Gairah di Balik Tugas Dokter (Cuckold Story) – Part 8

Di layar ponselku, aku menjadi penonton tunggal dari drama paling intim dan terlarang yang pernah kubayangkan. Napasku tercekat di tenggorokan, campuran aneh antara amarah, cemburu, dan gairah yang tak tertahankan memompa adrenalin ke seluruh tubuhku.

Tangan Dedi yang mulanya hanya mengusap, kini bergerak dengan tujuan yang lebih tegas. Jarinya menyelinap di bawah tali bra Anisa, lalu dengan gerakan pelan, tangannya melingkar ke punggung istriku. Aku mendengar bunyi klik pelan saat pengait BH itu terlepas. BH merah muda itu melorot, tak lagi menopang apa pun. Untuk sesaat, kemeja putih yang terbuka itu masih menyembunyikan pemandangan utama, tapi itu tidak berlangsung lama.

Dedi menarik kedua sisi kemeja Anisa, membukanya sepenuhnya seperti tirai panggung. Di sanalah, terpampang sepasang gundukan padat dan indah milik istriku. Puncaknya yang berwarna merah muda menegang, mungkin karena sentuhan udara dingin, atau mungkin karena efek obat yang membakar tubuhnya dari dalam.

“Dokter … persis sama kayak yang ada di bayangan saya,” bisik Dedi penuh nafsu.

Ia menundukkan wajahnya, dan aku menyaksikan dengan mata terbelalak saat bibirnya menyentuh kulit dada Anisa.

“Ahhhh ….”

Anisa tersentak. Sebuah lenguhan rendah dan panjang lolos dari bibirnya. Itu bukan suara penolakan. Itu adalah suara seseorang yang tenggelam dalam sensasi, yang otaknya terlalu kabur untuk membedakan benar dan salah, yang tubuhnya hanya merespons rangsangan murni. Tangannya yang lemas mencoba meraih sesuatu, tapi akhirnya ia menjambak kepala pemuda yang sedang menyusu padanya.

Aku menggertakkan gigiku. Pegawai rendahan di puskesmas tempat kami bekerja, sekarang sedang mencicipi apa yang menjadi milikku. Tapi rasa marah itu dengan cepat tergantikan oleh kepuasan yang bengkok. Ini semua rencanaku.

Anisa mungkin mengira ini adalah mimpi atau halusinasi. Ia merespons sentuhan itu, tubuhnya mengkhianatinya, dan aku adalah satu-satunya saksi yang tahu kebenarannya.

Dedi sepertinya menyadari bahwa kursinya tidak cukup strategis. Ia bangkit, lalu dengan mudah mengangkat tubuh Anisa yang lunglai. Istriku tidak melawan. Ia hanya menyandarkan kepalanya yang berat di bahu Dedi dengan mata terpejam.

“Biar lebih nyaman, Dok,” gumam Dedi, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Ia tidak membawa Anisa ke ranjang periksa. Dedi membaringkannya di atas meja kerja. Laporan-laporan pasien tersingkir begitu saja saat punggung Anisa menyentuh permukaan kayu yang dingin. Posisinya kini sempurna, terekspos sepenuhnya di bawah tatapan kamera pengintipku.

Dari sudut pandangku di layar ponsel, pemandangannya luar biasa. Anisa terbaring pasrah dengan kemeja yang terbuka lebar. Dedi berdiri di antara kedua kakinya, tatapannya sangat buas. Ia tidak membuang waktu.

Aku mencondongkan tubuh lebih dekat ke layar ponsel, volume di earphone ku naikkan hingga maksimal. Aku tidak mau ketinggalan satu detik atau satu desahan pun.

Di atas meja, Dedi tidak lagi menahan diri. Tangannya yang kasar bergerak ke bawah, menelusuri lekuk pinggang Anisa, lalu berhenti tepat di pusat kewanitaannya yang masih tertutup rok. Ia meremasnya pelan dari luar kain.

Lewat earphone, aku mendengar Anisa melenguh. “Nngghh ….”

Kakinya yang tadi diam kini bergerak gelisah, pahanya sedikit terbuka secara refleks.

“Udah basah banget ya, Dok?” bisik Dedi, suaranya terdengar jelas. Ia menyingkap rok kerja Anisa dengan satu gerakan, dan memperlihatkan celana dalam renda tipis yang membalut area intimnya. Kain itu sudah tampak basah dan melekat di kulitnya. “Dokter pengen, kan?”

Anisa menggeleng lemah, tapi tubuhnya berkata lain. Pinggulnya sedikit terangkat ke arah tangan Dedi.

“Bayu…?” lirihnya, suaranya dipenuhi kabut kebingungan.

Ia pasti berhalusinasi, mengira pria yang menyentuhnya adalah aku. Rasa puas yang kejam menjalari diriku. Ia memikirkanku, saat tubuhnya dinikmati pria lain atas rencanaku.

Dedi terkekeh pelan mendengar nama suaminya disebut. Itu seolah menjadi lampu hijau baginya. Tanpa ragu, ia menyibak celana dalam Anisa ke samping, jarinya langsung mengobok-obok lubang kewanitaan istriku yang sudah basah lincin.

“Aahh!” Anisa mendesah saat jari Dedi mulai bermain di sana. Tubuhnya menegang. “Ja-jangan … ahh… jangaaan …”

“Enak ya, Dok?” Dedi terus menggodanya, gerakannya semakin berani dan ritmis.

Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuh istriku menggeliat di atas meja. Tangannya yang lemas kini mencengkeram tepi meja kayu dengan erat. Setiap lenguhan dan rintihan Anisa adalah musik di telingaku. Itu adalah suara kekalahannya, suara penyerahan dirinya pada hasrat yang bukan untukku.

Setelah memastikan Anisa benar-benar tak berdaya dan terbuai dalam kabut nafsunya, Dedi mundur sejenak untuk melepaskan celananya. Dalam sekejap, kejantanannya yang tegang dan siap tempur terpampang di depan kamera. Ia kembali memposisikan dirinya di antara kedua paha Anisa yang sudah terbuka lebar.

“Shhhhh … ahhh … udaaah.”

Anisa mencengkeram lemah tangan Dedi saat kepala penis pria itu menempel dan menggesek bibir vaginanya.

Dedi membungkuk dan berkata tepat di telinga Anisa. “Saya masuk ya, Dok ….”

Sebelum Anisa sempat memproses kata-kata itu, Dedi sudah mendorong barangnya masuk.

“AAAAHHH!” Pekikan Anisa lebih keras dari sebelumnya. Itu bukan teriakan kesakitan, tapi pekikan keterkejutan yang bercampur dengan kenikmatan terlarang. Matanya yang sayu kini terbuka lebar, punggungnya melengkung dari atas meja.

Dedi tidak memberinya waktu untuk beradaptasi. Ia langsung memulai gerakannya, menghunjam masuk dan keluar dengan ritme yang kuat dan crpat. Meja kayu itu berderit pelan mengikuti setiap gempuran.

“Ahh … Dedi… nngghh … ahh … ampuuun!”

Nama pria itu akhirnya keluar dari bibir istriku, bercampur dengan desahan putus-asa. Ia tidak lagi menyebut namaku. Ia tahu siapa yang ada di atasnya sekarang, dan tubuhnya menerimanya.

Aku menyaksikan semuanya. Rambut Anisa yang acak-acakan menempel di dahinya yang berkeringat. Dadanya yang telanjang naik turun dengan cepat seiring napasnya yang memburu.

Dedi berada di atas istriku, menunggangi Anisa dengan liar, wajahnya dipenuhi ekspresi kemenangan.

“Ohh … Anisa … kamu enak … nnggh … sempit banget…” erang Dedi sambil mempercepat temponya. “Memek dokter emang sehat banget.”

“Dediiii … ahh … ampun … nnhgh …” balas Anisa tanpa sadar, didorong oleh insting murni dan efek obat yang membakar akal sehatnya.

Ritme gerakan Dedi semakin menggila. Suara kulit mereka yang beradu, lenguhan Anisa yang semakin tak terkendali, dan erangan berat Dedi menciptakan simfoni liar di earphone-ku.

“Dedi! Dedi! Ahhh … aku mau keluaaar ….”

Puncaknya sudah dekat. Aku bisa merasakannya.

“Dok … Anisa …,” desahnya, suaranya bergetar menahan gejolak. “Enak banget … aku … aku juga mau keluar ….”

“Ahhhh … ahhhh ….”

Anisa hanya bisa merintih, tubuhnya bergetar hebat di bawah Dedi.

Dedi menatap wajah Anisa yang basah oleh keringat. “Aku keluar di dalem, ya? Boleh?”

Anisa tidak menjawab dengan kata-kata. Pikirannya sudah terlalu hancur. Sebagai gantinya, ia melenguh panjang dan putus asa, “Nggghhhhhhhhh…”, sambil menganggukkan kepalanya pelan. Kakinya yang lemas justru mengunci lebih erat di pinggang Dedi, seolah menarik pria itu lebih dalam.

Itu adalah jawaban yang Dedi butuhkan.

Dengan satu erangan terakhir yang keras, Dedi menghunjamkan pinggulnya dalam-dalam. Aku melihat seluruh tubuhnya menegang hebat.

“Ahh … Dok! Ahhh … aku keluar, Dok … ahhhhh, Anisaaaaakuuuu ….”

“Dediiii! Uhhhhhhhhh ….” Anisa memeluk erat tubuh Dedi saat ia dibuat orgasme hebat.

Dengan napas terengah-engah, Dedi ambruk di atas Anisa.

Pertunjukan telah berakhir. Di layarku, Dedi perlahan bangkit, merapikan dirinya, dan meninggalkan Anisa yang terbaring tak berdaya di atas meja, menjadi bukti bisu dari perselingkuhan yang telah aku sutradarai. Saatnya aku berperan sebagai suami yang baik dan menjemputnya pulang.

***

Perjalanan singkat menuju puskesmas terasa seperti perjalanan seorang pemenang menuju pialanya. Aku memarkir mobil persis di depan pintu, seolah-olah aku terburu-buru. Langkahku cepat menyusuri koridor yang sepi dan remang-remang, langsung menuju ruangan Anisa.

Pintu ruangannya sedikit terbuka. Aku mendorongnya pelan. Pemandangan di dalam membuat seringai tipis nyaris terbit di bibirku, namun dengan cepat kutekan.

Anisa dan Dedi duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja. Di atas meja, ada dua bungkus nasi padang yang sudah setengah dimakan. Meja kerja itu kini tampak rapi, seolah tak pernah terjadi apa-apa di atasnya.

Anisa sudah kembali mengenakan kemejanya dengan benar, kancingnya terpasang rapi hingga ke leher. Wajahnya pucat dan rambutnya sedikit berantakan, tapi sekilas ia tampak seperti dokter yang kelelahan setelah lembur.

Dedi juga sudah berpakaian lengkap. Ia duduk dengan santai sambil menyuap nasi dengan tangannya. Suasana itu begitu normal, hingga terasa sangat tidak nyata.

Melihat kedatanganku, Dedi yang pertama kali menyapa. Ia menyeringai.

“Eh, Dok. Saya pikir ga jadi jemput. Niatnya abis ini saya mau anterin dokter Anisa pulang.”

Aku membalas dengan senyum yang ku usahakan terlihat tulus. “Wah, kebetulan banget. Baru kelar urusan. Makasih lho, Ded, udah nemenin Anisa. Jadi ga enak ngerepotin.” Mataku melirik Anisa yang tampak sudah sangat lemas.

Aku segera menghampirinya. “Kamu kenapa, Sayang? Pucet banget mukamu.”

Anisa menggeleng pelan. “Ga apa-apa kok.”

Aku menempelkan punggung tanganku ke dahinya. “Ga panas sih. Kamu kecapean, ya?”

Anisa mengangguk lemah. Ia menyandarkan kepalanya sejenak di bahuku. “Iya, Mas. Tadi tiba-tiba kepala pusing banget, kayak mau pingsan.”

Pandanganku tanpa sadar jatuh ke meja kerjanya yang bersih. Tatapan mataku bertemu dengan tatapan Dedi sesekian detik. Di mata pemuda itu, aku melihat kilatan kemenangan dan sedikit arogansi yang tersembunyi. Ia pasti merasa telah menaklukkan istri atasan sementaranya. Ia tidak tahu bahwa ia hanyalah aktor dalam sandiwaraku.

“Untung ada saya tadi, Dok,” Dedi menyambung, seolah ingin menegaskan perannya sebagai pahlawan. “Dokter Anisa tiba-tiba lemes banget pas mau pulang. Makanya saya beliin nasi dulu, takutnya masuk angin.”

“Oh, gitu ya? Wah, makasih banyak ya, Ded. Perhatian banget kamu sama istri saya,” kataku, penekananku pada kata ‘istri saya’ kubuat sehalus mungkin. Aku merangkul pinggang Anisa dengan posesif. “Ya udah, yuk kita pulang, Sayang. Kamu butuh istirahat.”

Anisa hanya bisa mengangguk pasrah dalam pelukanku.

“Biar saya beresin dulu ini, Dok,” kata Dedi sambil menunjuk bungkus nasi yang tersisa.

“Sekali lagi, makasih banyak bantuannya ya, Ded,” ujarku dengan nada yang ramah.

“Siap, Dok. Sama-sama,” jawab Dedi, bangkit dari kursinya. Ia menatap Anisa sejenak. “Cepet sembuh ya, Dok.”

Anisa tak merespons pemuda itu.

Aku menuntun Anisa keluar dari ruangan itu, meninggalkan Dedi sendirian dengan sisa-sisa pesta mereka.

Sepanjang jalan menuju mobil, Anisa bersandar erat padaku, tubuhnya terasa begitu rapuh. Aroma parfum Dedi yang samar-samar tercium dari pakaiannya menjadi bukti nyata.

Di dalam mobil, ia langsung menyandarkan kepalanya ke jendela sambil memejamkan matanya.

“Tadi Dedi baik, kan?” tanyaku pelan sambil menyalakan mesin.

Ia mengangguk tanpa membuka mata. “Baik … dia banyak ngebantu … aku tadi tiba-tiba pusing banget, ga inget apa-apa. Rasanya kayak mimpi aneh.”

Aku tersenyum dalam kegelapan mobil. “Mimpi, ya? Yaudah, sekarang tidur aja. Nanti di rumah aku buatin teh anget.”

Anisa tidak menjawab, napasnya mulai teratur. Ia tertidur, atau mungkin pingsan karena kelelahan, mencari perlindungan dalam ketidaksadaran. Ia tidak tahu bahwa pria yang duduk di sebelahnya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, adalah iblis yang mengatur mimpi buruk terindahnya.

Aku menyetir dengan tenang. Di ponselku, tersimpan video berdurasi tiga puluh tujuh menit yang akan menjadi harta karunku. Malam ini baru permulaan. Dan aku akan menikmati setiap detiknya.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *