring, tapi sorot matanya pada Rizal justru menusuk dan menggoda. Dengan kesal setengah manja ia menggerutu,

Dengan nada setengah ngedumel, Naira menggerutu sambil menarik hijabnya.
“Lihat nih… gara-gara kamu, hijab aku jadi berantakan.”
Tapi bukannya benar-benar menutup kembali, ia malah melepasnya begitu saja, membiarkan rambutnya sedikit berantakan dan kancing blusnya tetap terbuka.

Tapi gerutuannya terdengar seperti lirikan genit. Apalagi sebelah dadanya sudah separuh keluar dari bra, menyembul indah. Ketika ia menarik hijabnya lalu melepasnya dengan gerakan cepat, rambutnya jatuh berantakan menambah aura liar yang justru membuat Rizal makin kehilangan kendali.

Rizal tersenyum miring, menunduk mendekat ke tempat tidur dengan gerakan tenang tapi penuh percaya diri. Ia duduk di samping Naira, jemarinya menyusuri pelan lengan wanita itu sebelum meraih dagunya.
“Kalau begini… aku jadi makin nggak bisa nahan, Teh.” bisiknya, lalu bibirnya menempel ke bibir Naira lagi, kali ini langsung mencumbu bibir Naira, lebih dalam, lebih bernafsu, lidahnya langsung bergerak mencari lidah naira, menggulungnya dalam gerakan yang sangat panas.

Naira sempat menahan, tapi lidah Rizal yang masuk mendesak membuatnya luluh. Ciuman panas itu menekan, lalu turun perlahan ke lehernya yang kini tak terbuka mulus tanpa terhalang kain hijab. Rizal menciumi kulit mulusnya, menjilat lembut, lalu menyedot pelan hingga Naira mengerang kecil.
“Rizal… jangan gitu…” desahnya, tapi bukannya menolak, tangannya justru mencengkeram bahu Rizal erat.

Tangan Rizal makin berani, mengelus turun dari pinggang hingga ke pahanya, mengusap bagian luar rok longgar yang ia kenakan. Rabaan itu membuat tubuh Naira merinding. Naira mencoba bertahan, tapi desahannya malah terdengar semakin keras.
Naira menggeliat, napasnya memburu. Saat bibir Rizal turun lebih rendah, menghisap lembut, mengenyot puting payudara yang sudah terlepas dari bralette, tubuh Naira memantul halus dan suara desahnya pecah makin tak terbendung.
“Hhh… ya Alaahh Rizal…ahhhh…..” Napasnya memburu, kepalanya menengadah pasrah

Jari Rizal semakin berani, jemari Rizal menyelinap dari balik kain rok, naik semakin dalam ke arah pahanya dan mulai mengelus paha naira langsung di kulitnya.
Rizal merambatkan jemarinya makin ke dalam, menyelip pelan di bawah kain rok Naira. Sentuhan hangatnya mengenai kulit paha bagian dalam membuat tubuh Naira seketika menegang, lalu melenting kecil seiring deru napasnya yang semakin berantakan.
Dari paha luar, ia bergerak perlahan masuk ke paha dalam. Naira menggeliat, tapi bukannya menutup, kedua pahanya justru melebar sedikit demi sedikit, memberi ruang.

Naira langsung menegang. Namun yang keluar dari bibirnya justru gumaman manja,
“Nakal kamu…” katanya setengah berbisik.

Rizal tersenyum puas, tangannya kini menemukan sesuatu yang membuat matanya berkilat: di balik rok longgar itu, Naira hanya memakai g-string tipis. Tidak ada lapisan legging atau celana dalam panjang yang biasanya jadi pengaman seorang wanita muslimah.
Rizal terpana, sambil terus mencumbu leher Naira, jari-jari Rizal gemetar sebentar sebelum akhirnya berani mengelus selangkangan Naira, masih dari luar kain tipis. Begitu rabaan itu mendarat, Naira terlonjak halus, desahannya pecah lagi, kali ini lebih basah dan dalam.

“Hhh… Rizal… jangan… ahhh… astaghfirullah…”

Alih-alih menutup pahanya, Naira justru merenggangkannya lebih lebar, memberi ruang.

Napas mereka berdua memburu, ruangan dipenuhi desahan, dengusan, dan dentuman jantung yang tak terkendali. Rizal semakin larut, jemarinya menekan lembut area yang hanya terhalang tipis kain, sementara Naira tak lagi menolak—tubuhnya bahkan bergerak mengikuti ritme, membiarkan godaan itu menguasainya.

“Hhh… Zaal…” desah Naira, suara tertahannya terdengar seperti campuran antara protes dan rintihan manja. Tangan kanannya refleks meremas seprai di samping tubuhnya, sementara tangan kirinya masih menahan bahu Rizal, tapi hanya sebatas genggaman, bukan dorongan untuk menjauh.

Rizal tersenyum samar melihat reaksinya, lalu jemarinya bergerak naik turun, mengelus lembut sepanjang garis paha bagian dalam. Naira langsung menggeliat, pahanya gemetar halus, dan dari bibirnya lolos desahan yang lebih panjang.
“Aahhh… jangan… hhhnnn… jangan kurang ajar gitu…” katanya, namun suaranya pecah, penuh godaan, jauh dari nada penolakan.

Semakin dekat jemari itu bergerak Kembali ke arah vagina, Naira tak kuasa menahan tubuhnya yang seakan otomatis membuka. Ia menggeser sedikit posisi duduknya, membuat roknya tersingkap lebih tinggi. Napasnya kian memburu, dada naik turun cepat, belahan bralette-nya ikut bergetar setiap kali ia menghirup napas dalam.

Rizal tersenyum tipis, menikmati setiap respon. Jarinya kini benar-benar menyentuh Vagina Naira, hanya terhalang g-string tipis. Sentuhan itu membuat Naira menjerit kecil, “Ahhh… Rizal… ya ampun… jangan di situ…” tapi suaranya terdengar lebih seperti rengekan manja ketimbang penolakan sungguhan.

Napas Naira semakin memburu, dadanya naik turun cepat. Tubuhnya bergetar setiap kali Rizal menggerakkan jarinya, membuatnya tak kuasa menahan desahan. “Hhh… Rizal… aku bisa… ahhh… aku bisa kebablasan kalau kamu terusin…”

Ia mencoba menguasai diri, menegakkan kepala, menatap Rizal dengan mata berkaca-kaca antara takut dan terpesona. Suaranya parau, penuh getaran, “Berhenti… pliss… dosa Zal… aku nggak bisa tahan diri kalau kamu terus mainin itu…”

Tapi sementara bibirnya berusaha melarang, tubuhnya justru berkata sebaliknya—pahanya tak juga menutup, malah tetap terbuka lebar, seakan diam-diam menantang Rizal untuk melanjutkan.

Rizal menunduk, berbisik di telinganya dengan nada nakal, “Tapi enak kan teh?”

Naira memejam, menggigit bibir, desahannya pecah lagi, “Hhh… nakal… kamu bener-bener kurang ajar…”
“Aaaahh… Rizal… hhhnn… uhhhhh…”
 desahnya keras, matanya terpejam, kepalanya terbuang.

Saat jemarinya kembali menyentuh kain tipis g-string yang menjadi satu-satunya pelindung, Rizal sempat tertegun, kain tipis itu sudah terasa sangat lembab, basah karena cairan kenikmatan naira.

“Ya Allah, Teteh…udah basah banget” bisiknya dengan suara serak, seolah mengumumkan kemenangannya. Napasnya berat, nyaris tak percaya dengan apa yang dirasakannya.

Naira menggeliat kecil, kepalanya terhentak ke belakang, bibirnya terbuka menahan desahan. “ahhh… bangsat kamu Zal…, jangan keterlaluan…ahhh…” katanya lirih, ucapnya setengah mengumpat, setengah merintih, tapi tubuhnya justru bereaksi sebaliknya—pangkal pahanya melemas, kakinya semakin terbuka memberi jalan.
Rizal menekan lembut belahan daging hangat itu dari luar kain g-string. Hawa hangat dan lembap langsung menyambutnya, membuat Rizal sadar betapa tubuh Naira sudah lebih dulu menyerah pada godaan.
Rizal semakin berani, Jemarinya menyelip dari samping kain tipis itu, mengusik bibir kemaluan yang sudah basah.

“Aaahhh… Dosa tau Zal… hhhhnn… jangan… hhhnnn…” desahan Naira pecah, kepalanya terbuang ke samping, bahunya bergetar menahan arus kenikmatan.

Rizal semakin tak sabar. Dengan lihai ia menyelipkan jarinya dari samping kain tipis itu, menggesek bibir lembut yang berdenyut menanti sentuhan. Naira menjerit kecil, tubuhnya melenting, pahanya merapat lalu terbuka lagi, seolah kalah oleh rasa.

Nafasnya tersengal, “Astaghfirullah… Rizal… jangan… ahhh… ahhh… uhhhh…” teriaknya,

Sentuhan itu semakin berani, gerakan jemari Rizal makin agresif, mengusap, mengorek, mengocok liang vagina Naira dengan ritme yang membuat Naira kehilangan kendali. Cairan hangatnya mengalir makin deras, menempel basah di tangan Rizal.

Tak menunggu lama, Rizal menarik tali pinggul g-string itu dengan sekali gerakan cepat. Naira, entah sadar atau tidak, justru sedikit mengangkat pinggulnya, mempermudah Rizal melepaskan pertahanan terakhirnya. Kain mungil itu terlepas dan dilempar jauh, menyisakan tubuh istri orang yang kini nyaris terbuka di bawah kekuasaannya.

Sekarang pertahanannya habis. Rizal menunduk, memulai dari mata kaki Naira. Bibirnya mengecup lembut, lalu lidahnya menjilat naik ke betis. Naira bergetar, suaranya pecah jadi desahan panjang.

“Hhh… Rizal… ya Allah… ahhh…”

Ciuman itu naik perlahan, Rizal seperti tidak terburu-buru, justru menikmati tiap jengkal. Bibirnya meninggalkan jejak basah dari lutut, merambat naik ke paha Naira yang makin tersingkap. Naira mendesah panjang, tubuhnya merinding, tangannya spontan mencengkeram sprei seolah mencari pegangan.
“Hhh… Rizal…astagfirullah…. kamu gila…” suaranya pecah di sela lenguhan.

Begitu bibir Rizal mendarat di paha dalam, Naira hampir tak sanggup lagi bertahan. Tubuhnya terdorong jatuh ke kasur, rebah tanpa daya. Rok lipitnya sudah terangkat tinggi, hampir ke perut, kedua pahanya terbuka begitu lebar—bukan karena ia rela, tapi karena tubuhnya tak kuasa mengendalikan lagi.

Pemuda yang baru deikenalnya beberapa minggu, bahkan baru beberapa menit lalu dia bertemu langsung itu pun sekarang ada di antara dua pahanya, wajahnya tenggelam di surga terlarang itu, lidahnya menari nakal, menyedot, menjilat, membuat Naira menjerit kecil.

“Astaghfirullah… Rizal… joroook kamu…jangan…digituin…Aku ga mau ih..” Naira berusaha mendorong kepala Rizal menjauh dari selangkangannya tapi lidah rizal mulai bergerak lincah,

Sedotan bibir Rizal di bibir vaginanya membuat Naira lepas kendali, tangan yang tadinya mendorong kepala Rizal menjauh dari selangkangannya sekarang malah mengelus rambut Rizal seiring lidah Rizal yang semakin liar.
“Aaahhh… Rizal… Rizaaalll… astagaaa… jangan gitu… aaahhh…uuughhh…” teriakannya pecah, tapi tangannya justru meremas dadanya sendiri, sementara tangan satunya menjambak rambut Rizal, menekan agar semakin dalam.

“Katanya jangan.., tapi malah kepalaku ditahanin aku gini, Teh…?” Rizal menyeringai tengil di sela aksinya, lalu kembali menggoda dengan lidah yang semakin cepat.
Rizal semakin agresif, lidahnya menari cepat, menyedot lembut bergantian dari clitoris ke labia mayora dan kembali lagi menggelitik clitoris naira dengan lidahnya. Nafas Naira pecah-pecah, tubuhnya menegang.

“Ya Allah… aku… aku… astaghfirullah… Rizaaalll…” jeritnya melengking, tubuhnya gemetar keras, menyerah pada arus deras yang hampir meledak di dalam dirinya..
Naira menggeliat keras, punggungnya melengkung, tangan yang tadinya menahan seprai kini meremas kencang rambut Rizal, mendorong wajahnya semakin rapat.
“Aahhh… Rizal… ya Allah… hhhnnn… jangan… aku… aku nggak tahan…” suaranya pecah jadi desahan panjang, diselingi lirihan istighfar yang terseret bersama nafas yang terengah.
Tubuhnya mulai bergetar hebat. Pinggulnya bergerak liar tanpa kendali, seolah mencari lebih dalam, lebih kuat. Rok batiknya sudah tak karuan tersingkap tinggi, dadanya naik-turun cepat, butiran keringat muncul di pelipisnya.

“Hhh… Rizal… itu… ya ampun… yaaa ituuu…geli banget Zal…. aahhhh!” jeritannya melengking, kepalanya terbuang ke belakang, mata terpejam rapat.

Rizal tak berhenti—lidahnya terus menyapu, sesekali menyedot lembut, lalu kembali menggoda dengan gerakan cepat. Jemarinya menahan paha Naira agar tetap terbuka lebar, membuat tubuh wanita itu benar-benar tak bisa melawan arus kenikmatan.

“Oooohh… Zal… hhhnn…anjrit, …..uhhhhh…akhu ga kuat!!” Naira semakin hilang kendali, lupa bahwa status dia adalah istri orang, dia menikmati lidah lelaki yang baru dikenalnya dan membiarkannya mengacak acak kehormatannya, yang seharusnya hanya boleh di sentuh suaminya saja,
“Arrghhhh………bangsat kamu zal, aku mau shampe…..uuughhhhh…”
Detik berikutnya, Naira kehilangan kendali sepenuhnya. Seluruh otot tubuhnya menegang, lalu bergetar hebat. Perutnya berkontraksi, kakinya menekan bahu Rizal, sementara mulutnya mengeluarkan teriakan panjang:
“Aaahhhhhh Rizaaalll… aku… aku keluaaarrrrr…!”
Lenguhannya memecah ruangan, tubuhnya terguncang keras dalam ledakan klimaks yang tak terbendung. Cairan hangatnya mengalir deras, memenuhi jemari dan lidah Rizal yang masih setia menyesap.
Ia terkulai, kedua pahanya tetap terbuka, dadanya naik-turun cepat, pelipisnya basah oleh keringat, napasnya memburu tak karuan.
Tangannya masih menekan kepala Rizal, tapi tubuhnya jelas sudah kalah—pasrah dihanyutkan ombak kenikmatan yang ia sendiri tak sangka bisa dirasakan seintens itu.

Rizal menatap dari bawah, bibirnya berkilat basah, menyunggingkan senyum puas yang mesum. “Hhh… ternyata teteh yang alim bisa seenak ini juga ya…” bisiknya tengil, membuat wajah Naira makin panas, antara malu dan nikmat yang belum sepenuhnya reda.

Naira terlonjak, tubuhnya bergetar hebat.
“Astaghfirullah… Rizal… gila kamu… dasar kurang ajar…! Baru ketemu sekali udah begini, berani-beraninya sama istri orang…” suaranya parau, setengah berteriak, setengah merintih. Bibirnya mengucap kata marah, tapi paha indahnya masih dibiarkan terbuka, napasnya masih memburu, dan matanya masih berkaca sisa nikmat yang baru saja meruntuhkan pertahanannya.

Rizal, dengan wajah puas dan penuh gairah, justru tersenyum nakal, terkekeh rendah, tengil tapi memesona. Ia berdiri, lalu tanpa banyak basa-basi mulai melepaskan pakaiannya satu per satu. Kaos ketatnya melayang ke lantai, disusul celana pendek bahan yang dari tadi menahan sesuatu yang menonjol. Dalam hitungan detik, seluruh pakaian itu sudah terlepas dari tubuhnya, ia benar-benar telanjang berdiri di depan Naira.

Naira terperangah. Matanya membelalak, tangannya refleks menutup mulut. Napasnya tercekat, tubuhnya kaku sejenak.
“Ya Allah…” bisiknya lirih, tapi matanya tak bisa lepas dari bagian paling vital milik Rizal yang kini tegak menantang. Jauh lebih besar, jauh lebih keras daripada bayangan samar yang pernah ia lihat lewat videocall.
Wajahnya merah padam, antara malu, terkejut, tapi juga jelas tersulut. Naira menggeliat kecil di ujung ranjang, tangannya meremas seprai seolah mencari pegangan.
“Rizal… kamu… gila… itu… astaghfirullah al-‘azhim…” katanya terbata, suaranya bergetar. Ia mencoba menghardik, tapi sorot matanya justru tak bisa berbohong—ada rasa penasaran, ada gairah yang kembali bangkit.

Wajahnya memerah, panas bukan hanya karena malu, tapi juga karena gairah yang kembali menyala. Jemari halusnya meremas seprai, tubuhnya menggeliat seakan mencari pegangan. “Rizal… itu… astaghfirullah… Ya Allah… aku bikin dosa lagi… ampuni aku, ampuni aku ya Rabb… mamas… maafin aku…” ucapnya dengan suara bergetar, antara doa, penyesalan ke suami, dan bisikan yang menggoda.

Rizal merayap naik, tubuhnya diatas tubuh Naira yang masih terengah. Nafasnya panas, dadanya menekan lembut ke dada Naira yang naik-turun cepat. Senyum tengil itu kembali menghiasi bibirnya, sementara matanya menatap dalam, penuh api nakal.
“Teteh…” bisiknya serak, “gimana permainan lidah aku tadi? puas belum sama lidah aku barusan?”

“Astagfirullah… Sialan kamu Rizal… jangan ngomong kayak gitu…”Naira mendorong dada Rizal, tapi tenaganya lemah, lebih mirip pura-pura menolak. Kedua pahanya masih terbuka lebar, tubuhnya justru melemas ketika Rizal mulai menindihnya diabtara pahanya, berat tubuh pria itu menekan, membuatnya tak bisa bergerak ke mana-mana.

“Atau Teteh sekarang mau… ini?” sambil menggesekkan penisnya ke vagina naira yang masih terbuka lebar.

Kepala Naira terbuang ke belakang, bibirnya terkatup rapat menahan erangan. Tubuhnya bergetar, tapi tangan yang tadi menepis justru kini terulur, meraba dada bidang Rizal yang keras “Astagfirullah…kurang ajar kamu Zal… jangan keterlaluan…” suaranya parau, hampir tak terdengar, “Ya Allah… aku takut… aku salah besar… ampuni aku, ya Rabb… ampuni aku…kuatkan aku melawan godaan” ucapnya lirih, matanya basah, antara rasa bersalah dan gelora yang masih membakar.

Ketika penis rizal kembali menggesek vaginanya, kali ini menyentuh bagian dalam bibir luar vagina naira, Tubuh Naira bergetar hebat. Tangannya sempat menahan dada Rizal, tapi tenaganya lemah. Yang keluar hanya lirihan doa, “Ya Allah… ampuni aku…Mas… aku khilaf… maafin aku…”

Tangannya turun perlahan menyentuh batang besar yang sedang menggesek gesek vaginanya, bukan menyingkirkannya tapi mengelusnya lembut seolah tanpa kendali. Sentuhan itu membuat Rizal tersenyum nakal, semakin menunduk ke arah bibir Naira. Dan wanita solehah itu, yang tadi menghardik, kini justru menutup mata rapat, seakan menyerahkan dirinya pada arus yang makin tak bisa ia bendung.
Ketika Rizal menunduk, bibirnya kembali menemukan bibir Naira, menyapu dengan rakus. Naira sempat menggeleng, tapi akhirnya mulutnya terbuka juga, lidahnya kembali bermain, desahannya pecah di sela ciuman, tangan naira pun sekarang melingkar di leher Rizal dan membelai rambutnya..
Lalu, tanpa aba-aba, Rizal menggesekkan kembali kejantanan kerasnya ke arah paling sensitif Naira, tepat di balik lembah basah yang sudah kehilangan pertahanannya.

“Aaahhh… Rizaaalll…!” Naira menjerit kecil, tubuhnya menegang sesaat lalu melemas. Gesekan itu membuatnya melenguh panjang, kepalanya terbuang ke samping, napasnya memburu.
“Jangan masuk… jangan sampai masuk ya…” katanya cepat, hampir seperti rintihan. Tangannya refleks menahan pinggul Rizal, tapi gerakannya lemah, tidak sungguh-sungguh menolak. “Cukup… cukup digesek aja… hhhhnnn… astaghfirullah…”
Rizal tersenyum nakal, tangannya mengelus rambut Naira yang berantakan. “Tenang, teh… aku nurut… tapi makin digesek kayanya bikin teteh tambah basah lagi gini…”

Gesekan itu berulang, maju-mundur pelan, membuat Naira menggeliat tak karuan. Dadanya naik turun cepat, desahannya pecah-pecah, suara kecil penuh kenikmatan keluar dari bibirnya tanpa bisa ditahan.
“Hhhhnnn… Rizaaal… ya Allah… jangan… jangan gila… aahhh… hhhhnnn…” tubuhnya bergetar, pinggulnya justru spontan bergerak mengikuti irama gesekan Rizal.

Setiap kali batang keras itu menggesek lembah lembapnya, Naira tak bisa menahan desahan. Satu tangannya meremas dada sendiri, satunya lagi masih menempel lemah di pinggul Rizal, seolah mencoba menahan, tapi sesungguhnya malah mengarahkan agar gesekannya lebih pas.

Suasana kamar penuh dengan suara napas memburu, desahan tertahan, dan gesekan basah yang semakin lama semakin intens.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *