Gesekan itu makin menjadi, semakin liar setiap kali Rizal menggencarkan dorongan pinggulnya. Batangnya bergesek maju-mundur tepat di bibir lembah Naira yang sudah basah kuyup, membuat suara lirih licin terdengar samar, bercampur dengan desah panjang yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
Sejak awal Naira sudah berulang kali wanti-wanti, napasnya tersengal saat tubuh mereka saling menempel erat.
“Zal… aku serius ya, jangan dimasukin. Cukup digesek aja… ngerti kan?” bisiknya lirih, matanya setengah terpejam menahan rasa campur aduk.
Rizal mengangguk sambil menyunggingkan senyum nakal. “Iya, tenang aja… aku tahu batasnya.” Tangannya merangkul leher Naira, mengecup lehernya, lalu mulai menggencarkan dorongan maju-mundur. Batangnya bergesekan di antara bibir lembah hangat itu, licin oleh cairan yang sudah lebih dulu mengalir. Suara gesekan samar-samar terdengar, menyatu dengan desah panjang Naira.
Tubuh Naira makin gelisah, pinggulnya tak bisa diam meski bibirnya terus merapal kalimat penolakan. “Hhh… Rizal… jangan… jangan kebablasan…” suaranya bergetar, kepalanya menunduk seolah malu dengan reaksi tubuhnya sendiri.
Tapi Rizal yang sudah terbakar tak mampu sepenuhnya menahan diri. Rizal menunduk, wajahnya dekat di leher Naira, hembus napasnya panas. “Suaranya enak banget, Teh…” bisiknya serak. Ia menggencarkan gerakan, sengaja menekan batangnya lebih dalam di sela bibir lembab itu.
Dorongannya makin liar, hingga di satu momen dalam satu dorongan iseng yang agak tak terkendali, ujung kepalanya terpeleset masuk. Tidak jauh, hanya sebatas kepala, tapi cukup membuat Naira tersentak keras, matanya membelalak kaget.
“Aaahhh!” Naira tersentak, tubuhnya menegang seketika. Tangannya refleks menekan dada Rizal. “Rizal! Aku bilang jangan dimasukin!” serunya, wajahnya memerah di antara marah dan tak percaya.
Rizal ikut terkejut, matanya membelalak sambil buru-buru menarik napas. “Eh, sumpah, kepeleset… aku nggak sengaja… emang beneran masuk?” Ia berhenti sejenak, menatap Naira yang masih terengah.
Lalu dengan suara lebih pelan, ia bertanya penuh ragu, “Eh… tapi… barusan emang masuk ya? ”
Naira menahan napas, wajahnya merah, giginya menggigit bibir bawah. “Iya… udah masuk… itu kepalanya…” jawabnya lirih, seolah mengaku sambil setengah menyesal.
Rizal terdiam sesaat, tubuhnya gemetar menahan hasrat. “Cuma kepalanya doang, kan?” suaranya pelan, hampir seperti bisikan memohon.
Naira memalingkan wajahnya, matanya terpejam rapat. “Iya… kepala aja…tapi tetep aja masuk namanya.” gumamnya, meski paha dan pinggulnya masih refleks bergerak kecil, seakan tubuhnya sendiri tak mau melepaskan sensasi yang baru saja singgah.
Hening sesaat, hanya ada bunyi napas mereka yang berpacu. Rizal menunduk, menatap wajah Naira yang memerah antara malu dan pasrah, sementara rasa hangat yang baru saja dirasakan dari sela masuknya kepala itu membuat keduanya makin sulit mengendalikan diri.
Mereka sama-sama diam beberapa saat, hanya suara napas dan detak jantung yang terdengar… sampai Rizal terkekeh kecil.
“Gila, Teh… itu barusan kayak film bokep live,” celetuknya tengil, jemarinya mengelus rambut Naira yang acak-acakan.
Naira ikut tertawa lirih, menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Jangan ngomong gitu… bikin malu aja…, Hmm… kamu aja yang kelewatan, Zal… aku khilaf, aku kebablasan, nggak nyangka kamu seganas itu,” balasnya manja.
Rizal menoleh, menatap wajahnya dari samping dengan senyum menggoda. “Malu kenapa? Tapi kamu juga… permainannya gila. Jujur aja, aku nggak percaya kamu cuma main sama suami doang selama ini, jam terbang kamu udah tinggi teh.”
Naira membuka matanya, menatapnya malas, lalu menyunggingkan senyum nakal. “Heh, maksudnya?” Naira melirik tajam. “Jam terbang apaan sih…”
“Ya…” Rizal mencubit pinggangnya pelan. “Udah ah, jangan pura-pura polos,” Rizal menyeringai. “Dari cara kamu main tadi aja… aku bisa nebak. Selain aku sama suami kamu, pasti ada…”
“kamu terlalu jago buat ukuran ibu-ibu alim. Cara kamu mainin lidah… seponganmu, caramu ngisep aku tadi… goyang pinggulmu… itu bukan skill orang biasa.. itu jam terbang tinggi banget. Kayaknya sih… lebih dari lima batang yang pernah kamu rasain, ya?” godanya, terkekeh tengil.
Naira langsung mendorong dada Rizal pelan. “Kurang ajar,” katanya dengan tawa menahan malu,
Naira mencubit pinggang Rizal, tapi senyumnya justru makin lebar. “Kamu ini ya… mulutmu nggak ada remnya…”
“Aku cuma ngomong fakta,” Rizal menyeringai.
Naira mendesah pasrah “Ya… dulu aku memang pernah… nakal,” lirihnya. “Pas jadi janda dulu… nafsuku tinggi banget. Aku sempat pacaran sama beberapa cowok sekaligus, bareng… Pernah siang maen sama pacar yg ini malemnya maen lh sama yang itu… bahkan sempat jg maen sama teman kuliah S2-ku, temen kantor pas lagi dinas luar juga pernah… sampai temenku waktu ikut kontes Abang None di kota.” Ia tersenyum getir.
“Tapi semua itu dulu. Waktu aku nikah lagi, aku udah berhenti. Aku berusaha jadi istri yang setia, alim, ngikutin suami… walau hasratku sering nggak kesalurin, aku tahan hampir enam tahun.” Naira menarik napas dalam, suaranya melembut. “Aku bisa tahan enam tahun… enam tahun aku bertahan…aku udah hijrah, berhijab sampai kamu datang… kamu ngerusak semuanya, Zal…”
Rizal diam beberapa detik, lalu tertawa kecil, geli mendengar kalimat itu keluar dari bibir seorang wanita yang tadi menelannya habis-habisan. “Jadi aku ini perusak wanita soleha, ya? Eh pemuas binor solehot deng” godanya tengil.
Naira menoleh, tatapannya tajam tapi bibirnya tersenyum sinis. “Kamu brengsek… kamu yang bikin aku dosa, maksa aku mengulang hal yang udah aku tinggalin.”
“Dan kamu menikmatinya,” potong Rizal, menatapnya dalam.
Naira menahan senyum. “Iya… parah banget.”
Rizal meledek naira sambil melirik nakal “3 kali keluar pula, aku Cuma dapet sekali loh teh, masi banyak energi ini”.
Mereka tertawa bersamaan, lalu hening sejenak. Naira menggeliat kecil di dada Rizal, lalu menatapnya curiga.
Naira menatapnya menyipit. “Kamu juga jangan sok suci. Kamu itu terlalu jago buat ujuran cowok bujangan. Teknikmu tadi tuh… nggak mungkin cuma hasil dari tidur sama satu dua cewek. Jangan-jangan kamu pernah jadi gigolo, ya?”
Rizal mengangkat alis. “Maksudnya?”
Rizal tertawa keras, memeluknya lebih erat. “Gigolo? Hahaha… nggak lah. Tapi… ya, mungkin jam terbangku lumayan lah, bisa dibilang aku punya… beberapa ‘teman spesial’ dulu..” Ia berkedip nakal. “Tapi kamu paling enak, Teh. Nggak ada yang bisa nyamain.”
“Beberapa? Berapa orang yang uda kamu…??” Naira mengangkat alis, pura-pura kaget.
Rizal hanya mengedip genit. “Nggak penting itunya. Yang penting sekarang… bisa bikin kamu puas, kan?”
Naira mendengus manja, menepuk dadanya pelan. “Bangke… puas banget malah.”
Rizal mencium keningnya pelan, lalu berbisik nakal, “Ronde berikutnya nanti aku kasih yang beda… bikin kamu makin nggak bisa lupa sama aku, kamu punya utang 2 kali crot Teh.”
Naira langsung duduk, menatapnya ketus sambil berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi. “Astaghfirullah al-‘azhim….. Jangan ngelunjak Zal. Cukup sekali kamu bisa pake gue!! Tadi itu aku cuma…khilaf. Kelepasan gara-gara kebawa suasana aja, godaan mu, gara gara jari kamu kurang ajar elus-elus memew gue, wanita normal ya sange lah…tambah lagi gara gara kontol nakal lo ga ngecrot-ngecrot uda berbagai gaya juga, terpaksa kan gw harus keluarin skill mulut sama lidah gw.”
Ia berdiri, membelakangi Rizal, mulai melepaskan roknya yang sudah lecek. Tapi gerakannya… lambat, sensual, seperti menari. Saat ia menunduk menurunkan rok itu, pinggulnya bergoyang pelan tanpa sadar, pantatnya yang bulat menggoda bergerak halus, dan ketika kain itu melorot ke bawah, celah vaginanya yang masih basah dan merah merekah sempat terlihat jelas di antara kedua pahanya.
Rizal menatapnya tanpa berkedip, tersenyum miring, sementara Naira melangkah pelan ke kamar mandi, hanya berkata lirih, “Jangan harap ada ronde berikutnya…”
Rizal menelan ludah keras, penisnya Kembali membesar.
Naira menoleh sedikit ke arah Rizal dengan senyum tipis yang menggoda. “Mandi dulu ah…” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke kamar mandi—menyisakan aroma tubuhnya dan bayangan bokongnya yang masih menari di kepala Rizal.