Pagi itu rumah Naira seperti biasa dipenuhi rutinitas. Setelah mandi suaminya, ia menyiapkan sarapan hangat di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja suami. Anak kecilnya juga sudah dirapikan, bekal sekolah masuk tas. Begitu suaminya berangkat lebih dulu bersama anak mereka, rumah terasa lebih sepi. Barulah Naira punya ruang untuk dirinya sendiri.
Ia masuk kamar mandi, menyalakan shower. Air hangat mengalir membasahi tubuhnya. Naira mengambil sabun cair khusus area kewanitaan, membersihkan dengan gerakan lembut, memastikan semuanya terasa segar dan wangi. Setelah itu ia melap tubuh dengan handuk tipis, lalu berdiri di depan cermin.
Dengan tenang ia mengoleskan lotion ke seluruh tubuh—lengan, leher, paha, betis—sambil sesekali mengamati kulitnya yang tampak lembut bercahaya. Handuk yang melilit tubuhnya perlahan turun, membuat lekuk tubuhnya tampak sempurna di pantulan kaca.
Di tempat tidur sudah ia siapkan beberapa pilihan pakaian. Masih berbalut handuk, ia berdiri lama di depan lemari, menimbang-nimbang. Akhirnya ia memilih dalaman bralette kancing depan berwarna hitam tipis, bagian tengahnya terbuka, menonjolkan belahan dada montoknya. Untuk bawahan, ia memilih thong berbahan lace transparan dengan renda di tepinya—nyaman sekaligus membuatnya merasa sexy.
Sebelum memakai baju luar, Naira duduk sebentar di meja rias, merias wajahnya dengan sentuhan tipis: foundation ringan, lipstik nude dengan sedikit gloss, dan eyeliner tipis yang membuat matanya lebih tajam. Setelah puas, ia mengenakan bralette, lalu bercermin. Kedua payudaranya tampak penuh menekan kain tipis itu, membuat dirinya tersenyum tipis—pertemuan dengan Rizal rupanya benar-benar membangkitkan sisi liarnya yang lama terkubur.
Kemudian ia mengambil blouse batik motif parang dengan potongan slim fit. Batik itu pas menempel di tubuh, menonjolkan lekuk pinggul dan garis dada yang menggoda. Tanpa tanktop dalaman, payudaranya terasa lebih “hadir” di balik kain. Ia lanjut mengenakan rok lipit hitam lebar berbahan halus, lembut, dan jatuh ringan di kulit.
Begitu berdiri kembali di depan cermin, Naira mengernyit kecil—garis thong tipisnya tercetak jelas di pantat bulatnya. Ia sempat meraih short hitam untuk pelapis, tapi matanya justru terpaku pada satu g-string dengan ikatan tali di pinggul yang terselip di sudut laci. Ia tersenyum nakal, lalu menukar thong tadi dengan g-string itu. Saat rok kembali jatuh menutupi, pantatnya terlihat mulus tanpa garis celana dalam sama sekali.
Ia memutar tubuh pelan di depan cermin. Bukan untuk menggoda siapa pun, tapi sensasi sexy itu membuatnya lebih percaya diri. “Cukup aman,” gumamnya, meski hatinya tahu ada sesuatu yang bergejolak lebih dalam.
Setelah menambahkan parfum floral-musky di pergelangan tangan, leher, dan belakang telinga, ia mengambil hijab segi empat polos berwarna gelap, mengenakannya rapi. Seketika tampilan luar berubah menjadi anggun dan terhormat—tapi di balik semua itu, ada jiwa muda yang sedang liar bergejolak, siap menyambut pertemuan rahasia.
Dengan tas kerja di tangan dan senyum tipis di bibir, Naira melangkah keluar rumah.
Begitu mobilnya masuk parkiran kantor, Naira belum langsung turun. Ia meraih tas kerja, menata sedikit bajunya, lalu HPnya bergetar. Nama Rizal muncul di layar.
“Pagi, Bu Cantik…” suara Rizal berat tapi terdengar bersemangat. “Aku udah nggak sabar nunggu kamu.”
Naira mendesah kecil, setengah malas menanggapi, “Kamu tuh ya, sabar dikit bisa nggak? Aku baru nyampe kantor.”
“Aku penasaran, hari ini kamu pakai apa?” goda Rizal lagi. “Kasih aku spill dikit, biar makin semangat nunggu.”
Naira mendengus, lalu dengan sengaja menekan tombol video call. “Nih, lihat sendiri aja. Jangan banyak gaya.”
Begitu layar terbuka, justru Naira yang terperangah. Rizal tampak duduk di tepi ranjang hotel, masih bertelanjang dada. Otot dadanya yang bidang terpampang jelas, perutnya rata, dan cahaya lampu kamar membuat kulitnya tampak berkilat.
“Gimana?” Rizal tersenyum lebar, sengaja merentangkan tangan seolah memamerkan badannya. “Lumayan kan buat modal ketemu sama kamu?”
Naira langsung mengangkat alis, wajahnya sengaja dibuat datar. “Rizal, aku serius. Kalau kamu masih begini, aku batalin aja. Mau ketemu atau nggak?”
“Eits, jangan gitu dong, Na…” Rizal cepat-cepat meraih kaosnya, pura-pura panik. “Aku cuma mau bikin kamu senyum dulu. Lagian, jujur aja… aku pengen kamu liat aku kayak gini.”
Naira melipat bibirnya, menahan senyum tapi tetap menjaga gengsi. “Aku udah bilang kan, kita ketemu cuma ngobrol. Jangan harap aneh-aneh. Kalau kamu kurang ajar, aku tinggal balik kantor aja.”
Rizal terkekeh kecil, nadanya dibuat manis. “Oke, oke… aku janji. Nggak akan macam-macam. Aku booking room karaoke udah beres, aman, nggak rame. Kamu tenang aja.”
“Bagus,” sahut Naira singkat. “Sekarang aku mau masuk dulu. Ada kerjaan yang harus aku kondisikan. Jam sembilan aku bisa keluar, tapi kalau kamu bikin ulah sebelum itu, lebih baik nggak usah ketemu sama sekali.”
“Oke, jam sembilan. Aku tunggu,” kata Rizal, kali ini serius. “Tapi jujur ya… cuma denger suara kamu aja aku udah deg-degan. Nggak kebayang kalau nanti liat kamu langsung.”
Naira mendengus lagi, pura-pura tak peduli. “Ya udah, deg-degan aja sendiri. Aku masuk dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, Naira menutup video call, menarik napas panjang, lalu keluar dari mobil dengan langkah mantap. Waktu tinggal satu jam untuk mengkondisikan kantor sebelum “bolos elegan”-nya dimulai.
Begitu masuk ke dalam gedung kantor, Naira langsung mengubah ekspresinya jadi serius. Seolah-olah tak ada apa-apa, padahal jantungnya masih berdebar karena video call barusan. Ia menyapa beberapa staf yang sudah duduk di meja masing-masing.
“Pagi semua,” katanya singkat sambil melangkah menuju ruangannya.
Di balik meja, Naira membuka laptop, menyalakan layar monitor, dan segera mengecek agenda hari itu. Ada beberapa laporan yang harus masuk, tapi sebagian bisa didelegasikan. Ia menarik napas, lalu menekan bel interkom kecil.
Tak lama, dua staf mudanya masuk.
“Bu, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu.
Naira menyandarkan punggung, menata nada suaranya agar terdengar tegas. “Gini ya, hari ini ada beberapa hal yang harus diprioritaskan. Aku mungkin nanti harus keluar sebentar, jadi kalian yang handle.”
Ia menjelaskan dengan rinci: siapa yang harus menghubungi pihak eksternal, siapa yang mengurus berkas masuk, dan siapa yang memantau kegiatan pagi di aula. Semuanya ditulis singkat di sticky notes warna-warni, lalu dibagikan.
“Pokoknya kalau ada yang urgent, WA aku. Tapi jangan telepon dulu kalau bisa ditangani sendiri. Jelas?” katanya, menatap satu per satu.
“Jelas, Bu,” jawab keduanya serempak.
Setelah staf keluar, Naira membuka WhatsApp kantor, mengirim instruksi ke grup internal. Kalimatnya dibuat padat, penuh kepercayaan, supaya anak buahnya merasa dipercaya.
“Hari ini aku ada urusan luar sebentar. Semua agenda tolong jalan sesuai pembagian. Aku percaya kalian bisa handle. Update aku via WA kalau ada kendala.”
Begitu pesan terkirim, Naira bersandar di kursinya. Ia merapikan beberapa dokumen yang sengaja ditinggalkan terbuka di meja—agar kalau ada atasan yang masuk, terlihat ia sedang “on duty”.
Jam di dinding menunjukkan pukul 08.45. Tinggal seperempat jam lagi. Naira berdiri, merapikan blouse batiknya di depan cermin kecil di dinding, lalu menyesuaikan hijabnya. Bibirnya melengkung samar—antara gugup, bersemangat, dan tetap berusaha jaim.
“Kalau anak-anak bisa handle, aku aman keluar sebentar,” gumamnya pelan.
Jam dinding ruangannya menunjukkan pukul 09.00 pas. Naira sudah beres merapikan semua, memastikan anak buahnya bisa jalan sendiri. Ia berdiri, menenteng tas kerja, lalu keluar dengan langkah tenang.
Seorang staf sempat menyapanya, “Bu, ada keperluan keluar ya?”
Naira mengangguk, wajahnya tetap profesional. “Iya, ada koordinasi sebentar ke luar. Kalau ada apa-apa, kabarin lewat WA aja.”
Dengan begitu, pintu keluar kantor pun dilewatinya tanpa ada yang curiga.
Di parkiran, ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan segera melajukan kendaraan. Jalanan pagi itu tidak terlalu padat, sehingga perjalanan terasa lancar. Hatinya campur aduk—antara kesal, deg-degan, tapi juga penasaran.
Dua puluh menit kemudian, ia sudah masuk ke pelataran parkir sebuah mall. Dari balik kaca mobilnya, Naira bisa melihat gedung karaoke keluarga yang menjadi tujuan. Ia parkir agak menyudut, mencoba menenangkan diri.
Namun begitu matanya menatap ke arah pintu karaoke, alisnya langsung berkerut. Pintu kaca besar itu masih tertutup rapat, hanya sedikit terbuka dari dalam. Di sana terpampang jelas tulisan besar di papan informasi:
“Buka: 11.00 – 23.00”
Naira mendesah keras, tangannya refleks mematikan mesin mobil. “Astaga, Rizal… kamu tuh beneran udah booking atau cuma asal janji?”
Ia mencondongkan tubuh ke setir, mencoba mengintip ke arah dalam, tapi terlihat kosong, lampu pun masih redup.
Tangannya otomatis meraih HP, jari-jarinya sudah siap mengetik pesan—antara mau protes atau sekadar nanya. Tapi gengsi menahannya. Ia hanya menatap layar HP sambil menggigit bibir.
“Kalau aku tanya duluan, dia makin GR. Tapi… masa iya tempatnya belum buka?” pikirnya kesal, sambil menepuk-nepuk kemudi pelan.
Belum lama Naira bengong di dalam mobil, HPnya berdering. Nama Rizal muncul di layar. Dengan sedikit kesal, ia menekan tombol hijau.
Rizal: “Teteh, tenang… aku udah booking kok. Tapi memang tempatnya baru bisa dipakai menjelang jam sebelas. Aku sudah deal sama staf dalam, kita bisa masuk lebih awal, tapi ya bukan jam sembilan.”
Naira: (mendengus) “Lah terus aku disuruh nunggu di parkiran sampai jam segitu? Kamu pikir gampang aku keluar kantor lama-lama?”
Rizal: “Hehe… makanya aku kasih opsi. Gimana kalau kita nunggu dulu di coffee shop hotel? Tempatnya nyaman, nggak rame.”
Naira melirik ke arah hotel yang letaknya persis di sebelah karaoke. Memang ada coffee shop di lobi, dengan dinding kaca besar menghadap jalan. Dari luar terlihat beberapa tamu duduk, ada juga resepsionis yang sibuk.
Ia mendesah panjang. “Nggak bisa, Jal. Terlalu terbuka. Gimana kalau ada kolega suamiku yang lewat? Atau ada orang kantor yang kebetulan ada urusan? Gawat kalau ketahuan aku sama cowok nongkrong berdua.”
Hening sejenak. Rizal tampak menunggu. Naira menggigit bibir, pikirannya cepat berputar. Akhirnya keluar juga kalimat yang membuatnya sendiri agak deg-degan:
Naira: “Rizal… kamu nginep di situ kan? di kamar berapa kamu.”
Rizal terdiam sebentar, lalu tertawa kecil. “Waduh, kamu serius nanya nomor kamar?”
Naira: (tegas) “Iya. Menurutku lebih aman di dalam kamar. Nggak ada yang lihat, nggak ada yang curiga. Tapi inget ya, aku ulang: ini bukan buat macam-macam. Kalau kamu coba kurang ajar, aku langsung pergi. Titik.”
Rizal: (suara agak serak menahan antusias) “Oke, oke. Aku ngerti. Sumpah, aku bakal jaga sikap. Kamarku… 1014. Lantai sepuluh.”
Naira menutup telepon cepat-cepat sebelum Rizal sempat menambahkan godaan. Ia duduk tegak, merasakan degup jantungnya semakin keras. Tangannya meraih botol minum di tas, meneguk sedikit, mencoba menenangkan diri.
“Ya Allah… aku apaan sih ini? Tapi bener juga, lebih aman di kamar daripada di lobi. Asal dia nggak macem-macem…” gumamnya sambil menghela napas.
Naira tetap memarkir mobilnya di sisi pintu masuk mall, tepat di seberang gedung karaoke. Lokasi itu cukup ramai dengan kendaraan keluar-masuk, sehingga mobilnya tampak lebih menyatu dengan keramaian. Dari luar, orang akan mengira ia hanya mampir ke mall, bukan menuju hotel di sampingnya.
Sebelum turun, Naira membuka visor di atas kursi pengemudi, melihat pantulan wajahnya di cermin kecil. Tangannya meraih kacamata hitam besar dari dalam tas, lalu memakainya. Setelah itu ia menarik sebuah masker medis dan menutup sebagian wajahnya.
“Lebih aman begini,” gumamnya. “Kalau ada orang kenal lewat, paling nyangka aku buru-buru belanja atau ada urusan di mall.”
Ia sempat menatap bayangannya sendiri di kaca spion. Blouse batik yang fit body dan rok hitam yang jatuh lembut masih tampak elegan, hijabnya pun rapi. Dengan tambahan kacamata hitam dan masker, ia terlihat seperti perempuan karier yang sedang dikejar waktu—nyaris tak bisa dikenali kecuali orang yang benar-benar dekat.
Tas kerjanya ia genggam erat, lalu dengan langkah hati-hati ia menyeberang pelataran menuju arah hotel. Setiap detik langkahnya membuat jantungnya semakin cepat, bukan karena takut, tapi karena campuran deg-degan dan sensasi liar yang lama tak ia rasakan.
Klok… klok… klok… suara high heels Naira berirama di lantai marmer lobi hotel. Ia berjalan tegak, blouse batiknya menempel pas di tubuh, rok hitam lipitnya jatuh rapi. Kacamata hitam besar menutupi sebagian ekspresi, masker menambah kesan formal sekaligus misterius. Dari kejauhan, ia tampak seperti tamu kantor yang terburu-buru menuju pertemuan.
Matanya lurus ke depan, pura-pura tak peduli dengan resepsionis yang sempat meliriknya sambil menyapa, “Selamat pagi, Ibu.” Naira hanya mengangguk kecil, menjaga ketenangan wajah meski di balik masker napasnya sedikit lebih cepat.
Ia sampai di depan lift, menekan tombol. Pintu terbuka dengan bunyi ding, ia melangkah masuk, tapi jarinya berhenti di depan panel lantai. Ada tanda kecil: akses kartu diperlukan untuk lantai 7 ke atas.
Jantungnya berdegup. Jemarinya sempat menyentuh panel angka 10, tapi layar hanya menyala merah. Terkunci.
“Nggak mungkin gagal di sini…” batinnya panik sejenak.
Tiba-tiba, seorang petugas hotel berseragam rapi mendekat dengan senyum sopan. “Permisi, Bu. Apa saya bisa bantu?”
Naira menoleh cepat, mencoba tetap anggun. “Saya… ada meeting di lantai 10.” Suaranya bergetar tipis, tapi masih terdengar meyakinkan.
Petugas itu menahan senyumnya, lalu dengan nada ringan tapi ada seloroh nakal terselip, menjawab:
“Kalau meeting biasa, ballroom ada di lantai 5 dan 6, Bu. Tidak perlu akses. Tapi kalau ‘meeting khusus’ di lantai 10…” ia sengaja memberi jeda, menatap mata Naira di balik kacamata hitamnya, “…itu biasanya hanya bisa di dalam kamar.”
Naira merasakan pipinya panas di balik masker, tapi ia tetap berdiri tegak, hanya menanggapi dengan tatapan dingin.
Petugas itu lalu menundukkan kepala sedikit, menjaga sopan santun namun tetap dengan senyum penuh arti. “Kamar berapa yang Ibu tuju? Atas nama siapa? Saya bisa bantu mengantar langsung ke kamar.”
Kalimatnya terdengar seperti layanan standar hotel, tapi intonasi dan tatapan matanya jelas menyimpan lapisan makna lain—seolah ia sudah paham betul alasan perempuan elegan dengan heels menawan ini ingin ke lantai 10.
Naira terdiam sepersekian detik. Jari-jarinya masih menggenggam tali tas di bahu, kuku-kuku yang rapi terlapis kuteks natural mencengkeram erat seakan menahan degup jantungnya. Ia tahu harus menjawab, tapi lidahnya terasa kelu.
“Nomor kamar, Bu?” ulang petugas itu, tetap dengan nada ramah.
Naira menunduk sedikit, seolah sibuk menatap HPnya. Dalam hati ia berperang—antara ingin langsung pergi, atau menuntaskan langkah yang sudah terlalu jauh ini. Nafasnya ditarik panjang, mencoba tenang.
“Hmm…” ia berdehem kecil, lalu dengan suara rendah tapi jelas, menjawab, “Kamar… 1014. Atas nama Rizal.”
Ada jeda singkat. Petugas itu mengangguk dengan senyum yang kali ini lebih sopan, tidak lagi bernuansa menggoda. “Baik, Bu. Saya antar.”
Ia mengeluarkan kartu akses dari saku, lalu menempelkan ke panel lift. Bunyi beep terdengar, lampu angka 10 menyala hijau.
Naira melangkah masuk, sedikit menunduk agar ekspresinya tidak terlalu terbaca. Heels-nya kembali mengetuk pelan lantai lift, sementara petugas berdiri setengah langkah di belakangnya, menjaga jarak.
Perjalanan naik terasa singkat tapi jantung Naira berdetak semakin cepat. Ia bisa merasakan tubuhnya sedikit tegang, seperti ada arus listrik yang merambat pelan ke seluruh indera.
Ding… Pintu terbuka di lantai 10.
“Silakan, Bu. Kamar 1014 ada di koridor sebelah kanan, ujung.” Petugas itu memberi gestur dengan tangannya, lalu menambahkan dengan suara tenang, “Semoga meeting-nya lancar.”
Naira hanya mengangguk singkat, bibirnya tertahan di balik masker. Langkahnya mantap, meski sebenarnya lututnya terasa agak goyah. Ia berjalan melewati deretan pintu kamar, sampai akhirnya nomor 1014 terpampang jelas di depannya.
Langkah Naira melambat begitu tiba di depan pintu 1014. Nomor itu seolah berpendar di depan matanya. Tangannya sempat terulur, tapi langsung ditarik kembali. Nafasnya tersendat—antara ragu dan dorongan yang tak terbendung.
Ia berdiri tegak beberapa detik, menunduk seakan sedang mencari sesuatu di dalam tas, padahal hanya untuk memberi dirinya waktu. Jantungnya berdebar kencang, sampai terasa menghentak di dada. Dari sudut mata, ia masih bisa melihat petugas hotel yang tadi, berdiri tidak jauh dari lift. Wajahnya tersenyum tipis, sopan, tapi jelas memperhatikan.
Ya Tuhan, aku harus terlihat tenang… jangan sampai kelihatan gugup, batin Naira.
Ia merapikan hijabnya pelan, menarik sedikit kain blouse batiknya agar jatuh lebih rapi di pinggang, lalu meremas jemarinya sendiri sebentar. Dari balik masker dan kacamata hitam, ia menghela napas panjang, mencoba menurunkan degup yang kacau.
Bibirnya bergumam lirih, hampir tak terdengar, “Santai, cuma ngobrol… nggak lebih.”
Namun, sensasi panas tetap merambat di tengkuknya.
Begitu merasa cukup kuat, Naira menoleh singkat ke arah petugas, memberi anggukan kecil—seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini langkah yang wajar. Petugas itu membalas dengan senyum ramah, lalu berpaling pura-pura sibuk dengan HPnya, meski jelas matanya sempat menatap penuh arti.
Naira akhirnya berdiri tegak, menempelkan telapak tangannya sebentar ke pintu kayu itu, seperti menyerap keberanian… lalu mengangkat jemarinya, bersiap untuk mengetuk.
Tok… tok… tok…
Ketukan pelan terdengar dari luar kamar. Naira berdiri dengan dada berdebar, tangannya masih menempel di permukaan kayu pintu. Wajahnya separuh tersembunyi di balik masker dan kacamata besar, namun tidak cukup menutupi gugup yang bergetar di matanya. Selama hampir dua bulan, ia dan Rizal hanya saling mengenal lewat layar—chat intens dan telepon panjang, dengan tawa, bisikan, bahkan rahasia yang hanya mereka bagi berdua. Kini, pintu ini adalah batas terakhir sebelum semua bayangan menjadi nyata.
Suara kunci elektronik berbunyi, pintu bergerak dari dalam. Perlahan daun pintu terbuka, menyingkap cahaya redup kamar. Dan di sana, Rizal berdiri.
Tubuhnya tegak, kaus ketat warna gelap menempel erat di dadanya, menonjolkan lekuk otot yang selama ini hanya bisa Naira bayangkan. Celana pendek berbahan tipis jatuh rapi di pinggangnya, menegaskan siluet maskulin yang membuat Naira terpaku. Sesaat ia hampir tak percaya—sosok nyata itu lebih hidup dari bayangan, lebih hangat dari suara yang selama ini menemaninya di ujung telepon.
Rizal pun tidak kalah terpaku. Tatapannya langsung menancap ke mata Naira di balik kacamata besar. Di sana ada keraguan, ada rindu yang tumbuh dari jarak, dan ada nyala yang sulit ia sembunyikan. Itu tatapan pertama mereka, yang membuat udara di lorong hotel mendadak pekat.
Sementara itu, petugas hotel yang masih berdiri dekat lift menatap dengan ekor mata. Ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal pandangannya tak lepas dari sosok perempuan berpenampilan rapi namun terburu-buru masuk ke kamar seorang pria yang jelas bukan pasangan resminya. Dari bahasa tubuhnya, petugas itu bisa membaca—keduanya bukan pasangan lama, bahkan terlihat baru pertama kali bertemu langsung. Namun apa pun yang ada di antara mereka jelas bukan sekadar obrolan bisnis atau pertemuan kerja. Nalurinya yakin, pertemuan itu akan berakhir dengan tubuh yang saling melebur.
Bagi petugas itu, apakah si wanita hanya seorang yang butuh pelarian, ataukah pria itu semacam gigolo yang lihai merayu, atau wanita itu adalah wanita panggilan tak lagi penting. Yang pasti, dugaannya benar: tamu wanita yang terlihat soleha itu tidak datang untuk meeting, melainkan menemui seseorang—bukan pasangannya, bukan keluarga—dan jelas bukan hanya untuk berbincang.
Pintu perlahan menutup di hadapan mereka, menyisakan lorong hotel yang kembali sunyi, sementara di dalam kamar, dunia yang berbeda baru saja dimulai.
Begitu pintu kamar terbuka, Naira spontan menelan ludah. Matanya hanya sempat sekilas menangkap tubuh Rizal di depan, lalu buru-buru menunduk sambil melangkah masuk. Ia takut ada orang lain melihat mereka berlama-lama di pintu. Gerakannya terburu, sampai bahunya menyerempet dada bidang Rizal—dan tanpa sengaja, bagian dadanya yang montok bergesekan dengan tangan Rizal yang masih menahan daun pintu.
Tubuh Naira langsung tersentak. Napasnya tercekat, wajahnya merona.
“Ya Allah… astaghfirullah,” desisnya cepat, tangannya refleks merapikan kerudung bagian bawah yang sebenarnya sudah rapi, seakan bisa menutupi rasa malunya.
Rizal justru makin girang. Senyum tengil muncul di bibirnya, matanya menyipit nakal sambil menahan tawa. Ia tahu persis apa yang barusan disentuhnya.
“Waduh, maaf ya, Teh…” suaranya rendah, sedikit serak. “Tapi sumpah itu enak banget tadi… eh maksudnya… rejeki anak soleh.”
Naira melirik tajam, tapi tatapannya goyah, jantungnya masih berdentum tak karuan.
“Na’udzubillah, Zal…” ucapnya cepat, napasnya terdengar berat. “Kamu tuh ya, bisanya ngomong yang bikin orang dosa aja. Aku ini istri orang, jangan digodain, dosa…”
Tangannya sibuk merapikan kerudung lagi, padahal tidak ada yang salah dengan letaknya. Sambil begitu, suaranya lirih bergetar, terdengar lebih seperti menahan rasa gugup daripada marah sungguhan.
Ia melotot tipis, tapi justru senyum samar terselip di ujung bibirnya—seolah dirinya pun tidak bisa menutupi kegugupan yang campur aduk dengan rasa aneh yang tadi muncul saat tubuhnya bersentuhan.
“Kalau kamu terus-terusan begini, jangan salahkan aku kalau aku marah beneran, ya.”
Nada bicaranya keras, tapi justru menambah pesona. Ada tegasnya, tapi ada juga nada manja yang membuat Rizal makin sulit menahan diri.
Rizal terkekeh pelan, menutup pintu perlahan, lalu mendekat setengah langkah. matanya menyapu wajah Naira yang menunduk.
“Ngobrol sih boleh, Teh… tapi kalau ngobrolnya sedeket tadi, saya mah betah banget,” bisiknya, senyum nakal menyelip di bibirnya.
Naira pura-pura menghela napas panjang, menepis dengan gaya anggun.
“Kamu tuh, ya Allah… kayak anak kecil aja, suka godain orang. Ingat, aku ini…” Ia berhenti, menelan kata-kata sendiri, lalu menambahkan dengan nada datar tapi matanya menyorot, “Aku ini perempuan baik-baik, inget aku punya suami loh.”
Rizal hanya tertawa pelan, menunduk sedikit agar wajah mereka sejajar. “Baik-baik, iya… tapi caramu barusan masuk kamar… bikin aku traveling teh.”
Naira mendengus, setengah menunduk, setengah tersenyum tipis yang tak bisa ia tahan.
“Udah ah. Aku duduk dulu. Jangan sok romantis. Nanti kebawa suasana lagi.”
Langkahnya menuju sofa terdengar tenang, tapi Rizal tahu—dari cara tangannya meremas ujung rok dan pipinya yang bersemu—bahwa Naira sama sekali tidak setenang kata-katanya.
Naira menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menarik napas panjang. Ia melepaskan kacamata dan maskernya dengan gerakan sedikit kasar, lalu meletakkannya di meja. Wajahnya masih merah, alisnya berkerut.
“Astaghfirullah… ini cobaan apa lagi ya Allah,” gumamnya lirih, seperti ustadzah yang sedang menasehati diri sendiri. “Baru masuk udah kejadian begini. Ya Allah, ampuni aku…”
Rizal duduk di sampingnya, menahan senyum melihat tingkah Naira yang jelas-jelas salah tingkah tapi menutupinya dengan bahasa islami. Ia menyandarkan tubuhnya santai, lalu melirik ke arahnya.
“Teteh,” ucap Rizal pelan, “maaf ya tadi…”
Naira menoleh setengah hati, masih jaim. “Ya bagus kalau sadar salah.”
Tiba-tiba Rizal menambahkan dengan nada sengaja dibuat nakal, “Maaf sengaja ga ngehindar… kesentuh nenennya yang montok. Gemes soalnya. Mumpung ada kesempatan.”
Naira terperangah, lalu menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tawa. Senyum geli lolos juga dari wajahnya.
“Ya ampun, Zal… laki-laki memang ya,” katanya menyelutuk, suara dibuat tegas tapi matanya berbinar. “Pintar banget ngambil kesempatan dalam kesempitan.”
Rizal mencondongkan tubuh, tatapannya semakin dalam. “Anggap aja amal Teh, Baru kegesek aja udah enak banget rasanya, Teh…” suaranya makin berat, “apalagi kalau aku beneran ngeremas.”
Ucapan itu membuat pipi Naira makin panas. Ia cepat bangkit, pura-pura ingin merapikan diri. “Ih, ngaco… mulai ngomongnya aneh-aneh deh,” ujarnya sambil melangkah ke depan cermin. Tangannya sibuk membetulkan hijab yang sebenarnya sudah rapi, sekadar alasan untuk menjauh.
Tapi sebelum ia selesai,
Rizal bangkit perlahan, lalu dalam sekejap kedua lengannya melingkar erat di pinggang Naira dari belakang. Tubuhnya yang hangat menempel rapat, membuat napas Naira tercekat.
“Za… Zal…” suaranya nyaris serak, tubuhnya menegang kaku—tapi anehnya, tak juga ia berusaha melepaskan diri.
Rizal menunduk, menyingkap sedikit sisi hijabnya, lalu bibirnya mendarat lembut di pipi Naira, tepat di dekat telinga. Satu kecupan singkat, tapi sarat bara yang tersimpan.
“Dari tadi aku nahan banget, Teh…” bisiknya rendah, menggetarkan bulu kuduk.
Naira memejamkan mata sesaat, lalu buru-buru membukanya lagi. Pandangannya jatuh pada bayangan mereka berdua di cermin: sosok istri solehah berhijab, dalam dekapan erat seorang bujangan nakal. Senyum tipis—entah sengaja atau tidak—menyelinap di bibirnya.
“Astaghfirullah… kamu ini…” suaranya mencoba menegur, tapi lebih terdengar seperti bisikan manja.
Tubuh Naira terdiam, pasrah dalam dekapan Rizal. Gumaman lirih lolos dari bibirnya, seolah ia masih ingin menjaga citra.
“Zal… jangan gini… dosa tau nggak. Kita tuh cuma mau ngobrol. Ingat nggak aku bilang tadi?” katanya cepat, suara bergetar tak yakin.
Namun tubuhnya memberi jawaban lain. Nafasnya makin berat, dadanya naik turun. Jemari yang tadinya sibuk merapikan hijab kini jatuh ke perutnya, hanya menempel di atas tangan Rizal yang melingkar posesif di sana. Dari cermin, matanya menangkap wajah Rizal begitu dekat di belakangnya, membuat rona merah makin membara di pipi.
Rizal merapatkan tubuhnya, bibirnya nyaris menempel di telinga Naira. Suaranya rendah, berat, penuh godaan.
“Tapi aku nyaman banget peluk gini, Teh…”
Naira berusaha keras mempertahankan ekspresi jaimnya, matanya berpaling ke bawah, pura-pura tak peduli.
“Kamu jangan GR dulu… kalau aku diem gini, bukan berarti aku suka, ya…” (Nadanya merajuk, tapi jelas tubuhnya menikmati) suaranya terhenti mendadak, saat merasakan dada bidang Rizal menekan punggungnya, lalu bibir hangatnya singgah di leher yang setengah tertutup hijab.
Naira menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar halus. Ia mencoba sekali lagi menegur dengan gaya sok tegas, meski terdengar seperti bisikan penuh rintihan.
“Kamu tuh… ya Allah, ini ujian… jangan bikin aku… kelewat batas, Zal.”
Namun di saat yang sama, tangannya tidak benar-benar menepis. Malah, jari-jarinya sempat mencengkeram lembut lengan Rizal yang melingkari perutnya, seakan mencari pegangan.
Rizal tersenyum kecil, merasakan kontradiksi itu. “Mulutmu bilang jangan… tapi gestur tubuhmu bilang lain, Teh…”
Naira memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu membuka lagi dengan wajah yang makin memerah. “Aku… aku ini perempuan baik-baik, punya suami…,ga pantas kayak begini” katanya lirih, tapi suaranya bergetar, seolah kalimat itu bukan untuk Rizal, melainkan untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Bayangan di cermin seakan mengkhianati semua kata yang masih coba dijaga Naira. Dari luar, bibirnya masih saja menyusun kalimat penolak, mencoba menjaga gengsi seorang istri berhijab yang ingin tampak kuat. Namun tubuhnya justru berkata sebaliknya—terlihat jelas bagaimana pinggangnya sedikit bersandar, menerima hangatnya tubuh lelaki di belakangnya.
Di sela tarik-menarik batin itu, Naira tersentak pelan. Ada sesuatu yang berbeda menekan punggung bawahnya. Tonjolan itu, keras dan semakin terasa jelas setiap kali Rizal mendekapnya lebih rapat. Nafasnya tercekat, wajahnya memerah, karena ia tahu betul apa yang kini menyentuh tubuhnya. Penis Rizal, yang kian membesar dan menegang, menyalurkan denyut hangat yang menembus lapisan pakaian mereka.
Seketika, aliran darah Naira berpacu cepat. Ada getaran halus yang menjalar ke bawah pusarnya, membuat kakinya terasa lemas. Lidahnya masih bersilat, berusaha terdengar tegas, namun di dalam dadanya berdesir gairah yang sulit dipungkiri. Cermin di hadapannya seakan menjadi saksi, memperlihatkan seorang perempuan yang mulutnya bicara “jangan”, tapi tubuhnya diam-diam merespons setiap desakan yang makin nyata di belakangnya.
Naira mencoba menegakkan tubuh, seolah ingin menjaga jarak. Tapi dekapan Rizal justru makin rapat, dan tonjolan di belakangnya semakin terasa jelas—panas, keras, berdenyut halus seiring tarikan napasnya.
“Zal… jangan…” bibirnya masih bergetar merangkai kata itu, tapi suaranya lebih mirip bisikan manja ketimbang teguran.
Sensasi itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Perut bagian bawahnya bergetar, otot-otot pahanya refleks merapat, sementara pinggangnya malah sedikit melengkung, seakan memberi ruang bagi desakan itu untuk menempel lebih erat. Naira bisa merasakan setiap detak gairah Rizal menular padanya, membuat dadanya naik-turun dengan cepat.
Dalam pantulan cermin, matanya sendiri tampak berkabut, berkedip pelan seperti menahan godaan. Ia sadar betul tubuhnya sudah mengirim sinyal yang jauh berbeda dari kalimat yang keluar. Bahkan ujung jemarinya, yang semula mengepal di depan, mulai melemah dan meremas jemari tangan Rizal di pinggangnya.
Rizal menunduk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinga Naira. Ia bisa merasakan tubuh perempuan itu sudah tak lagi kaku—lebih lembut, lebih lentur di dalam pelukannya. Tonjolan yang sejak tadi menekan punggung bawah Naira kini sengaja ia gerakkan perlahan, bergesekan halus melalui lapisan rok tipisnya.
Naira terperangah, tubuhnya bergetar hebat. “Zal… aku istri orang…” suaranya tercekat, tapi justru terdengar seperti keluhan yang menggoda. Nafasnya tersengal, dadanya naik-turun cepat, sementara matanya di cermin tampak berkabut dan tak sanggup membohongi gairah yang sedang membuncah.
Rizal tersenyum miring, kedua tangannya makin erat mengunci pinggang Naira. “Tapi aku suka sama istri orang yang ini teh…” bisiknya rendah, hangat, membuat bulu kuduk Naira meremang. Ia mendorongkan tubuhnya lagi, membuat tonjolannya semakin menekan dan jelas terasa.
Pinggang Naira spontan melengkung sedikit, pinggulnya tanpa sadar bergeser ke belakang, seakan mencari posisi paling nyaman sekaligus paling berbahaya. Bibirnya masih ingin berujar “tidak”, tapi desah yang lolos justru terdengar seperti undangan.
Tangan Rizal yang semula mengunci pinggang Naira mulai bergerak turun perlahan. Dari cermin, Naira bisa melihat jelas jemari itu menjelajah sisi pinggulnya, menekan lembut, lalu menyusuri garis rok yang menempel di pahanya. Setiap sentuhan seperti aliran listrik, membuat lututnya semakin lemas.
“Zal… jangan ke situ…” bisiknya lirih, tapi tangannya sendiri hanya menahan setengah hati di atas jemari Rizal, tidak benar-benar mendorong pergi.
Rizal menunduk lebih dekat, napasnya panas membelai sisi leher Naira. “Teteh nikmati aja…” ucapnya pelan, sembari menekan tubuhnya lagi, tonjolannya makin keras, menempel sempurna di lekuk punggung bawah Naira.
Jari-jarinya kini berani menyusup sedikit di sela pinggul, mengusap lembut lipatan rok. Dari pantulan cermin, Naira bisa melihat wajahnya sendiri yang memerah, bibirnya terbuka, matanya setengah terpejam. Tubuhnya jelas sudah bereaksi—pinggulnya bergeser pelan mengikuti arah sentuhan itu, seolah menyerahkan kendali meski mulutnya masih menggumamkan penolakan.
ari-jari Rizal yang sejak tadi bermain di sisi pinggul mulai lebih berani. Dari cermin, Naira bisa melihat bagaimana tangan itu dengan pelan menyusup ke bawah lipatan roknya, mengangkat kain sedikit demi sedikit. Gerakannya lambat, sengaja dibuat seolah memberi waktu bagi Naira untuk menghentikannya—tapi justru tak ada perlawanan nyata.
Naira menggigit bibir bawahnya, tubuhnya menegang sejenak lalu melemas lagi. “Zal… jangan… aku takut…” suaranya lirih, tapi getarannya lebih menyerupai rengekan penuh gelora daripada protes.
Rok itu terangkat beberapa senti, memperlihatkan garis halus tali g-string yang membelit pinggulnya. Rizal menelan ludah, pandangannya di cermin menangkap kontras mencolok: seorang perempuan berhijab dengan mata berkabut, tubuhnya setengah menyerah, dan kain roknya yang mulai tersingkap.
Tangannya berhenti sejenak di sana, hanya mengusap lembut kain tipis yang menutupi bagian paling rahasia. Desahan Naira lolos, tubuhnya bergidik, pinggulnya refleks mendorong ke belakang, membuat tonjolan Rizal menempel makin dalam.
“Ya Allah… aku nggak boleh…” bisiknya sambil terengah, tapi matanya di cermin jelas tak mampu menyembunyikan bagaimana ia terbuai oleh kenekatan Rizal.
Jari-jari Rizal akhirnya menembus batas terakhir. Rok yang sudah tersingkap cukup tinggi memberinya ruang untuk menyentuh langsung kulit paha Naira yang halus. Sentuhan itu panas, berani, menelusuri perlahan dari pangkal paha ke samping pinggul.
Naira terpekik pelan, tubuhnya sontak bergetar hebat. Sensasi telapak tangan laki-laki itu di balik kain membuatnya hampir kehilangan kendali. Pinggulnya sempat bergeser ke belakang, menempel makin erat ke tonjolan Rizal—tapi justru pada momen itu kesadarannya menyeruak.
“Zal….!” serunya, kali ini lebih keras. Dengan cepat ia meraih tangan Rizal, menghentikan gerak nakal yang sudah terlalu jauh. Tubuhnya berbalik, menatap Rizal dengan wajah merah padam—campuran marah, malu, dan gairah yang masih berdenyut.
Lalu tiba-tiba, dengan gerakan tak terduga, Naira membalikkan badan. Mata beningnya menatap Rizal tajam, seolah ingin menusuk. Tapi bibirnya… bibir itu justru lebih dulu mendarat di pipi Rizal—satu kecupan singkat, spontan, penuh gejolak yang tak bisa ia kendalikan.
Kesadaran datang terlambat. Naira langsung mendorong dada bidang Rizal, meski dorongannya lemah, seperti setengah hati.
“Ih… kamu keterlaluan, kurang ajar kamu Zal..!!!” suaranya meninggi, tapi terdengar gugup. Nafasnya masih tersengal, pipinya masih bersemu merah.
“Baru juga pertama ketemu langsung berani cium-cium istri orang. Astaghfirullah… ini dosa besar, Zal. Kita bahkan belum resmi salaman, belum perkenalan bener!”
Rizal terkekeh, mundur setengah langkah sambil menatapnya penuh selera. “Hehe… perkenalannya tadi udah lumayan lengkap, Teh. Aku kenalan sama ‘dada montok’ Teteh duluan sebelum sama tangannya, udah kecup-kecup juga, dikit lagi sampai pusat kenikmatan teh.”
“Ya Allah…” Naira menutup wajah dengan telapak tangan, separuh malu, separuh gemas. “Zal! Jangan ngomong sembarangan. Aku ini istri orang, berhijab pula. Harusnya kamu hormat sama hijabku. Hargain, jangan malah begini.”
Rizal mendekat lagi, menunduk dengan senyum nakal yang hampir konyol. “Hargain kok, Teh… aku malah ngerasa hijab bikin Teteh makin mahal, makin anggun, makin seksi. Jadi pas aku deket gini, godaannya dobel. Hijabnya nutup, tapi auranya kebuka lebar-lebar bentar lagi roknya yang terbuka lebar.”
Naira berdecak, wajahnya merah padam. “Astaghfirullah, kamu tuh ya… otaknya mesum banget.”
Rizal ngakak kecil, mengangkat kedua tangan pura-pura menyerah. “Ya maap, Teh… aku mah cuma cowok normal. Sekamar sama istri orang cantik seksi biarpun berhijab, siapa yang bisa tahan? Tapi tenang, aku tetep hormat. Aku nggak bakal buka hijab Teteh…paling cdnya aja yang aku buka udah cukup buat aku teh…, kecuali Teteh yang minta dibuka semua aku siap.”
Naira langsung melotot, tangannya otomatis memukul lengan Rizal. “Astaghfirullah! Ih, dasar kurang ajar.” Tapi di balik wajah yang pura-pura marah, senyum tipis tak bisa sepenuhnya ia tahan.
Rizal meringis manja sambil mengusap lengan yang tadi dipukul, matanya tetap menatap Naira penuh nakal. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, suaranya lirih tapi dalam, seperti bisikan yang menusuk telinga.
“Hmm… pukulan Teteh aja rasanya enak, apalagi kalau Teteh kasih aku ciuman.”
Ia terkekeh pelan, lalu menunduk sedikit hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Naira.
“Teh, jangan pura-pura marah deh… aku bisa lihat dari senyum kecil Teteh barusan, Teteh tuh sebenernya suka digodain aku. Dan aku janji, setiap kali Teteh bilang astaghfirullah, aku bakal balas dengan ‘alhamdulillah’… soalnya aku bersyukur bisa deket sama Teteh kayak gini.”
Mata Rizal menyipit nakal, ujung bibirnya terangkat. “Kalau Teteh terus main mata sama aku, jangan salahin aku kalo beneran aku nekat nyobain buka satu-satu… bukan hijab, tapi sabarnya Teteh.”
Naira menunduk cepat, pura-pura sibuk merapikan hijab yang sebenarnya sudah rapi sejak tadi. “Ya Allah… lindungi hamba-Mu dari godaan syaitan yang satu ini…”
Rizal terkekeh lagi, sengaja mengucap pelan sambil melirik nakal, “Syaitan ganteng kan, Teh?”
Naira buru-buru menepuk ringan dan mengelus dadanya sendiri, mencoba meredakan ketegangan yang makin liar. Ia melangkah ke arah sofa dan menoleh ke Rizal dengan ekspresi pura-pura tegas.
Naira merapikan hijabnya cepat-cepat, berusaha menutupi rona wajahnya yang panas. “Zal, udah ah. Jangan aneh-aneh. Kita ngobrol yang bener aja… aku nggak mau kebablasan. Dosa besar.” Suaranya datar, tapi getar di ujung kata membuatnya terdengar lebih seperti rintihan.
Rizal tersandar santai di sofa, matanya menyapu lekuk tubuh Naira yang meski tertutup kain tetap memancarkan pesona. Bibirnya melengkung nakal.
“Ngomong dosa, ngomong serius… tapi nafas Teteh makin berat, muka Teteh merah. Kalau Teteh bener-bener nggak mau, harusnya dari tadi Teteh udah kabur… tapi nyatanya Teteh masih duduk manis di sini, di depan aku.”
“Jujur aja, Teh… makin Teteh nolak, makin aku pengen nyium, peluk, dan buktiin kalau Teteh itu sebenernya juga mau kan.”
Naira menarik napas panjang, lalu mendengus halus sambil menegakkan punggungnya. Senyum tipis tersungging, tapi jelas ada getar samar di balik matanya. Dengan nada dibuat-buat formal, ia membuka,
“Baiklah… sepertinya kita belum kenalan resmi.”
Ia menundukkan kepala sedikit, seperti gaya perempuan anggun yang menjaga adab, lalu menatap Rizal dari balik bulu matanya yang lentik. Bibirnya basah saat berbisik,
“Nama saya Naira… seorang istri solehah…”
Kalimat itu menggantung sebentar, seperti doa yang berubah jadi godaan. Jemarinya meremas ujung rok, tubuhnya condong ke depan. Suara lirihnya meluncur pelan, setengah pengakuan, setengah rayuan.
“Menikah dua kali… punya dua anak… tapi akhirnya… terjerat bujangan tengil, mesum… sampai nggak bisa menolak… diajak masuk kamar hotel di pertemuan pertama.”
Nada suaranya bergetar, antara malu dan bangga pada keberaniannya sendiri.
izal tertawa lepas, suara renyahnya memenuhi kamar. Ia menepuk pahanya keras-keras lalu bersandar dengan santai, matanya menyapu Naira dari ujung kepala sampai kaki seakan menelanjangi setiap kata yang baru terucap.
“Gila… perkenalan paling jujur sekaligus paling bikin panas yang pernah aku dengar,” katanya, bibirnya melengkung nakal, sebelah matanya mengedip genit.
“Aku suka banget.”
Naira mengangkat dagunya anggun, seperti ingin menegakkan wibawa seorang perempuan solehah. Namun gerakan jemarinya pelan, lembut, saat ia mengulurkan tangan ke arah Rizal. Senyumnya samar, nadanya lirih nyaris berbisik,
“Kalau gitu… kamu salim dulu… biar sah.”
Rizal segera menyambar uluran itu, tapi sebelum telapak tangannya menyentuh, Naira menarik kembali cepat-cepat. Dadanya naik-turun, mata beningnya menatap penuh teguran manja.
“Eh! Nggak bisa. Kita bukan muhrim. Haram hukumnya bersentuhan,” ujarnya seraya menggeleng, bibir mungilnya menekankan kata haram seolah sedang mengajar murid nakal.
Rizal menahan tawanya, tapi sudut matanya berkilat liar.
“Yaelah, Teh… tadi aja udah kecup-kecup, udah sempet kepegang juga yang empuk montok itu…” ia sengaja menurunkan suara, mendekat sedikit, “…sekarang malah sok alim.”
“Zal…!” Naira terperanjat, suaranya tegas tapi pipinya merona merah muda. Ia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya gelisah menahan malu.
“Itu kecelakaan…! Jangan dibahas terus.”
Rizal menegakkan badan, meletakkan tangan di dadanya dengan gaya formal seolah sedang memperkenalkan diri di podium. Senyumnya menawan, tatapannya menjerat.
“Perkenalkan,” ucapnya dengan nada mantap, “saya Rizal… seorang bujangan nekat, yang berani ngajak istri orang ketemu di kamar hotel. Dan…” ia berhenti sejenak, matanya menancap ke dalam mata Naira, “…Alhamdulillah nggak ditolak.”
Belum sempat Naira menarik napas, Rizal tiba-tiba berlutut di depannya. Gerakannya tenang tapi penuh daya kuasa. Ia meraih tangan Naira yang sempat terulur tadi, menggenggamnya lembut seolah itu permata, lalu—dengan gaya bak pangeran dalam dongeng—membawa punggung tangan itu ke bibirnya dan mengecup perlahan.
Naira terperangah. Bibirnya terbuka tanpa kata, matanya membesar. Tubuhnya sempat kaku, tapi rona merah di pipinya semakin menebal. Senyum malu-malu terselip di sudut bibir, tak mampu ia sembunyikan. Ada rasa tersanjung yang merambat pelan ke dadanya, menggetarkan iman sekaligus membangkitkan rasa yang tak ingin ia akui.
“Zal… astaghfirullah…” bisiknya, lirih tapi tidak benar-benar marah.
Rizal mendongak dari bawah, masih menggenggam tangan mungil itu. Tatapannya tajam sekaligus hangat, penuh nakal yang memabukkan.“Teh… aku serius. Dari tadi degup jantung aku kenceng banget. Nggak nyangka bisa sedekat ini sama istri orang yang aku kagumi.”
Naira cepat-cepat menarik kembali tangannya, meski agak ragu. Ia menegakkan tubuh, mencoba menjaga image. “Aku ini ketemu kamu di kamar hotel cuma biar nggak diliat orang, biar nggak jadi fitnah. Jangan salah paham. Ini bukan berarti aku mau yang aneh-aneh. Ingat itu, Zal!”
Ia menunjuk Rizal dengan telunjuknya, mencoba keras terdengar garang. “Kalau kamu berani macem-macem, aku bisa teriak sekarang juga, terus langsung pergi. Paham?”
Rizal menahan senyum, mengangguk dengan gaya sok patuh. “Paham, Teh. Tapi kalau nanti Teteh teriak… kayaknya bukan teriak marah.”
Naira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, setengah sebal, setengah tersipu. “Ya Allah… ini orang beneran bikin dosa.”
Naira duduk kembali dengan posisi tegap, mencoba memulihkan wibawanya setelah adegan perkenalan tadi. Ia merapikan hijab, menarik napas panjang, lalu menatap Rizal lurus.
“Aku tuh kemarin memang sempet penasaran, Zal…” ucapnya dengan nada tenang tapi matanya menyala. “Kalau ketemu langsung, kamu seberani apa? Atau cuma beraninya pas chat sama videocall aja? Yang suka godain aku, berani minta pose ini itu… sampe nyuruh aku buka baju segala.”
Rizal terkekeh kecil, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Berarti Teteh inget ya semua obrolan nakal kita?”
Naira memalingkan wajah, tapi senyum tipis terselip di bibirnya. Suaranya melembut, lirih tapi jelas. “Pertemuan kayak gini… jujur aja, bikin aku sejenak lupa kalau aku istri orang, berhijab. Duduk berdua di room hotel sama cowok muda… rasanya kayak masa mudaku yang liar dulu kebangkit lagi.”
Ia berhenti sebentar, menghela napas, lalu menambahkan dengan nada penuh arti. “Aku tau kok isi otak kamu, Zal. Dari dulu aku udah punya pengalaman sama beberapa laki-laki. Jadi aku tau persis apa yang kamu pikirin sekarang, udah apal sama modus cowok.”
Rizal menatapnya lekat, degup jantungnya makin cepat. “Aku…” ia menarik napas berat, lalu tersenyum samar sambil memegang kedua telapak tangan Naira, “Maaf ya, Teh…”
Naira belum sempat merespons ketika tiba-tiba tangan Rizal menyentuh dagunya, menarik wajah Naira, dan bibir Rizal mendarat lembut di bibir Naira. Sebuah kecupan singkat, gugup tapi penuh dorongan yang tertahan.
Naira terkejut, tapi alih-alih menepis, ia justru membalas. Kecupan kecil berganti menjadi kecupan berulang, makin dalam. Nafas keduanya mulai berat.
“Zal…!!!” bisik Naira di sela kecupan, suaranya bergetar, “astaghfirullah… kamu berani banget.”
Rizal tersenyum tipis, bibirnya masih dekat dengan bibir Naira. “Beraninya baru keluar kalau sama Teteh.”
Ciuman itu semakin dalam, semakin berani. Rizal menahan sofa dengan kedua tangannya, tubuhnya kian menunduk hingga dada bidangnya hampir menyentuh tubuh Naira. Nafas mereka berpacu, tersengal-sengal di sela bibir yang saling melumat.
Naira menutup matanya, dan kali ini ia yang memulai—lidahnya perlahan menyapu bibir Rizal, memberi isyarat. Rizal menyambut tanpa ragu, lidah mereka bertemu, saling menari dengan ritme yang makin panas.
Suasana kamar seketika dipenuhi suara desahan tertahan, dengusan nafas yang berpacu. Nafas Naira makin tersengal, dadanya naik turun cepat. Rizal menahan pinggangnya dengan satu tangan, merapatkan tubuh mereka, hingga jarak benar-benar lenyap.
Naira sempat menarik wajahnya sejenak, menatap Rizal dengan mata yang setengah terpejam, pipinya merah, bibirnya basah. “Ya Allah, Zal… aku nggak nyangka bisa kebawa sejauh ini…dosa Zal…”
Rizal membalas tatapannya, suaranya serak dan bernafas berat. “Aku juga nggak nyangka, Teh… tapi aku nggak tahan jadi anak baik, nakal dikit ga papa ya Teh.”
Pelan tapi pasti, tangan Rizal mulai bergeser. Dari sandaran kursi, ia mengulur turun hingga jemarinya menyentuh sisi pinggang Naira. Sentuhan pertama itu membuat Naira tersentak kecil, tubuhnya refleks menegang.
“Rizal…!!” ucapnya di sela ciuman, matanya berusaha tetap tegas. “Jangan… macem-macem…”
Namun suara itu terputus karena bibirnya kembali ditangkap Rizal. Naira tidak benar-benar melawan. Bahkan tangannya justru menempel di dada Rizal, seolah mendorong, tapi tenaganya lemah.
Dan bibir mereka kembali bertemu, kali ini lebih rakus, lebih panas, nafas keduanya semakin terseret, seolah berpacu dengan detak jantung yang tak terkendali.