Jejak Rahasia Naira – Part 10

“Kalau aku turutin kamu lagi… nggak akan ada habisnya, Zal… kamu udah dua kali…” bisik Naira terbata, mencoba mencari alasan meski matanya sudah setengah meredup. Ia bisa merasakan tonjolan keras kejantanan Rizal yang masih tegak menekan perut bawahnya—panas, keras, dan menegangkan, seolah tidak pernah lelah.

“Karena kamu, Na… tubuhmu bikin aku nggak bisa berhenti,” balas Rizal serak, sebelum menundukkan bibirnya ke leher Naira, mencumbu lembut, menyeruput kulitnya pelan.

Naira menghela napas panjang yang terdengar seperti keluhan dan rintihan sekaligus, matanya terpejam ketika Rizal dengan satu dorongan lembut menundukkan tubuh bagian atasnya hingga tertelungkup di atas meja, pipinya menempel pada permukaan kayu dingin, sementara pinggulnya terangkat sedikit ke belakang.

“Cantiknya kamu begini…” gumam Rizal, menatap punggung Naira yang masih berseragam rapi, rok lebarnya membalut ketat bokong montok yang kini menyembul menantang—dan setiap sentuhan bibir serta tangannya yang terus mencumbu membuat pertahanan Naira perlahan mencair, runtuh satu per satu.

Dengan pelan, Rizal menyingkap ujung rok Naira ke atas, memperlihatkan thong renda mungil yang nyaris hanya menutupi lekuk paling rahasianya. Pemandangan itu membuat napas Rizal tertahan sejenak. Ia menunduk, mengecup satu sisi pantat Naira, lalu menyingkap thong itu ke samping hanya cukup untuk menyelipkan jarinya masuk ke celah basah yang sudah licin memanas.

Jari Rizal menyelam perlahan, menelusuri dinding hangat yang berdenyut di dalam sana.

“Aaah… Zaaal…” desah Naira pecah tanpa bisa ditahan, jemarinya mencengkeram tepi meja erat-erat, pinggulnya menggeliat kecil tanpa sadar mengikuti irama jemari itu.

Rizal tertawa kecil di belakangnya, bibirnya masih mengecup kulit halus di pinggang Naira. “Baru disentuh dikit udah sebecek ini… kamu nggak bisa bohong, Teh…”

Naira hanya bisa menggeleng pelan, pipinya memerah, napasnya semakin memburu—panas dan berat. Dengan satu tarikan pelan, Rizal melucuti thong Naira, menurunkannya perlahan melewati paha mulus yang kini bergetar halus, sampai melorot ke lutut. Naira, seolah paham apa yang Rizal inginkan, mengangkat satu kakinya perlahan—heel tipis yang masih menempel membuat gerakannya tampak begitu menggoda—hingga thong mungil itu terlepas, jatuh menggelantung di pergelangan kakinya.

Rizal menghela napas berat, tangannya membelai bokong bulat Naira yang kini telanjang mulus, lalu kembali menyelipkan jarinya—kali ini lebih dalam, lebih berani. Gerakan jemarinya ritmis, menimbulkan bunyi basah samar yang berpadu dengan desah Naira yang semakin keras, lirih, dan penuh kenikmatan terlarang.

“Ya Allah… Rizal…” desis Naira, matanya terpejam, punggungnya melengkung ke belakang mengikuti irama jemari Rizal, tubuhnya bergetar setiap kali jari itu menyentuh titik sensitif di dalamnya.

Rasa nikmat yang menumpuk membuat tangannya meraba ke belakang, menemukan kejantanan Rizal yang masih keras dan menegang sempurna. Jemari Naira membungkusnya perlahan, meremas lembut, lalu menggulirkannya naik turun dengan gerakan yang basah dan menggoda, membuat napas Rizal tersangkut di tenggorokan.

“Masukin, Zal… aku mau ini kamu…” bisik Naira dengan suara nyaris parau, setengah memohon, setengah menantang, sembari terus mengelus kejantanan Rizal yang semakin keras di tangannya.

Rizal menunduk, bibirnya menempel di telinga Naira, suaranya serak dan berat, “Mau apa teh…teteh cantik mau kontol??”

Sambil bibirnya terus mencumbu kulit leher Naira, Rizal menuntun pinggulnya mendekat, membiarkan ujung kejantanan yang berdenyut itu menyapu lembut lipatan basah Naira—membangun ketegangan manis di antara mereka, tepat sebelum batas terakhir itu benar-benar mereka lewati, “Kamu kelihatan soleha tapi bikin dosa gini, Teh… cantik banget sih…”.

Rizal menahan pinggul Naira erat, napasnya berat membakar tengkuknya sendiri, sementara ujung kejantanan yang keras dan panas itu perlahan menyapu celah basah di antara paha Naira. Sentuhan itu membuat Naira menahan napas—bahunya merapat tegang, lalu melemas seketika ketika rasa hangat itu menekan lebih mantap.

“Zaaal…,” desahnya lirih, suara gemetar bercampur gairah. Jemarinya kembali mencengkeram tepi meja erat-erat, tubuhnya bergetar menunggu saat itu tiba.

Dengan satu dorongan pelan tapi dalam, Rizal menekan pinggulnya ke belakang, membiarkan kejantanan tegangnya melesak masuk perlahan ke dalam kehangatan Naira. Dinding lembut di dalam sana menyambutnya erat, basah, dan hangat luar biasa, membuat Rizal mendesah berat di telinga Naira, suaranya parau dan dalam.

Naira terlonjak kecil saat merasakan dirinya dipenuhi, bibirnya terbuka melepaskan teriakan pendek yang pecah, “Aaah… Rizaaal…,” sementara punggungnya melengkung, dadanya terdorong ke depan, dan pinggulnya refleks menekan balik, menahan sensasi yang meledak di setiap serat tubuhnya.

Rizal menarik napas panjang, lalu mulai bergerak perlahan—ritmis, dalam, dan penuh kendali, seolah ingin merasakan setiap inci Naira yang menyelubunginya hangat. Setiap hentakan membuat Naira mendesah lebih keras, suaranya pecah, serak, dan menggairahkan, memenuhi ruangan dalam irama yang semakin liar.

“Oh Tuhan… di situ, Zal…buruan masukin,” lirih Naira, matanya terpejam rapat, keringat tipis mulai membasahi pelipisnya, tubuhnya bergerak lentur mengikuti setiap tarikan dan dorongan Rizal yang semakin dalam, semakin intens, seolah tak ada yang mampu menghentikan arus kenikmatan yang menelan mereka berdua.

Desahan Naira pecah lagi, menggema pelan di kamar yang tiba-tiba terasa terlalu panas, terlalu penuh dengan aroma mereka berdua.

Pinggul Rizal mulai menggempur lebih dalam, setiap hentakannya terdengar basah dan keras—“plok… plok… plok…”—memenuhi ruang kamar yang sunyi. Meja kecil tempat tubuh bagian atas Naira bersandar berderit pelan mengikuti irama liar Rizal dari belakang, sementara Naira sendiri mencengkeram tepi meja erat-erat, tubuhnya melengkung mengikuti setiap hantaman itu.

Nafasnya memburu, wajahnya memerah, keringat tipis mulai muncul di pelipisnya.

“Zaal… ahh… pelan dikit…” lirihnya terputus-putus, tapi Rizal hanya menunduk merengkuh pinggangnya lebih erat dan membalas dengan hentakan yang makin dalam.

Tiba-tiba, suara getaran HP memecah keheningan, membuat Naira tersentak kecil. Ia melirik ke arah tas tangannya yang tergeletak di kursi—ponselnya menyala. Ia membeku sejenak, lalu dengan napas terengah berbisik, “Stop… diem dulu…”

Rizal hanya menyeringai nakal dari belakang, masih menahan pinggulnya menempel erat di bokong Naira, batangnya tetap tertanam penuh di dalam. Naira meraih ponselnya dengan tangan gemetar, menatap layar… dan dadanya langsung tercekat.

Suaminya.

Jantung Naira berdegup keras, hampir menenggelamkan suara getaran itu sendiri. Ia menoleh ke belakang, menatap Rizal tajam penuh peringatan. Rizal mengangkat alis, lalu menempelkan telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat akan diam—meskipun pinggulnya masih sedikit berdenyut pelan di dalam tubuh Naira, hanya untuk membuatnya gemetar.

Dengan menelan ludah gugup, Naira menekan tombol hijau dan menempelkannya ke telinga.

“H—halo… assalamualaikum Mas…” sapanya pelan, napasnya tertahan setengah.

“Waalaikumsalam,” suara suaminya terdengar hangat dan datar dari seberang, “kamu di kantor atau lagi di luar Yang?”

Naira memejamkan mata, berusaha keras menata napasnya yang masih bergetar. “I-iya… di kantor kok, kenapa Mas?”

Saat itu juga, Rizal yang masih menempel di belakangnya mulai menggoyang pinggul perlahan, nyaris tanpa suara—tapi cukup membuat sensasi menggetarkan menjalar ke seluruh tubuh Naira. Dia menggigit bibir kuat-kuat, menahan desahan yang mendesak ingin keluar.

“Oh… soalnya aku sekalian mau mampir ke kantor kamu, ada urusan sebentar di sekitar situ,” lanjut suaminya santai.

Mata Naira langsung membelalak panik. “Ke…Mamas ke kantor aku?” ulangnya nyaris tersedak, pinggulnya refleks bergerak menghindari, tapi Rizal justru menahan pinggangnya erat-erat dan menancap sedikit lebih dalam, membuatnya menahan napas keras.

“Beloom, bentar lagi, cuma sebentar aja. Kamu di ruang kerja, kan?”

“I… i-ya,” Naira memaksa senyum walau suaranya nyaris pecah, “lagi… lagi atrecing, tegang banget tadi badanku, bentar lagi juga selesai.”

Rizal menunduk ke telinganya, bibirnya nyaris menyentuh jilbab Naira saat berbisik, “Suaranya manis banget kayak gini…”

Tubuh Naira merinding. Ia mengangkat satu tangan menepis wajah Rizal menjauh, tapi hanya dapat lirikan nakal sebagai balasan. Rizal mulai menggoyang lebih cepat lagi, tetap sunyi, namun penuh tekanan—membuat suara basah samar “slup… slup… slup…” mulai terdengar pelan dari antara mereka.

Naira menggigit bibir, menahan desahan yang hampir pecah. “O… oke, hati-hati di jalan ya, Mas…” ucapnya sambil menarik napas dalam agar terdengar normal.

“Iya… kamu jangan capek-capek kerja,” jawab suaminya ringan. “Sampai ketemu nanti.”

“Iya, sampai ketemu…”

Begitu sambungan terputus, Naira langsung membuang ponselnya ke atas meja dan menunduk, napasnya pecah-pecah. Rizal terkekeh lirih dari belakang, lalu tanpa aba-aba menghentak kuat sekali, membuat tubuh Naira tersentak dan mulutnya otomatis ternganga mengeluarkan desahan panjang yang tertahan selama ia berbicara di telepon tadi.

“Ya Allah… Rizaaal…”

Rizal menunduk mencium pundaknya dari belakang, tangannya meremas pinggang Naira erat. “Lihat? Waktu suamimu telepon, memekmu tetep nerima aku… tetap butuh kontolku…”

Desahan Naira menjadi jawaban, menggema lembut di udara yang kini penuh aroma panas tubuh mereka berdua.

Rizal menarik pinggul Naira ke belakang lalu perlahan menarik keluar batangnya yang masih berdenyut panas dari dalam tubuh Naira yang licin dan menggigil. Naira menoleh setengah sadar, mata setengah tertutup, napasnya masih memburu. Tapi Rizal tak memberinya waktu.

Dengan satu gerakan cepat, Rizal membalik tubuh Naira hingga kini mereka saling berhadapan. Nafas mereka saling membakar, dada Naira naik turun cepat di balik blus yang kusut setengah terbuka, jilbabnya sudah miring tak karuan.

“Naik,” bisik Rizal lirih, suara berat menahan hasrat.

Tangannya menyelip di bawah paha Naira, mengangkat tubuh mungil itu dengan mudah dan mendudukkannya di atas meja. Bibirnya segera melumat bibir Naira rakus, lidahnya menjelajah, dan di sela ciuman itu Naira mengeluarkan desahan panjang, “hhnnghh… Rizal…”

Begitu Rizal menunduk sedikit, pinggulnya menghantam ke depan—menyatu lagi dengan keras, dalam, menghujam.

Tubuh Naira tersentak ke belakang, tangannya refleks melingkar di leher Rizal. Suara benturan basah memenuhi ruangan, “plak… plak… plak…” setiap kali Rizal menghujam, keras dan cepat, meja bergetar di bawah mereka.

“Ahhh—yaaahhh Rizaaal!!” jerit Naira, kepala terlempar ke belakang, matanya terpejam rapat. Kakinya mengait di pinggang Rizal, pinggulnya melawan setiap hentakan, menjemput setiap sentakan penuh hasrat itu.

Rizal mencengkeram pinggangnya erat, mendesah kasar di leher Naira, “Ketat banget kamu… astaga Naira… aku nggak kuat lama-lama…”

Naira hanya bisa menggeliat dan menunduk menciumi bahu Rizal, tubuhnya bergetar hebat. Getaran itu makin cepat, makin liar… sampai akhirnya tubuhnya menegang seluruhnya, punggungnya melengkung kuat, bibirnya terbuka melepaskan jeritan panjang,

“AAAHHHH… SAYAANGGGG..AKU KELUARRRHH…!!”

Tubuhnya berguncang keras dalam pelukan Rizal—otot kewanitaannya mencengkeram, meremas kejantanan Rizal dengan ritme cepat tak terkendali, seperti gelombang yang menggulung berulang kali. Rizal mengerang keras, “Ya Allah… teh… aku—aku mau keluar!!”

Dengan satu hentakan dalam yang terakhir, Rizal menghujam sedalam mungkin—menenggelamkan dirinya seluruhnya—dan seketika tubuhnya juga menegang, napasnya pecah, “hhhhnnggggghhh…!”

Ledakan panas menyembur deras di dalam tubuh Naira, deras, tebal, hangat… menabrak dinding terdalamnya. Naira terisak kecil dalam sisa orgasmenya, merasakan setiap denyutan Rizal yang memompa habis-habisan ke rahimnya, tubuh mereka sama-sama bergetar, menempel erat, seolah enggan dilepaskan satu sama lain.

Desahan mereka menggema, berat, kasar, tercampur pelukan lelah yang masih menahan sisa-sisa getaran klimaks yang mengguncang keduanya barusan.

Naira berdiri dengan kaki yang masih terasa lemas, napasnya belum sepenuhnya teratur. Tubuhnya masih bergetar halus, sisa-sisa ledakan gairah barusan masih berputar di seluruh syarafnya. Blouse batik yang dikenakannya terbuka beberapa kancingnya, memperlihatkan lekuk dadanya yang naik turun cepat. Hijabnya miring tak beraturan, helaian rambut lembap menempel di pelipisnya. Roknya tersingkap tinggi, hampir ke pinggang, memperlihatkan paha yang masih tampak berkilau oleh keringat.

Ia menelan ludah, panik menyadari waktu. “Ya Allah… aku harus balik sekarang,” desisnya setengah gemetar. Ia tahu suaminya sedang dalam perjalanan ke kantornya, dan bayangan bertemu dalam kondisi seperti ini membuat jantungnya berdebar kencang.

Tangannya gemetar ketika mencoba menutup kancing blouse satu per satu, sementara kewanitaannya masih berdenyut lembut, sensitif setiap kali paha bergesekan. Ia meraih tisu di atas meja, lalu dengan cepat—hampir kasar—mengusap sisa-sisa basah di antara pahanya, menahan desahan kecil karena sentuhan ringan saja membuat tubuhnya menegang kembali.

“Cd ku… di mana…?” gumamnya terburu-buru, matanya liar mencari di lantai. Rizal yang masih berdiri telanjang, dadanya turun naik, hanya tersenyum samar dan menunjuk ke pergelangan kaki kirinya.

Naira menunduk dan melihat thong mungilnya masih menggantung di sana, lusuh dan lembap. Pipinya memanas, antara malu dan masih mabuk gairah. Ia meraihnya, namun ragu untuk memakainya kembali—waktu terlalu sempit. Dengan napas terengah, ia menyerah, menyelipkannya begitu saja ke dalam tas tangan.

Ia merapikan rok yang masih melingkari pinggangnya, lalu memperbaiki hijab dengan tangan gemetar, mencoba menutupi wajahnya yang masih bersemu merah. Satu tarikan napas panjang ia ambil untuk menenangkan degup jantungnya, meski kewanitaannya masih terasa seperti berdenyut pelan setiap kali ia melangkah kecil.

Sebelum berbalik menuju pintu, ia melangkah ringan ke arah Rizal. Dengan gerakan manja, ia mengecup bibirnya, lembut namun sarat janji, lalu turun perlahan mengecup kepala kejantanan Rizal yang masih menegang, basah dan berkilat. Rizal hanya mendesah pelan, tangannya nyaris meraih pinggang Naira lagi.

Namun Naira sudah tersenyum nakal, menepuk dada Rizal ringan. “Sampai ketemu lagi lain kali,” bisiknya dengan suara serak menggoda. Lalu, dengan langkah cepat—dan pinggul yang masih bergoyang halus seolah mengingat hentakan barusan—ia keluar dari kamar hotel itu, membawa serta aroma panas dan rahasia yang masih menempel di kulitnya.

Langkah kaki Naira terdengar pelan di karpet koridor yang mewah, tumit sepatunya berdetak ringan namun terasa menggema di dada yang masih berdebar. Ia berusaha berjalan tenang, anggun, meskipun di balik rok yang sudah kembali rapi itu, kewanitaannya masih begitu sensitif, terasa berdenyut halus tiap kali paha bergesekan. Nafasnya ia atur perlahan saat lift terbuka, menuruni lantai demi lantai.

Begitu pintu lift terbuka di lobi, hawa sejuk menyambutnya, aroma bunga hotel menyapu sisa panas yang masih melekat di kulitnya. Namun jantungnya langsung berdegup lebih cepat ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat lounge — waiters muda yang tadi mengantar room service ke kamar Rizal.

Tatapan pria itu bertaut singkat dengan mata Naira, lalu senyumnya mengembang samar — senyum tipis penuh rahasia. Ia menunduk sedikit, memberi salam sopan, tetapi tatapan matanya masih menyimpan kilatan nakal, seolah mengingat pemandangan yang sempat ia curi lihat: tubuh Naira yang telanjang, pinggangnya melengkung saat dihujani gairah.

Di sisi lain, seorang petugas hotel yang tadi membukakan akses lift untuknya juga berdiri tegak, tetapi sudut bibirnya menahan senyum samar. Tatapannya hanya sekejap ke arah Naira, cukup untuk membuat pipi Naira menghangat — mereka berdua tahu sesuatu yang tak boleh diucapkan.

Langkah Naira tinggal beberapa meter menuju pintu keluar ketika suara lembut menahannya.
“Permisi, Bu…”

Ia berhenti, menoleh pelan. Pelayan itu sudah berdiri setengah langkah lebih dekat, menyodorkan secarik kertas kecil yang terlipat rapi.

“Maaf, Bu…” katanya pelan. Suaranya sopan, tapi ada sesuatu di balik nada itu yang membuat bulu kuduk Naira meremang.

Ia maju setengah langkah, lalu menyodorkan secarik kertas kecil yang terlipat rapi. Pandangannya sekilas menatap Naira, seakan sedang memastikan sesuatu.
“Maafkan saya kalau lancang… hanya saja… ada hal yang membuat saya masih sulit percaya.”

Naira mengerutkan kening samar, tapi diam menunggu.

Pelayan itu menunduk sedikit, lalu dengan suara yang nyaris seperti bisikan mengucapkan,
“Ibu yang tadi di kamar 1014 kan?

Wajah Naira menegang.

“Seorang perempuan berhijab, anggun, seelegan Ibu… bagaimana bisa di satu sisi terlihat begitu soleha, tapi di sisi lain…tapi saya tadi lihat gambaran yang berbeda sama sekali. Sesaat yang gak mungkin saya lupain.”

Pipi Naira terasa panas. Jantungnya berdegup kencang, seolah rahasianya baru saja disingkap.

Pelayan itu segera menutup ucapannya dengan senyum tipis, menambahkan,
“Maafkan saya, Bu. Hanya… mungkin tadi saya yang salah lihat.”

Ia memberikan lipatan kertas itu, lalu mundur tenang, meninggalkan Naira berdiri dengan perasaan campur aduk—antara malu, terkejut, sekaligus tersentuh oleh cara halusnya bermain kata.

Begitu sampai di lobi, Naira membuka lipatan kecil itu. Tulisan tangan rapi tapi sedikit miring menunggu di sana:

“Kalau butuh penawar stres… atau sekadar tester menu baru hotel ini, kabari aku 😏
—Dika 🍷 0812xxxxxx”

Naira menahan napas, bibirnya mengulas senyum samar. Ada rasa canggung, tapi juga ada sesuatu yang hangat menjalar dalam dirinya. Ia melipat kembali kertas itu, menyelipkannya ke dalam tas, lalu berjalan keluar dengan langkah anggun—meninggalkan hotel bersama parfum samar, senyum rahasia, dan bayangan kata-kata yang masih bergema di kepalanya.

Naira mempercepat langkahnya keluar dari lobi, napasnya masih belum stabil. Ia merasa seperti ada mata yang terus mengikutinya, padahal hanya bayangan kata-kata si pelayan yang masih bergema di kepalanya.

Helaian blus batik parang yang membalut tubuhnya kontras dengan rok lipit lebar berbahan tipis yang bergoyang setiap kali langkahnya tergesa. Hijabnya tersusun rapi, seolah menegaskan citra teduh yang biasa ia tunjukkan di kantor. Tapi hels hitam berhak ramping yang beradu dengan lantai marmer justru menambah pesona gerakannya—membuat setiap lelaki yang sempat melihat, tak kuasa menahan pandangan.

Begitu sampai di parkiran, Naira buru-buru membuka mobilnya, melangkah masuk, lalu menutup pintu rapat. Ia bersandar sejenak, menghela napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung. Namun tubuhnya sendiri seakan mengkhianati. Ada rasa hangat yang perlahan menjalari bagian dalam pahanya, mengingatkan akan momen singkat bersama Rizal siang tadi.

Ia menggigit bibir, mendesah pelan, lalu merogoh tisu dari dalam tas. Dengan gerakan buru-buru namun penuh rasa bersalah yang anehnya bercampur geli, ia merapikan dirinya—takut kalau sisa jejak rahasia itu akan terbaca begitu saja.

Setelah selesai, ia menutup mata sejenak, menyandarkan kepala di jok. Senyum samar terbit di wajahnya. Antara lega, malu, dan… gairah samar yang enggan benar-benar padam.

Tangannya bergetar ketika menyandarkan diri di jok, mencoba menarik napas panjang. Tapi ketenangan tak kunjung datang.

Ada rasa bersalah yang menyesakkan. Bayangan suaminya yang mungkin sudah sampai di kantor berputar di kepalanya, seakan siap menatap dengan tatapan tajam kalau saja ia telat. Tapi di sela itu, ingatan siang tadi bersama Rizal justru kembali menekan masuk, seperti film yang diputar ulang tanpa bisa dihentikan. Sentuhan, desah, momen di mana ia menyerah total—semuanya hadir kembali, jelas dan mendebarkan.

Paha dalamnya terasa hangat, membuatnya sadar akan jejak rahasia yang masih tersisa. Ia buru-buru mengambil tisu dari tas, merapikan diri dengan gerakan cepat, takut jejak itu meninggalkan noda yang bisa terlihat. Tapi setiap kali ia menghapus, justru sensasi siang tadi kembali terbayang. Pipinya memanas. Dadanya berdebar tak karuan.

“Ya Allah…” bisiknya, antara doa dan keluhan.

Hatinya terus bertarung. Satu sisi menuntutnya untuk segera kembali ke kantor, berlagak normal, menjadi istri yang baik dan pegawai yang profesional. Sisi lain masih menyimpan getaran nikmat yang diam-diam ingin ia genggam lebih lama.

Mobilnya akhirnya melaju. Jalanan kota tampak biasa, tapi di dalam dirinya badai berkecamuk. Setiap tikungan, setiap lampu merah, Naira menatap jam di dashboard dengan cemas—takut suaminya sudah lebih dulu duduk di ruangannya. Namun di sela ketegangan itu, ada senyum samar yang beberapa kali lolos tanpa ia sadari, saat pikirannya kembali pada momen Rizal yang membakar seluruh dirinya.

Ia menggenggam erat setir, menekan gas lebih dalam. Cepat. Jangan sampai ketahuan. Jangan sampai… Tapi di balik kecemasannya, tubuhnya masih menyimpan getaran rahasia yang tak juga padam—sebuah kenangan yang terus mengganggu, sekaligus diam-diam ia nikmati.

Lalu dengan cepat ia menyalakan mesin mobil, bersiap melaju kembali ke kantor—berharap tiba lebih dulu sebelum suaminya datang. Sementara di balik penampilannya yang anggun dan sopan, ada getaran rahasia yang terus hidup, membuat langkahnya hari itu terasa lebih panjang dari biasanya.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *