[Iuran Bulanan]
Saat aku dan Anisa tiba di rumah, kami segera bersih-bersih badan. Anisa memasuki kamar mandi duluan, dan aku menunggu di luar. Kami tidak berbicara sepanjang perjalanan sampai sekarang.
Setelah selesai, Anisa keluar dengan wajah merah dan mata yang sembab seperti habis menangis. Ia memakai daster longgar berwarna merah. Aku bisa merasakan kekhawatirannya.
Setelah aku mandi, kami berdua duduk di tepi ranjang, berhadapan satu sama lain.
“Bay.” Anisa mulai berbicara dengan suara lirih, “Ada sesuatu yang mau aku bilang ke kamu.”
Aku menatapnya sambil meneguk ludah. Jujur, aku mulai merasa takut dengan apa yang ingin ia bicarakan. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang.
“Bilang apa, Beb?” tanyaku.
Anisa hanya diam. Ia seperti ragu untuk bicara.
“Aku kelewatan, ya?” tanyaku lagi. “Maaf, ya udah egois.”
“Bay.” Anisa menunduk dan memegang tepi dasternya dengan erat. “Selama tinggal di desa ini, aku udah … aku udah diperkosa sama dua orang. Aku takut tinggal di sini, Bay. Takut sama cowok-cowok di kampung ini karena mereka bejat. Aku ngerasa hina banget waktu ga berdaya dilecehin mereka. Gilanya, ada fase di mana aku malah nikmatin itu semua.”
Meskipun aku tahu tentang kejadiannya dan itu adalah ujung dari permainanku, tapi aku pura-pura bodoh saat ini. “Siapa yang udah berani-beraninya merkosa kamu?”
“Dedi sama Baron,” jawabnya dengan suara parau.
“Kapan?” tanyaku.
“Baron beberapa hari lalu waktu Dedi ga masuk kerja. Kalo Dedi sebelumnya lagi, waktu kamu pulang duluan dan aku lembur di puskesmas,” jawabnya.
“Terus kamu gimana? Kenapa ga bilang?”
Anisa menatapku dengan mata penuh air mata. “Aku takut. Aku ngerasa hina banget dan bersalah, tapi ga berani cerita ke kamu. Aku tuh takut banget, Bay, tapi liat kamu tadi aku jadi mikir kalo seandainya kamu tau, reaksi kamu gimana. Apa kamu bakal marah? Atau apa?”
Aku mencoba untuk memahami perasaannya. “Jujur, aku emang suka dan terangsang kalo kamu digodain dan digrepe-grepe sama cowok lain, tapi kalo di belakang aku … aku ga suka. Ya aku marah lah, tapi bukan sama kamu, tapi sama mereka berdua.”
“Aku ga tau lagi harus gimana,” ucap Anisa. “Aku malu dan takut, Bayu.”
“Kamu ga hina, Beb. Kamu harusnya bangga kalo ada cowok yang suka sama kamu, sampe bikin mereka nafsu. Aku paham mereka ga etis, dan kalo kamu mau, aku akan datengin mereka. Kalo perlu aku habisin mereka berdua.”
“Ga usah, Beb. Aku ga mau kita bermasalah di sini,” balas Anisa.
“Beb, jujur … aku mau kamu supportif sama fantasiku, tapi kalo ada apa-apa lagi tolong kamu bilang demi keamanan kamu juga. Kita udah terlanjur kecebur, tapi sebetulnya aku tuh cuma mau kita bisa sama-sama nemuin kebahagiaan. Liat kamu di posisi tadi tuh bikin aku nafsu dan seneng. Seneng karena fantasiku terwujud, dan seneng kamu nikmatin itu juga. Aku ga akan biarin mereka nikmatin kamu sampe keterlaluan dan kelewat batas, apa lagi tanpa ada aku.”
“Oke, aku akan berusaha buat lebih supportif, Bay. Tapi, aku mau kamu jagain aku biar mereka ga kelewatan sampai kayak Dedi dan Baron. Aku mau merasa aman dan nyaman. Intinya komunikasi, jangan kayak tadi. Aku geli sama cowok-cowok itu. Meskipun ada kamu, aku tuh jijik sama mereka sebetulnya.”
Aku mendekat dan menaruh tanganku di pundaknya. “Aku pasti jagain kamu, Beb. Aku janji bakal selalu ada buat kamu.”
Anisa tersenyum meskipun masih ada getir di wajahnya. “Makasih, Bay. Aku cinta kamu.”
Aku mengecup keningnya. “Aku juga cinta kamu, Beb.”
Anisa mendekat dan menaruh kepalanya di pundakku. “Mulai sekarang aku bakal coba ngikutin fantasi kamu. Kalo kamu mau pamerin aku, silakan, tapi bilang dulu, bahkan kalo emang perlu ada sentuhan atau lebih jauh lagi kayak tadi, aku akan bolehin, tapi komunikasi dulu. Dan kalau pun aku lagi ga mau, tolong jangan paksa aku, ya?”
Aku mengangguk. “Oke, Beb, makasih banyak udah supportif, ya.”
“Terkait Dedi sama Baron, kamu anggap aja ga pernah denger itu,” ucap Anisa. “Aku takut kamu kenapa-napa.”
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah perbincangan itu, kami bercinta penuh nafsu dan romantisme. Entah mengapa, malam ini Anisa agak berbeda. Ia bermain lebih agresif dari biasanya.
***​
Keesokan harinya, puskesmas desa libur. Aku dan Anisa bersantai di rumah tanpa rencana ke mana-mana. Suasana di rumah kami terasa tenang dan damai.
Di tengah tenang dan damai itu, suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku berjalan ke pintu dan membukanya. Di depan sana, Pak RT berdiri memegang map cokelat.
“Assalamualaikum,” sapa Pak RT.
“Waalaikumsalam,” jawabku. “Wah ada apa nih tumben pagi-pagi udah mampir aja?”
“Biasa, Pak Dokter. Saya keliling mintain uang iuran,” jawab Pak RT.
“Oh, masuk aja dulu, Pak RT, tunggu di dalem, saya siapin dulu uangnya,” ucapku sambil menunjuk ke arah sofa di ruangan tamu kami yang kecil.
Pak RT mengangguk dan duduk di sofa sambil menunggu.
“Beb, ambilin seratus ribu dong,” ucapku dengan suara agak keras sambil berjalan ke kamar untuk mengambil uang seratus ribuan untuk iuran RT.
Namun, Anisa tak berada di kamar dan aku belum memberitahu Anisa tentang kedatangan Pak RT. Segera aku keluar kamar untuk memberitahunya, tapi terlambat.
“Uang ap—” Anisa berjalan dari arah dapur ke ruang tamu. Ia berhenti saat menangkap sosok pria yang bukan suaminya sedang duduk di sofa.
Di sisi lain, Pak RT terdiam seribu bahasa. Matanya seakan ingin melompat keluar saat menatap ada wanita sexy yang berjalan sambil mengikat rambutnya ke belakang. Anisa hanya mengenakan lingerie hitam tipis favoritku, tanpa memakai BH.
Wajah mereka memerah. Saat Anisa ingin berjalan ke kamar, ia terhenti karena aku menutupi jalur kaburnya.
“Beb, tolong buatin minuman buat pak RT,” ucapku.
Kata-kata itu seolah menjadi kode bahwa aku ingin ia terus berpakaian seperti itu untuk melayani tamu kami. Ia meneguk ludah dan menundukkan wajah. Aku paham ia risih, tapi Anisa berusaha supportif seperti apa katanya semalam.
“Mau minum apa, Pak?” tanyanya pada pak RT.
“A-apa aja, Bu Dokter,” jawab Pak RT tergagap-gagap.
Anisa mengangguk dan berjalan kembali ke dapur. Sosoknya hilang saat berbelok di depan kamar mandi.
Suasana mendadak canggung. Aku bisa merasakan ketegangan di antara Pak RT dan istriku.
“Ga buru-buru kan, Pak?” tanyaku.
“E-enggak kok, Pak Dokter,” jawabnya.
Aku tersenyum padanya. “Nyantai dulu ya, Pak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar.”
“O-oke.”
***​
Beberapa menit kemudian, Anisa muncul kembali dari dapur dengan membawa dua gelas minuman. Ia meletakkan gelas di depan Pak RT dan aku, lalu duduk di sisiku, menjaga jarak yang cukup dari Pak RT.
“Terima kasih, Bu Dokter,” ucap Pak RT sambil mengambil gelasnya.
“Sama-sama, Pak,” jawab Anisa.
Suasana masih canggung, tapi aku berusaha untuk meringankan situasi. Aku paham gerak tubuh Anisa menunjukkan gelagat risih, tapi selama ia tidak menolak, aku pun diam.
“Beneran ga buru-buru kan, Pak?” tanyaku sambil tersenyum.
Pak RT mengangguk dan mulai berbicara tentang hal-hal random, seperti cuaca dan kehidupan di desa. Tetapi, aku bisa melihat matanya terus melirik ke arah Anisa, terutama bagian dada.
“Kenapa diliatin mulu pak istri saya?” tanyaku iseng.
Pertanyaan itu membuat Pak RT gelagapan dan salah tingkah. Ia langsung minum sampai tersedak.
“Santai aja, Pak,” sambungku lagi.
Pak RT tersenyum dan melirik ke arah Anisa. “Istrinya … cantik, Dok.”
Aku menatap Anisa. “Tuh, kamu dipuji cantik, Beb.”
“Ma-makasih, Pak RT,” ucap Anisa malu-malu.
Hati ku berdebar mengamati situasi ini dan membayangkan setiap momen yang akan terjadi dengan harapan situasi ini berkembang menjadi lebih panas dan berani.
“Dokter Anisa … kalau di rumah … Bu Dokter memang berpakaian seperti ini?” tanya Pak RT malu-malu.
Anisa meneguk ludah. “I-iya, Pak. Kenapa, ya?”
“Kan demi nyenengin suami mah boleh aja, Pak,” ucapku menyambar.
“Ah, anu, Pak Dokter ….”
“Suka ya?” tanyaku lagi.
Pak RT hanya tertawa sambil menggaruk kepala. “Abisnya Bu Dokter cantik banget.”
“Cantik apa sexy, Pak?” tanyaku sambil terkekeh.
“Sexy juga sih,” jawab Pak RT canggung.
“Ah, masa sih? Saya mah liatnya biasa aja tuh. Emang yang sexy apanya, Pak?” tanyaku memancing.
Pak RT kembali melirik ke arah belahan dada Anisa. “Susunya montok dan gede, Pak.”
Meskipun canggung, suasana menjadi semakin panas. Aku berusaha merubah arah pembicaraan pagi ini ke arah yang lebih panas.
“Segitu masih pake baju, Pak,” sahutku.
“Duh, gimana yang ga pake, ya,” balas pria paruh baya itu. Ia sudah mulai cair dan berani.
“Tanya aja langsung ke istri saya, Pak RT” ucapku.
“Tanya apa tuh, Pak Dokter?”
Aku terkekeh. “Apa aja boleh, di sini mah bebas, Pak.”
Dan pada akhirnya, Pak RT mulai memakan umpanku dan membawa topik yang lebih berani dan tertuju ke Anisa.
“Dokter Anisa, saya mau tanya … bu dokter kalau main sama pak dokter … paling suka gaya apa?” tanyanya lebih berani.
Wajah Anisa memerah. “Apa aja, Pak, yang penting enak.”
“Yang enak gimana tuh?” tanya Pak RT lagi.
Anisa menatap ke arahku, dan aku tersenyum padanya sambil mengangguk pelan. Sontak, ia langsung menoleh kembali ke wajah Pak RT. “Do-doggy, Pak. Saya suka dimasukin dari belakang.”
“Wah, enak tuh masuk dari belakang, terus mainin yang atas dari belakang juga.” Pak RT tersenyum dan melirik ke arah ku, lalu kembali lagi ke Anisa dengan pandangan penuh nafsu. “Ka-kalo payudara ukuran berapa, Bu Dokter?”
Anisa masih mencoba untuk tetap tenang. “Aku … aku ukuran 38B, Pak,” jawabnya dengan suara agak gemetar.
Pak RT meneguk ludah sambil menatap fokus ke arah belahan dada Anisa. “Suka … dipegang, Dok?”
“A-apanya?” tanya Anisa.
Pak RT menunjuk ke arah dadanya. “Susunya.”
Anisa meneguk ludah dan menjawab dengan suara parau. “Su-suka, Pak.”
Suasana menjadi semakin intens. Pak RT semakin berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbau porno dan sexual. Sementara meskipun risih, Anisa masih menanggapi dengan jujur.
“Mau pegang, Pak?” tanyaku menawarkan hidangan utama di rumah unu.
Pak RT terdiam menatapku seolah tak percaya mendapatkan tawaran itu langsung dari mulut suami daripada wanita yang sedang ia goda.
Di sisi lain, Anisa pun ikut menatap ke arahku sambil memicingkan matanya. Ia tidak percaya aku akan menawarkan tetua desa untuk menyentuhnya.
Aku meneguk ludah dan mendadak takut dengannya karena belum meminta persetujuan di awal.
“E-emang boleh, Dok?” tanya Pak RT.
Aku memasang senyum canggung. “Tanya langsung aja pak sama istri saya. Kalo boleh sama dia, saya mah ikut aja.”
Pak RT langsung bersemangat menoleh ke arah Anisa. “Bu Dokter … boleh saya pegang … susunya?”
Anisa berusaha menghindar. “Ga ada susu di sini, Pak RT.”
Namun, Pak RT kini menunjuk lebih tegas ke arah dadanya. “Maksud saya megang toket Bu Anisa. Saya gemes, Bu. Udah lama mau pegang kalo boleh.”
Anisa ragu dan tidak langsung menjawab. Namun, setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. “I-iya, Pak. Boleh, tapi … pelan-pelan, ya.”
Pak RT tersenyum lebar dan mendekati Anisa. Ia menaruh satu tangannya di paha dalam Anisa, sementara yang satunya mulai menyentuh payudara istriku dari luar lingerie.
“Gede banget, Bu. Tangan saya sampe ga muat,” kata Pak RT sambil mulai meremas-remas.
“Mpphh ….” Anisa menahan agar mulutnya tidak mendesah.
Aku tersenyum dan mengamati mereka dari depan. “Enjoy, Beb.”
Anisa mengangguk sebagai jawaban. Ia melirik Pak RT yang sudah tidak sabar dan mulai mengangkat lingerie nya.
“Saya buka aja ya biar gampang, Bu Dokter,” ucap Pak RT.
Aku sangat tegang saat melihat momen Pak RT melepaskan lingerie istriku sampai telanjang dan hanya mengenakan celana dalam. Bongkahan payudara Anisa kini berada di dalam genggaman pria paruh baya itu.
“Kamu cantik, Bu Dokter,” puji Pak RT sambil memilin puting Anisa dengan jarinya.
“Shhh … ahhh ….” Anisa mendesah lagi, ia mulai terlihat nyaman dengan sentuhan Pak RT.
Istriku yang awalnya canggung, perlahan-lahan mulai menikmati rangsangan Pak RT. Ia mulai tidak menahan-nahan desahannya lagi.
“Enak, Bu?”
Anisa mengangguk-angguk ke arah Pak RT untuk memberi tanda bahwa ia suka dengan sentuhan itu.
“Jangan panggil Bu dong, Pak. Panggil aja kayak biasa saya manggil istri saya, Beb atau baby gitu biar enak,” ucapku sambil terkekeh.
Pak RT pun semakin berani saat mendapat lampu hijau dariku.
“Kamu cantik, Baby. Boleh aku nenen?” tanya Pak RT.
“Isep aja, Baby,” balas Anisa mengikuti permainanku.
Pak RT menunduk. Ia menyaplok bongkahan payudara kanan Anisa sambil memilin puting yang kiri.
“Ahhhh … isep yang kuat, Babyyyy … mphhh ….”
Anisa mulai menyusui Pak RT. Ia memegang kepala Pak tua itu dan menekannya semakin dalam ke payudaranya.
“Terus, Beb, gigit pelan,” ucap Anisa.
Pak RT pun menggigit puting Anisa dengan manja.
“Ahhhhh ….”
Tangan kirinya membuka celana dan mulai mengocok batangnya sendiri.
“Ahhhh … enak banget kamu, Baby Anisaaaahhh,” lenguh Pak RT. “Kocokin dong.”
Anisa meraih pusaka Pak RT dan mulai mengocok batang itu dengan tangan kanan. Ia mengocok agak cepat untuk menyelesaikan hasrat pria paruh baya itu.
Namun, Pak RT yang sudah tidak tahan, tiba-tiba mendorong Anisa hingga berbaring di sofa. Ia hendak memasukan kontolnya ke dalam memek istriku, tetapi Anisa menahan tubuh pria itu dan melarangnya.
“Jangan, Pak,” ucap Anisa dengan suara panik. “Saya ga mau kalo ga pake kondom.”
Pak RT yang tergagap, mencoba untuk tetap memasukkan kontolnya, tetapi Anisa berusaha keras menahan tubuhnya dengan kekuatan yang terlihat lemah.
“Beby tolongin!” pekiknya.
Aku menatap Pak RT. “Jangan, Pak. Kalo istri saya mau baru boleh. Kalo dia ga mau, jangan dipaksa.”
Pak RT menatapku dan mengangguk. “O-oke, Dok.”
“Pokoknya ga boleh tanpa kondom,” ucap Anisa.
“Oke, Bu Dokter. Maafkan saya.” Pak RT menatap ke arahku. “Pak, ada kondom?”
Aku menggeleng karena memang tak punya stok kondom di rumah.
Pak RT terlihat kecewa.
“Tempelin aja ga apa-apa kepala kontol Pak RT. Boleh masuk dikit, tapi ga boleh masuk lebih dari itu karena ga ada kondom,” ucap Anisa.
Pak RT tersenyum dan mendekati Anisa lagi, tapi kali ini dengan gerakan yang lebih hati-hati. Ia menempelkan kontolnya dan menggesek-gesek bibir vagina istriku, sampai perlahan ia celupkan kepala kontolnya sedikit ke dalam vagisa Anisa.
“Ahhhh, mainin tetek saya lagi, Pak,” ucap Anisa yang sudah turun meskipun bagian bawahnya sudah basah.
“Ah, gini aja udah enak, Dok, apa lagi kalo saya masukin semuaaaa,” kata Pak RT.
“Ahhhh … iya, Pak, enak, tapi saya ga mauuuu ambil resiko … uhhhh.”
Pak RT memainkan puting Anisa dengan jarinya sambil mencelupkan kepala kontolnya keluar masuk bibir vagina Anisa. Sesekali ia menunduk lagi untuk mengulum, menjilat, dan menggigit puting Anisa yang sudah tegang, lalu lanjut mencelup istriku.
“Ahhhh, Pak, lebih dalem dikit,” desah Anisa yang birahinya naik kembali, meskipun ia tahu bahwa itu tidak boleh.
Pak RT tersenyum. Ia menekan kontolnya masuk sampai setengah batang ke dalam memek Anisa.
“Ahhh … Bu Dokter, saya mau keluaaar nih … ahhhh.”
“Jangan dalem-dalem, Pak,” pinta Anisa.
“Ahhhhh, keluaarr, Bu!” Pria paruh baya itu muncrat dengan posisi kepala kontol masuk keluar bibir vagina Anisa.
“Keluarin, Pak, uhhhh ….”
“Ahhhh … kamu enaaaak, Anisaaaaah.”
Saat ia menarik batang miliknya, lendir putih itu berceceran hingga membasahi sofa.
Napas mereka berdua terengah-engah. Setelah itu Pak RT roboh di atas tubuh Anisa.
Anisa menatap ke arahku tanpa kata-kata.
Aku tersenyum padanya dan memberikan jempol. “Kamu mantep, Beb.”
Ia tersenyum, lalu memejamkan mata dan berusaha mengatur napas kembali.