[Warung]
Setelah puskesmas tutup, aku dan Anisa segera masuk ke mobil. Tanganku masih sedikit gemetar saat membayangkan momen tadi di ruangan Anisa tadi. Ada rasa cemburu yang singgah di dada, bercampur dengan rasa puas.
Di sampingku, Anisa duduk dengan kikuk. Matanya hanya berani menatap ke jendela, tangannya menarik-narik kemeja putih yang sekarang dikancing rapat. Jas putih dokternya ia peluk di pangkuan. Wajahnya merona, napasnya agak cepat, dan ia belum ngomong apa-apa sejak kami meninggalkan puskesmas.
Ku taksir ia merasa bersalah—mungkin karena kejadian dengan Dedi siang tadi, mungkin karena desahan yang lolos dari mulutnya tadi—tapi ia tidak cerita, dan aku pun tidak ingin bertanya. Suasana di mobil agak canggung sore ini.
“Kamu kenapa sih, Beb? Masih marah sama aku?” Aku melirik ke arahnya.
“Kamu siang tadi ngapain aja di ruangan?” tanya Anisa balik.
“Aku ketiduran gara-gara sepi. Kenapa?” Aku berbohong padanya.
“Enggak, pantes dipanggil ga nyaut-nyaut,” balasnya.
Aku tersenyum mendengar alasannya. “Ada apaan emangnya?”
“Gerah banget di puskesmas. Pasang AC atau beli kipas yang dingin dong,” katanya sambil tangannya ngipas-ngipas wajah. Aku paham, dari caranya bicara, Anisa sedang berusaha mengatur emosi.
“Kalo pasang AC ga mungkin, siapa yang mau bayar listrik? Orang warga desa aja pada susah,” balasku sambil tersenyum. “Nanti aku coba cariin kipas yang dinginnya kayak AC.”
“Beli beberapa, sekalian buat di ruangan kamu, sama ruang tunggu,” sahutnya.
“Beb, kita makan dulu yuk sebelum pulang. Aku laper banget,” kataku.
Anisa menoleh. “Makan di mana?”
“Iseng nanya Dedi, katanya ga jauh pasar ada warung nasi enak, rame.”
“Oh, ya udah,” jawabnya singkat.
Aku tersenyum. Sebenarnya, aku sudah pernah sekali pergi ke warung nasi kecil di pinggir jalan dekat pasar itu, tempatnya kelihatan kotor dan penuh pria-pria kasar. Aku merasa bahwa di tempat seperti itu akan ada cerita yang aku suka.
Anisa cuma mengangguk tanpa tau apa-apa.
***
Akhirnya kami sampai. Warung itu bener-bener kumuh. Hanya bangunan dengan papan dan atap seng karatan. Meja-meja dari kayu itu penuh noda minyak. Di depan, ada beberapa motor butut dan truk pasir parkir sembarangan. Di dalam, aku lihat ada beberapa pria. Mayoritas pelanggan di sini adalah sopir truk, kuli bangunan, preman pasar, dan mungkin beberapa tukang ojek. Mereka terlihat sedang duduk sambil mengunyah makanan. Beberapa di antaranya sedang ngerokok kretek. Bau asap rokok bercampur bau gorengan dan ikan asin cukup menyengat , tapi entah kenapa, itu malah membuatku semakin excited.
Anisa langsung melotot ke arahku. Ia sudah mengenakan jas putihnya kembali. “Bayu, serius? Ini tempat apa? Kayak sarang begal begini!” tanyanya lirih.
“Haha, Beb, ini warung nasi beneran. Mie di tempat kayak gini tuh yang paling enak di dunia tau! Rasanya beda,” kataku sambil tersenyum lebar. “Kamu mau pesen apa?”
Anisa menghela napas panjang, tangannya menarik roknya ke bawah. “Samain aja kayak kamu.”
Istriku terlihat pasrah karena sudah terlanjur masuk ke tempat ini. Matanya melirik ke arah para pria di tempat ini dengan penuh kekhawatiran.
Begitu kami masuk, suasana warung langsung berubah. Ada sekitar delapan pria di dalam. Kebanyakan hanya memakai kaus singlet kotor, kemeja lusuh, atau celana pendek penuh debu. Mereka berhenti mengunyah dan menghisap rokok. Mata mereka nyalang ke arah Anisa. Tatapan mereka seperti srigala liar yang baru saja menemukan mangsa. Ada yang melotot ke arah dada Anisa. Ada yang melirik ke paha mulusnya di balik rok, dan beberapa cuma menatap wajahnya.
Anisa terlihat sangat risih. Aku lihat ia menarik napas dalam, kancing kemejanya ia tutup rapat meskipun sangat gerah melebihi puskesmas. Keringat menetes di lehernya, membuat kain di tubuhnya nempel di kulit, memperjelas lekuk dadanya.
“Bayu, cepet pesen,” bisiknya dengan suara bergetar. Matanya sibuk melirik balik ke pria-pria yang mulai berbisik-bisik sambil tersenyum nakal ke arahnya.
“Duduk dulu, Beb,” kataku sambil menarik kursi plastik di meja sudut dekat jendela yang cuma ditutup kain usang. Aku pesan dua porsi mie instan dengan telor.
Hawa di warung ini sangat gerah, seperti berada di tengah-tengah kumpulan iblis penghuni nerasa. Tidak ada kipas. Satu-satunya angin di tempat ini, hanyalah angin dari udara yang panas di luar.
Aku berkeringat cukup banyak. Karena itu, ku buka jas dokterku dan menaruhnya di atas paha. Lalu, aku menatap ke arah Anisa. Ia masih bertahan dengan jasnya yang berfungsi sebagai tameng.
“Beb, kamu ga gerah apa? Buka aja jasnya kalo gerah,” ucapku.
Anisa akhirnya melepas jas yang ia kenakan dan memeluknya. Sekarang, ia hanya memakai kemeja putih lengan buntung yang entah sejak kapan sudah terbuka dua kancingnya, menampilkan kembali belahan dadanya dan kulit putih mulusnya yang kontras dengan suasana kumuh warung ini. Kemejanya agak ketat, membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas, apalagi dengan keringat yang membuat kain itu nempel di kulit.
“Nah, lebih adem, kan, Beb?” kataku sambil tersenyum.
“Bayu, aku ga betah,” bisiknya.
Aku lihat satu sopir truk dengan kumis tebal berkaus singlet sedang menatap tajam pada Anisa. Temannya yang ku taksir adalah seorang kuli dengan tato burung di lengan tertawa kecil.
Anisa hanya menunduk saja, mulai ciut dan tak berani menatap mereka. Tangannya memegang garpu plastik dengan wajah merah padam.
“Mereka semua ngeliatin aku, Bay. Takut.” Suaranya penuh kekhawatiran.
Aku tau ia sudah sangat risih, apalagi dengan suasana warung yang kotor dan tatapan pria-pria yang terkesan menelanjangi. Tapi entah kenapa, aku senang melihat Anisa jadi pusat perhatian.
“Santai, Beb. Kan ada aku. Toh, mereka cuma mupeng, ga bakal berani apa-apa juga. Kamu kan cantik, wajar dong mereka ngeliatin,” kataku.
Bapak pemilik warung datang membawa dua mie instan pesanan kami. “Silakan, Pak Dokter, Bu Dokter,” katanya ramah.
“Makasih, Pak,” balasku ikut tersenyum ramah padanya.
Tiba-tiba, terbesit ide iseng di kepalaku. “Beb, aku ke toilet sebentar, ya.”
Aku berdiri dengan muka polos, dan mengukir ekspresi panik di wajah Anisa. Aku ingin melihat bagaimana caranya menghandle situasi seperti ini.
Anisa buru-buru menatap ke arahku, dan menarik tanganku. “Bayu, jangan! Aku ga mau sendirian di sini!” bisiknya dengan nada panik.
“Cuma semenit, Beb. Makan aja dulu, pesenannya kan udah dateng,” kataku sambil tersenyum, lalu melepaskan diri dan berjalan ke arah belakang warung, pura-pura menuju toilet.
Namun, sebenarnya, aku cuma sembunyi di sudut dekat dapur, mengintip dari celah dinding papan yang bolong. Jantungku berdegup kencang, campur antara tegang, cemburu, dan … ya Tuhan, rasa puas yang tak bisa kujelaskan.
Anisa duduk kaku di kursi dengan tangan megang garpu. Wajahnya merah padam, keringat menetes di dahinya. Sesekali, ia mengipas-ngipas wajah dengan tangan.
Tiba-tiba, dari arah depan warung, muncul sosok yang membuatku menelan ludah. Pria kekar, kulitnya gosong, ia memamai kaus singlet ketat dan celana jeans robek, dengan tato naga di leher dan gelang emas di tangan. Aku kenal wajahnya—preman pasar yang pernah menggoda Anisa beberapa waktu lalu saat ia beli sayur di dekat pos ojek. Pria itu menyeringai begitu melihat Anisa, matanya nyalang seperti baru menemukan harta karun.
“Oh, kamu dokter toh?” katanya dengan suaranya serak.
Ia berjalan santai ke arah meja istriku. Tanpa permisi, ia menarik kursi di sebelahnya—kursiku tadi—dan duduk dengan santai, lalu mengambil piring mie instanku yang masih setengah penuh.
“Wah, mie nya enak, ya, Dok?” Tanyanya sambil menyendok mie tanpa minta izin, matanya tak lepas-lepas dari belahan kemeja Anisa.
Anisa membelalak, badannya kaku, tangannya gemetar. Ia melakukan.
“I-iya, Pak … itu punya suami saya.”
Pria itu tampak celingak-celinguk. “Mana suaminya?”
“Lagi ke toilet sebentar,” jawab istriku dengan suaranya gemetar.
Ia berusaha sopan. Anisa hanya berani menunduk dan pura-pura fokus ke piring.
Aku meneguk ludah dari posisiku sekarang, jantungku berdegup kencang. Aku tegang melihat preman itu duduk di samping Anisa, tapi entah kenapa, ada rasa puas yang aneh bercampur di dada.
Preman itu tersenyum lebar sambil memandang Anisa dari atas ke bawah. “Dok, gerah banget, ya? Kancingnya kebuka gitu, panas kali di Sukamaju.” Ia tertawa kecil, lalu membentak ke arah dapur. “Pak, susu murni satu!”
Bapak pemilik warung muncul dengan tampang canggung. “E-eh, susu murni ga jual, Bang. Adanya susu kental manis.”
Preman itu nyengir, lalu menoleh ke Anisa dengan mata nakal. “Kalo gitu … susu nona manis aja deh,” katanya dengan suaranya genit, sambil menunjuk ke Anisa dengan dagu.
Anisa terkesiap, tangannya menarik kemeja lebih rapat, wajahnya merah padam, matanya tunduk.
Sopir truk dengan kumis tebal dan kuli bertato di meja sebelah tertawa keras. Seperti mendapatkan sinyal untuk merapat. Mereka menarik kursi lebih dekat ke meja Anisa, membuat istriku dikelilingi empat pria sekarang.
“Bener, Bang Baron, susu nona manis kayak gini jarang ada di Sukamaju,” kata sopir truk sambil nyengir lebar. matanya melotot ke belahan kemeja Anisa.
“Bu Dokter, minta susu buat kita dong,” ucap si pria bertato.
Mereka tertawa lagi. Nada mereka sangat sarkastik, dan penuh godaan.
Anisa hanya bisa diam sambil menunduk. Tangannya gemetar memegangi jas putih di pangkuannya. “Ehm … suami saya bentar lagi balik,” lirihnya. Matanya melirik ke arah belakang, seperti berharap aku muncul sekarang juga.
Pria-pria itu makin berani berbicara dengan nada yang makin sarkastik. “Susu kental manis kan kurang sehat, Dok. Kalo susu Dokter pasti sehat banget,” kata preman pasar itu, ia nyengir nakal dengan badan condong lebih dekat ke Anisa. Siku di meja cuma beberapa senti dari lengan istriku.
“Bener tuh, Dok. Kasih kita susu dong biar kita semua sehat wal afiat,” ujar seorang kuli. “Saya mah siap nampung paling banyak.”
Pria-pria di sana tertawa keras, me.buat suasana warung semakin tegang.
Aku dari tempat persembunyian hanya bisa nahan napas. Jantungku berdegup kencang. Aku tegang sekali melihat Anisa dikerubungi banyak pria seperti ini, apalagi dengan preman pasar yang jelas tidak takut apa-apa. Ada cemburu yang memukul di dada, tapi rasa puasnya lebih banyak.
Anisa akhirnya angkat muka. Ia tersenyum kaku, dan berusaha menjaga kendali. “Ehm … bapak-bapak, kalau mau minum, pesen aja sama bapak warung. Saya di sini cuma pelanggan yang mau makan. Saya juga ga jual susu, saya jualnya obat.” Meskipun agak gemetar, tapi nadanya tegas, dan itu membuatku bangga. Anisa memang wanita yang pintar, ia tahu cara menghandle situasi, meski aku tahu ia sangat ketakutan.
Preman pasar itu nyengir, lalu pura-pura angkat tangan. “Haha, bercanda, Dok. Jangan takut, kita kan cuma ngobrol,” katanya dengan mata yang masih nyalang ke belahan kemeja Anisa.
Sopir truk menimpali. “Bener, Dok. Bercanda doang kita mah.”
Aku tidak bisa meninggalkan Anisa terlalu lama. Aku keluar dari tempat persembunyian, lalu berjalan ke meja dengan muka polos, pura-pura baru balik dari toilet.
“Wah, lagi ngobrolin apa nih?” kataku.
Preman pasar itu langsung bangun dari duduknya. “Eh—Pak Dokter. Saya kira istri siapa ini makan di sini sendirian, jadi saya temenin. Maaf, Dok, tadi saya minta sedikit mie nya.”
Aku langsung duduk di kursi yang tadi didudukin preman pasar itu. “Ga apa-apa.”
Para pria itu perlahan membubarkan diri.
Anisa melirik ke arahku, matanya penuh protes, tapi ada rasa lega juga dari caranya memandangku.
“Kamu berak apa mandi sih? Lama banget!” bisiknya.
“Kenapa, Beb? Mereka ngapain tadi?” tanyaku, meski tahu persis apa yang terjadi.
Anisa mendengus. “Mereka ngomong macem-macem. Aku ga betah di desa ini, pokoknya aku ga mau ke tempat begini lagi, dan ga mau ditinggalin sendirian kayak tadi.”
“Haha, sorry, Beb. Mendadak sakit perut tadi aku, terus airnya abis. Santai aja, mereka paling cuma bercanda. Wajar digodain dikit mah, namanya cowok kampung liat cewek kota. Siapa yang bisa tahan liat cewek cantik, manis, kulitnya putih bersih, dadanya gede, pahanya mulus?”
Anisa mencubit lenganku. “Bisa gila aku tinggal lama-lama di sini. Pokoknya, aku ga mau ke tempat kayak gini lagi!” Ia buru-buru menyendok mie, ingin cepat selesai dan pergi dari tempat ini.
Aku hanya tertawa kecil, sambil ikut makan mie dengan santai.
***
Begitu selesai makan, Anisa langsung berdiri. “Ayo, pulang. Aku mau duluan ke mobil.”
Aku memberikannya kunci mobil, lalu membayar makanan. Setelah itu, aku buru-buru berjalan ke Pajero, diiringi tatapan pria-pria yang masih nyengir dari dalam warung.
“Besok-besok, kalo cari tempat makan tuh yang bener, yang normal-normal aja.” katanya dengan nada ketus.
Aku tersenyum. “Iya, iya.”