Jejak Rahasia Naira – Part 14

Pagi itu di kantor, Naira duduk di balik meja kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tak fokus. HP di sampingnya kembali bergetar. Nama Dika muncul lagi.

Chatnya singkat, tapi cukup membuat Naira menggertakkan giginya.

“Mbak, jangan lupa janji kemarin. Aku tunggu kabar hari ini.”

Naira menutup layar HP dengan cepat. Nafasnya tersendat. Ia merasa benar-benar terjepit. Dalam kepanikan, ia membuka chat dengan Rizal. Jari-jarinya mengetik cepat

“Zal, aku pusing. Si Dika itu hubungin lagi, minta ketemu hari ini. Aku takut dia makin jadi-jadi.”

Tak lama, balasan Rizal masuk. “Tenang… justru ini kesempatan. Jangan kabur terus, Na. Kalau kamu gak kasih dia apa yang dia mau, dia gak bakal berhenti.”

Naira langsung mengetik panjang “Maksudmu apa? Dia itu maunya jelas, Zal. Seks. Masa aku harus tidur sama waiters iseng cuma buat nutup mulutnya? Aku bukan cewek sembarangan. Aku cerita deh, kemarin pas di restoran sama suami dan anakku, dia ngikutin. Bahkan sempet… kurang ajar. Ngeremas pantat pas keluar toilet. Aku shock banget.”

Rizal balas cepat, seperti menikmati ceritanya “Astaga… gila juga tuh anak. Tapi justru karena dia udah berani sejauh itu, Teh. Percaya sama aku, satu-satunya cara bikin dia berhenti cuma bikin dia puas.”

Naira terdiam, lalu mengetik “Zal, jangan gila. Aku gak mungkin ngelakuin itu. Aku gak akan tidur sama sembarang orang.”

Rizal balas dengan gaya tengilnya yang khas “Siapa bilang harus tidur? Gak usah sampe gitu. Bikin dia keluar aja. Gak usah lama-lama. Pake tanganmu… atau kamu sepong. Aku yakin dia langsung jinak. Habis itu kelar urusannya.”

Naira membaca chat itu dengan jantung berdebar, wajahnya panas. Ia menutup wajah dengan tangan, gemas campur malu “Zal! Kamu keterlaluan. Masa aku disuruh begitu? Aku gak segampang itu nurutin lelaki. Gila kamu.”

Balasan Rizal muncul, disertai emoji nakal “Hehehe… aku tau kamu marah, tapi aku juga tau kamu itu penasaran, Na. Lagian… aku pengen lihat sisi liar kamu. Kalau kamu berani, rekam sedikit. Kirim ke aku. Biar aku tau kamu bisa naklukin laki-laki lain dengan caramu.”

Naira mengetik cepat, tangannya gemetar “Kamu tuh apa-apaan, Zal? Bukannya bantu, malah nyuruh aku makin gila. Aku udah bilang aku takut, bukan malah pengen main-main.”

Rizal balas dengan santai “Aku serius, Teh. Tapi ya pilihan di kamu. Mau terus dikejar-kejar Dika, atau sekali bikin dia puas biar berhenti. Kamu pintar kok, aku yakin kamu bisa atur. Dan jujur… aku makin kepengen bayangin kamu kalau lagi beraksi kayak gitu.”

Naira terdiam, menggigit bibir. Ada amarah, ada malu, ada pula denyut aneh di dalam tubuhnya setiap kali membaca balasan Rizal.

Naira menutup layar HP, menekan keningnya dengan jemari. Otot bahunya tegang, pikirannya berputar cepat. Ia tahu Dika tidak akan berhenti. Napasnya berat ketika kembali membuka chat dengan Dika “Oke, kita ketemu. Tapi cuma sebentar. Jangan bikin ribet. Aku yang tentuin tempatnya.”

Balasan Dika masuk seketika “Sip. Aku tunggu. Jangan PHP ya mbak cantik.”

Naira menggertakkan giginya, lalu segera pindah ke chat Rizal “Zal, aku udah bales. Aku janji ketemu Dika. Tapi aku gak mau sendirian. Aku takut dia makin berani. Kamu harus ikut nemenin aku.”

Rizal balas cepat, seperti sudah menunggu “Heh, akhirnya… itu baru pinter. Aku bisa jagain kamu dari jauh, biar dia gak sadar. Tapi inget, Teh… aku pengen liat kamu hadapi dia. Biar bocil itu tau siapa yang dia hadapi.”

“Rizal, jangan macam-macam. Aku serius. Aku cuma mau pastikan dia berhenti. Jangan bikin situasi makin kacau.”

Rizal membalas dengan emoji nakal lagi “Yaelah, aku ngerti kok. Tapi aku tau kamu tuh bisa main cantik. Bahkan kalau cuma sekedar bikin dia ‘kelar’ dengan cepat. Ingat, itu kuncinya biar dia berhenti. Aku di sekitar kamu, jadi aman.”

Naira menutup mulutnya dengan tangan, gemas setengah mati membaca chat itu. Ada rasa muak, tapi juga ada getaran aneh yang tak bisa ia kendalikan.

Ia menatap layar lagi, jari-jarinya mengetik pelan “Zal… sumpah ya, kalau kamu ada di dekatku sekarang, udah kutampar kamu.”

Rizal: “Hahaha… kalau tamparannya pake bibir atau toket, aku rela Teh.”

Naira mendengus kesal, lalu meraih HPnya lebih erat. Di luar, Dika masih menunggu konfirmasi soal waktu dan tempat. Di dalam chat, Rizal malah menekan sisi liarnya dengan cara tengil yang membuat darahnya mendidih sekaligus berdesir.

Hari itu, Naira sadar ia sudah menjerat dirinya sendiri. Satu langkah salah, semua bisa runtuh. Tapi ia juga tahu—besok atau lusa, ia tak bisa lagi lari dari Dika.

Hari menjelang sore, kantor mulai lengang. Beberapa rekan sudah berkemas pulang, tapi Naira masih duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. HP di tangannya berkali-kali ia buka-tutup, tapi belum juga ia kirim balasan ke Dika.

Notifikasi masuk lagi.

“Mbak, jangan lama-lama. Aku nunggu kabar. Atau jangan-jangan mbak cuma mainin aku?”

Naira menutup mata, menahan napas panjang. Bayangan suaminya, anaknya, bercampur dengan kejadian di restoran kemarin dan genggaman tangan Dika yang berani itu. Ia sadar tak bisa lagi menunda.

Dengan jari gemetar, ia akhirnya mengetik “Besok jam 3 sore. Kita ketemu di café dekat batas Kota. Cuma sebentar, jangan lebih.”

Balasan dari Dika langsung masuk, membuat jantungnya makin berdentum,

“Sip. Aku suka yang to the point. Jangan bikin aku nunggu ya mbak, aku benci kalau di-PHP-in. Besok jam 3.”

Naira menjatuhkan HP ke meja, menutup wajah dengan telapak tangan. Rasa lega bercampur ngeri.

Beberapa menit kemudian, ia membuka chat Rizal. “Zal, udah aku tentuin. Besok jam 3, di café belakang kantor. Tapi kamu bener-bener harus deket, jagain aku. Aku gak mau sendirian.”
Balasan Rizal cepat sekali, seolah sudah menunggu. “Good girl… akhirnya kamu berani. Aku janji jagain dari jauh. Tapi inget, Na, jangan buang kesempatan. Mainin dia sebentar, bikin puas, habis itu selesai. Aku pengen banget lihat kamu bisa ngatur situasi itu.”

Naira: “Zal! Aku gak suka gaya ngomong kamu. Aku serius, jangan malah goda aku kayak gini.”

Rizal: “Hehehe… aku tau kamu serius. Tapi justru itu yang bikin aku makin greget, Teh. Besok, kamu bakal nunjukin sisi yang selama ini kamu sembunyiin. Dan aku bakal jadi satu-satunya orang yang ngerti sisi itu.”

Naira menutup HP dengan cepat, pipinya panas, jantungnya berdegup liar. Ia bersandar di kursi, menatap langit sore dari balik jendela kantor. Besok, segalanya akan berubah.

Ia tidak tahu apakah yang ia lakukan akan menyelesaikan masalah, atau justru menggali lubang baru yang lebih dalam.

Jam dinding di ruang kerja Naira terasa berdetak lebih keras dari biasanya. Angka menunjukkan pukul 14.50, dan setiap detiknya membuat perutnya semakin mulas. Ia berulang kali melirik HP, memastikan suaminya tidak menghubungi, memastikan Dika belum berubah pikiran, dan memastikan Rizal benar-benar menepati janjinya.

Alasan sudah ia siapkan—jika nanti pulang telat, ia akan bilang ada meeting dadakan dengan klien. Rasanya lebih aman begitu.

Dengan langkah ragu, Naira akhirnya meninggalkan gedung kantor. Bukan menuju parkiran seperti biasa, melainkan langsung memesan taksi online. Mobil pribadinya sengaja ia biarkan di kantor agar terlihat normal, seakan ia masih sibuk bekerja.

Sepanjang perjalanan, udara sore terasa menekan. Keringat dingin muncul di pelipisnya meski dingin AC mobil masih menempel di kulit.

Begitu taksi berhenti di depan sebuah café kecil di belakang gedung kantor, ia sempat terdiam sejenak. Dari balik kaca jendela mobil, ia bisa melihat lampu-lampu café yang hangat. Tangannya bergetar sedikit saat merapikan rambut dan kerah blouse-nya. Ia mengetik cepat ke Rizal “Aku udah sampai. Kamu di mana?”

Balasan datang dalam hitungan detik. “Aku di parkiran, di mobil. Santai aja, Teh. Masuk dulu, aku jagain dari jauh.”

Jantung Naira berdentum keras. Ia menghirup napas panjang, lalu melangkah masuk. Aroma kopi hangat langsung menyeruak, bercampur suara sendok beradu pelan dengan cangkir. Matanya menyapu ruangan, dan di sudut dekat jendela ia melihat Dika—kaus hitam polos, duduk santai sambil memainkan sendok kecil. Tatapannya langsung menancap begitu melihat Naira masuk.

Naira menarik kursi di depan Dika, mencoba menyembunyikan gugupnya dengan senyum tipis. Suara detak jantungnya terdengar lebih keras dibanding musik akustik pelan yang mengalun di café itu.

“Baru sampai, Mbak?” Dika membuka percakapan duluan, suaranya santai tapi matanya tajam, seperti sedang mengamati setiap gerak-gerik Naira.

“Iya…” Naira meneguk ludah, berusaha menjaga suara tetap tenang. “Tadi… ada sedikit urusan. Untung café-nya nggak jauh.”

Dika menyeringai, lalu memutar sendok kecil di tangannya. “Aku kira Mbak nggak bakal datang. Dari tadi aku mikir, jangan-jangan cuma PHP.”

Naira mencoba tertawa, meski terdengar kaku. “Aku orangnya nggak suka PHP, kok.”

Dika mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kalau gitu bagus. Jadi kita bisa ngobrol lebih banyak. Aku pengen tau, kenapa Mbak sampai berani datang ke sini, ketemu aku.”

Pertanyaan itu membuat Naira terdiam sejenak. Matanya melirik ke jendela, sesaat melihat bayangan mobil di parkiran—tempat Rizal menunggu. Rasanya seperti ada dua dunia yang menekan sekaligus, membuatnya semakin waspada.

Ia akhirnya menjawab pelan, “Karena aku pengen semuanya jelas. Nggak ada salah paham lagi.”

Dika tersenyum tipis, menatapnya lama. “Jelas, ya? Baiklah. Tapi biasanya, sesuatu yang ‘jelas’ itu malah bikin orang lain jadi makin penasaran.”

Naira merasa napasnya tersangkut di dada. Tangannya refleks meraih cangkir kopi yang baru diletakkan pelayan, berharap kepulan uap hangat bisa menutupi wajahnya yang mulai memerah.
Naira menarik napas panjang, menahan gemetar di dadanya. Dengan suara yang dipaksa tenang, ia berkata,
“Dika, aku minta kamu berhenti. Jangan lagi kirim-kirim pesan aneh, jangan bikin aku nggak nyaman. Aku punya keluarga, aku nggak mau semuanya hancur gara-gara ini.”

Dika menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu condong ke depan dengan tatapan yang sulit dibaca. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Aku bisa berhenti, mbak… tapi kamu juga tahu, aku nggak gratisan orangnya. Aku nggak minta banyak, cuma satu kali aja. Satu pertemuan… khusus kita berdua.”

Naira sontak menegakkan tubuh, pura-pura tidak paham maksudnya. “Loh, ini kan kita sudah ketemu berdua, Dik. Kamu maunya apa lagi? Bukannya aku sudah nurutin kamu buat datang?”

Dika menggeleng pelan, kali ini lebih terang-terangan. “Bukan gini maksudku, mbak. Aku pengen tempat yang private, yang nggak ada orang lain. Biar kita bisa bebas, lebih dekat… bermesraan. Habis itu, selesai. Aku janji nggak bakal ganggu lagi.”

Wajah Naira memanas, tapi ia menahan diri. Ia tahu kalau menolak mentah-mentah justru bisa membuat Dika semakin nekat. Ia mencoba mengulur, mencari celah untuk menunda. Dengan senyum tipis yang dipaksakan, ia menjawab,
“Dik… aku ini bukan tipe cewek yang bisa begitu aja sama orang yang baru kenal. Butuh waktu. Aku harus nyaman dulu, harus akrab dulu sama kamu. Kalau langsung gitu… aku nggak bisa.”

Dika menatapnya lekat, seakan mencoba menembus alasan yang dilontarkan Naira. Ada jeda panjang, sebelum akhirnya ia tersenyum miring.

Dika tersenyum tipis, jemarinya mengetuk meja dengan irama santai. “Yaudah kalau gitu, mungkin suamimu yang ganteng itu lebih enak kalau tau gimana istrinya di hotel waktu itu.”

Naira tercekat, wajahnya pucat. Ia kembali melirik ke luar, ke arah Rizal, seolah meminta kekuatan. HPnya bergetar—chat dari Rizal masuk. “Jangan panik. Ingat, kendali di kamu. Kalau mau bikin dia diam, kasih sedikit aja… biar puas. Aku liat semua dari sini.”

Naira menggigit bibirnya. Tangannya gemetar di atas meja, sementara Dika terus menatapnya, menunggu jawaban.

Di café yang teduh itu, suasana terlihat normal—musik akustik pelan, bunyi cangkir beradu dengan piring kecil, aroma kopi yang pekat bercampur dengan wangi pastry baru keluar oven. Namun di meja pojok, hawa terasa jauh lebih tegang.

Naira duduk dengan posisi tegak, menahan kegugupannya. Dika, dengan kemeja santai lengan digulung, tampak sangat tenang. Senyumnya ramah, suaranya sopan, tetapi setiap kalimatnya terasa seperti desakan halus.

“Terima kasih sudah mau datang, Mbak Naira,” ucap Dika lembut. “Saya tahu ini sulit… tapi saya cuma ingin bicara sebentar, jujur-jujuran saja. Saya nggak akan ganggu Mbak lagi kalau Mbak benar-benar mau.”

Naira menarik napas dalam. “Dika… saya sudah bilang, saya ini perempuan berkeluarga. Jangan samakan saya dengan cewek lain yang bisa gampang buat begituan. Saya nggak mau urusan ini berlarut.”

Dika mencondongkan tubuh sedikit, suaranya diturunkan. “Justru itu, Mbak… argumen itu menurut saya nggak relevan. Saya lihat sendiri, Mbak masuk kamar hotel sama lelaki lain. Saya lihat sendiri Mbak telanjang. Itu cukup buat saya tahu… kalau sebenarnya Mbak bisa terbuka sama lelaki selain suami.” Tatapannya tajam, tapi tidak kasar. Ada elegansi yang justru membuat Naira makin sulit membantah.

Di meja, jari Naira menggenggam cangkir terlalu erat. HPnya bergetar pelan. Satu chat dari Rizal masuk “Jangan panik. Dengerin aja dia. Kalau terlalu menekan, jawab singkat.”

Naira mengatup bibir, lalu menunduk pura-pura membuka tas. Ia membalas cepat di bawah meja “Dia makin berani, Zal… aku takut kalau makin terjebak.”

Rizal balas hampir seketika “Justru itu… ini saatnya kamu buktiin bisa kontrol. Jangan ngemis ampun ke dia. Kalau belum siap, kasih janji lagi, tarik ulur aja. Aku yakin kamu bisa atur mainnya.”

Keringat dingin mulai muncul di pelipis Naira. Sementara Dika kembali menatapnya, kali ini lebih pelan, namun setiap kata seolah menempel di telinga.

“Jadi, Mbak Naira… saya nggak minta banyak. Saya cuma minta kesempatan. Kalau memang Mbak ga mau, tunjukkin. Tapi kalau Mbak diam, saya anggap Mbak memberi saya kesempatan.”

Naira menghela napas, menegakkan punggung. Semua pandangan terasa menekan—Dika di depan dengan elegan sekaligus menjerat, Rizal dari kejauhan lewat layar HP yang seakan menguji nyalinya.

Kini Naira harus mengambil keputusan: memberi celah samar untuk menunda, atau menutup pintu dengan risiko Dika membuka semua yang ia tahu.

Naira meremas jemarinya sendiri di pangkuan, mencoba menata napas. Matanya menatap sebentar ke arah luar jendela, ke arah lalu lintas yang ramai, lalu kembali pada Dika yang masih menunggu dengan tatapan penuh keyakinan.

Suasana café terasa lebih hening bagi Naira, seakan hanya ada mereka berdua. HPnya kembali bergetar, tapi kali ini Naira tak buru-buru melihat. Ia tahu Rizal pasti mengamati dari kejauhan.

Dengan suara yang dijaga tetap tenang, Naira akhirnya membuka mulut.

“Dika… aku nggak bisa ngelanjutin obrolan kayak gini. Aku istri orang. Aku juga ibu. Jadi jangan pernah nganggep aku bisa gampang diperlakukan sembarangan.” Ia berhenti sejenak, menatap Dika dengan sorot mata yang berusaha tegas.

Dika hanya mengangguk pelan, seolah menghargai setiap kata. Tapi ada senyum tipis yang membuat Naira sulit merasa benar-benar menang.

Naira menundukkan pandangannya sebentar, lalu berbicara lebih pelan, seolah memilih kata hati-hati.
“Dik… aku paham kamu masih nyimpen sesuatu yang nggak seharusnya kamu lihat. Aku nggak bisa hapus itu dari ingatanmu. Jadi gini aja… kalau memang kamu masih butuh ngobrol lagi, biar aku yang tentuin waktunya. Bukan sekarang. Nanti, aku yang hubungi.”

Dika tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuh. Suaranya nyaris berbisik namun penuh tekanan.
“Jadi Mbak masih kasih saya kesempatan, ya? Masih ada peluang buat ketemu lagi?”

Naira menelan ludah, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Jangan salah paham. Aku cuma nggak mau semuanya makin runyam. Kalau kamu mau hargai aku, berhenti tekan aku. Nanti, kalau waktunya tepat… aku yang hubungi.”

Dika menyandarkan diri, matanya berbinar nakal. “Oke, Mbak. Aku setuju. Tapi ada syaratnya… pertemuan selanjutnya jangan cuma ngobrol. Aku nggak mau sia-sia. Aku pengen yang lebih dari itu—lebih mesra, lebih dewasa, lebih… sensual. Bukan sekadar duduk bareng kayak gini.”

Naira terdiam, wajahnya menegang.

Dika melanjutkan, kali ini dengan nada lebih rendah, seolah mengulang bayangan yang menghantuinya.
“Aku masih kebayang waktu lihat Mbak sama Rizal tempo hari… aku lihat jelas, gimana panasnya kalian. Aku juga pengen ngerasain itu. Aku pengen rasain apa yang Rizal rasain. Sejak hari itu, bayangan toket Mbak yang sempat keliatan di depan mata aku… nggak pernah hilang dari kepala.”

Kalimat itu terdengar seperti penolakan, tapi di telinga Dika, ada celah samar—janji samar yang bisa ia tunggu. Ia tersenyum, lalu duduk lebih santai, seolah baru saja memenangkan sesuatu tanpa perlu berteriak.

Naira menggenggam HPnya erat, perasaan bercampur aduk—lega, cemas, sekaligus merasa terjebak di antara dua lelaki yang sama-sama menguji dirinya.

Dika menegakkan tubuhnya, merapikan lengan kemeja sambil tetap menatap Naira yang masih berusaha menjaga ekspresi tenang. Ia tersenyum—senyum elegan, sopan, tapi dengan sesuatu yang samar mengintai di baliknya.

“Kalau begitu, saya tunggu kabar Mbak,” ucapnya datar tapi penuh makna.

Sebelum Naira sempat menjawab, Dika bangkit. Ia berjalan mengitari meja, mendekat dengan tenang. Naira refleks berdiri juga, berniat langsung pamit. Tapi langkahnya justru terhenti saat Dika mendekat begitu rapat. Dalam satu gerakan cepat tapi tetap halus, Dika meraih pinggang Naira dan menariknya ke pelukan singkat. Tubuh Naira menegang. Dan sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Dika sempat menempelkan kecupan ringan di pipi, tepat di dekat telinga.

“Jangan lupa, janji itu yang bikin saya semangat,” bisiknya.

Naira terperanjat, wajahnya memanas. Ia buru-buru melepaskan diri, menunduk, dan menggumamkan pamit seadanya. Dika melangkah pergi, meninggalkan aroma cologne yang menempel dan sensasi hangat di pipinya yang tak bisa ia hilangkan secepat itu.

Begitu Naira kembali duduk sebentar, HPnya langsung bergetar. Chat dari Rizal masuk, jelas-jelas ia melihat semua dari jauh. “Gila… gue liat sendiri tadi. Dia berani banget. Kamu diem aja, Na? Gimana rasanya dipeluk dan dicium orang yang baru beberapa hari lalu liat kamu telanjang?”

Naira menggertakkan giginya, jari-jarinya gemetar mengetik balasan.“Zal… jangan bahas gitu. Aku tadi kaget, nggak nyangka dia berani sebegitunya. Aku udah jaga diri sebisa mungkin.”

Rizal membalas cepat, nada tengilnya terasa bahkan lewat teks. “Justru itu poinnya. Gue mau tau, kamu bisa tahan sejauh apa. Dan… sejujurnya gue makin penasaran kalau kamu bener-bener mainin peran ini. Kamu sadar kan, sekarang posisi kamu udah kayak di dua dunia: istri manis di rumah, sama perempuan penuh rahasia di luar.”

Naira menutup wajahnya dengan tangan, dada berdebar kacau. Ia tahu permainan ini makin berbahaya—tapi anehnya, ada sesuatu yang membuatnya tetap bertahan di dalamnya.

 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *