Namaku Bayu. Saat ini aku dan istriku sedang dalam perjalanan tugas menuju sebuah desa pelosok di ujung Pantura. Kami berdua merupakan pasutri dokter yang di kirim ke sana karena kekurangan tenaga medis.
Mobil Pajero Sport hitam kami terlihat seperti benda asing di antara deretan rumah-rumah reyot dari kayu dan bambu di daerah ini.
Bau garam dari laut bercampur dengan aroma tanah kering dan sedikit bau sampah menyambut kami.
Jalanan di depanku lebih banyak tanah daripada aspal, berlubang di sana-sini. Banyak anak-anak kecil dengan baju kumal berlarian tanpa alas kaki, menatap mobil kami seperti melihat pesawat luar angkasa.
Sukamaju adalah desa nelayan yang kumuh, terpencil di ujung Pantura, dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Rumah-rumah di sini kebanyakan berdinding papan lapuk, atapnya dari seng karatan atau daun kelapa yang sudah menguning.
Warung kopi kecil dengan papan nama pudar berdiri di sudut desa, menjual rokok, mi instan, dan kopi sachet, dikelilingi pria-pria berkulit gelap yang merokok kretek. Mata mereka mengintai kami dengan rasa ingin tahu dan sedikit curiga.
Puskesmas tempat kami bertugas nanti bukanlah gedung modern seperti di Jakarta. Hanya bangunan plesteran yang catnya sudah mengelupas.
“Beb, ini … beneran tempat kita tugas?” tanya Anisa, istriku.
Aku meliriknya. Anisa adalah definisi keindahan. Tubuhnya ramping tapi berlekuk sempurna.
Dadanya terlihat penuh dan kencang, terlihat jelas di bawah blouse lengan buntung putih yang ia kenakan hari ini, dengan belahan dada rendah yang memperlihatkan sedikit kulit mulusnya, membuatku menahan napas. Blouse itu diselimuti cardigan tipis abu-abu yang jatuh longgar di bahunya, tapi tak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya yang menggoda.
Kulitnya putih mulus, hampir seperti susu. Rambut hitamnya terikat menampilkan leher jenjangnya.
Wajahnya cantik dengan hidung agak mancung. Ia juga mengenakan kacamata. Keindahannya tampak terlalu kontras dengan desa kumuh ini.
Paha jenjangnya juga menonjolkan kaki yang seolah tak pantas berjalan di jalan berdebu ini. Perawakannya anggun, dengan sikap percaya diri seorang dokter berpendidikan tinggi.
Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanan ku sendiri.
“Iya, Beb. Di sini kekurangan tenaga medis,” jawabku, meski dalam hati aku bertanya-tanya kenapa kami, pasangan dokter kaya dengan apartemen mewah di Sudirman dan liburan tahunan ke Bali, harus dikirim ke tempat seperti ini.
Kurangnya tenaga medis, kata surat tugas itu. Tapi melihat Anisa berdiri di tengah debu dan bau garam dengan tubuh yang seolah tak pantas berada di desa kumuh ini, entah kenapa aku justru merasa tegang.
***
Aku memarkir Pajero Sport di depan sebuah rumah kayu yang sedikit lebih rapi dari yang lain, dengan papan nama sederhana bertuliskan ‘Rumah Pak RT Sukirman’.
Rumah itu berdinding papan yang dicat hijau pudar, atap sengnya berkarat di ujung, dan halaman kecilnya penuh dengan pot tanah liat berisi tanaman.
Anisa turun dari mobil. Cardigannya berkibar pelan dibelai angin, blousenya memperlihatkan belahan dada saat ia membungkuk untuk mengambil tasnya.
Seorang pria paruh baya bertubuh kurus kering, dengan kopiah hitam dan sarung keluar dari rumah. Tangannya mengulurkan jabatan.
“Dokter Bayu, selamat datang di Desa Sukamaju,” sapanya dengan suara agak serak.
“Terima kasih, Pak Sukirman,” balasku sambil menjabat tangannya. Kini, arah tatap ku pindah ke arah Anisa. “Beb ini Pak Sukirman, RT di desa ini.”
Anisa tersenyum ramah padanya. “Salam kenal, Pak,” sapanya lembut.
Sesuai dugaanku, matanya melirik Anisa lebih lama dari yang diperlukan. Arahnya mendarat di belahan dadanya sebelum kembali ke wajahku.
“Kenalin, Pak. Ini Anisa, istri saya sekaligus rekan kerja saya di sini,” kataku.
“Oh ya, salam kenal.” Ia mengajak istriku bersalaman.
Saat Anisa menjabat tangannya. Terlihat sekali perbedaan mereka. Tangan gelap kasar itu memeluk tangan putih mulus istriku. Aku menelan ludah. Entah, rasanya agak menegangkan, mengingat diam-diam aku memiliki fantasi yang cukup unik. Aku senang memamerkan istriku, dan membayangkan pria lain menikmatinya.
Di samping Pak RT berdiri seorang pria yang lebih muda, mungkin akhir 20-an, badannya tegap dengan kulit sawo matang dan rambut pendek yang sedikit berantakan. Ia mengenakan kaus polo biru tua yang agak ketat, memperlihatkan lengan berotot, dan celana kain hitam yang sedikit lusuh. Wajahnya keras tapi menarik, dengan rahang tegas dan mata cokelat yang tajam.
“Ini Dedi, asisten klinik yang akan bantu bapak-ibu di puskesmas,” kata Pak RT, menepuk bahu pria itu.
Dedi mengangguk sambil tersenyum tipis. Ku lihat matanya mencuri-curi pandang pada Anisa, menelusuri blouse-nya yang memperlihatkan belahan dada dan paha jenjangnya.
“Selamat datang, Dok. Saya Dedi. Kalau ada apa-apa panggil saya aja,” katanya.
Anisa tersenyum. “Terima kasih, Mas Dedi.”
Menyadari tatapan Dedi yang tak malu-malu. Aku menahan senyum, ada getaran aneh di dadaku. Entah, aku suka melihat Anisa diperhatikan dengan nakal.
“Puskesmasnya sudah siap, Pak?” tanyaku pada Pak RT, mencoba fokus, tapi pikiranku melayang ke blouse Anisa dan tatapan Dedi yang bergerilya.
“Siap, Dok. Tapi klinik baru buka lusa, biar kami siapin dulu,” jawab Pak RT. “Sekarang, saya antar ke rumah dinas bapak-ibu dulu untuk segera istirahat dari perjalanan jauh.”
Pak RT mengangguk pada Dedi. Pria itu mengambil kunci motor bututnya, siap mengawal kami ke rumah dinas.
Aku dan istriku mengikuti Pak RT menyusuri jalan mengendarai mobil.
Sesampainya diujung perjalanan, rumah dinas kami ternyata hanyalah rumah kontrakan tiga petak, berdempet dengan rumah lain di deretan sempit. Dindingnya dari papan kayu yang lapuk, dicat biru pudar yang sudah mengelupas, atap sengnya berderit ditiup angin, dan pintunya kecil, dengan kunci tua yang berkarat. Sangat jauh dari apartemen kami di Sudirman, tapi ini rumah kami sekarang.
“Ini tempatnya, Dok,” kata Pak RT sambil tersenyum canggung. “Sederhana, tapi insyaallah nyaman.”
Dedi berdiri di pintu. Ia menyandarkan diri di kusen, matanya masih mencuri pandang ke istriku saat Anisa memeriksa ruangan. Cardigannya terbuka sedikit, memperlihatkan belahan dada yang lebih banyak.
“Kalo butuh apa-apa, bilang saya, Dok Anisa,” kata Dedi sambil tersenyum.
Ku lihat Anisa mengangguk, “Oke, terima kasih, Mas Dedi.”
“Terima kasih, Pak RT, Mas Dedi,” kataku pada mereka.
Pak RT pamit, diikuti Dedi. Pria itu melirik Anisa sekali lagi sebelum pergi. Setelah itu, aku menutup pintu dan menoleh ke Anisa yang saat ini sedang duduk di tepi sofa.
“Beb, ini … beneran rumah kita?” tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Aku tersenyum dan mendekatinya, lalu duduk disamping istriku sambil mengelus pahanya.
“Sementara aja, Beb. Nanti kalo nemu yang lebih layak, kita sewa mandiri aja.”
Istriku mengangguk tanpa protes. Meskipun dari raut wajahnya, ia sangat terlihat kurang nyaman tinggal dan berada di tempat ini.