Naira duduk pelan di sofa cokelat muda itu, punggungnya lurus, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Ia menunduk, seakan tak ingin menatap siapa pun.
Dika justru sebaliknya. Pemuda itu berdiri sejenak di depannya, lalu ikut duduk di sisi sofa, sengaja menjaga jarak tapi cukup dekat untuk membuat udara di sekitar mereka terasa lain. Senyum masih melekat di wajahnya, tatapannya hangat seperti seorang adik yang merindukan kakaknya.
“Aku seneng banget mbak mau dateng,” ucap Dika pelan, hampir seperti bisikan. “Aku kira mbak bakal terus cuekin aku.”
Naira menarik napas panjang, matanya baru berani menatap sekilas. “Dika, kamu jangan keterlaluan. Aku dateng ke sini bukan karena aku mau main-main. Aku cuma… nggak mau kamu bikin ribet.”
Dika terkekeh kecil, menunduk sebentar lalu kembali menatapnya. “Aku tau. Aku ngerti, mbak. Aku juga janji nggak akan macem-macem.” Ia berhenti sejenak, nada suaranya menurun, lebih serius. “Cuma… aku beneran nggak bisa berhenti mikirin mbak.”
Naira langsung menoleh, alisnya berkerut. “Maksud kamu apa?”
Dika bersandar ke sandaran sofa, menatap ke arah langit-langit sejenak lalu kembali ke mata Naira. “Sejak aku lihat mbak pertama kali di hotel itu… aku kayak ketarik. Aku nggak bisa pura-pura biasa aja. Bahkan aku cari tau mbak kerja di mana. Aku tau itu salah, tapi aku nggak tahan.”
Ucapan itu membuat dada Naira berdesir aneh. Antara risih dan tersentuh. Tangannya refleks meremas roknya lebih keras. “Kamu sadar nggak, itu bisa nyusahin aku? Kalau sampai ada orang tau, gimana? Kamu masih muda, Dik… jangan main api.”
Dika mendekat sedikit, masih menjaga jarak, tapi tatapannya kini lebih intens. “Justru itu, mbak. Aku makanya maksa mbak dateng. Aku takut aku kebawa emosi, bikin masalah. Aku nggak mau nyusahin mbak. Tapi aku juga nggak sanggup kalau harus nahan terus.”
Naira menggeleng cepat. “Kamu ini ngomong apa sih… jangan bikin aku tambah pusing.”
Keheningan sesaat menyelip di antara mereka. Suara kipas angin dari pojok ruangan berputar pelan, menambah suasana yang mendebarkan.
Dika lalu menunduk, suaranya lebih lirih. “Aku ngancem mbak kemarin… bukan karena aku jahat. Aku cuma ga bisa nahan kepinginan aku buat ngerasain itu. Aku janji, aku nggak akan kasar sama mbak. Aku cuma pengen deket. Pengen ngobrol, ketawa, sama liat senyum mbak dari dekat kayak gini.”
Naira terdiam. Kata-kata itu, seberapa polos pun terdengar, tetap berbahaya. Ada bagian dalam dirinya yang melemah, yang merasa diperhatikan, yang merasa spesial.
Ia menghela napas panjang. “Dik… kamu bikin aku bingung. Aku dateng ke sini karena aku nggak mau kamu makin nekat. Tapi jangan kira aku bisa…” suaranya tertahan, bibirnya bergetar, “aku bisa kasih lebih dari ini.”
Dika menatapnya lama, matanya teduh tapi berani. “Aku ngerti, mbak. Aku nggak minta apa-apa. Bener. Tapi sekali aja… biarin aku liat mbak kaya kemarin lagi. Biar aku ngerasain ada mbak di sini, di samping aku cuma berdua.”
Naira menoleh, menatap wajah muda itu. Ada kehangatan yang sulit ia sangkal, ada ketulusan yang membuat benteng pertahanannya retak sedikit demi sedikit.
Dalam hati, ia tahu betul—pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang bisa saja berbahaya.
Ruang tamu itu semakin sunyi. Naira masih menunduk, jemarinya tak berhenti meremas ujung rok span yang membungkus pahanya. Suara kipas angin terdengar pelan, seolah jadi latar dari percakapan yang makin berat.
Dika menatapnya lama, lalu menarik napas dalam. “Mbak… aku boleh jujur?”
Naira mengangkat kepala pelan, menatap sekilas. “Jujur apa?”
Dika menunduk, tangannya saling mengait di atas lutut. “Sebenernya… aku tuh nggak pede sama perempuan. Dari dulu. Aku nggak pernah punya pacar… bukan karena aku nggak mau, tapi aku emang nggak punya nyali buat deketin. Setiap ketemu cewek, aku selalu mundur duluan.”
Naira mengerutkan kening, terkejut dengan pengakuan polos itu. “Gombal kamu? Padahal kamu masih muda, harusnya gampang dapet pacar.”
Dika tersenyum tipis, getir. “Orang-orang pikir gitu. Tapi kenyataannya, aku jomblo. Aku cuma bisa liat dari jauh. Aku nggak pernah berani nyentuh, nggak pernah berani ngajak ngobrol lama. Aku takut ditolak.”
Ia terdiam sebentar, lalu menatap Naira dengan mata yang berkilat. “Tapi semua berubah waktu aku liat mbak… di kamar 1014, sama cowo itu.”
Nafas Naira tercekat. Ia refleks memalingkan wajah, tapi jantungnya langsung berdetak lebih keras.
“Pemandangan itu, mbak…” suara Dika bergetar tapi penuh tekad, “…mbak tanpa baju, toket mbak yang montok, wajah mbak penuh birahi… itu bikin aku nekat. Rasanya aku pengen. Dari situ, rasa pengen punya keberanian sama perempuan jadi makin besar. Aku pengen ngerasain gimana rasanya bener-bener deket sama wanita, bukan cuma bayangin atau liat film.”
Naira menutup mata sebentar, merasakan tubuhnya panas dingin. Ia tahu momen itu memang kelewat ceroboh, tapi ia tak pernah mengira dampaknya bisa sejauh ini.
Dika melanjutkan, suaranya semakin intens. “Aku liat mbak cantik banget… sexy banget. Dan aku tau, mbak bisa telanjang di depan laki-laki lain selain suami mbak. Itu berarti… ada peluang buat aku juga sama mbak. Bukan buat ngerebut mbak, bukan buat ngerusak rumah tangga mbak…”
Ia menunduk lagi, suaranya turun jadi lirih. “…aku cuma pengen sekali aja, ngerasain sentuhan dewasa seorang wanita. Ngerasain nyata. Nggak lebih.”
Ruang tamu seketika terasa sesak. Naira menggigit bibirnya, hatinya bergejolak hebat. Ada rasa marah, risih, tapi juga tak bisa menolak getaran aneh yang muncul.
Ia menatap Dika lama, napasnya tersengal. “Dika… kamu sadar nggak, yang kamu bilang ini gila? Kamu ngomong kayak gini ke perempuan yang udah nikah.”
Dika tak mundur. Ia justru menatap balik, matanya tajam tapi penuh kerinduan. “Aku sadar, mbak. Justru karena aku sadar, aku bilangnya sekarang. Aku nggak mau nyakitin mbak, aku cuma pengen jujur.”
Keheningan kembali turun. Naira merasakan tangannya basah oleh keringat dingin. Di kepalanya, pertarungan moral dan rasa penasaran beradu tanpa henti.
Naira masih duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya agak condong ke belakang. Dika masih di seberangnya, tapi dari cara dia meremas jari-jarinya sendiri, terlihat jelas kalau anak itu gelisah sekaligus menahan sesuatu.
“Dika… kita udah ngobrol panjang. Jangan bikin ini jadi aneh ya,” ucap Naira mencoba memberi garis tegas, senyumnya hangat tapi matanya tajam.
Dika menelan ludah, lalu bergeser. Dari jarak seberang sofa, dia pindah duduk ke samping Naira. Jarak yang tadinya aman, kini hanya tersisa beberapa jengkal.
“Aku… aku nggak tahu kenapa, Mbak. Begitu ngeliat Mbak Naira di kamar itu, aku kayak kehilangan akal. Rasanya pengen pegang, pengen tahu beneran kayak apa rasanya…” suaranya bergetar, tapi matanya serius menatap wajah Naira.
Naira refleks menarik napas dalam. Degup jantungnya naik. Anak ini bener-bener nekat. Tapi… polosnya itu malah bikin aku deg-degan.
“Dika… jangan sembarangan ngomong gitu. Kamu tahu aku siapa kan? Aku punya suami, aku istri orang. Jangan macem-macem.”
Naira menggeser tubuhnya sedikit, tapi Dika justru mendekat lebih rapat.
Tangannya gemetar saat perlahan menyentuh punggung tangan Naira. Sentuhan ringan, tapi cukup untuk membuat tubuh Naira tersentak kecil.
“Dikaa…” suaranya setengah menegur, tapi nadanya lirih.
“Aku cuma pengen tahu, Mbak… rasanya pegang wanita beneran. Aku nggak pernah punya pacar… apalagi liat langsung cewek bugil. Tapi waktu liat Mbak… aku nggak bisa tidur. Bayangannya ada terus.”
Naira menggertakkan giginya pelan. Ada bagian dirinya yang ingin menyingkirkan tangan itu, tapi ada bagian lain yang justru penasaran—sejauh mana anak ini berani? Sejauh mana aku bisa menahan diri?
Dika makin berani, jarinya merambat dari punggung tangan ke pergelangan, lalu berhenti di sana. Wajahnya merah, nafasnya cepat.
“Mbak… boleh kan… sebentar aja… aku cuma pengen ngerasain.”
Naira menutup mata sebentar, mencoba mengendalikan diri. Ini gila. Aku harusnya marah. Tapi kenapa rasanya… panas begini?
Dengan suara serak ia berkata, “Dik… jangan keterlaluan. Ada batas yang nggak bisa aku lewati, cuma suamiku yang boleh.”
Dika mengangguk cepat, tapi tangannya justru naik ke lengan Naira. Hangatnya kulit pemuda itu membuat tubuh Naira bergetar. Ia masih duduk tegak, tapi jari-jari kakinya menegang, menahan reaksi tubuh yang mulai berkhianat.
“Mbak… tapi waktu itu Rizal boleh kan… sebentar aja… aku juga mau ngerasain.”
“Dika…” suaranya melemah, setengah peringatan, setengah desahan.
Anak itu mendekat, jarak wajahnya hanya sejengkal. Nafasnya terengah, polos tapi penuh keberanian yang baru tumbuh.
“Mbak… aku janji nggak akan ngerusak apa pun. Aku cuma… sekali ini aja pengen tahu gimana rasanya. Please…”
Naira menatap matanya, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ia bisa merasakan tubuhnya mulai goyah. Penasaran itu menari-nari di kepalanya, membangkitkan rasa nakal yang selama ini ia kubur.
Astaga… kenapa aku malah penasaran?
Suasana ruang tamu itu semakin menyesakkan. Hening hanya dipecah suara kipas angin yang berputar malas di langit-langit. Waktu seakan melambat, menahan setiap detik penuh ketegangan.
Tatapan mereka terkunci. Naira tidak berkedip, wajahnya panas, dadanya naik-turun cepat. Dika mendekat, jaraknya kini tinggal sejengkal. Tangannya yang masih gemetar berani turun, menyentuh paha Naira perlahan.
“Mbak…” suaranya serak, nyaris pecah. “Aku beneran suka sama mbak. Kalau mbak nyaman, aku bakal jaga semua rahasia itu.”
Naira menahan napas, tubuhnya menegang. Sentuhan itu begitu nyata, menusuk ke dalam rasa takut bercampur panas yang tak bisa ia redam. Tangannya sempat ingin menepis, tapi berhenti di udara. Ada sesuatu yang membuatnya beku.
“Dik…” bisiknya lirih, seperti suara orang yang kehilangan arah.
Dika tersenyum kecil, wajahnya makin dekat. Bibirnya turun ke telinga Naira, hangat napasnya membuat bulu kuduk Naira meremang. “Aku cuma pengen ngerasain main sama mbak… aku janji aku simpen semuanya, ga akan bocor.”
Naira memejamkan mata sepersekian detik, menahan gemuruh dalam dada. Begitu matanya terbuka lagi, wajah Dika sudah di depan. Terlalu dekat.
Lalu… pecah.
Dika menunduk dan langsung menempelkan bibirnya ke bibir Naira. Tidak halus. Tidak teratur. Acak-acakan. Nafasnya terburu, ciumannya gemetar. Sangat jelas kalau ini adalah ciuman pertamanya—liar, kikuk, penuh nafsu yang meledak tanpa kendali.
Naira terperanjat, tubuhnya menegang. Ingin menolak, tapi justru terhanyut oleh keberanian mentah itu. Bibirnya basah oleh serangan gugup Dika, lidah pemuda itu berusaha masuk tanpa irama.
“Dikaa… jangan…” gumam Naira terputus-putus di sela napas yang berat. Tapi tangannya hanya mendorong lemah dada Dika, tidak sungguh-sungguh menghentikan.
Dika semakin berani. Tangannya yang tadinya di paha Naira kini meremas lebih erat, tubuhnya mendekap Naira dengan gemetar tapi kuat. Bibirnya terus mencari, berantakan, tapi justru membuat tubuh Naira makin panas.
Sensasi itu aneh—campuran rasa bersalah, jijik, tapi juga getir manis yang mengguncang. Naira merasa tubuhnya sedang diserang, tapi di sisi lain… ada bagian dalam dirinya yang menyerah, menikmati dicumbu dengan rakus seperti itu.
“Mbak…,” suara Dika pecah di sela ciuman, nafasnya memburu, “aku nggak bisa lagi nahan…”
Naira memejamkan mata, kepalanya tertengadah menahan desakan bibir Dika yang bergetar. Jantungnya berdegup kencang, telinganya berdenging. Ia berada di persimpangan—menolak keras, atau membiarkan semuanya meledak.
Bibir Naira masih basah oleh ciuman berantakan tadi. Dadanya naik turun cepat. Tangannya refleks mendorong dada Dika, tapi lemah, seperti tidak benar-benar ingin melepaskan.
“Dik… kamu jangan keterlaluan,” bisik Naira, mencoba menata nada suara, seolah ingin mengembalikan kendali.
Tapi Dika justru tersenyum kecil. Tangannya yang semula berhenti di pahanya, kini berani bergerak lebih naik, menyusuri kain rok span yang ketat menempel di tubuh Naira. Gerakannya gugup, tidak lancar, tapi terasa tulus dan penuh rasa ingin tahu.
“Mbak…” suaranya rendah, bergetar. “Aku nggak ngerti gimana caranya… tapi aku pengen banget ngerasain. Dari dulu aku nggak pernah… nyentuh siapa pun.”
Naira terdiam. Alisnya berkerut, matanya menatap Dika penuh ragu. “Kamu maksudnya apa? Kamu… kamu belum pernah sama sekali?”
Dika menunduk sedikit, wajahnya memerah. “Belum pernah, Mbak. Aku… nggak pernah punya pacar. Malah… mbak orang pertama yang aku lihat telanjang, waktu itu… di kamar itu. Aku masih inget jelas. Wajah mbak… tubuh mbak…”
Ucapan itu membuat tubuh Naira kaku seketika. Astaga. Jadi benar, anak ini perjaka?
Nafasnya tercekat, ada perasaan aneh merayap. Antara jijik karena ancaman-ancaman Dika, tapi juga rasa penasaran yang membakar. Masih ada laki-laki dewasa yang polos begini? Yang pertama kali melihat tubuh perempuan adalah dirinya?
“Nggak usah ngomong gitu, Dik. Kamu nggak ngerti apa yang kamu lakuin. Aku ini istri orang,” suara Naira tegas, tapi pelan. Tangannya mencoba menyingkirkan tangan Dika.
Tapi pemuda itu justru mengeratkan sentuhan. Tidak kasar. Tidak memaksa. Malah seperti ragu-ragu, lembut, seolah meminta izin dengan setiap gerakan. Jemarinya bergetar, menekan halus di atas kain roknya.
“Mbak… aku tau ini salah. Aku juga nggak mau ngerebut mbak dari siapa pun. Aku cuma… pengen sekali aja. Ngerasain gimana rasanya deket sama wanita beneran. Ngerasain sentuhan. Ngerasain angetnya,” ucapnya terbata, matanya penuh gairah tapi juga lugu.
Naira menutup wajahnya dengan satu tangan, kepalanya menunduk. “Ya Allah, Dik… kamu tau nggak ini bahaya banget? Kalau sampai ketauan… habis aku.”
Dika mendekat lebih rapat, menyingkirkan tangan Naira dari wajahnya. “Aku janji, Mbak. Semua aku simpan. Aku cuma minta… jangan jauhin aku. Sekali ini aja.”
Tangannya kini berani naik, menyentuh pinggang Naira, lalu berhenti di sana. Ia menatap wajah Naira, menunggu reaksi.
Tubuh Naira bergetar. Ia bisa saja berdiri, pergi begitu saja. Tapi anehnya… ia tidak bergerak. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin tahu, ingin merasakan apa yang bisa dilakukan oleh seorang pemuda yang katanya polos, yang katanya belum pernah sama sekali.
Dalam hati ia bergumam: Masih ada cowok dewasa yang perjaka?
Pikirannya kacau. Tapi tubuhnya… tubuhnya mulai kalah oleh rasa penasaran yang bercampur dengan gairah yang terus digoda.
Naira menarik napas panjang, menatap Dika yang masih gemetar di hadapannya. Bibirnya menegang, matanya tajam tapi suaranya lirih.
“Kalau aku kasih kamu kesempatan sekali ini… kamu janji nggak bakal ngancam aku lagi, Dika. Habis ini selesai. Paham?”
Dika mengangguk cepat, wajahnya serius sekaligus bersemu merah. “Iya, Mbak… aku janji. Sekali aja. Aku nggak bakal ganggu lagi.”
Naira menelan ludah, dadanya berdebar kencang. Ya Allah, kenapa aku bisa begini… Tapi entah kenapa, ia membiarkan tubuhnya tetap diam ketika Dika mendekat.
Kali ini, ciuman itu datang lebih hati-hati. Bibir Dika menyentuh bibir Naira pelan, kaku, lalu menekan agak dalam. Masih berantakan, masih gugup. Nafasnya terburu-buru, tangannya gemetar di pinggang Naira.
Naira sempat ingin mendorong, tapi ia memilih diam. Aku pengen lihat sampai mana dia berani… batinnya.
“Pelan, Dika…” bisik Naira di sela ciuman, seolah mengajari.
Dika menatap matanya sekilas, lalu mencoba lagi. Ciuman berikutnya lebih berani, meski masih acak-acakan. Nafas mereka bertabrakan, lidahnya sempat menyentuh bibir bawah Naira lalu mundur cepat, seperti anak kecil yang takut salah.
Tapi justru itu yang membuat tubuh Naira merinding. Ada ketulusan polos yang terasa panas di balik gugupnya.
Tangannya yang tadi berhenti di pinggang, perlahan bergerak naik. Menyentuh pinggiran kemeja Naira, menelusuri lekuk pinggang hingga nyaris ke punggung. Jemarinya ragu-ragu, tapi tidak berhenti.
Naira menahan napas. Begitu ujung jarinya menyentuh kulit di balik kain tanktop, ia refleks menggigit bibir, menahan suara. Sensasi dingin dari sentuhan pertama itu membuat dadanya bergetar.
“Dika…” suaranya pelan, hampir seperti erangan, tapi ia cepat menegaskan lagi, “Inget janji kamu. Sekali ini aja. Habis ini nggak boleh ada lagi.”
“Iya, Mbak… sekali aja…” Dika menjawab dengan napas terengah, wajahnya makin dekat, ciumannya makin nekat.
Tangan lainnya kini berani turun, dari paha ke arah dalam belahan rok. Perlahan, menekan di balik kain, lalu berani menyentuh kulit paha halus Naira yang tersingkap. Jemarinya bergetar, seolah masih tak percaya dia berani melakukannya.
Tubuh Naira menegang. Tapi alih-alih menjauh, ia justru terbuai oleh rasa penasaran itu. Sensasi hangat, canggung, tapi nyata.
Ya ampun… cowok ini bener-bener perjaka. Tapi kenapa aku jadi ikutan panas begini…
Kepala Naira bersandar pelan di bahu sofa, membiarkan Dika terus belajar dengan tubuhnya. Ia tahu ini berbahaya, ia tahu ini salah. Tapi untuk sesaat, rasa penasaran dan desiran hangat yang menjalar membuatnya lupa pada segalanya—suami, rumah, bahkan resiko yang mengintai.
Nafas mereka makin berat, berkejaran dengan detak jantung yang tak beraturan. Jemari Dika sudah terlalu berani—menelusup lebih dalam melewati batas rok span, menyentuh kulit hangat paha Naira dengan canggung namun rakus.
“Dika…” suara Naira parau, tubuhnya menegang. “Cukup… udah yaa….”
Tapi Dika seakan tidak mendengar. Matanya sudah berkabut, bibirnya mencari-cari lagi, mencium Naira dengan nafsu tak terarah. Tangannya kini berani meraba lebih tinggi, melewati pinggang, menekan lembut di balik tanktop yang tipis.
Naira menggeliat, separuh ingin lepas, separuh lagi terhanyut. Sensasi panas itu membuatnya hampir lupa diri. Namun sekelebat kesadaran kembali menyambar: mereka di ruang tamu, pintu rumah terbuka sedikit.
“Dika! Jangan… bisa ada orang lihat!” suara Naira mendesak, nadanya panik. Ia mendorong dada Dika kuat-kuat.
Dika terhenti sejenak, nafasnya terengah, wajahnya merah padam. Lalu buru-buru bangkit, menutup pintu depan rapat-rapat. Klik. Suara kunci terkunci menambah degup jantung Naira.
Ia menelan ludah, tubuhnya masih panas, tapi pikirannya berteriak. “Aku mau pulang, Dik. Jangan keterlaluan.”
Namun Dika mendekat lagi, kini dengan keberanian baru. Tangannya meraih tangan Naira, hangat dan agak kasar, lalu dengan spontan ia menariknya berdiri.
“Mbak… kalu mbak ngerasa di sini nggak aman. Di kamar aja. Aku janji nggak lama.” Suaranya lirih tapi tegas.
Naira menggeleng cepat, tubuhnya mundur. “Jangan, Dika.—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, tubuhnya sudah terangkat. Dika membopongnya begitu saja, meski dengan sedikit kikuk. Nafas Dika berat, keringat menetes di pelipis, tapi pelukannya erat seakan tak mau melepaskan.
“Dika! Turunin..! Kamu gila ya?” Naira berbisik keras sambil memukul pelan bahunya.
Tapi Dika tetap melangkah, menuju pintu kamar di dalam rumah yang sederhana itu. Tubuh Naira yang panas menempel di dadanya, setiap detik terasa semakin berbahaya.
Hati Naira berdegup kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Ia tahu, di ambang pintu kamar itu, segalanya bisa benar-benar lepas kendali.
Pintu kamar menutup dengan bunyi klik pelan. Nafas Dika berat, dadanya naik turun cepat, sementara Naira masih dalam gendongannya, meronta setengah hati.
“Dika… turunin..! Jangan gila…” suara Naira bergetar, tapi tubuhnya tak mampu benar-benar menolak.
Saat tubuhnya ditekan ke dada Dika, ia bisa merasakan sesuatu yang keras menempel, menyodok pinggang bawahnya. Hangat, kaku, dan besar. Jantung Naira berdegup makin kencang. Astaga… dia segede ini?
Perasaan takut, penasaran, dan gairah bercampur jadi satu.
Dika akhirnya meletakkan Naira di atas kasur sederhana dengan sprei biru. Tubuh Naira terbaring, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya memerah.
“Dika… jangan keterlaluan,” katanya lagi, tapi nadanya goyah.
Dika menatapnya dengan sorot mata bingung tapi penuh hasrat. Tangannya meraih kancing kemeja Naira, lalu berhenti, ragu. “Aku… boleh, Mbak?”
Naira terdiam sesaat. Ia melihat betapa gemetar tangannya, betapa wajahnya penuh kecemasan bercampur nafsu. Dalam hatinya, muncul ide iseng: Kalau dia beneran pertama kali, kenapa aku nggak sekalian mainin?
Ia menahan tangan Dika. “Buka baju kamu dulu. Aku nggak mau buka baju kalau kamu masih lengkap gitu.” Sambil melepaskan hijabnya yang sudah berantakan.
Wajah Dika merah padam. Tapi dengan kikuk, ia menuruti. Kaos oblongnya ditarik, celana pendeknya menyusul. Tinggal tubuh muda yang kencang dan tegang di hadapan Naira.
Naira menahan napas, matanya spontan melirik ke bawah. Sesuatu sudah menegak penuh di balik celana dalam tipis. Besarnya nyata, membuatnya merinding penasaran.
“Ya ampun, Dik…” gumamnya tak sengaja.
Dika buru-buru menunduk, seolah malu, tapi nafsunya terlalu mendesak. Ia maju mendekat, lalu membiarkan Naira menarik pelan celana dalamnya. Saat itu, matanya membelalak. Benar-benar besar, dan tegang penuh.
Tangan Naira gemetar saat menyentuhnya. Panas. Keras. Ia menghela napas panjang. “Kamu beneran belum pernah sama sekali?”
Dika hanya mengangguk, napasnya terputus-putus. “Belum… mbak yang pertama.”
Ada sensasi aneh menyerang Naira—perasaan bersalah sekaligus penasaran yang menggoda. Ia menggenggam pelan, lalu mengusap perlahan. Dika mengerang pendek, tubuhnya bergetar, seolah tak kuat menahan.
“Ya ampun, Dika… kamu gampang banget,” Naira terkekeh kecil, meski wajahnya sendiri memerah.
Dika menunduk cepat, bibirnya mencari bibir Naira lagi. Ciumannya masih berantakan, tapi penuh hasrat. Tangannya kini memberanikan diri melucuti kancing kemeja Naira satu per satu, lalu meraba masuk, menyentuh kulit hangat di balik tanktop.
Naira menahan erangan, tapi tidak menghentikan. Malah tangannya makin menggoda, memainkan “kejantanannya” dengan perlahan, sambil sesekali menciumi lehernya.
Suasana kamar jadi panas, udara tipis, tubuh mereka saling menempel, napas saling bertabrakan.
Naira tahu, satu langkah lagi mereka bisa benar-benar kebablasan. Tapi untuk saat ini, ia membiarkan Dika belajar, membiarkan dirinya hanyut dalam ketegangan yang berbahaya itu.
Dika sudah berhasil menyingkirkan kemeja dan rok Naira. Yang tersisa hanya bra renda tipis dan celana dalam yang masih menutup rapat tubuhnya. Naira terengah, antara melawan dan menikmati, matanya setengah terpejam.
“Dika… cukup, jangan keterlaluan…” bisiknya dengan suara bergetar, tapi tubuhnya malah melengkung ketika tangan Dika menemukan puncak dadanya. Dari balik bra, jari Dika menyentuh lembut puting yang sudah mulai mengeras.
Naira mendesah, menahan gigitan bibirnya sendiri. “Aahh… jangan di situ…” katanya, tapi tangannya tidak menepis.
Dika, dengan wajah penuh rasa penasaran, memberanikan diri menurunkan tali bra itu. Sekali tarikan, pengaitnya lepas. Pandangan mata Dika langsung membesar melihat lekuk dada Naira yang akhirnya tersingkap. Nafasnya memburu, wajahnya memerah, tapi hasratnya menguasai.
Dengan gugup sekaligus bernafsu, Dika menunduk. Bibirnya menempel, mengulum puting Naira sambil lidahnya berputar pelan. Tangannya yang lain meremas lembut dada satunya, seperti takut tapi juga rakus ingin tahu.
“Aahhh… Dika…” Naira menggeliat di ranjang, tubuhnya bergetar. Sensasi yang berbeda dari Rizal atau suaminya—canggung tapi jujur—membuat dirinya justru semakin panas.
Dika mulai berani menjelajah lebih jauh. Tangan yang semula di dada, kini turun ke perut, lalu meraba pangkal paha Naira. Jemarinya menyusup ke kain tipis short diluar celana dalamnya, menekan perlahan bagian paling rahasia. Tapi dia berhenti, keningnya mengernyit.
“Lho, Mbak…” suara Dika terdengar polos, bercampur gugup. “Celana dalamnya kok tebel banget…”
Naira membuka mata, menatap Dika dengan campuran malu, geli, dan kagum. Bayangan di kepalanya: cowok seganteng ini ternyata polos dan perjaka, bahkan bisa bertanya dengan polos seperti itu di tengah situasi yang panas.
“Mbak Naira lagi dapet, ya?”
Tubuhnya panas, pikirannya berantakan—antara ingin terus bermain atau menarik garis.
Naira tersenyum miring, masih terengah karena cumbuan barusan. Ia menahan tangan Dika yang sedang meraba di balik celana dalamnya.
“Berasa tebel ya, Dika…” bisiknya lirih, pipinya merona. Sambil melepas celana shortnya menyisakan cd yang terlihat tebal karena ada pembalut “Tadi pagi pas mau berangkat kayak ada flek, jadi aku jaga-jaga pake pembalut…liat tuh kl ga percaya”
Dika sempat terdiam, wajahnya kaget dan kikuk. Tapi matanya tidak bisa lepas dari tubuh Naira yang setengah telanjang di depannya. Nafasnya semakin berat, keinginannya sudah terlanjur membuncah.
“Baru mulai kan mbak haidnya? Baru Flex kan? Belum banyak…” suaranya agak gemetar, tapi bukannya mundur, ia justru menelan ludah. “Aku… aku nggak peduli, Mbak. Aku tetep pengen ngerasain…”
Naira tertegun. Di satu sisi ia geli dengan keberanian polos Dika yang tiba-tiba meledak. Di sisi lain, ada sesuatu dalam nada serius itu yang justru membuatnya panas dan penasaran.
Ia membelai pipi Dika, pura-pura menantang. “Kamu yakin, Dika? Kamu tau risikonya, kan? Baru pertama kali aja udah nekat begini…”
Dika mengangguk cepat, tubuhnya sedikit bergetar tapi tatapannya mantap. “Aku serius, Mbak… Aku nggak peduli. Yang aku pengen cuma satu: ngerasain sentuhan wanita beneran… ngerasain Mbak Naira…”
Ucapan itu membuat Naira menggigit bibir, dadanya naik turun. Ada bagian dirinya yang ingin menolak keras, tapi rasa penasaran bercampur gairah justru semakin membakar.
Tangannya meremas sprei, tubuhnya bergetar saat Dika kembali menunduk, mencium lehernya dengan rakus tapi tetap gugup, tangannya tak lagi ragu menelusuri tiap lekuk tubuhnya.
Dika masih menunduk, bibirnya sibuk di leher dan dada Naira, sementara tangannya gemetar mencoba menurunkan karet celana dalam yang tipis itu.
Naira mendesis pelan, lalu tiba-tiba menahan tangannya. Ia menatap Dika dengan mata setengah terpejam, senyum tipis di bibirnya.
“Dik…” suaranya lirih tapi tajam. “Kamu beneran yakin mau nerusin ini?”
Dika berhenti, napasnya terengah. “Aku… iya, Mbak. Aku pengen banget.”
Naira mengusap dagunya, lalu berbisik menggoda, “Kamu sadar kan, ini perbuatan gila? Kamu beneran mau lepas perjaka sama bini orang?”
Wajah Dika langsung memerah, tapi bukannya mundur ia justru mengangguk cepat. “Aku tau… tapi aku nggak nyesel, Mbak. Justru aku pengen banget sama Mbak. Dari pertama kali liat Mbak…”
Naira terkekeh, menahan tawa sekaligus geli dengan keseriusan polos itu. Ia menelusuri dada bidang Dika yang telanjang, jari-jarinya nakal turun ke perut bawah yang sudah menegang.
“Padahal harusnya itu momen sakral, ya, Dik…” bisiknya, pura-pura serius. “Momen berharga, sama cewek yang kamu sayang, bukan sama aku. Aku ini kan istri orang.”
Dika menelan ludah keras-keras, tubuhnya bergetar. “Aku… aku nggak peduli, Mbak. Aku malah pengen banget kalo itu sama Mbak…”
Naira menutup matanya sesaat, dadanya terasa makin panas. Ia tahu bocah ini benar-benar nekad, tapi ada bagian dirinya yang ingin menguji sampai mana keberaniannya.
Dengan lirih, ia berbisik lagi. “Kalau aku kasih izin… kamu nggak boleh ngancem aku lagi. Nggak ada comel kemana-mana, ngerti?”
Dika mengangguk cepat, matanya berkilat penuh nafsu. “Aku janji, Mbak. Aku cuma pengen… aku pengen bener-bener ngerasain.”
Naira berpura-pura mendesah pasrah, tubuhnya setengah merebah di ranjang. Tangannya meraih pinggang Dika, menuntunnya. “Ya udah… kalau kamu yakin, coba buktiin.”
Dika dengan tangan gemetar menarik pelan celana dalam Naira. Naira sengaja menahan paha, membuatnya lebih sulit, seolah masih jual mahal.
“Eh… jangan buru-buru,” goda Naira dengan senyum tipis. “Kamu beneran siap, Dik? Kalau udah kejadian, jangan nyesel.”
Dika menelan ludah lagi, lalu dengan tarikan nafas panjang, ia berhasil menurunkan pakaian terakhir yang menutupi tubuh Naira. Kini hanya ada tubuh ranum Naira yang terbuka di hadapannya, sementara Dika menatapnya dengan wajah campuran kagum dan nafsu yang hampir meledak.
Naira menutup wajah dengan punggung tangannya, pura-pura malu. Tapi di balik itu, dadanya naik turun, gairahnya sudah ikut terbakar.
Dika menunduk, bibirnya kembali mencari puting Naira yang sudah terlepas dari bra. Isapannya masih canggung, terlalu terburu-buru, tapi justru itu yang membuat Naira mendesah panjang.
“Ahh… Dik…” napas Naira memburu, matanya terpejam rapat.
Dika semakin berani, tangannya meremas lembut dada sebelahnya, lalu perlahan turun, menjelajah perut hingga akhirnya berhenti di pangkal paha. Jari-jarinya ragu-ragu, tapi kemudian mulai mengelus permukaan celah kewanitaan Naira yang sudah telanjang.
Naira tersentak kecil. “Astaghfirullah… jangan, Dik…” suaranya lirih, seperti memohon. Ia meraih pergelangan tangan Dika, berusaha menghentikan.
Tapi elusan itu sudah terlanjur membuat tubuhnya bergetar. Ia merapatkan pahanya erat-erat, seolah menolak. “Jangan… jangan di situ… aku nggak suka…” katanya terbata, meski dadanya naik-turun menahan desahan.
Dika mengangkat wajahnya, bibirnya basah oleh cumbuan. Nafasnya berembus hangat di dada Naira. “Mbak… badan Mbak nggak bisa bohong. Aku bisa ngerasain sendiri.”
“Dik, jangan ngomong gitu…” Naira menoleh ke samping, wajahnya memerah, antara malu dan marah.
Dika mencoba kembali mengelus, kali ini lebih lembut, menyusuri garis luar kewanitaan itu dengan penuh rasa ingin tahu. Jemarinya yang masih kaku menyentuh cairan tipis yang mulai keluar tanpa bisa Naira kendalikan.
Naira spontan menggigit bibirnya, lalu cepat-cepat menepis. “Udah, Dik! Aku bilang jangan!” suaranya meninggi, tapi terdengar gemetar.
Dalam hati, ia panik—takut Dika sadar kalau kewanitaannya sudah basah, padahal tadi ia pura-pura menolak. Sensasi itu membuat tubuhnya semakin panas, tapi mulutnya justru memohon.
Dika terdiam sejenak, wajahnya bingung, tapi sorot matanya tak bisa menutupi nafsu yang semakin kuat. “Mbak… beneran nggak mau? Padahal… rasanya Mbak udah siap.”
Naira menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gelisah di ranjang. “Aku… aku takut, Dik. Jangan bikin aku tambah dosa.”
Tapi di balik penolakan itu, paha Naira sedikit terbuka, memberi celah tipis—sebuah isyarat samar yang membuat Dika makin tergoda.
Naira menepis dada Dika dengan keras, wajahnya memerah.
“Dik, cukup! Aku bener-bener marah kalau kamu keterlaluan!” katanya tegas, meski nada suaranya bergetar.
Padahal dalam hatinya, ia tahu tubuhnya sudah lebih dulu goyah. Nafasnya pendek, paha yang tadinya rapat kini mulai longgar, dan dadanya masih bergetar oleh sentuhan Dika.
Dika tidak mundur. Ia menunduk kembali, mencium bibir Naira kasar-kasar. Tangannya tetap menelusuri paha mulus itu. “Mbak… kalau suami Mbak tau kejadian Mbak sama Rizal di hotel… gimana coba?” bisiknya serak di telinga Naira.
Kata-kata itu menusuk, membuat wajah Naira pucat. Seketika ia terdiam, matanya melebar. Dadanya berdegup kencang, bukan hanya karena nafsu, tapi juga panik.
“Dasar kamu, Dika…” Naira mengerang, separuh marah, separuh pasrah. Tubuhnya melunak lagi, kali ini ia menoleh menatap Dika penuh amarah bercampur gelora. “Kalau memang maksa, aku punya syarat. Kamu pake kondom. Titik.”
Dika menelan ludah, mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Aku ikut apa aja, aku uda pengen banget Mbak.”
Naira membuka laci kecil di samping ranjang—rupanya kamar bujang ini menyimpan beberapa kondom baru dalam kotak. Tangannya gemetar saat mengambil satu, lalu ia menatap Dika tajam.
“Lepasin celana dalem kamu.” suaranya rendah, dingin, tapi ada getaran menggoda.
Dika nurut, melepaskan celana dalamnya. Kejantanan mudanya yang sudah tegang penuh langsung menyembul, besar dan berdenyut. Naira tercekat, pupil matanya membesar. “Ya Allah…” desisnya lirih, tak percaya ukurannya bisa sebesar itu.
Ia meraih kondom, merobek bungkusnya. Tapi alih-alih memasangkan dengan tangan, Naira menatap Dika dengan tatapan penuh kuasa. “Kamu yakin mau terusin ini? Jangan nyesel ya, Dika…” bisiknya.
Sebelum Dika sempat menjawab, Naira menunduk. Bibirnya yang lembut meraih ujung kondom, lalu perlahan memasangkannya pada batang Dika dengan mulutnya. Lidahnya sengaja menyapu permukaan panas itu sambil mendorong kondom turun.
“Ahhh… Mbak…” Dika mendesah keras, tubuhnya langsung bergetar hebat. Ia jelas belum siap dengan sensasi seintim itu. Pinggulnya refleks maju, menekan masuk ke dalam mulut Naira.
Naira kaget, tapi tetap menahan, memainkan sedikit gerakan nakal agar Dika makin kelabakan.
Tak butuh lama. Seluruh tubuh Dika menegang, tangannya mencengkeram sprei erat. “Mbakkk… aku… aku keluar…!” suaranya pecah, dan seketika ia meledak—ejakulasi cepat, bahkan sebelum kondom benar-benar terpasang sempurna.
Naira terhenti, perlahan melepaskan mulutnya sambil menatap Dika dengan tatapan setengah geli, setengah iba. Ia mengusap bibirnya, lalu mendesah. “Astaga, Dika… baru segini aja kamu udah keburu…?”
Dika terduduk lemas di tepi ranjang, wajahnya merah padam, malu bercampur lega. “Maaf, Mbak… aku nggak bisa nahan. Rasanya… terlalu enak.”
Naira menyandarkan diri ke bantal, menatapnya tajam tapi bibirnya tersungging samar. “Dasar bocah. Baru pemanasan aja udah kalah duluan…”
Dika masih terduduk di tepi ranjang, wajahnya merah penuh rasa malu. Tangannya gemetar, memainkan kondom yang belum sempat terpasang benar. “Mbak… maaf banget. Aku… aku keburu keluar. Aku nggak bisa nahan…”
Naira hanya menghela napas, lalu merebahkan tubuhnya ke bantal. Senyumnya tipis, lebih ke arah mengejek. “Heh, Dika… kamu kira kamu doang yang begitu? Suami aku dulu juga gitu, lho.”
Dika mengangkat wajah, bingung. “Maksud Mbak…?”
Naira menoleh, menatapnya nakal. “Waktu pertama kali, baru ciuman aja dia udah basah celananya. Jadi jangan minder. Kamu nggak sendirian.” Ia terkekeh pelan, nadanya sengaja dibuat ringan.
Wajah Dika makin merah, tapi dari sorot matanya terlihat jelas: malu itu berubah jadi semacam tekad. “Mbak… aku nggak mau bikin Mbak kecewa. Aku pengen… bener-bener bikin Mbak seneng.”
Naira mengangkat alis, separuh meremehkan, separuh penasaran. “Oh ya? Anak seumuran kamu bisa apa?”
Alih-alih menjawab, Dika justru mendekat lagi. Tangannya meraih pinggul Naira, dengan keberanian baru yang terasa nekat. Ia menunduk, mencium perut Naira pelan, lalu turun semakin rendah.
“Dika… jangan aneh-aneh…” Naira spontan menahan, tapi tubuhnya bergidik ketika bibir Dika menyentuh pangkal pahanya. “Astaghfirullah…” desahnya, separuh menolak tapi suaranya terdengar rapuh.