Siang itu kantor Naira sedang cukup ramai, rapat sudah selesai dan sebagian orang masih sibuk dengan laptop masing-masing. Ponsel Naira bergetar, muncul pesan dari Rizal.
Rizal:
Aku lagi di kota kamu. Ada urusan kerjaan. Kamu di kantor, kan?
Naira menatap HP, dadanya langsung berdebar. Ia mengetik cepat.
Naira:
Gila kamu ya, ngapain ke sini?
Rizal:
Sekalian coba ketemu kamu. Aku di depan kantor sekarang.
Naira spontan melirik ke luar jendela lantai dua. Benar saja, di kejauhan ada sosok yang sangat ia kenal, berdiri santai dekat gerbang. Jantungnya makin tak karuan.
Dia sempat menimbang, lalu dengan napas panjang, membalas.
Naira:
Jangan bikin ribut. Tunggu di parkiran samping. Aku turun sebentar.
Di parkiran yang agak sepi, Naira melangkah cepat. Ia membuka mobilnya lalu masuk ke kursi pengemudi. Rizal sudah menunggu beberapa meter, begitu melihat Naira masuk, ia langsung ikut masuk ke kursi penumpang depan.
“Gila kamu, Zal… bener-bener nekat ke kantor aku,” desis Naira sambil menyalakan AC mobil.
Rizal hanya tersenyum nakal. “Kangen, Teh. Urusan kerjaanku udah selesai, tapi aku sengaja mampir. Nggak tahan kalau nggak lihat kamu.”
Naira melirik tajam, tapi pipinya sudah panas sendiri. “Kalau ketahuan orang kantor gimana coba? Bahaya, Zal.”
“Tenang aja, nggak ada yang bakal nyariin kamu ke parkiran. Kita cuma ngobrol sebentar kok.” Rizal mendekat, suaranya merendah.
Naira mencoba menahan diri, tapi aroma tubuh Rizal, tatapan matanya, dan ruang mobil yang sempit bikin suasana jadi tegang.
“Rizal…” bisiknya, seakan ingin memperingatkan, tapi Rizal sudah lebih dulu menyentuh tangannya. Sentuhan itu sederhana, tapi membuat tubuh Naira seperti tersetrum.
“Udah lama kita nggak ketemu begini. Kamu makin cantik, Na,” ucap Rizal sambil menatap matanya dalam-dalam.
Naira menarik napas berat. “Lama gimana belum seminggu, Zal! Aku cuma turun sebentar, jangan macam-macam.”
Tapi Rizal justru mendekatkan wajahnya. Hanya beberapa sentimeter, hingga Naira bisa merasakan hangat napasnya. Detik berikutnya, bibir Rizal sudah menyentuh bibir Naira. Awalnya cepat, sekilas, tapi Naira tak mampu menahan diri untuk tidak membalas.
Suasana mobil yang sempit, AC yang dingin, dan debaran yang tak terbendung membuat ciuman itu semakin dalam. Rizal meraih pipinya, sementara tangan Naira gemetar menahan pegangan setir.
“Zal…” desah Naira tertahan di sela ciuman.
“Cuma sebentar, Teh. Aku nggak minta lebih,” bisik Rizal sambil menempelkan keningnya ke kening Naira.
Mobil itu seolah jadi ruang tersembunyi mereka berdua, meski hanya parkiran kantor. Naira tahu ini gila, tapi detik-detik kebersamaan singkat itu terlalu sulit ditolak.
Ciuman yang tadinya singkat berubah makin dalam. Rizal menahan tengkuk Naira, menariknya lebih dekat. Bibir mereka saling mencari, makin lama makin panas.
Naira mencoba menjauh, napasnya terengah. “Zal… jangan keterlaluan, ini di kantor…”
Rizal tersenyum kecil, matanya tak lepas dari wajah Naira yang sudah bersemu merah. “Aku nggak bisa berhenti kalau udah deket sama kamu, Teh.”
Tangannya perlahan turun, menyentuh paha Naira yang terbalut rok kerja. Naira refleks menahan dengan tangannya sendiri, tapi tubuhnya justru bergetar.
“Zal… jangan di sini…” suaranya lirih, tapi bukan benar-benar menolak.
Rizal menunduk, mencium lehernya. Aroma parfum bercampur hangat tubuh Naira membuat Rizal makin kalap. Naira menggigit bibir bawah, menahan desah yang nyaris lolos.
“Kalau ada yang lihat gimana…” ucapnya, tapi tangannya sendiri malah mencengkeram lengan Rizal.
Rizal tersenyum, suaranya serak. “Nggak akan ada. Aku cuma butuh kamu sebentar, lagian kaca mobil kamu gelap banget begini ko, ga akan keliatan dari luar.”
Tangan Rizal kembali bergerak, menyusuri paha Naira, naik perlahan ke arah pangkal roknya. Nafas Naira makin berat, jantungnya berpacu gila-gilaan.
“Zaaal…” kali ini suaranya setengah bergetar, setengah mendesah.
Mobil yang dingin terasa mendadak panas. Setiap sentuhan jadi alasan baru bagi Naira untuk kehilangan kendali. Ia tahu risikonya besar, tapi godaan itu begitu kuat.
Dalam ruang sempit itu, Rizal dan Naira kembali tenggelam—bukan sekadar obrolan singkat, tapi letupan rindu yang mereka sembunyikan beberapa hari ini.
Nafas Naira makin tak beraturan saat tangan Rizal mulai berani merayap lebih jauh. Jari-jarinya sudah menyingkap sedikit roknya, mengelus paha bagian dalam.
“Zal… jangan… ini kantor aku. Kalau ada yang lihat gimana?” Naira buru-buru menahan pergelangan tangan Rizal.
Rizal berhenti sebentar, menatapnya penuh hasrat. “Nggak ada yang bakal lihat, Teh. Parkiran ini sepi. Kamu tenang aja.”
Naira geleng cepat, tapi tatapannya goyah. “Kamu lupa waktu di hotel kemarin? Aku masih telanjang, tiba-tiba Dika masuk anter makanan. Aku masih inget banget wajahnya melotoin badan aku…”
Rizal langsung tertegun. “Hah? Kamu… kamu tau namanya?”
Naira menatapnya, senyum tipis muncul di bibir yang masih merah karena ciuman tadi. “Namanya Dika, pas aku keluar hotel, dia nyamperin, kasih aku secarik kertas, isinya nomor WhatsApp.”
Rizal spontan melotot. “Kamu… beneran?”
Naira malah terkekeh kecil, seperti sengaja memanas-manasi. “Hehe… iya. Orangnya sopan kok, nggak kurang ajar. Malah bisa dibilang ganteng juga kalau dilihat-lihat. Santun banget pas nyapa aku.”
Rizal menghela napas panjang, bukannya marah malah matanya berbinar. Ia mendekat, wajahnya makin rapat ke wajah Naira. “Trus gitu doang? ga kamu temuin lagi teh?”
Naira terdiam, jantungnya semakin berpacu. “Apa maksud kamu?”
Rizal tersenyum nakal. “Aku bisa bayangin kamu keluar kamar, masih kebayang wajah Dika ngeliat kamu telanjang. Kamu sendiri suka kan, ada yang tergila gila sama kamu?”
Pipi Naira langsung memanas, tangannya refleks memukul pelan dada Rizal. “Kamu gila, Zal. Jangan ngomong aneh-aneh.”
Tapi Rizal tak berhenti, malah suaranya makin rendah, penuh godaan. “Ngaku aja… ada bagian dalam diri kamu yang suka dipuji, suka diperhatiin. Apalagi kalau ada yang lihat diam-diam.”
Naira menelan ludah, tubuhnya merinding. “Zal… jangan diomongin gitu, aku takut…”
Rizal meraih dagunya, mengangkat wajah Naira supaya menatapnya. “Bayangin Dika liat lagi aku cumbu kamu begini teh, Yakin dia akan tahan diem aja?” bisiknya.
Naira tak mampu membalas, hanya bisa menutup mata saat Rizal kembali menciumnya. Kali ini lebih buas, sementara tangannya sukses menyibak rok Naira lebih tinggi. Udara dingin AC bercampur hangat tubuh mereka bikin suasana makin menggila.
Naira meremas kuat lengan Rizal, setengah ingin menghentikan, setengah menyerah pada godaan. Tubuhnya sudah lebih jujur dari mulutnya.
Ciuman mereka makin liar. Nafas Naira terengah, tangannya menahan bahu Rizal, tapi tubuhnya sudah bergetar menerima setiap sentuhan. Rizal makin berani, roknya kini sudah tersingkap tinggi hingga pangkal paha.
“Zaaal… jangan keterlaluan… ini beneran di kantor aku, Bahaya…” Naira berbisik tergesa, matanya resah.
Rizal tak melepaskannya, bibirnya bergerak ke leher, menciumi tiap inci kulit yang terbuka. “Aku nggak tahan, Teh… kamu bikin aku gila. Dari tadi aku bayangin kamu di hotel, gimana kamu keliatan waktu Dika masuk…”
Naira mendesah tertahan, memukul pelan lengan Rizal. “Kamu jangan bawa-bawa nama dia lagi…”
Rizal tersenyum nakal, tangannya sudah berani masuk ke balik roknya, menyentuh lapisan tipis kain dalam yang sudah terasa lembap. “Bahkan kalau aku sebut Dika aja kamu udah basah gini, Teh…”
“Zal…” suara Naira pecah, antara malu dan terangsang.
Rizal menempelkan bibir ke telinganya, berbisik serak. “Kebayang nggak kalau ada yang lihat kamu sekarang? Duduk di mobil kantor, keliatan rapi dari luar, padahal di dalam kamu lagi aku mainin…”
Naira menggigit bibir, tubuhnya makin panas. “Kamu gila… kalau ada yang lewat gimana…”
“Kalau ada yang lewat, mereka cuma lihat mobilmu bergoyang sedikit. Dan itu malah bikin aku makin nggak bisa berhenti,” bisik Rizal di telinganya. “Justru itu yang bikin makin nikmat, Teh. Kamu diem aja, nikmatin.”
Tangan Rizal makin agresif, menyingkap habis kain tipis CD yang menjadi penghalang itu. Jari-jarinya menelusuri lembah hangat yang sudah tak bisa berbohong. Naira mendesah keras, buru-buru menutup mulut dengan tangannya sendiri.
“Ahh… Rizaaal… jangan… tolong…” bisiknya, tapi pinggulnya justru bergerak mengikuti irama jemari Rizal.
Mobil berguncang pelan. Dari luar tampak biasa, tapi di dalam, Naira sudah hampir kehilangan kendali. Matanya setengah terpejam, napasnya cepat, sementara Rizal menatap puas dengan wajah haus.
“Teh… kamu lihat aku,” bisik Rizal sambil mempercepat gerakannya. “Liat mataku… biar kamu tau, kamu cuma milik aku, bukan Dika atau siapa pun.”
Naira menatapnya dalam keadaan setengah mabuk kenikmatan. Tangannya menggenggam kuat leher baju Rizal, tarikannya liar. “Zaaal… aku nggak kuat…”
Rizal menunduk kembali, melumat bibirnya, sementara tangannya makin dalam mengeksplor. Suasana parkiran yang sepi, dentuman jantung, desah tertahan, dan rasa bersalah bercampur gairah membuat setiap detik di mobil itu jadi begitu berbahaya… sekaligus tak terlupakan.
Rizal sudah tak bisa menahan diri. Tangan yang tadi sibuk di balik rok, kini meraih kancing kemeja dinas Naira, membukanya satu per satu dengan terburu-buru. Naira mencoba menahan, “Zal… jangan di sini… astaga…” tapi suaranya terputus ketika Rizal menunduk, bibirnya langsung menangkap “gunung kembar” yang bebas setelah bra tersingkap.
“Ahhh…” desah Naira pecah, tubuhnya melengkung ke belakang.
Lidah Rizal bermain di puncaknya, menelusuri, menjilat, lalu menyedot lembut sebelum tiba-tiba menggigit manja dan menyedot lebih keras. Naira menggeliat tak berdaya, kedua tangannya mencengkeram rambut Rizal. “Zal… ya Tuhan… jangan begitu… aku nggak kuat…”
Bibir Rizal tak berhenti, berpindah dari satu sisi ke sisi lain, bergantian menyiksa manis tubuh Naira. Setiap hisapan membuat Naira tercekik nikmat, desahnya makin tak terkendali.
Dengan nafas tersengal, Naira tiba-tiba mendorong bahu Rizal, membuat pria itu rebah di jok mobil. “Kamu bikin aku gila, Zal…” bisiknya serak.
Tangannya gemetar membuka resleting celana Rizal. Dengan cepat, kejantanan Rizal keluar dari balik celananya, sudah menegang keras. Naira menelan ludah, wajahnya merah, tapi gairah menguasainya.
Sambil mengangkat sendiri roknya tinggi-tinggi, ia meloloskan CD yang dipakainya, menariknya ke bawah dan melempar begitu saja ke lantai mobil. Rizal hanya bisa menatap, matanya liar penuh nafsu.
“Teh…” suaranya parau, seakan tak percaya dengan keberanian Naira.
Naira naik ke pangkuannya, tubuh mereka saling rapat, dada bertemu dada. Dengan satu gerakan penuh tekad, ia menuntun kejantanan Rizal masuk ke dalam dirinya.
“Aaahhh…” Naira mendesah panjang, kepalanya terjatuh di bahu Rizal.
Mobil bergetar halus saat tubuh mereka menyatu. Rizal memeluk pinggang Naira erat, sementara Naira sendiri sudah tak peduli lagi—parkiran kantor, resiko ketahuan, semua hilang ditelan gelombang gairah yang membakar mereka berdua.
Setiap gerakan naik-turun Naira di pangkuan Rizal membuat jok berdecit pelan, napas mereka berpacu, dan suara desah yang tertahan jadi musik liar di ruang mobil yang sempit itu.
“Teh… gila kamu… kamu bener-bener bikin aku nggak bisa berhenti,” Rizal berbisik dengan suara serak, menatap wajah Naira yang setengah mabuk kenikmatan.
“Aku juga… Zal… aku nggak tahan lagi…” balas Naira dengan tubuh yang terus bergerak, semakin cepat, semakin dalam.
Tubuh Naira terus bergerak di pangkuan Rizal. Setiap hentakan pinggulnya membuat jok mobil berderit pelan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun deras, kemeja dinasnya sudah terbuka lebar menampakkan kulit yang berkeringat.
“Zaaal… ahhh… jangan terlalu dalam… aku nggak kuat…” desahnya terputus-putus, tapi justru pinggulnya makin cepat menghentak.
Rizal memeluknya erat, mulutnya bergantian menciumi bibir dan leher Naira. “Cepetin aja, Na… aku udah hampir… ahh… gila, kamu enak banget…”
Naira menggigit bibir, matanya terpejam rapat, tubuhnya berguncang hebat di pangkuan Rizal. Setiap gerakan membuat desahnya semakin keras, tak lagi bisa ditahan. “Aahh… Rizaaal… aku… aku mau keluar… aku nggak tahan…”
Rizal menahan pinggang Naira, ikut menghentakkan dari bawah, membuat gerakan mereka makin liar. Tubuh Naira bergetar hebat, desahannya pecah jadi erangan panjang.
“Aaaahhhh… Zaaaalll… aku keluar…!!!” jerit Naira tertahan, tubuhnya melengkung, pinggulnya bergetar hebat di pangkuan Rizal.
Detik yang sama, Rizal juga tak bisa menahan diri. “Aaaku juga… aahhh…” hentakannya terakhir begitu kuat, lalu tubuhnya menegang. Kejantanan Rizal memuntahkan isinya deras, memenuhi rahim Naira tanpa ia sadari.
Naira jatuh lemas di dada Rizal, nafasnya tersengal, keringat membasahi pelipisnya. Beberapa saat hanya suara napas mereka yang terdengar di kabin mobil yang penuh hawa panas.
Setelah agak tenang, Naira mengangkat wajahnya, menatap Rizal dengan mata sayu. “Zal… kamu udah keluar ya?”
Rizal tersenyum kecil, masih terengah. “Hmm… iya, Keluar bareng tadi.”
Naira refleks menggeliat pelan, dan wajahnya berubah kaget saat merasakan hangat yang kembali mengalir keluar dari dalam dirinya. “Astaga… Rizal… kamu bener-bener bandel, keluar di dalem aku terus ah…”
Rizal meraih wajahnya, mengecup keningnya lembut. “Iya… aku nggak bisa nahan. Dan aku suka rasanya nyatu sama kamu gini.”
Naira menutup mata, campur aduk antara lega, nikmat, dan cemas. Ia merebahkan kepalanya di bahu Rizal, tubuhnya masih lemas. “Gila kamu… kalau sampe ada yang tau kita ngelakuin ini di kantor aku… mati aku, Zal.”
Rizal terkekeh kecil, memeluknya lebih erat. “Nggak akan ada yang tau. Ini cuma rahasia kita berdua.”
Mobil kembali hening, hanya tersisa dua tubuh yang masih saling melekat, tenggelam dalam sisa-sisa gelombang klimaks yang barusan mengguncang mereka.
Naira masih terduduk di pangkuan Rizal, nafasnya belum juga normal. Perlahan ia bangkit, merasakan hangat yang masih menetes di antara pahanya. Wajahnya merah, tapi buru-buru menarik roknya turun.
“Ya Allah… Zal… kita bener-bener gila,” ucapnya lirih, setengah menyesal, setengah masih terbawa nikmat.
Rizal tersenyum puas, merapikan napas. “Gila tapi enak kan?”
Naira melirik tajam, tapi bibirnya tetap tersenyum kecil. Ia mengambil tisu dari dashboard mobil, buru-buru membersihkan bekas di pahanya. Lalu pandangannya turun ke kejantanan Rizal yang masih tegang basah.
Dengan napas berat, ia meraih tisu baru dan mulai membersihkannya. Jemarinya bergerak telaten, lembut, bahkan sesekali ia mengusap dengan penuh rasa.
“Kamu nih bandel banget…” bisiknya sambil menatap kejantanan itu, seolah sedang berbicara langsung kepadanya. “Dasar Kontol nakal, memew bini orang diembat juga”
Rizal hanya bisa menatap, matanya redup penuh nafsu yang belum benar-benar padam. “Teh… kamu kalau begini aku bisa kepancing lagi, tahu.”
Naira buru-buru menarik tangannya, menutup tisu itu rapat, lalu tertawa kecil dengan wajah memerah. “Udah ah, cukup. Aku harus balik ke ruangan, nanti dicariin orang.”
Ia mulai mengancingkan kemejanya satu per satu, menarik kembali bra dan merapikan kerah. Dengan cermin kecil di visor, ia membetulkan bedak yang sempat luntur dan menata ulang hijabnya.
“Zal, kamu keluar duluan. Jalan aja ke depan, pura-pura kayak orang ada urusan di kantor sebelah. Jangan bareng sama aku.”
Rizal mengangguk, meraih tangannya sebentar, menciumnya lembut. “Baik, Bu Naira. Saya nurut.”
“Ah, rese kamu,” jawab Naira sambil mendorong bahunya pelan.
Rizal membuka pintu, keluar lebih dulu, melangkah santai ke arah pintu keluar parkiran. Naira menunggu beberapa menit, memastikan situasi aman.
Ia lalu menarik napas panjang, kembali mengambil tisu untuk membersihkan sisa-sisa di dalam pahanya seadanya. Gerakannya cepat tapi penuh rasa was-was. “Astaga… semoga nggak ada yang sadar,” gumamnya.
Setelah merasa cukup bersih, ia merapikan rok, mengikat ulang hijabnya hingga tampak rapi, lalu berkaca sekali lagi memastikan tak ada tanda-tanda aneh. Senyumnya kecil muncul, getir sekaligus puas.
“Udah, Na… balik kerja. Anggep aja tadi cuma mimpi gila sebentar,” katanya pada diri sendiri sebelum akhirnya keluar mobil dan berjalan cepat kembali ke ruangannya dengan wajah datar seolah tak terjadi apa-apa.