Jejak Rahasia Naira – Part 3

Malam itu kamar sudah redup, hanya lampu tidur yang menyala. Naira meletakkan HP di meja samping tempat tidur, posisinya miring menghadap ke tempat tidur. Kamera diam-diam mulai merekam, seolah hanya sebuah benda mati yang dibiarkan di sana.

Suaminya masih sibuk menatap layar HP, entah membaca apa. Naira mendekat, naik ke tempat tidur dengan gerakan pelan. Ia mengenakan piyama tipis berwarna pastel, kancing depannya longgar, memberi celah pada kulitnya yang hangat.

Dengan senyum nakal, Naira merapat ke samping suaminya.

“Main hp terus, emang nggak capek?” bisiknya, sambil menggeser tubuh hingga lengannya menempel.

Suaminya terkekeh singkat, “Bentar lagi, Sayang…”

Tapi Naira tidak menyerah. Ia menunduk, mencium pelipisnya, lalu turun ke pipi dan leher.

“Aku kangen…” gumamnya lirih, bibirnya masih sibuk menempel.

Suaminya sempat menghela napas, tapi masih memegang HP. Naira tersenyum tipis—itu justru bagian dari permainannya. Tangannya meraih kancing piyama, satu per satu ia singkap hingga dadanya terlihat. Ia menempelkan kulit hangat itu ke bahu suaminya, berbisik nakal,

“Masa lebih betah sama hp daripada sama aku?”

Suaminya akhirnya menoleh, matanya sudah mulai berbeda. Naira menangkap tatapan itu, lalu menempelkan bibirnya ke bibir suami dengan ciuman lembut, kemudian semakin dalam.

Saat ciuman makin panas, Naira meluncur turun. Tangannya bergerak cepat membuka celana suami, tangannya mengelus Penis suaminya yang masih terkulai, sementara matanya menatap ke arah wajahnya yang masih setengah bingung.

“Udah taruh aja hapenya…” bisik Naira, sebelum mulutnya bergerak mengecup dan mulai menjilat penis suaminya.

Suaminya menggertakkan gigi, kaget bercampur terangsang.

“Sayang… kamu kenapa malam ini nakal banget?” desahnya.

Naira hanya menatap sebentar dari bawah, matanya berkilat nakal. “Biar kamu nggak bisa tidur nyenyak kalau nggak sama aku.”

Ia kembali tenggelam dalam aksinya, gerakan lembut bercampur sengaja dibuat erotis. Suaminya akhirnya meletakkan HP di samping, tubuhnya mulai merespons penuh. Kamera di meja samping merekam semuanya—dari tatapan genit Naira, bisikan nakalnya, hingga tangan suaminya yang mulai meremas payudaranya.

Naira merasa menang. Bukan hanya karena berhasil membuat suaminya kalah, tapi juga karena ia tahu rekaman itu nanti akan jadi “hidangan utama” untuk Rizal.

Suami Naira yang semula hanya diam, kini sudah tak tahan lagi. Ia meletakkan HPnya, lalu menatap tubuh istrinya yang setengah terbuka. Dengan cepat, tangannya meraih kancing piyama yang tersisa dan membukanya lebar.

“Ya ampun, Sayang… kamu bikin aku nggak bisa nahan,” gumamnya parau.

Piyama tipis itu terlepas, payudara Naira pun terbuka penuh. Suaminya langsung menunduk, mencumbu lembut sambil sesekali menggigit manja. Naira terkejut, tubuhnya melengkung, desahan kecil lolos dari bibirnya.

“Hmm… iya…lagi pengen….. ughhh…. enak banget…” katanya setengah menahan malu, meski ekspresinya justru semakin liar.

Suaminya semakin bersemangat. Ia menciumi dada Naira bergantian, meremasnya dengan keras, menelusuri lekuknya dengan lidah. Kamera di meja samping merekam setiap detik, termasuk suara desahan Naira yang semakin sulit disembunyikan.

Tak berhenti di situ, suaminya turun perlahan, mencium perut, lalu membuka celana tipis yang masih melekat di tubuh Naira. Dalam sekejap, pakaian itu tersingkir. Suaminya menunduk lebih dalam, bibir dan lidahnya kini menyapu belahan vagina istrinya.

Naira langsung terangkat pinggulnya, tak kuasa menahan reaksi.

“Ya Allah… ahh… jangan… pelan…ughh…..” desahnya, tubuhnya bergetar.

Suaminya justru makin intens, menjilat dengan ritme cepat, tangan kirinya menahan paha Naira agar tak bergerak. Suara basah bercampur desahan keras memenuhi kamar.

Naira menutup mulut dengan punggung tangan, tapi lenguhannya tetap lolos, terdengar jelas oleh kamera yang merekam. Ia tahu, setiap detik suara itu akan menjadi racun paling memabukkan bagi Rizal ketika menontonnya nanti.

Tubuhnya melengkung, punggungnya menegang, dan setiap tarikan napasnya makin berat. Naira setengah sadar berbisik,

“Ahh… aku nggak kuat… masukiin massh… please…”

Dan kamera tetap menyala, merekam semuanya—dari ekspresi wajah Naira yang terbuai hingga desahan panjang yang menandai betapa ia larut dalam permainan itu.

Suaminya akhirnya tak bisa lagi menahan diri. Tubuhnya menindih Naira, ciuman panas masih bersambung di bibir, sementara tangan mereka saling meraba dengan liar. Namun Naira menahan dada suaminya, lalu berbisik di telinganya dengan nada nakal,

“Sayang… dari belakang aja ya… aku lagi pengen di doggy.”

Suaminya terhenti sebentar, matanya berkilat. Tanpa banyak tanya, Naira membalik tubuhnya. Kini Naira bertumpu dengan tangan dan lutut di atas tempat tidur, punggungnya melengkung indah. Pandangannya mengarah lurus ke kamera di meja samping dengan ekspresi sangat menggoda, bibirnya tersenyum tipis penuh rahasia.

Begitu penis suaminya mulai masuk, Naira menggigit bibir, lalu berteriak pelan,

“Aaaaarrggghhh… uhhh!”

Tubuhnya langsung tersentak maju, payudaranya bergoyang mengikuti irama dorongan suaminya. Kamera menangkap semuanya—dada Naira yang berayun, wajahnya yang seperti setengah menahan malu tapi penuh kenikmatan, dan suaminya yang makin beringas di belakangnya.

Setiap kali suaminya mendorong lebih dalam, Naira sengaja mengeraskan suara.

“Ya Allah… enak banget… ahhh…. teruuussh…..makin kencang mas… jangan keluar dulu…” desahnya, suaranya gemetar tapi terdengar jelas.

Ia tahu persis, suara-suara itu akan membuat Rizal mabuk ketika nanti menonton. Semakin keras suaminya menghentak, semakin nyaring pula Naira mendesah. Tangan kirinya meremas sprei, sementara tangan kanannya menahan tubuh agar tidak roboh.

Payudaranya terus berayun, terbentur ritme dorongan dari belakang. Kamera merekam dengan sempurna, seakan Naira sengaja tampil untuk sebuah pertunjukan pribadi. Sesekali ia melirik ke arah lensa, matanya basah, lalu menggigit bibir—pesan diam untuk Rizal yang suatu hari akan menontonnya.

“Ya Allah… astaghfirullah… ahhh… enak banget sayaangh…..aku nggak tahan lagi…” teriak Naira, suaranya nyaring menembus kesunyian kamar.

Suaminya makin dalam, makin cepat. Naira sengaja menyesuaikan gerakan tubuhnya, seakan ingin membuat rekamannya lebih dramatis. Suaranya bukan hanya desahan, tapi juga teriakan pendek penuh gairah, membuat atmosfer semakin panas.

Irama genjotan suaminya semakin cepat, tubuh Naira melengkung indah, desahannya meninggi. Punggungnya basah oleh peluh, payudaranya masih bergoyang liar setiap kali suaminya menghentakkan tubuh dari belakang.

Namun tepat ketika ia merasa sudah hampir sampai ke puncak, suaminya menegang. Dengan satu dorongan dalam, suaminya mengerang keras dan mencapai klimaks lebih dulu.

Naira terdiam sesaat, lalu menunduk. Ada sedikit rasa kecewa—ia masih menggantung di puncak kenikmatan yang belum pecah. Tapi justru itu membuat sisi nakalnya hidup. Ia melirik kamera, lalu merubah ekspresi wajahnya: menggoda, binal, dan penuh gairah.

“Sayang… aku belum dapet… aku masih pengen….,” bisiknya, setengah merengek. Naira membalikkan tubuhnya, kini selangkangannya terbuka lebar tepat di hadapan camera, Tangan kanannya segera bergerak, menyelinap ke antara lipatan vaginanya sendiri. Jarinya masuk, memainkan ritme cepat di depan kamera. Naira mendesah keras, sengaja dibuat dramatis, seakan memperlihatkan pada camera betapa ia masih butuh lebih.

Suaminya yang baru saja klimaks, terperangah melihat istrinya begitu liar. Ia langsung meraih tubuh Naira, mencium bibirnya dengan kasar, penuh gairah. “Kamu gila, Sayang…” gumamnya, sebelum tangannya ikut turun, menggantikan jari Naira.

Kini jemari suaminya masuk keluar dengan cepat, membuat Naira melengkung, tubuhnya bergetar. Naira mencengkeram sprei, matanya menatap kamera, lalu berteriak,

“Ya Allah… yaa tuhan… ahhh…terus mas… kencengin….!”

Payudaranya berguncang, keringat bercucuran, suaminya terus bermain dengan jarinya sambil mencumbu lehernya. Suara basah bercampur dengan desahan Naira yang semakin nyaring.

“Aaaaah……ughhh……massssss……”

Akhirnya, tubuh Naira bergetar hebat, teriakan panjang lolos dari bibirnya. Klimaks itu menghantam dengan dahsyat, membuatnya jatuh lunglai di pelukan suami. Kamera tetap menyala, merekam semua: ekspresi liar Naira, lenguhannya yang panjang, dan bagaimana ia akhirnya benar-benar puas.

Pagi itu, selepas suaminya berangkat lebih dulu, Naira berlama-lama di kamar. Rambutnya masih sedikit lembap setelah mandi, tapi jemarinya sibuk di HP. Ia membuka rekaman semalam—durasi panjang hampir satu jam—lalu mulai memotongnya.

Bagian-bagian biasa ia buang. Yang disisakan hanya potongan panas: ketika suaminya menindihnya, payudara Naira berguncang keras di doggy style menghadap kamera, desahannya saat di sodok dar belakang, hingga adegan liar saat ia memasukkan jarinya sendiri sambil menatap camera dengan tatapan binal.

Naira tersenyum puas setelah menyatukan potongan itu menjadi video pendek, hanya sekitar 4 menit, penuh intensitas. Hampir seperti video JAV—ringkas, padat, tanpa basa-basi. Ia bahkan menambahkan sedikit filter gelap tipis agar tampak lebih “profesional” dan misterius.

Siang harinya, di ruang kerjanya yang sepi, Naira membuka chat Rizal. Tangannya sempat ragu sejenak, bibirnya menggigit pelan. Lalu ia mengetik singkat, seolah tanpa maksud apa-apa:

“Aku keliatan binal ya kl begini??”

Tak lama, file video panas itu masuk ke chat Rizal.

Naira sengaja menaruh HPnya di meja, berpura-pura sibuk dengan berkas. Tapi jantungnya berdegup cepat. Ia bisa membayangkan ekspresi Rizal saat memutar video itu.

Dan benar saja, HPnya bergetar beberapa kali. Rizal mengirim serangkaian pesan:

“Teh… ini serius kamu?”
Naira tersenyum kecil :

“Aduh, salah kirim… harusnya ke misua, malah ke-kamu 😅

“Buruan hapus…!!!”

Rizal :
“Astaga… gila banget videonya…”
“Kamu bikin aku nggak bisa konsen kerja sekarang.”

Naira, pura-pura sok menegur:

“Ya ampun, jangan dibesar-besarin lah… itu kan sama suami aku, bukan apa-apa 🙈

Tapi dalam hati, ia justru puas. Ia tahu Rizal akan membayangkan tubuhnya, desahannya, setiap goyangan payudaranya yang terekam jelas. Itu yang ia mau: membuat Rizal semakin tergila-gila, meski ia tetap bisa bersembunyi di balik topeng jaim.

Baru lima menit sejak video itu terkirim, layar HP Naira terus berkedip. Rizal tak berhenti mengirim pesan.

Rizal: “Teh… sumpah aku gemeter nontonnya.”
Rizal: “Teteh keliatan… aduh, gila… binal banget.”
Rizal: “Aku bisa keluar cuma gara-gara lihat itu.”

Naira menutup mulut dengan tangannya, berusaha menahan tawa kecil sekaligus sensasi geli di perutnya. Ia mengetik balasan singkat, pura-pura cuek:

Naira: “Halah, lebay ah… itu cuma iseng, kebetulan ke-record.”
Naira: “Lagian kan sama suami aku… bukan buat kamu 🙃.”

Rizal langsung membalas cepat.

Rizal: “Tapi kamu sengaja ngadep kamera kan?”
Rizal: “Aku liat jelas tatapan kamu ke lensa waktu kamu goyangin dada kamu.”
Rizal: “Jangan bohong, Teh…”

Jari Naira sempat berhenti di atas keyboard HP. Wajahnya memerah. Ia menggigit bibir, antara malu dan terangsang. Lalu ia mengetik dengan nada jaim, padahal jelas ingin memprovokasi:

Naira: “Ih, kamu kok perhatiin detail begitu sih… dasar mesum.”
Naira: “Yaudah sih, jangan kebayang-bayang lah… aku malu.”

Rizal tak menggubris jaim-nya.

Rizal: “Teh… aku beneran nggak kuat. Aku pengen kamu. Bukan cuma di video.”
Rizal: “Kapan kita ketemu? Aku janji nggak bakal maksa, tapi aku harus liat kamu langsung.”

Naira terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sengaja menaruh HP, membiarkannya bergetar beberapa kali. Lalu, setelah membuat Rizal menunggu, ia membalas dengan nada menggoda tapi tetap pura-pura menjaga wibawa:

Naira: “Jangan buru-buru. Aku kan perempuan punya suami, ada yang harus dijaga.”
Naira: “Lagipula, kalau kamu gampang dapet aku… nanti malah bosen.” 😉

Rizal langsung menelpon, tapi Naira menolak. Ia hanya mengetik lagi:

Naira: “Sabar ya… anggap aja video tadi sebagai hadiah kecil dulu. Kalau kamu sabar, mungkin suatu hari aku kasih lagi yang lebih hot.”

Naira tersenyum sendiri di balik mejanya. Ia tahu, kini Rizal sudah sepenuhnya masuk dalam permainannya

Sore itu rumah sepi, suami naira masih di kantor. Naira sudah berganti pakaian santai—kaus tipis longgar dan celana pendek—lalu berbaring di tempat tidur. Hpnya bergetar, Ia membuka HP, menemukan panggilan videocall dari Rizal.

Awalnya ia sengaja menolak. Tapi setelah Rizal mengulanginya tiga kali, ia tersenyum kecil dan mengangkat.

Rizal: “Teh… please, aku butuh lihat kamu. Habis video kemarin, aku nggak bisa tidur.”
Naira: (tersenyum menggoda) “Ih, jangan lebay deh. Aku lagi capek. Nggak bisa aneh-aneh.”

Rizal memohon dengan wajah tegang. Tangannya sesekali sudah tampak meraba bagian bawah tubuhnya.

Rizal: “Teteh, aku serius… liatin dikit aja. Aku kangen banget liat kamu.”
Naira: (berpura-pura cemberut) “Kamu tuh ya… nggak ada sopan-sopannya. Masa tiap videocall maunya liat yang gituan, gimana kalau ketemu.”

Namun setelah beberapa saat, Naira tiba-tiba merendahkan kamera HPnya. Kaus tipisnya tersingkap sedikit, memperlihatkan bra renda hitam yang membentuk lekuk dadanya.

Naira: (berbisik manja) “Nih ya, cuma sebentar… jangan lama-lama.”

Rizal langsung terlihat bernafas lebih cepat. Tangannya sudah jelas memegang batangnya. Naira terkekeh pelan.

Naira: “Kamu lagi ngapain sekarang? Jangan-jangan udah ngaceng ya?”
Rizal: (gemetar) “Iya, Teh… keras banget. Aku nafsu banget liat teteh.”
Naira: “Kalau gitu… coba buka celana kamu. Aku mau liat.”

Dengan wajah penuh hasrat, Rizal menuruti. HP di tangannya bergoyang, menampilkan jelas batangnya yang menegang. Naira menahan senyum, lalu perlahan meremas dadanya sendiri, menekan-nekan lembut payudaranya di balik bra.

Naira: “Udah gede aja ya… kamu beneran pengen aku?”
Rizal: “Pengen banget… aku nggak bisa tahan.”
Naira: “Ayo, kocok. Aku mau liat kamu keluar.”

Sambil bicara, Naira menurunkan kerah kausnya lebih dalam hingga bra renda hitamnya terbuka. Ia menjepit putingnya dengan dua jari, memelintirnya pelan sambil mengerang kecil.

Desahan itu membuat Rizal tambah kalap. Genggamannya makin cepat. Nafasnya berat, tubuhnya berguncang.

Naira: (tersenyum nakal) “Ayo, keluarin buat aku. Aku mau liat muka kamu waktu keluar…”

Tak butuh lama, Rizal mengerang keras. Sperma muncrat di depan kamera, menetes hingga ke perutnya. Naira tersenyum puas, masih meremas dadanya.

Naira: (menggoda) “Habis juga ya… dasar cowok nggak tahan godaan. Padahal aku belum kasih semua.”

Ia lalu cepat menutup kausnya kembali, kembali ke mode jaim.

Naira: “Udah ah, cukup. Aku harus mandi dulu. Jangan kebayang terus ya, kasian kamu.”

Rizal hanya bisa terengah-engah di layar, sementara Naira tersenyum penuh kemenangan sebelum menutup panggilan.

Beberapa hari kemudian, suami Naira dapat tugas dinas ke luar kota selama empat hari. Hati Naira campur aduk, ada rasa lega karena bisa bernapas lebih bebas, tapi juga gengsi sendiri buat langsung ngajak Rizal ketemu.

Kebetulan, keesokan harinya Naira ada acara kantor di sebuah gedung instansi, nggak terlalu jauh dari tempat kerja Rizal. Malam sebelumnya, mereka chat.

Naira:
“Besok aku ada acara kantor, agak jauh sih… tapi ya lumayan deket sama tempatmu kerja.”

Rizal:
“Serius? Wah, berarti gampang dong kalau sekalian mampir ketemu aku. Mau aku jemput?”

Naira:
“Heh, nggak usah sok-sokan. Aku kan nggak ngomong mau ketemu… cuma bilang deket aja.”

Rizal:
“Yaelah, kode banget itu mah. Jangan gengsi, Teh. Aku tahu kamu juga kangen.”

Naira senyum-senyum sendiri sambil rebahan. Jemarinya mengetik pelan, seolah menimbang kata.

Naira:
“Aku nggak bilang kangen loh… jangan GR. Aku sibuk, acaranya juga seharian.”

Rizal:
“Iya, tapi kan pulangnya masih bisa. Aku traktir makan sore, nggak usah yang ribet. Cuma kita duduk, ngobrol… cukup kan?”

Naira:
“Hmm… liat nanti deh. Kalau aku nggak capek. Jangan terlalu berharap dulu.”

Rizal:
“Lah, kamu sih. Maunya aku yang ngejar terus. Padahal jelas-jelas kamu juga pengen ketemu.”

Naira:
(berusaha jaga gengsi) “Ya nggak gitu juga. Aku cuma… ya kalau kebetulan, kenapa nggak. Tapi jangan maksa.”

Rizal ketawa kecil membaca balasan itu. Ia tahu, gaya Naira yang sok jual mahal itu sebenarnya tanda setuju. Tinggal nunggu momen yang tepat.

Keesokan harinya, Rizal sudah lebih dulu sibuk mencari tempat. Dia sengaja nggak pilih café besar atau restoran ramai, tapi tempat makan yang nyaman, agak tersembunyi, suasananya tenang. Ia paham kode Naira: nggak mau terlalu mencolok, tapi tetap terasa aman.

Pagi itu, Naira berdiri lama di depan cermin. Hijabnya ia tata rapi dengan warna netral yang classy, dipadukan dengan blazer resmi press body. Potongannya pas banget di tubuh, memperlihatkan siluet ramping dengan dada yang penuh. Rok span panjangnya menempel pas di pinggul, belahan belakang yang hampir selutut membuat langkahnya terlihat makin seksi. Dari sisi manapun, auranya elegan tapi juga sulit diabaikan.

Sebelum berangkat, Naira menitipkan anaknya ke mamanya.
“Ma, tolong jaga dulu ya. Aku pulangnya mungkin agak malam, takut macet,” katanya sambil mengelus rambut anaknya yang sudah mulai rewel.
Mamanya hanya mengangguk, sudah biasa kalau Naira ada acara kantor sampai sore atau malam.

Naira memilih bawa mobil sendiri, padahal sebenarnya bisa ikut rombongan kantor. Tapi ia sengaja cari alasan. Baginya, kesempatan seperti ini jarang datang. Jalannya memang macet, tapi Naira justru menikmati waktu sendiri itu, sambil sesekali senyum tipis membayangkan obrolannya semalam dengan Rizal.

Sesampainya di lokasi acara, Naira langsung mengatur strategi. Ia mengondisikan anak buahnya, membagi tanggung jawab dengan rapi.
“Kamu handle sesi dokumentasi, ya. Nanti koordinasi sama panitia. Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku via WA,” ujarnya dengan nada tegas.
Anak buahnya mengangguk, sedikit kaget melihat betapa “niat” dan rapi koordinasi bu Naira hari itu. Padahal diam-diam Naira sudah punya rencana: meninggalkan acara lebih cepat.

Di sela acara, HP-nya bergetar. Chat dari Rizal masuk.

Rizal:
“Aku udah dapet tempat. Tenang, cozy, nggak rame. Tinggal kamu bilang kapan bisa kabur dari situ.”

Naira membaca cepat sambil pura-pura fokus pada rundown acara. Bibirnya tersungging tipis, jarinya mengetik singkat:

Naira:
“Sabar. Aku lagi setting biar bisa keluar lebih awal. Jangan ngebet dulu.”

Rizal membalas cepat:
“Nggak ngebet, cuma udah nggak sabar aja liat kamu.”

Naira menghela napas pelan. Degup jantungnya makin terasa.

Selesai memastikan semua urusan acara bisa ditinggal, Naira melangkah keluar ruangan dengan tenang. Di balik ketenangannya, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengambil HP, membuka chat Rizal.

Naira:
“Sharelock aja, sekalian foto tempatnya biar aku nggak salah masuk.”

Ia memasukkan barang-barangnya ke tas, lalu berjalan ke parkiran. Begitu masuk mobil, ia duduk sebentar, memperbaiki hijab, merapikan blazer, memastikan penampilannya tetap rapi meski tubuhnya terlihat begitu menonjol dengan rok span yang membentuk lekuk pinggulnya.

Namun balasan dari Rizal lama tak muncul. Naira menghela napas, menyalakan mesin mobil, tapi tidak langsung jalan. Matanya sesekali melirik layar HP.

Beberapa menit kemudian, pesan baru masuk.

Rizal:
“Maaf Teh, tadi dipanggil bos mendadak. Aku masih di kantor. Ini aku kirim sharelock-nya, tempatnya deket kok. Kamu tunggu aja di situ, aku nyusul secepatnya.”

Tak lama, HP Naira berbunyi lagi. Sebuah share location muncul, lengkap dengan foto tempat: sebuah café kecil dengan jendela kaca besar, agak tersembunyi dari jalan utama. Dari foto, suasananya terlihat cozy, tidak terlalu ramai.

Naira menatap layar HP cukup lama, lalu tersenyum kecil.
“Dasar bikin deg-degan…,” gumamnya sambil menghela napas, kemudian mulai melajukan mobilnya ke arah lokasi.

Di sepanjang perjalanan, pikirannya penuh tanya. Bagaimana nanti kalau benar-benar duduk berdua dengan Rizal? Apakah semua akan terasa biasa saja, atau justru suasananya berubah?

Tangannya meremas setir erat, sementara hatinya berdebar makin kencang.

Mobil Naira sudah melaju keluar dari area gedung acara. Hatinya setengah bersemangat, setengah waswas. Sesekali ia merapikan hijab di spion, memastikan wajahnya tidak tampak terlalu lelah. Rok span press body membuatnya harus duduk lebih tegak, tapi ia justru merasa percaya diri.

Belum sampai setengah perjalanan, layar HPnya menyala. Panggilan masuk dari Rizal.

Dengan sedikit senyum, Naira menekan tombol jawab.
Naira: “Halo? Udah kelar urusanmu? Aku otw nih.”

Di seberang, suara Rizal terdengar tergesa-gesa, agak berat napasnya.
Rizal: “Teteh, aku… maaf banget. Bener-bener maaf. Ada urusan kantor yang darurat, dipanggil langsung sama owner. Aku nggak bisa nolak, nggak bisa tinggalin.”

Alis Naira langsung berkerut.
Naira: “Hah? Jadi gimana ini, Jal? Aku udah jalan loh. Kamu kan yang bilang tempatnya udah siap—”

Rizal: (memotong cepat) “Aku tahu, aku salah. Aku janji ganti. Tapi sekarang aku bener-bener harus meeting penting sama owner langsung. Maaf ya, Teh… please ngerti.”

Nada suaranya terdengar tulus, tapi juga terburu-buru. Sebelum Naira sempat menumpahkan semua kekesalannya, telepon itu langsung terputus.

Naira memandang layar HP dengan wajah kaku. Jemarinya mengepal di setir.
“Astaga… Rizal!” gumamnya keras, hampir membentak ke udara.

Mobilnya terus melaju, tapi hatinya terasa panas. Semua persiapan, semua kode, bahkan ia sudah titip anak ke mamanya—sekarang berujung batal hanya dalam hitungan menit.

Naira menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi dadanya sesak. Gengsinya membuat ia tak mau langsung menghubungi Rizal lagi. Ia menahan diri, menunggu apakah Rizal akan benar-benar menepati janji untuk mengganti.

Di kaca spion, matanya menangkap pantulan dirinya sendiri. Blazer press body, hijab rapi, bibir yang sudah dipoles tipis lipstik. Semua itu kini terasa sia-sia.

Setelah telepon dari Rizal terputus, Naira sempat melambatkan laju mobil. Tadinya ia sudah bersiap ke arah café yang dikirim Rizal, tapi hatinya terasa hambar. Semakin dipikir, semakin kesal.

“Buat apa aku ke sana sendirian. Malu-maluin aja,” gumamnya sambil mengganti arah di perempatan berikutnya.

Ia memutuskan pulang ke kotanya, kota satelit yang hanya sekitar satu jam perjalanan. Karena masih sore, jalanan belum macet. Mobilnya melaju lancar, tak sampai lama ia sudah tiba di kawasan rumahnya. Tapi bukannya langsung pulang, ia justru merasa kosong.

Naira menepuk setir pelan. “Duh, mau ngapain sore-sore gini? Kalau langsung pulang, Mama pasti tanya-tanya kenapa cepet banget. Males jawabnya,” pikirnya.

Hatinya masih kesal karena rencana batal. Persiapan dandan, pakaian yang ia pilih khusus, bahkan menitipkan anak ke mamanya—semua terasa percuma.

Setelah berpikir sejenak, Naira tiba-tiba teringat salon langganannya. Sebuah tempat eksklusif di ruko pinggiran kota, nyaman dan cukup sepi pada jam-jam begini. Senyum tipis terbit di bibirnya.
“Ya udah lah… mending manjain diri aja. Daripada bete nggak jelas.”

Ia langsung mengarahkan mobil ke sana. Begitu sampai, pelayan salon yang sudah kenal menyambut hangat.
“Mbak Naira, lama nggak kelihatan. Mau treatment apa hari ini?”

Naira tersenyum kecil, masih menyimpan kekesalannya.
“Luluran sama waxing, ya. Sekalian yang bikini juga. Badan rasanya capek banget,” ucapnya dengan nada santai.

Pelayan itu mengangguk, lalu mengantarnya ke ruangan khusus. Naira meletakkan tasnya, melepas blazer, dan berbaring santai di bed treatment.

Begitu sesi dimulai, aroma rempah dan pijatan lembut perlahan mengendurkan otot-ototnya. Di sela rasa rileks itu, pikirannya masih melayang ke Rizal. Ada rasa kesal, ada juga sedikit rindu. Tapi untuk sementara, ia memilih menenangkan diri, membiarkan tubuhnya dimanjakan.

Selesai treatment, tubuh Naira terasa jauh lebih segar. Kulitnya yang sudah diluluri wangi rempah lembut berkilau, dan hasil waxing membuatnya merasa ringan sekaligus percaya diri.

Di ruang ganti, ia berdiri di depan cermin besar. Rok span dan blazer masih terlipat rapi di kursi. Dengan hanya berbalut handuk, Naira mendekat, menatap bayangan dirinya sendiri. Ada rasa puas sekaligus geli melihat betapa mulus tubuhnya kini.

Seketika muncul dorongan iseng. Ia meraih HPnya, mengatur kamera depan. Sambil berdiri dengan sedikit membuka paha, Naira mengangkat handuk, membiarkan sebagian kulit mulusnya terlihat. Tangannya menutupi bagian paling rahasia, hanya menyisakan siluet lembut yang cukup membuat imajinasi siapa pun bergetar.

Klik.
Satu foto tersimpan. Ia menatap layar sebentar, lalu tersenyum miring. Ada rasa nakal yang menguar dari senyumnya—antara ingin mengirimkannya ke seseorang, atau sekadar menyimpannya untuk dirinya sendiri.

“Tuh kan, Rizal… kamu batalin ketemu. Padahal aku udah siap segini…,” gumamnya lirih sambil menggigit bibir.

Ia lalu menurunkan HP, mengenakan pakaiannya kembali dengan gerakan pelan dan penuh percaya diri. Blazer kembali menempel pas di tubuhnya, rok span membalut pinggulnya dengan sempurna. Tapi di balik itu semua, hanya Naira yang tahu rahasia kecilnya sore ini.

Selesai dari salon, Naira langsung melajukan mobilnya ke rumah mamanya. Hari masih sore, langit mulai berwarna jingga. Sesampainya di sana, anaknya langsung berlari kecil ke arahnya.

“Mamaaa…,” seru si kecil, membuat hati Naira sedikit mencair. Ia menggendong sebentar, lalu pamit pada mamanya.
“Makasih ya, Ma. Aku bawa pulang sekarang. Tadi acaranya lumayan capek, jadi aku sekalian mampir salon.”

Mamanya hanya tersenyum, “Ya udah, hati-hati di jalan. Jangan lupa makan malam.”

Naira mengangguk, lalu membawa anaknya masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan ke rumah, ia sempat melirik layar HP di dashboard beberapa kali. Tidak ada notifikasi dari Rizal. Hening.

Hatinya makin campur aduk. Di satu sisi, ia kesal karena sudah repot menyiapkan segalanya. Di sisi lain, gengsinya menahan jari-jarinya untuk tidak mengetik lebih dulu. Ia bersandar ke jok, menarik napas panjang.
“Mau sampai kapan dia diem aja? Masa nggak ada kabar sedikit pun…,” gumamnya pelan.

Anaknya di kursi belakang sudah asyik dengan mainannya. Naira melirik dari spion dalam, lalu tersenyum tipis. Walau hatinya panas karena Rizal, ada ketenangan kecil setiap kali melihat wajah anaknya.

Begitu sampai di rumah, Naira langsung menurunkan anaknya, membuka pintu, dan menyalakan lampu ruang tamu. Ia sibuk membereskan tas, mengganti baju anak, sambil sesekali melirik HP. Masih nihil.

Ia menggigit bibir, lalu meletakkan HPnya di meja tanpa membuka aplikasi chat.
“Nggak, aku nggak bakal duluan. Biar dia yang ngerasain kalau udah bikin aku sebel,” pikirnya.

Sambil menyiapkan makan malam sederhana untuk anaknya, perasaan kosong itu tetap menempel. Semua persiapan, salon, bahkan foto nakal yang tadi ia simpan—semuanya seperti menggantung tanpa tempat berlabuh.

Malam itu, setelah anaknya terlelap, rumah terasa hening. Naira duduk di tepi ranjang dengan lampu kamar yang temaram. HPnya ia letakkan di meja samping, layar menyala hanya untuk menampilkan jam—tapi tak ada notifikasi dari Rizal.

Ia menarik napas panjang, rasa kecewa makin menumpuk.
“Masa iya dia segitu sibuknya sampai nggak sempet kirim satu chat pun? Atau jangan-jangan… emang aku yang terlalu berharap?” pikirnya.

Ada gengsi besar yang menahannya untuk mengetik duluan. Padahal jari-jarinya sudah beberapa kali gatal ingin membuka chat Rizal, sekadar menulis “sibuk banget ya?” tapi selalu dihapus lagi.

Naira bersandar ke bantal, menatap langit-langit kamar. Rasa kesal perlahan bercampur dengan perasaan aneh: penasaran. Justru karena Rizal diam, pikirannya semakin liar. Bayangan pertemuan yang batal itu malah membuat tubuhnya terasa hangat sendiri.

Ia menggeliat, meremas ujung selimut.
“Duh, kenapa malah jadi begini…,” gumamnya dengan lirih, pipinya memerah menahan perasaan yang tak tersalurkan.

Tak lama kemudian, HPnya bergetar. Bukan dari Rizal, tapi dari suaminya. Pesan singkat:
Suami: “Gimana di rumah? Anak udah tidur? Aku kangen, Ma.”

Naira membaca, tapi ekspresinya datar. Ia membalas singkat:
Naira: “Udah tidur. Semua aman. Fokus kerja aja.”

Balasan itu dingin, tanpa emotikon, tanpa kehangatan. Setelah menekan tombol kirim, ia meletakkan kembali HP dengan gerakan cepat, seakan tidak ingin melanjutkan percakapan.

Waktu terus berjalan, jarum jam sudah mendekati tengah malam. Tetap tidak ada kabar dari Rizal. Semakin lama, rasa kecewa itu bercampur jadi rindu yang menyakitkan. Gengsinya berkata untuk tetap diam, tapi hatinya menjerit ingin didengar.

Ia memejamkan mata, berharap tidur bisa mengusir gejolak di dadanya. Namun tubuhnya sendiri justru memberontak, menolak tenang.

 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *