Begitu Naira keluar dari café, langkahnya terasa berat. Ia tahu Rizal sedang menunggu di mobil, mengawasi dari jauh sejak tadi. Ketika pintu mobil terbuka, wajah Rizal sudah jelas memperlihatkan campuran puas dan nafsu.
“Aku liat semua, Teh…” katanya rendah, matanya berkilat. “Dia berani meluk kamu, nyium kamu. Dan kamu… diem aja. Kamu tau nggak itu keliatan erotis banget?”
Naira menghela napas, menoleh sebentar dengan wajah memerah. “Zal… jangan mulai lagi. Aku tadi kaget. Aku cuma… nggak mau bikin ribut di tempat umum.”
Tapi Rizal justru tersenyum tengil, tangannya refleks menyentuh paha Naira. “Justru itu yang bikin gue makin gila, Teh. Lo keliatan kayak istri baik-baik, tapi di mata gue sekarang… lo liar banget.”
Naira menepis pelan, gugup melihat area parkir yang masih ramai. “Zal… tempatnya nggak aman. Banyak orang.”
Rizal menghela napas, lalu menyalakan mesin mobil. “Oke, kita cabut. Nggak bisa gue tahan kalau cuma diem gini.”
Mobil meluncur keluar dari parkiran café, masuk ke jalanan kota yang mulai padat menjelang sore. Di tengah perjalanan, Rizal masih menatap ke depan, tapi rahangnya mengeras menahan gejolak.
“Teh… gue ngaceng,” katanya lirih, nyaris seperti desahan sambit tangannya meraba paha naira.
Naira menelan ludah, menoleh sekilas. “Kamu gila ya, Zal? Kamu lagi nyetir.”
Tapi Rizal tidak menoleh, hanya meremas setir lebih kuat. “Justru itu… mumpung mobil jalan ga akan ada yang perhatiin.”
Hening beberapa detik, hanya suara mesin dan lalu lintas.
Naira melirik sebentar ke arah Rizal. Tangannya, gemetar sekaligus nekat, meraih paha Rizal lalu merambat ke tengah. Rizal mengerang pelan, rahangnya makin menegang.
“Teh… lo emang ngerti banget yang gue mau,” suaranya serak, menahan.
Naira menarik napas dalam-dalam, lalu pelan membuka resleting celana Rizal. Bunyi gesek logam itu terdengar jelas di antara bising lalu lintas, membuat jantung Rizal semakin berdegup.
Tangannya masuk, mengelus lembut.
Rizal mendesis keras, satu tangannya menekan setir lebih kuat, yang lain meraba-raba kursi mencari pegangan.
“Anjir… Teh…”
Naira hanya melirik sekilas, matanya setengah menantang, setengah menggoda. Elusannya makin berani, membuat tubuh Rizal sedikit terangkat di kursi.
Ketika akhirnya Naira menunduk, Rizal hampir kehilangan kendali. Mobil sedikit oleng ke kanan sebelum ia buru-buru meluruskan setir lagi. Nafasnya memburu, desisannya berubah jadi erangan tertahan.
“Ya Allah, Teh… lidah kamu… emang ga pernah gagal..,” gumamnya, tapi tangannya justru turun mengusap kepala Naira, menuntunnya pelan.
Suara mesin, klakson samar dari luar, bercampur dengan desahan tertahan Rizal di dalam kabin. Setiap gerakan Naira membuat tubuhnya kaku lalu melemas lagi, seperti dililit gelombang panas yang tak henti-henti.
Mobil terus melaju di antara keramaian jalan kota, tapi di dalam kabin sempit itu hawa terasa begitu berbeda—berat, panas, liar. Naira menunduk dalam, bibirnya sibuk bekerja naik-turun di pangkuan Rizal, membuat napas lelaki itu memburu tak beraturan.
“Ahh… Teh… gila, kamu enak banget,” desah Rizal, sebelah tangannya tetap di setir, sementara tangan satunya meremas dada Naira dari samping. Setiap remasan keras dan nakal membuat Naira meringis kecil, meski mulutnya tetap tak melepaskan batang Rizal.
Mobil berhenti di lampu merah. Rizal melirik kanan-kiri, jantungnya berdetak kencang karena tahu ada kemungkinan orang melihat. Tapi nafsu sudah jauh lebih besar dari kamugika. Dengan nekat, ia menyelipkan tangannya ke bawah pinggul Naira, dari belakang, lalu menarik ujung rok yang Naira kenakan.
Naira tersentak, tubuhnya menggigil seketika. “Zaal… jangan—”
“Nikmatin aja,” bisik Rizal tajam, jari-jarinya sudah berhasil menyentuh celah hangat di balik celana dalam tipisnya. Dan betapa terkejutnya ia saat menemukan kelembapan yang sudah menunggu di sana.
“Teh… kamu basah banget,” katanya dengan nada menggoda penuh kemenangan.
Jari Rizal menyingkap kain tipis itu, langsung menemukan belahan yang licin dan hangat. Dengan satu dorongan perlahan, jarinya masuk, membuat tubuh Naira gemetar hebat meski ia masih berusaha fokus pada mulutnya di batang Rizal.
“Uhh… Rizal…” suara Naira teredam, hampir seperti erangan tertahan.
Lampu berganti hijau. Rizal kembali melajukan mobilnya, tapi jarinya tidak berhenti bergerak. Ia mengatur ritme, keluar masuk, semakin dalam, semakin cepat. Pinggul Naira bergetar, tubuhnya kian sulit menahan. Sensasi liar itu membuat Naira semakin giat memainkan mulutnya, membuat Rizal hampir kehilangan kendali di setir.
“Teh… ahh… Aku nggak kuat lagi… Aku mau keluar,” desah Rizal, kepalanya mendongak, urat lehernya menegang.
Dengan hentakan terakhir, Rizal meledak di dalam mulut Naira. Cairan hangat itu memenuhi rongga mulutnya, sementara jari-jari Rizal masih masuk-keluar di dalam tubuh Naira, membuatnya ikut terhuyung dalam kenikmatan.
Mobil tetap melaju, seolah dunia luar tidak pernah tahu bahwa di balik kaca berwarna gelap, sepasang insan sedang melepaskan nafsu terlarang dengan cara yang begitu gila dan berbahaya.
Rizal masih terengah, satu tangannya menggenggam erat setir, satu lagi masih bercokol nakal di paha Naira. Nafasnya kasar, dada naik turun, tapi senyumnya tidak hilang.
Naira mendongak perlahan, wajahnya merah, bibirnya basah. Ia buru-buru mengambil tisu dari dashboard, mengelap sisa di bibirnya, lalu menatap Rizal dengan sorot campuran kesal dan malu.
“Gila kamu, Zal… itu bener-bener nekat banget. Bahaya tau, lagi nyetir juga.”
Rizal hanya tertawa rendah, tangannya mengusap pipi Naira, lalu turun lagi meremas dadanya lembut. “Tapi kamu nikmatin juga kan, Na? Aku bisa ngerasain sendiri tadi, jari Aku basah banget.”
Naira menggigit bibirnya, tak sanggup menjawab.
Mobil terus melaju hingga akhirnya masuk ke area parkiran kantor Naira. Sudah sore, tempat itu relatif sepi, hanya ada beberapa mobil tersisa. Rizal memarkirkan mobilnya di sudut yang agak gelap, mesin masih menyala. Ia menoleh pada Naira dengan tatapan lapar yang jelas belum padam.
“Teh…” bisiknya sambil menunduk mendekat. “Kita lanjut di sini aja sebelum kamu pulang. Tempatnya sepi. Aku mau kamu sekarang… bukan cuma mulut kamu, tapi semua bagian kamu.”
Naira menoleh panik, memandang sekitar parkiran. “Riz, jangan gila. Ini di kantor. Kalau ada yang lewat gimana?”
Rizal tidak menjawab, malah meraih pinggang Naira dan menarik tubuhnya ke pangkuan. Rok Naira terangkat sedikit saat ia duduk di atas paha Rizal, membuat kulit mereka bersentuhan hangat.
“Kalau kamu diem, nggak ada yang bakal tau,” desah Rizal di telinganya, sambil tangannya sudah menyusup ke balik roknya. “Aku udah setengah mati nahan dari tadi. Aku masih pengen kamu, Teh.”
Naira terdiam, tubuhnya bergetar hebat di atas Rizal. Di satu sisi, ia sadar ini gila—kantornya sendiri, bisa ketahuan kapan saja. Tapi di sisi lain, sensasi terlarang itu justru membuat detak jantungnya makin kencang, membakar sisa-sisa kewarasannya.
Naira masih berusaha menahan, tangannya mendorong dada Rizal. “Zal, jangan… ini kantor aku. Kalau ada yang liat gimana?” suaranya bergetar, setengah panik, setengah berbisik.
Rizal menatapnya dalam, senyum tengilnya muncul lagi. Tangannya sudah meraba naik ke balik roknya, jari-jarinya menemukan kembali kelembapan hangat di sana. “Kemarin siang aja nggak papa, Teh. Siang bolong, di kantor jg banyak orang, orang bisa aja ngeliat. Sekarang malem, parkiran sepi, jauh lebih aman.”
Naira menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuhnya bereaksi, meski mulutnya masih mencoba menolak. “Tapi… Zal…”
“Udah,” Rizal memotong, suaranya rendah penuh desakan. “Jangan pura-pura. Tadi kamu udah basah banget, Teh. Kamu juga pengen sama kayak Aku.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Rizal memundurkan jok mobilnya, menarik pinggang Naira ke pangkuannya. Batangnya yang sudah keras kembali muncul dari resleting celana Rizal yang masih terbuka, siap. Naira refleks menahan dengan tangan, tapi Rizal menangkap pergelangan tangannya, menuntun tubuh Naira turun perlahan.
“Zal… jangan di sini…” Naira mendesah, matanya melirik kaca jendela, bayangan lampu jalan menari di permukaannya. Jantungnya berdetak liar karena takut ketahuan, tapi justru itu membuat sensasinya semakin tajam.
Batang Rizal menekan masuk, membelah kewanitaan Naira. Erangan tertahan dari bibirnya saat akhirnya ia tenggelam penuh di pangkuan Rizal.
“Ahhh… gila… kamu sempit banget, Na,” Rizal mendesah berat, tangannya langsung meremas bokong Naira, mendorongnya naik-turun.
Naira menutup mulut dengan punggung tangannya, tubuhnya ikut bergerak mengikuti irama Rizal. Setiap hentakan membuat jok mobil berderit pelan, suara yang terdengar begitu jelas di tengah kesunyian parkiran.
“Cepet… Zal… jangan lama-lama…” bisik Naira cemas, tapi gerakannya justru makin liar, tubuhnya berguncang di atas Rizal.
Rizal menciumi lehernya, menggigit halus. “Tenang aja… kalau ada orang lewat, paling cuma kira kita ABG yang lagi pacaran di mobil. Mereka nggak bakal tau kalau kamu istri orang.”
Kata-kata itu menusuk dalam, membuat wajah Naira makin panas. Gairah bercampur malu, takut, sekaligus euforia terlarang membuat tubuhnya gemetar keras.
Hentakan Rizal makin dalam, makin cepat. Nafas keduanya sudah kasar, keringat menetes, jendela mobil mulai berembun. Setiap kali lampu motor melintas jauh di belakang, Naira semakin menegang, takut ketahuan, tapi tak kuasa berhenti.
Hingga akhirnya, dengan dorongan terakhir yang kuat, Rizal meledak di dalam dirinya. Naira menekuk tubuh ke depan, menahan jeritan dengan menggigit bahunya sendiri, tubuhnya ikut bergetar hebat, mencapai puncak bersama Rizal.
Mereka terkulai di jok, napas saling bertubrukan di ruang mobil yang sempit dan pengap. Kaca berembun, aroma tubuh bercampur dengan sisa keringat dan parfum Naira yang kian memabukkan. Rizal masih melingkarkan lengannya erat di pinggang Naira, seolah enggan melepaskan.
“Teh…” Rizal terkekeh kecil, bibirnya nyaris menyentuh telinga Naira. “Aku nggak bakal pernah bisa lupa ini. Parkiran kantor kamu. Kamu bener-bener gila.”
Naira menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya masih bergetar oleh sisa gelombang nikmat. Dengan nada ketus, ia berbisik, “Kenapa tiap ketemu kamu selalu begini sih? Kayaknya kamu cuma mau seks sama aku.”
Rizal mendengus pelan, matanya menyapu wajah Naira dengan penuh nafsu. “Ya memang, Teh. Tiap kali aku lihat kamu, aku nggak bisa nahan. Kamu seksi banget. Kontolku selalu ngaceng tiap ketemu.”
Naira menurunkan tangannya, menatap Rizal dengan sorot genit meski bibirnya menyeringai sinis. “Dasar bajingan… kamu emang bangsat, Zal.” Ia menekankan suaranya, tapi ujung bibirnya bergetar menahan senyum. “Masalahnya… aku juga suka, menikmati kontol kamu yang bajingan ini.”
Rizal tergelak, lalu menarik dagu Naira mendekat, mencium bibirnya lagi dengan kasar namun mesra. Suasana panas yang belum reda membuat tubuh mereka kembali saling menempel, seolah tak pernah cukup.
Naira menghela napas panjang, tubuhnya masih berat saat tangannya meraih tisu dari dashboard. Ia bergeser sedikit, menyandarkan punggung, lalu mulai membersihkan cairan hangat yang masih menempel di kewanitaannya. Gerakannya pelan, tapi membuat Rizal justru semakin menatap tak berkedip.
“Ya ampun, Teh…” suara Rizal serak, sarat dengan sisa gairah. “Bersihin memek aja kelihatan seksi banget. Aku bisa gila liatnya.”
Naira melirik sekilas dengan tatapan malas, tapi bibirnya mengulas senyum tipis. “Bangsat, kamu nggak ada kapoknya ya. Baru aja kelar, masih aja nafsu.”
Rizal tertawa pendek, tangannya menepuk pelan paha Naira. “Emang salah? Kamu tahu sendiri, tiap kali aku sama kamu, aku nggak pernah bisa puas. Rasanya pengen lagi… dan lagi.”
“Zaal…” Naira menggertakkan gigi, mencoba terdengar kesal tapi tubuhnya justru bergetar halus. “Jangan lebay.”
Rizal mendekat, bibirnya nyaris menyentuh leher Naira. “Aku nggak kebangetan, Teh. Kamu itu candu. Sekali nyicip, aku nggak bisa berhenti.”
Naira menepis pelan dadanya, lalu segera merapikan blouse yang kusut. Hijabnya yang tadi terlepas, kini ia ambil dengan gerakan tergesa. Beberapa helaian rambut masih terurai, wajahnya memerah campuran letih dan puas.
“Aku harus balik,” ucap Naira cepat, sambil memastikan tak ada noda yang tertinggal di roknya.
Rizal tersenyum miring, menatapnya penuh arti. “Hati-hati, Teh. Jangan sampai senyum kamu nanti kebawa pulang, suami kamu bisa curiga.”
Naira mendelik sekilas. “Bajingan.” Tapi ia tidak bisa menyembunyikan tawa kecil yang lolos.
Ia membuka pintu mobil Rizal, udara malam yang lebih segar menyapu wajahnya. Dengan langkah cepat, ia menuju mobilnya sendiri yang masih terparkir tak jauh. Pakaian masih sedikit berantakan, hijab baru saja ia lilit seadanya di kepala, meninggalkan kesan kacau yang hanya mereka berdua tahu alasannya.
Sesaat sebelum masuk ke mobilnya, ia sempat menoleh. Pandangan Rizal masih menempel, tatapannya jelas: lapar, puas, dan belum selesai.
Begitu pintu mobilnya tertutup, Naira menjatuhkan diri ke kursi sopir. Napasnya masih tersengal, tubuh terasa lemas. Ia buru-buru merapikan blouse dan hijabnya yang hanya terpasang seadanya. Jari-jarinya gemetar saat mencoba menyalakan AC mobil, berharap udara dingin bisa menutupi panas yang masih melekat di kulitnya.
Tiba-tiba layar HP menyala. Nama suaminya muncul besar, bukan sekadar panggilan suara—video call.
“Ya Allah…” Naira memaki dalam hati, panik. Ia buru-buru menarik hijabnya menutupi rambut yang masih acak-acakan, merapikan kerah blouse yang masih kusut. Sisa lipstik di bibirnya ia hapus cepat dengan tisu yang tadi digunakan.
Dengan tangan gemetar, ia tekan tombol jawab. Wajah suaminya muncul di layar, tampak tersenyum.
“Sayang, masih di kantor ya? Katanya tadi ada meeting dadakan?”
Naira tersenyum kaku, mencoba menjaga suara tetap stabil. “Iya… ini baru aja selesai, lagi mau pulang. Tadi agak lama, kliennya ribet banget.”
Suaminya tertawa kecil. “Pantesan. Aku video call biar nggak kangen aja. Kamu keliatan capek banget. Jangan cape-cape, ya.”
Naira menahan napas, berusaha tidak menoleh ke kaca belakang—takut kalau bayangan mobil Rizal masih terlihat. “Iya, aku capek banget, Mas. Abis ini langsung pulang kok, ini uda di mobil.”
Suaminya mengernyit pelan, matanya menatap layar lebih teliti. “Eh, jilbab kamu kok agak berantakan gitu?”
Jantung Naira nyaris copot. Ia cepat-cepat merapikan lilitan hijab dengan tangan, tersenyum seolah santai. “Iya, tadi buru-buru banget. Dari ruang rapat langsung ke mobil, gerah banghet, tadinya mau buka aja sekalian”
Suaminya hanya tertawa lagi, tidak curiga. “Ya udah, hati-hati di jalan. Aku tunggu di rumah.”
“Siap, Mas.” Naira menutup videocall dengan senyum lemah, tapi begitu layar padam, senyumnya hilang seketika. Dadanya masih naik turun cepat, rasa takut dan rasa bersalah bercampur jadi satu.
Di meja kerjanya, Naira menunduk pada layar laptop. Jari-jarinya menekan tombol keyboard, tapi hatinya entah ke mana. Fokusnya buyar. Bukan laporan yang menunggu diselesaikan yang memenuhi kepalanya, melainkan bayangan semalam bersama Rizal—tatapan matanya, napasnya, tubuhnya yang begitu menekan dirinya sampai ia sendiri nyaris lupa siapa dirinya.
Bayangan itu menempel kuat, membuat dadanya sesak, tapi sekaligus hangat.
Tiba-tiba HPnya bergetar di sisi meja. Naira sempat ragu untuk meraihnya, tapi getar kedua membuatnya tak tahan. Layarnya menyala—WhatsApp masuk.
Dika: “Mbak… aku kangen. Ketemu lagi, yuk?”
Alis Naira berkerut. Ia menghela napas panjang. Sempat ia biarkan notifikasi itu, pura-pura sibuk, berharap rasa penasaran berhenti sampai di situ. Tapi baru sekejap, bunyi notifikasi kembali menyusul.
Dika: “Jangan lama-lama dingin gini, aku kepikiran terus. Aku pengen liat mbak…”
Naira menggigit bibir bawahnya. Ada rasa risih, tapi juga rasa lain yang membuatnya goyah. Ia mengetik cepat, berusaha singkat dan jelas.
“Aku lagi sibuk kerja, Dik. Nggak bisa sering-sering keluar.”
Tapi balasan masuk lebih cepat dari dugaan.
“Kalau gitu pulang kerja mampir ke tempatku aja. Rumahku deket kok sama kantor mbak.”
Dada Naira terasa sesak. Ia tertegun, tubuhnya seakan membeku. Jemarinya berhenti di atas keyboard laptop.
Dia tahu kantorku?
Jantungnya berdegup lebih keras, keringat dingin muncul di telapak tangan. Perlahan ia mengetik lagi.
“Kamu kok tau aku kerja di mana?”
Tak butuh waktu lama, balasan masuk. Hanya sebuah emoji senyum nakal, lalu kalimat singkat.
“Aku kan penasaran sama mbak. Jadi aku cari tau…”
Naira menahan napas, menatap layar HPnya dengan mata yang tak berkedip. Ada rasa takut, tapi anehnya, ada juga rasa yang tak bisa ia sebutkan: rasa diperhatikan, rasa diinginkan.
Tangannya bergetar saat ia mengetik pelan.
“Jangan aneh-aneh, Dik. Aku nggak janji ya.”
Ia menatap kata-katanya sendiri, ragu, tapi tetap menekan tombol send. Layar HPnya kembali berpendar.
“Sekali ini aja, mbak. Aku janji nggak macem-macem… aku cuma pengen deket.”
Naira buru-buru menutup layar HP dan meletakkannya terbalik di meja. Ia menatap kosong pada tumpukan berkas, tapi tak ada satu pun yang bisa membuat pikirannya tenang.
Di dalam hatinya, sebuah pertarungan sedang berkecamuk.
Antara logika yang berkata “jangan” dengan rasa penasaran yang membisikkan “sekali lagi, apa salahnya?”
Naira bersandar di kursinya, menutup mata. Bayangan wajah Dika terlintas samar—anak muda itu dengan tatapan polos bercampur berani. Berbeda dengan Rizal yang selalu membuatnya lepas kendali. Dan berbeda pula dengan suaminya yang sederhana, tapi cepat habis.
Sejenak, Naira tersenyum pahit. Ia benci dirinya sendiri karena hatinya tak lagi sederhana.
Dan siang itu, di tengah hiruk pikuk kantor, Naira tahu: hidupnya tidak akan lagi sama.
Sore itu, jarum jam di dinding kantor belum genap menunjukkan pukul tiga. Naira sudah berkemas lebih cepat dari biasanya. Satu jam sebelum jam pulang resmi, ia sengaja keluar dengan alasan ada urusan mendesak. Baginya, ini cara paling aman supaya tetap bisa sampai rumah tepat waktu. Suaminya tak akan curiga, dan tetangga tak akan banyak bertanya.
Langkahnya cepat menuju toilet. Di dalam bilik, ia duduk sebentar, membuka tas kecilnya. Sebuah pembalut ia ambil, lalu dengan hati-hati menempelkannya di celana dalam. “Kalau sampai Dika maksa… aku masih bisa alasan lagi haid,” gumamnya dalam hati. Antisipasi kecil yang membuatnya sedikit lebih tenang.
Tapi siapa yang ia tipu? Dadanya tetap berdebar keras.
Ia keluar dari toilet, membetulkan rok span panjangnya. Rok itu cukup ketat, belahan belakangnya sampai lutut, memperlihatkan betisnya yang mulus jika ia duduk menyilangkan kaki. Hari itu ia tidak mengenakan legging panjang seperti biasanya, hanya short tipis yang melapisi celana dalamnya. Ia sadar benar risikonya: kalau sampai ada tangan nakal menyusup di balik rok, kulitnya akan langsung teraba.
Sambil menuruni tangga menuju parkiran, pikirannya semakin riuh. Ia tahu betul apa yang diinginkan Dika. Anak muda itu terlalu transparan. Dari tatapannya, dari chatnya yang manja sekaligus berani—Naira tahu arah yang dituju. Dan itu yang membuatnya harus punya rencana: jangan sampai kebablasan.
Namun, ada sesuatu yang ia benci akui. Gestur Dika yang selalu sopan, caranya bicara yang tidak pernah kasar, dan wajahnya yang menyimpan rasa ingin tahu, membuat hatinya diam-diam tergerak. Ada sisi dirinya yang penasaran, bagaimana rasanya kalau ia menuruti ajakan itu.
Sampai di mobil, ia menarik napas panjang. HPnya kembali ia buka. Jemarinya mengetik cepat.
“Kirim alamatmu.”
Hanya butuh hitungan detik, notifikasi masuk. Dika langsung membalas dengan share location. Titiknya muncul di layar. Naira menatapnya dengan jantung yang tiba-tiba melonjak.
Hanya lima belas menit dari kantor. Dekat banget.
Tangannya gemetar saat meletakkan HP di dashboard. Ia menyalakan mesin, dan mobilnya perlahan keluar dari parkiran. Jalanan sore itu mulai sepi. Udara agak lembab, bercampur aroma tanah yang baru saja tersiram gerimis tipis. Di kiri-kanan jalan, pepohonan berderet, beberapa warung kecil masih buka, dan rumah-rumah sederhana berjejer.
Semakin dekat ke lokasi, rasa gelisahnya makin menjadi. Tangannya berulang kali menggenggam setir lebih kuat, bibirnya digigit dalam-dalam.
Saat sampai di depan gerbang komplek, ia tak langsung masuk. Mobilnya berhenti sebentar di bahu jalan. Naira menutup mata, mencoba menenangkan napas.
“Ya Allah…” bisiknya lirih. “Kenapa aku bisa mau datang ke sini…”
Tangannya terulur ke dada, merasakan degup jantung yang seolah ingin meledak. Ada rasa takut, tapi ada juga tarikan yang membuatnya sulit mundur.
Ia menoleh sebentar ke kaca spion, memastikan riasannya masih rapi, tanktop di balik kemejanya menahan dadanya tetap aman, meski ada sedikit bayangan kerah yang longgar. Napasnya kembali tersengal.
Hari itu, ia tahu satu hal: ia sedang berjalan di garis tipis antara akal sehat dan keinginan yang sulit ia redam.
Mobil Naira melaju pelan menyusuri jalan komplek. Di ujung deretan rumah sederhana, ia melihat sebuah rumah dengan cat krem pucat dan pagar besi hitam sederhana. Tidak besar, tapi dari kejauhan sudah tampak terawat rapi. Pot tanaman berjajar di depan pagar, beberapa tampak segar dengan bunga bermekaran.
Itulah titik lokasi yang tadi Dika kirim.
Naira menelan ludah. Jantungnya semakin kencang. Saat mobil berhenti di depan pagar, ia sempat terdiam cukup lama. Tangannya tak langsung bergerak, hanya menggenggam setir erat-erat. Dalam hati ia sempat membuka HPnya, mengetik chat cepat pada Rizal.
“Aku terpaksa datengin Dika. Dia mulai ngancem. Aku takut, tapi aku nggak mau dia makin nekat.”
Chat itu ia kirimkan tanpa menunggu balasan. Ia tahu Rizal bisa marah, tapi setidaknya ada orang yang tahu ia berada di mana.
Ketika matanya kembali ke arah rumah, pagar besi perlahan terbuka dari dalam. Seorang laki-laki muda muncul, wajahnya sumringah. Kaos oblong abu-abu melekat di tubuhnya, celana pendek hitam membuatnya tampak santai.
Itu Dika.
“Mbak, sini. Parkir aja di dalam,” katanya dengan nada santai, seolah sudah menunggu sejak tadi.
Naira menatapnya sekilas, lalu memindahkan tuas gigi, masuk perlahan ke carport rumah itu. Halaman kecilnya bersih, lantai keramik luar rumah terlihat mengilap, beberapa kursi plastik disusun rapi di samping. Ia bisa merasakan betapa rumah ini sederhana, tapi ada kenyamanan di dalamnya.
Begitu mobil berhenti, Dika cepat-cepat menutup pagar kembali. Ia bergegas ke sisi mobil, lalu menunggu dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana pendeknya. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Ketika pintu mobil terbuka, Naira melangkah keluar dengan hati-hati. Dika spontan mendekat, berdiri agak dekat, dan menatapnya hangat.
“Masuk, mbak,” katanya, suaranya lembut, penuh kehangatan yang anehnya justru membuat dada Naira semakin sesak. “Aku udah nungguin dari tadi.”
Naira tertegun sejenak. Ada sesuatu di mata anak itu—antara polos, kagum, dan berani. Ia menunduk, menarik napas panjang, mencoba menahan debaran yang kian menggila.
Mereka berjalan berdampingan ke arah pintu depan. Naira bisa mencium aroma sabun mandi dan parfum segar dari tubuh Dika, samar tapi cukup menyentuh indranya.
Begitu masuk, suasana rumah menyambut dengan sederhana namun nyaman. Ruang tamu kecil dengan sofa dua dudukan berwarna cokelat muda, meja kaca bening di tengah, dan televisi tipis menempel di dinding. Udara di dalam tercium wangi—campuran kayu dan parfum ruangan.
Naira duduk pelan di sofa, mencoba menjaga jarak. Tangannya meremas ujung rok span panjangnya, sementara Dika berdiri sebentar, lalu menatapnya dengan senyum yang tak kunjung padam.
“Terima kasih udah dateng, mbak,” katanya lirih. “Aku seneng banget akhirnya bisa liat mbak lagi, bukan cuma dari jauh.”
Naira menghela napas panjang. Senyum tipis ia paksakan, meski dalam hatinya badai tak berhenti berkecamuk.