[Hari yang Panas]
Hari pertama kami membuka puskesmas di Desa Sukamaju tiba. Puskesmas ini sudah siap dengan fasilitas dasar yang diperlukan.
Pagi ini, Anisa mengenakan blouse putih dibalut jas dokter dan rok hitam selutut.
Dedi sudah terlebih dahulu datang sebelum kami.
“Selamat pagi, Dokter Bayu, Dokter Anisa,” sapanya ramah.
“Selamat pagi, Dedi,” balas kami bersamaan.
Matanya langsung terpaku pada Anisa, terbidik ke bagian dada yang menonjol. Pria itu mencoba menyembunyikan tatapannya, tetapi bagiku, setiap lirikan terlihat jelas bagaimana dia ingin meremasnya kuat-kuat.
Dedi merupakan asisten di puskesmas ini. Tugasnya menerima pasien dan mengatur agar pemeriksaan berjalan lancar.
Kami mulai menerima pasien, dan tidak lama, ruangan konsultasi kami mulai ramai. Aku dan Anisa berada di ruangan yang berbeda. Jujur, aku penasaran bagaimana cara para pasien pria memandangnya.
***
Menuju siang, kondisi tak seramai yang kami bayangkan. Mungkin warga masih belum terbiasa dengan keberadaan puskesmas ini. Setelah beberapa pasien diperiksa, suasana mulai lengang.
Aku melirik jam dinding. Hampir pukul sepuluh. Karena bosan, aku keluar dari ruangan untuk mencari udara segar.
Sementara itu, dari balik pintu ruangan sebelah, suara samar-samar Anisa yang sedang berbicara dengan pasien masih terdengar.
Ku lihat Dedi sedang duduk bersandar sambil memainkan pulpen di jemarinya.
“Sepi, ya?” sapaku sambil duduk di kursi kosong dekatnya.
Dedi mengangguk, lalu menoleh padaku. “Iya, Dok. Tapi nggak apa-apa. Hari pertama, kan. Mungkin info tentang puskesmas belum neybar seutuhnya.”
Aku mengangguk pelan. Sekilas kulihat dia melirik ke arah pintu ruangan Anisa, lalu kembali menatapku.
“Dok,” katanya pelan, nadanya agak ragu. “Saya mau nanya sesuatu … tapi jangan dimarahin, ya.”
Aku menyipitkan mata, mencoba menebak arah pikirannya. “Tanya aja, Ded.”
Dia mendekat sedikit, lalu menurunkan volume suaranya. “Dokter kan bawa banyak obat dari Jakarta. Ada obat perangsang nggak?”
Alisku terangkat. “Obat perangsang? Maksudmu—”
“Iya, yang … bisa bikin gairah naik gitu. Saya cuma penasaran aja, sih. Cara kerjanya tuh gimana, Dok? Emang kalau dikonsumsi bisa bikin birahi naik gitu?”
Aku menghela napas pelan. “Secara medis, ada beberapa jenis obat yang emang bisa mempengaruhi gairah seksual, baik pria maupun wanita. Tapi kebanyakan itu bekerja lewat sistem saraf atau sirkulasi darah.”
“Jadi kayak Viagra gitu beneran bisa?”
“Viagra lebih ke aliran darah, khususnya buat membantu ereksi. Tapi itu bukan buat merangsang nafsu, lebih ke membantu fungsi tubuhnya. Kalau soal gairah, lebih rumit. Kadang dipengaruhi hormon, suasana hati, sometimes sugesti juga.”
Dedi mengangguk-angguk, tampak benar-benar menyimak.
“Kenapa nanya tentang obat perangsang?” tanyaku sambil bercanda.
Dia tertawa canggung. “Iseng aja, Dok.”
***
Setelah seharian bekerja, kami akhirnya selesai dengan pasien kami yang tidak terlalu ramai.
“Gimana, Beb? Hari pertama,” tanyaku sambil mengelus punggung Anisa.
“Lumayan. Orang-orang di sini banyak yang ramah juga. Seneng bisa bantu mereka,” jawab Anisa dengan senyum.
Setelah semua pasien pulang dan pintu puskesmas ditutup, kami duduk di ruang tunggu. Aroma antiseptik masih terasa samar di udara, bercampur dengan wangi kopi sachet yang Dedi seduh dari ruang belakang.
Anisa duduk di sampingku, membuka sedikit kancing atas blouse nya sambil mengipas lehernya dengan map kosong. Hari ini memang terasa gerah.
Tak lama, Dedi keluar dari dalam sambil membawa tiga gelas kopi plastik.
“Nih, buat lepas capek, Dok. Biar nggak cuma pasien yang dikasih resep, dokternya juga butuh racikan,” katanya sambil terkekeh.
“Kopi sachet mah bukan racikan, Ded,” kataku sambil tertawa, tetapi tetap menerima gelas dari tangannya.
Kami bertiga duduk bersama, Anisa berada di tengah-tengah aku dan Dedi. Suasana awalnya santai, sampai Dedi mulai mencairkan suasana dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos.
“Ngomong-ngomong, Dokter Anisa, dari tadi saya liatin … eh, maksud saya perhatiin, Ibu Dokter kayaknya butuh baju yang sirkulasinya lebih enak deh,” katanya sambil menunjuk ke arah leher Anisa yang berkeringat.
Anisa langsung menatapnya tajam. “Maksudnya, Ded?”
Dedi nyengir. “Ya … itu, kayaknya napasnya tertekan banget. Kancing atas udah ngalah, tuh. Takutnya yang lain nyusul copot satu-satu.”
Aku menatap wajah istriku yang agak risih dengan candaan pria itu, lalu merangkul bahunya mencoba meredam situasi.
“Emang gerah banget. Besok biar adem Dokter Anisa pake tanktop aja,” balasku sambil terkekeh.
Anisa mencubit pahaku. “Apaan sih, ga jelas!”
Dedi tertawa saat melihatku meringis kesakitan. Ia pamit dan kembali ke ruangan belakang. Sementara aku dan Anisa bangkit berdiri.
“Ayo, Beb. Pulang, yuk,” katanya.
“Ya udah, ayuk.”
Kami berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir di depan puskesmas, meninggalkan bangunan kecil itu dalam remang senja yang mulai turun.
***
Malam harinya, setelah seharian bekerja di puskesmas, aku duduk tenang di teras rumah sambil menikmati segelas kopi panas. Kali ini kopi betulan dari biji yang digiling, bukan kopi sachet seperti buatan Dedi.
Suasana malam di desa ini sangat tenang, hanya ada terang bintang dan konser para serangga yang menghuni keheningan. Ketika sedang asik menikmati keheningan itu, terdengar suara langkah kaki dari rumah sebelah. Benar saja, Mang Ujang keluar dari pintu rumah tersebut, ia membawa gelas berisi kopi juga.
“Selamat malam, Mas Dokter,” sapanya dengan senyum ramah. “Saya lihat Mas Dokter ngopi sendirian aja, jadi saya mau temenin.”
“Waduh, makasih loh, Mang Ujang,” balasku.
Kami berdua duduk di teras, menikmati kopi dan obrolan santai. Aku membahas hari pertama kerja di puskesmas, bagaimana orang-orang di desa menerima kami, dan berbagai cerita tentang desa. Sekarang, obrolan kami beralih ke klub bola favorit kami.
“Mas Dokter, saya ini penggemar Manchester United garis keras,” kata Mang Ujang dengan senyum lebar. Ia dengan bangga memaerkan jersey butut yang ia kenakan.
“Kalau saya Liverpool,” balasku sambil tertawa. “Nanti kalau MU ketemu Liverpool, kita nobar, Mang.”
“Yakin, Mas?” tanya Mang Ujang sambil tertawa meledek. “Berani taruhan?”
“Yaaaa … liat aja nanti.”
Kami terus berbicara tentang klub bola, berbagi cerita tentang pemain favorit kami, dan membahas pertandingan-pertandingan menarik yang pernah kami lihat. Sekarang, Mata Mang Ujang mulai melirik ke pintu rumah ku.
“Ngomong-ngomong … Bu Dokter lagi ngapain, Mas? Kok jarang keliatan,,” tanyanya dengan senyum nakal.
“Coba minjem Hape Mang Ujang dong,” ucapku.
“Buat apa, Mas?” tanyanya heran.
“Udah minjem dulu, buruan.”
Mang Ujang mengambil Hape nya dari kantong celana. Aku tersenyum melihat ponsel pria itu. Meskipun jadul, tapi setidaknya ia punya kamera. Setelah ku ambil ponsel itu, aku beranjak bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Saat aku masuk, pintu kamar mandi terbuka. Anisa baru saja selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi dililit handuk putih. Handuknya tidak terlalu besar, hanya sedikit menutupi paha atas dan banyak menampilkan belahan dadanya.
Dengan cepat, aku memotretnya diam-diam, sambil berpura-pura membalas chat. Ia juga tidak sadar kalau yang sedang ku pegang bukanlah ponsel milikku.
Setelah beberapa foto, aku kembali ke teras dan memberikan ponsel Mang Ujang dengan galeri terbuka. Mata Mang Ujang langsung membulat utuh saat melihat foto-foto Anisa nyaris bugil di hapenya.
“Ini Bu Dokter, Mas?” tanyanya. “Asu badane, Cuk!”
“Iya, itu Bu Dokter. Tadi Mang Ujang kan nanya istri saya lagi ngapain,” jawabku sambil tersenyum. “Dia baru selesai mandi.”
Mang Ujang terus menatap foto-foto itu penuh nafsu. Ku lihat ada tonjolan di selangkangannya.
“Dok, aku boleh simpan gambar-gambar ini?” tanya Mang Ujang.
“Buat masturbasi, Mang?” tanyaku sambil meledek.
Ia meneguk ludah, tak bisa mengelak. “I-iya, Dok. Biar kalau Mas Dokter sama Bu Dokter main malam-malam, saya ga cuma kebagian desahan Bu Dokter aja, Mas. Biar saya juga bisa bayangin.”
Aku tertawa geli. “Oke, boleh. Tapi jangan disebarin ke orang lain, ya? Sama jangan sampai Bu Dokter tahu.”
“Terima kasih, Mas Dokter. Saya pasti jaga foto-foto ini rapat-rapat,” ucap Mang Ujang dengan senyum lebar.
Kami berdua terus mengobrol sambil menikmati kopi kami, tetapi sekarang dengan nuanse yang sedikit berbeda. Arah obrolan kami sekarang lebih menjurus ke arah yang dewasa. Pada satu titik, aku mengambil ponselku sendiri dari saku dan membuka galeri foto.
“Mang, nih sekalian aja deh,” kataku, sambil memperlihatkan beberapa foto Anisa.
Aku mulai dari foto yang masih normal, waktu istriku memakai kaus longgar dan celana panjang. Lalu, perlahan, aku geser ke foto-foto lain yang lebih terbuka. Anisa dengan dress ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, hingga foto candid saat ia mengenakan lingerie tipis yang agak tembus pandang. Dan … darahku makin mendidih saat aku menunjukkan satu foto yang paling berani, yaitu saat Anisa tertidur pulas setelah pertempuran panas di ranjang. Akhirnya, ada laki-laki selain diriku yang pernah melihat tubuh Anisa tanpa sehelai benang, meski hanya dari balik layar kaca.
Mang Ujang menatap layar ponselku dengan mulut menganga. “Asu! Iki dokter opo lonte, Cuk!”
Aku terkekeh, lalu mematikan layar ponsel. “Udah, Mang, cukup lihatnya. Nanti kalau MU menang lawan Liverpool, saya kasih semua foto-foto tadi.”
Mang Ujang mengangguk penuh semangat. “Oke, Mas! Saya makin semangat nih. Saya pulang dulu ya, jadi mau nganu.”
“Nanti aja malem colinya,
Mang. Saya kasih bonus suara istri saya, pake aja.”
Mang Ujang tidak jadi pulang. Kami kembali menyeruput kopi, menikmati malam yang kini terasa lebih panas.