Jejak Rahasia Naira – Part 13

Begitu napasnya mulai teratur lagi, Naira menepuk dada Rizal pelan.
“Zal… kamu keluar duluan ya,” bisiknya sambil tersenyum tipis, masih dengan pipi memerah.

Rizal mengangguk, menatapnya sebentar lalu membuka pintu mobil dengan tenang. Begitu pintu tertutup, Naira buru-buru menarik napas panjang. Sisa aroma tubuh dan keringat Rizal masih begitu melekat di kabin sempit itu. Ia meraih tisu dari dashboard, menyeka bagian dalam pahanya dengan cepat, sekadar memastikan tak ada jejak yang terlalu kentara.

“Ya Allah…” gumamnya, tangannya bergetar sedikit saat merapikan rok dan memastikan dalaman kembali pada posisinya. Setelahnya ia menurunkan kaca spion, merapikan hijab yang sempat miring, mengusap bibir yang masih tampak basah. Tatapannya di kaca menunjukkan dirinya sendiri—perempuan yang baru saja dilumat habis-habisan di kursi belakang mobil kantor.

Beberapa menit kemudian, setelah yakin cukup rapi, Naira keluar dari mobil. Tumit sepatunya beradu dengan lantai parkiran, dan senyum tipis kembali dipasang untuk menutupi gelombang panas yang masih terasa di tubuhnya. Ia berjalan tegap menuju pintu kantor, meski kakinya sedikit gemetar.

Begitu masuk ruangan, beberapa staf langsung melirik. Salah satu staf perempuan yang biasa dekat dengannya, Sari, mendekat dengan nada penasaran.

“Mbak Naira… barusan dari mana, sih?” tanyanya sambil terkekeh kecil.
Naira tersenyum, menurunkan tas ke meja. “Ada tamu aja, Sar.”
“Lho, tamunya ketemu di mobil ya? Kok nggak di ruangan aja?”
Naira menarik napas, mencoba terdengar santai. “Ya gitu deh, tamunya buru-buru, jadi sebentar aja di parkiran.”
Sari mengerling nakal. “Hmm… tumben banget. Spesial banget kayaknya, sampe nggak mau naik ke atas.”
Naira hanya tertawa kecil sambil membuka laptopnya, berusaha menutupi rona merah di pipinya. “Namanya juga orang penting, kadang maunya praktis.”

Tapi dalam hatinya, ia tahu betul: spesial bukan sekadar kata basa-basi. Bekas sentuhan Rizal masih membekas di kulitnya, bahkan getarannya belum hilang sepenuhnya. Saat ia mencoba fokus pada layar laptop, sensasi hangat itu kembali menyergap, membuat jantungnya berdebar liar—seolah rahasianya masih menempel di ujung bibirnya yang tadi dilahap habis.
Naira mengetik pelan di laptopnya, berusaha tampak sibuk. Tapi telapak tangannya masih sedikit basah, dingin bercampur hangat. Bayangan tadi saat Rizal menekannya ke jok mobil terus melintas di kepala.

“Mbakk… serius deh, aku penasaran banget. Tamunya siapa sih?” Sari belum menyerah, berdiri di samping meja dengan senyum penuh arti.

Naira melirik sekilas, bibirnya tersungging tipis. “Ada deh, rahasia kantor. Kamu kepo banget.”
“Yeee, bilang aja spesial. Dari tadi aku lihat kok mukanya merah, hehehe…” goda Sari, matanya menyipit curiga.

Naira menahan diri untuk tidak terlalu bereaksi. Ia menarik napas dalam, mencoba mengalihkan dengan membuka berkas di mejanya. “Aku tuh baru lari-lari dari parkiran, wajar aja ngos-ngosan. Panas juga, makanya pipi jadi merah.”

Sari tertawa kecil, lalu akhirnya menjauh. Tapi beberapa staf lain ikut melirik, seolah ada sesuatu yang mereka tangkap dari bahasa tubuh Naira. Ia tahu benar caranya tersenyum dan tampak kalem, tapi tubuhnya masih penuh tanda: leher yang sempat bersemu, tangan yang sesekali merapikan hijab, dan duduknya yang tak bisa terlalu rapat karena masih ada rasa lengket di sana.

Di kursinya, Naira meneguk air mineral dari botol. Lidahnya masih bisa merasakan asin manis bekas Rizal tadi. Sensasi itu membuat dadanya berdesir lagi, dan spontan ia menggigit bibir, buru-buru menunduk agar tak ada yang menyadarinya.

“Ya Allah, jangan sampai keliatan…” batinnya, sementara getaran sisa permainan di mobil tadi seperti menolak padam.
Sari belum juga pergi, malah makin mendekat ke meja Naira sambil menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah. Senyumnya penuh rasa ingin tahu.

“Mbak, serius deh, tamunya siapa sih? Jangan-jangan… pacar rahasia ya?” bisiknya sambil menahan tawa.

Naira pura-pura mengetik, hanya melirik sebentar. “Kamu ini, Sar… ada-ada aja. Tamunya urusan kantor.”

Sari menatap Naira lekat-lekat, lalu tiba-tiba terkekeh. “Halah… enak banget ya jadi Mbak Naira. Cantik, pinter, udah punya suami, tapi tetep aja banyak cowok yang deketin. Aku? Boro-boro, biasa aja gini… jadinya jomblo terus.”

Naira tersenyum kecil, mencoba mengabaikan, tapi pipinya makin terasa panas.

“Eh tapi sumpah lho, tadi aku lihat dari jendela…” Sari menurunkan suaranya, menahan tawa geli. “Kayak ada yang deket banget di mobil. Hihihi… jangan-jangan… sempet cium-ciuman ya, Mbak?”

Naira spontan menoleh, matanya sedikit membesar. “Sar!” ucapnya setengah protes, tapi suaranya pelan, takut kedengaran orang lain.

“Aku mah iri aja. Apalagi tadi aku lihat mobil mbak di parkiran… kayaknya agak… gimana gitu, goyang-goyang.” Sari menahan tawa, tangannya menutup mulut. “Jangan-jangan tadi mbak lagi… cium-ciuman ya?”

Naira langsung menoleh cepat, matanya sedikit melotot meski wajahnya berusaha tetap datar. “Kamu ini… ngawur!” katanya setengah menahan senyum.

Sari langsung tertawa ngakak kecil, menutup mulutnya dengan tangan. “Ya ampun, Mbak… wajahnya langsung panik gitu. Ih, beneran ya? Wkwkwk…”
Sari makin ngakak kecil, membisikkan dengan nada nakal, “Aku tau kok… pasti tamunya cowok ganteng. Mbak kan kalo ketemu tamu cewek, pasti langsung dibawa ke ruangan. Nah kalo di mobil, fix itu cowok.”

Naira hanya mendesah pelan, pura-pura sibuk menata berkas. “Ya udah, kamu jangan kepo deh. Aku ada kerjaan nih.”

“Yeee, ketahuan deh mukanya merah. Ih, bener banget pasti tadi ada mainnya yaaa…” Sari kembali terkikik, kali ini sambil menepuk lengan Naira.

“Eh kamu jangan ngaco deh. Aku tuh cuma ngobrol bentar, beneran urusan kantor,” sahut Naira, kali ini lebih tegas, sambil menunduk agar raut wajahnya tidak terlalu terbaca.

Sari menggeleng, masih terkikik. “Iya-iya, aku percaya kok. Tapi ya ampun, keliatan banget loh mukanya Mbak… kayak abis… hmm… aku nggak berani ngomong deh. Pokoknya… glowing gitu.”

Naira tersenyum kaku, mencoba menguasai diri. Padahal di balik hijabnya, telinga dan pipinya semakin panas. Ia tahu benar yang dikatakan Sari cuma ledekan asal, tapi diam-diam membuat jantungnya makin berdebar. Seolah rahasianya dengan Rizal benar-benar nyaris terbaca. Naira buru-buru meraih botol minumnya, meneguk dalam-dalam, mencoba menetralkan debaran di dadanya. Tapi justru kalimat Sari itu makin membuat bayangan bibir Rizal, aroma tubuhnya, dan sensasi lengket yang masih terasa di sela pahanya kembali membuncah.
Tangannya refleks merapikan hijab yang dari tadi sudah rapi, seolah itu bisa menutupi panas tubuh yang masih belum benar-benar reda.

Sore itu restoran keluarga di sebuah mall terasa hangat. Naira duduk di meja bundar bersama suaminya dan anak kecil mereka yang sibuk mengaduk jus dengan sedotan. Obrolan ringan mengalir, sesekali diselingi tawa si kecil yang cerewet menceritakan hal-hal sepele dari sekolahnya. Dari luar, mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna dan harmonis.

Tiba-tiba layar HP Naira yang tergeletak di samping piring bergetar. Nama yang muncul membuat jantungnya seperti berhenti sejenak—Dika.

Dengan sedikit ragu, Naira meraih HPnya, menyembunyikannya di bawah meja agar suaminya tidak melihat. Notifikasi itu bukan sekadar chat biasa, melainkan sebuah foto. Matanya membelalak saat melihat gambar yang baru saja dikirim: dirinya, suami, dan anaknya, persis sedang duduk di meja yang sama, diambil dari sudut yang cukup dekat.

Chat menyusul.

“Harmonis banget ya mbak Naira, kayak keluarga bahagia di iklan TV. Padahal beberapa hari lalu, di kamar 1014 itu… aduh, panas banget sampe bikin saya gak bisa tidur ngebayanginnya.”

Naira tercekat. Tangannya sedikit gemetar. Ia melirik ke arah suaminya yang masih tenang menyuapi anak mereka, sama sekali tak sadar ada badai kecil di layar HP istrinya.

Chat berikutnya masuk lagi.

“Suami mbak ganteng sih… tapi jujur, kayaknya tami 1014 itu, siapa namanya Rizal ya? Jauh lebih strong, ya? Kelihatan banget dari ekspresi mbak waktu itu, hehehe.”

Pipi Naira panas seketika. Ada rasa marah, malu, dan panik bercampur jadi satu. Ia buru-buru meletakkan HP menghadap ke bawah di pangkuannya, pura-pura sibuk mengelap mulut anaknya dengan tisu.

Dia mencoba setenang mungkin, padahal di dalam dadanya seperti ada genderang perang dipukul keras-keras. Pikirannya langsung berputar cepat: Bagaimana Dika bisa ada di sekitar mereka? Apakah dia sedang mengawasi dari dekat? Sampai sejauh mana dia berani?

Di antara tawa anaknya yang masih polos, Naira merasa seperti duduk di kursi panas. Ia tahu satu kesalahan kecil bisa membuat semua rahasianya terbongkar di hadapan suami.

Naira berusaha tetap tersenyum di hadapan suami dan anaknya, meski perutnya terasa mual karena gugup. HPnya masih ia genggam erat di pangkuan, layar terkunci, namun bayangan chat-chat Dika tadi terus berputar di kepalanya.

“Sayang, aku ke toilet sebentar ya,” ucapnya dengan suara pelan namun terkontrol, sambil menyentuh lengan suaminya agar terasa wajar.

Suaminya hanya mengangguk santai. “Iya, sekalian cuci tangan aja, tadi kena saus.”

Naira berdiri, menunduk sedikit agar ekspresi wajahnya tak terbaca. Ia melangkah cepat menuju toilet restoran, merasakan HP di tangannya seperti bara yang membakar kulit. Begitu masuk ke dalam bilik, ia mengunci pintu, lalu menarik napas panjang sebelum menyalakan layar.

Notifikasi masih berderet. Chat terakhir dari Dika membuat dadanya semakin sesak:

“Mbak keliatan panik ya barusan. Aku liatin dari dekat loh, nggak nyangka bisa semulus itu nutupin rahasia di depan suami.”

Mata Naira membesar. Ia spontan menoleh ke arah pintu, seolah Dika bisa muncul kapan saja. Jari-jarinya gemetar ketika mulai mengetik balasan:

“Dika, stop. Jangan ganggu aku lagi. Kalau kamu berlebihan, aku bisa lapor polisi.”

Chat terkirim, tapi bahkan sebelum centang dua berubah biru, balasan sudah masuk.

“Heh… tenang aja, aku cuma main-main kok. Lagi pula, aku masih inget banget kejadian siang itu. Aku juga pengen seperti itu mbak. Masa mau bikin masalah sendiri?”

Naira menggigit bibirnya, jantungnya berpacu kencang. Ia sadar Dika bukan sekadar waiters iseng—lelaki itu tahu cara menekan, memanfaatkan celah paling rawan dalam hidupnya.

Di luar, anaknya mungkin sedang tertawa bersama sang ayah. Tapi di dalam bilik kecil itu, Naira terjebak dalam ketakutan bercampur rasa malu yang semakin menjerat.

Di dalam toilet, Naira menarik napas panjang lalu kembali mengetik dengan hati-hati.

“Dika, aku serius. Jangan hubungi aku di luar jam kerja. Apalagi sekarang aku lagi sama suami dan anak. Stop ya, kalau nggak aku blokir nomormu.”

Tak lama, balasan masuk.

“Aku ngerti kok mbak… tapi aku cuma minta waktu sebentar buat ketemu. Nggak lama, cuma biar jelas. Besok aja, mbak yang atur tempat.”

Naira menggigit bibirnya, pikirannya berkecamuk. Dia tahu tak bisa terus-terusan diliputi teror chat begini. Maka, dengan jari bergetar, ia membalas:

“Oke, besok aku hubungi kamu waktu di kantor. Tapi tolong, jangan ganggu aku malam ini. Kalau masih maksa, aku blok nomormu sekarang juga.”

Tak ada balasan. Sunyi beberapa detik. Naira menghela napas lega, lalu merapikan rambut di depan kaca sebelum keluar toilet. Ia berusaha menata wajahnya, menyiapkan senyum palsu untuk kembali ke meja keluarganya.

Namun begitu pintu toilet terbuka, tubuhnya langsung menegang. Dika berdiri tepat di depan pintu, bersandar santai ke dinding seolah sudah menunggunya sejak tadi. Tatapannya nakal, setengah mengejek, setengah mengintimidasi.

“Besok jangan lupa, mbak Naira yang cantik,” ucapnya lirih, dengan senyum miring yang membuat darah Naira berdesir cemas.

Naira melirik cepat ke arah ruang makan, memastikan suami dan anaknya masih asyik makan, tak menyadari apa yang terjadi di dekat toilet. Ia menelan ludah, lalu berbisik ketus, “Iya. Besok. Sekarang tolong jangan bikin masalah di sini.”

Dika mendekat setengah langkah, jaraknya begitu rapat hingga bahu mereka hampir bersentuhan. Tangannya yang cekatan tiba-tiba menyentuh bagian belakang tubuh Naira, meremas lembut namun tegas, membuatnya terkejut setengah mati.

Naira spontan menahan napas, matanya melotot. Tapi ia tak berani bersuara keras. Dika hanya terkekeh kecil, berbisik tepat di telinganya:

“Sekedar pengingat aja, biar mbak nggak lupa janji besok.”

Lalu ia mundur perlahan, melangkah santai kembali ke arah pintu keluar restoran, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Naira berdiri kaku beberapa detik, wajahnya merah campur marah dan malu, jantungnya berdegup kencang. Ia harus menarik napas panjang lagi, memaksakan diri menenangkan ekspresi sebelum kembali ke meja keluarga.

Di depan suami dan anaknya nanti, ia harus tampak seperti ibu dan istri normal, padahal baru saja disentuh secara berani oleh seorang lelaki asing yang tahu terlalu banyak tentang rahasianya.

Dengan wajah dipaksakan tenang, Naira melangkah kembali ke meja. Tangannya sempat ia kepalkan di sisi rok, mencoba menghapus sensasi tidak nyaman di tubuhnya. Dari jauh ia sudah melihat suaminya sibuk menyuapi anak mereka yang tertawa-tawa, seolah tak ada apa-apa yang terjadi.

Begitu sampai, suaminya menoleh sekilas.

“Lama amat, Yang. Antri ya?” tanyanya sambil tersenyum.

Naira langsung ikut tersenyum kecil, meski bibirnya terasa kaku. “Iya, tadi antre. Terus sekalian cuci tangan,” jawabnya datar tapi berusaha senormal mungkin.

Ia lalu duduk, menarik kursi dengan perlahan. Agar tidak terlihat gelisah, Naira meraih sendok dan mulai menyuap makanan, meski tenggorokannya terasa tercekat. Ia sesekali mengusap kepala anaknya, menutupi kegugupan dengan gerakan natural seorang ibu.

Di balik layar HP yang kini tergeletak menghadap ke bawah, bayangan wajah Dika dan genggaman beraninya masih menempel jelas. Nafasnya agak tersengal, tapi ia paksa menstabilkan. Sesekali suaminya melempar candaan kecil, dan Naira membalas dengan tawa tipis, agar tidak menimbulkan curiga.

Namun di dalam hati, ia penuh waspada. Ia merasa seakan ada mata yang masih mengawasi dari kejauhan. Apakah Dika masih di sekitar restoran? Atau sudah pergi setelah aksinya barusan?

Setiap kali suaminya menatap, Naira memastikan sorot matanya teduh dan biasa saja. Tapi di balik itu, pikirannya sibuk menyusun strategi: besok harus benar-benar bertemu Dika, akhiri semua ini, atau justru terjebak lebih dalam?

Makan malam keluarga itu tetap berlangsung seperti biasa—suaminya penuh kasih, anaknya riang—sementara Naira duduk di antara mereka dengan dada berdegup keras, menyimpan rahasia yang makin sulit ia kendalikan.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *