Jejak Rahasia Naira – Part 7

Gesekan itu makin menjadi, semakin liar setiap kali Rizal menggencarkan dorongan pinggulnya. Batangnya bergesek maju-mundur tepat di bibir lembah Naira yang sudah basah kuyup, membuat suara lirih licin terdengar samar, bercampur dengan desah panjang yang tak bisa lagi ia sembunyikan.

Sejak awal Naira sudah berulang kali wanti-wanti, napasnya tersengal saat tubuh mereka saling menempel erat.
“Zal… aku serius ya, jangan dimasukin. Cukup digesek aja… ngerti kan?” bisiknya lirih, matanya setengah terpejam menahan rasa campur aduk.

Rizal mengangguk sambil menyunggingkan senyum nakal. “Iya, tenang aja… aku tahu batasnya.” Tangannya merangkul leher Naira, mengecup lehernya, lalu mulai menggencarkan dorongan maju-mundur. Batangnya bergesekan di antara bibir lembah hangat itu, licin oleh cairan yang sudah lebih dulu mengalir. Suara gesekan samar-samar terdengar, menyatu dengan desah panjang Naira.

Tubuh Naira makin gelisah, pinggulnya tak bisa diam meski bibirnya terus merapal kalimat penolakan. “Hhh… Rizal… jangan… jangan kebablasan…” suaranya bergetar, kepalanya menunduk seolah malu dengan reaksi tubuhnya sendiri.

Tapi Rizal yang sudah terbakar tak mampu sepenuhnya menahan diri. Rizal menunduk, wajahnya dekat di leher Naira, hembus napasnya panas. “Suaranya enak banget, Teh…” bisiknya serak. Ia menggencarkan gerakan, sengaja menekan batangnya lebih dalam di sela bibir lembab itu.
Dorongannya makin liar, hingga di satu momen dalam satu dorongan iseng yang agak tak terkendali, ujung kepalanya terpeleset masuk. Tidak jauh, hanya sebatas kepala, tapi cukup membuat Naira tersentak keras, matanya membelalak kaget.

“Aaahhh!” Naira tersentak, tubuhnya menegang seketika. Tangannya refleks menekan dada Rizal. “Rizal! Aku bilang jangan dimasukin!” serunya, wajahnya memerah di antara marah dan tak percaya.

Rizal ikut terkejut, matanya membelalak sambil buru-buru menarik napas. “Eh, sumpah, kepeleset… aku nggak sengaja… emang beneran masuk?” Ia berhenti sejenak, menatap Naira yang masih terengah.
Lalu dengan suara lebih pelan, ia bertanya penuh ragu, “Eh… tapi… barusan emang masuk ya? ”

Naira menahan napas, wajahnya merah, giginya menggigit bibir bawah. “Iya… udah masuk… itu kepalanya…” jawabnya lirih, seolah mengaku sambil setengah menyesal.

Rizal terdiam sesaat, tubuhnya gemetar menahan hasrat. “Cuma kepalanya doang, kan?” suaranya pelan, hampir seperti bisikan memohon.

Naira memalingkan wajahnya, matanya terpejam rapat. “Iya… kepala aja…tapi tetep aja masuk namanya.” gumamnya, meski paha dan pinggulnya masih refleks bergerak kecil, seakan tubuhnya sendiri tak mau melepaskan sensasi yang baru saja singgah.

Hening sesaat, hanya ada bunyi napas mereka yang berpacu. Rizal menunduk, menatap wajah Naira yang memerah antara malu dan pasrah, sementara rasa hangat yang baru saja dirasakan dari sela masuknya kepala itu membuat keduanya makin sulit mengendalikan diri.

Naira masih menatap Rizal dengan napas memburu, dada naik turun cepat.
“Aku udah bilang… jangan dimasukin…kamu kelewatan” suaranya lirih, tapi ada nada goyah yang tak bisa disembunyikan.

Rizal menunduk, bibirnya nyaris menyentuh leher Naira. “Maaf… beneran kepeleset…” ujarnya pelan, lalu tersenyum kecil. “Tapi… rasanya tadi… anget banget, lembut banget memek kamu teh.”

Naira menggigit bibir, mencoba menoleh ke samping agar tak menatap Rizal langsung, tapi tubuhnya jelas belum mampu berhenti bergetar. “Jangan dilanjutin… gesek gesek di situ aja,”bisiknya, tapi tangannya justru masih mencengkeram pinggul Rizal seolah takut kehilangan sensasi tadi.

Rizal kembali menggesek pelan, kali ini lebih lambat, membuat batangnya berkisar naik turun di bibir lembah Naira. Cairan yang semakin deras membuat tiap gesekan berbunyi basah menggoda.

Naira mendesah panjang, matanya merem seolah hanyut. “Uugghhh…..hmpphhhhh…..Awas zal, jangan sampe masuk lebih dalem lagi….”

Tiba-tiba, dalam satu gerakan menggoda, Rizal sedikit menekan pinggulnya ke depan. Kepala batangnya kembali menyelinap masuk, lebih dalam daripada tadi—sekadar setengahnya.

“Aaahhh… Rizal…” Naira tersentak, pinggulnya melengkung ke atas tanpa sadar. “Kok dimasukin lagi… huhh…aaahhhh….”

Pelan-pelan Rizal menggesek lagi, kali ini lebih pelan tapi lebih dalam dorongannya. Kepala batangnya kembali menyelip di sela bibir lembut itu, dan tanpa sadar menekan sedikit lebih jauh dari sebelumnya.

“Hhhhnn…sssshhhhh” Naira mendesah pelan, kelopak matanya bergetar menahan sensasi yang menyambar dari dalam. “Rizal… jangan… nanti kebablasan…”

Naira menelan ludah keras, pipinya memerah. “Itu udah lebih dalem dari tadi…” ucapnya lirih, nyaris seperti keluhan, namun tak ada usaha mendorongnya menjauh.

“memek kamu basah banget teh, udah setengah…,” bisik Rizal, suaranya berat. “Masukin aja sekalian ya teh? tanggung….” Ia mendorong perlahan lagi, dan kali ini sisa batangnya meluncur masuk sepenuhnya, terbenam hangat di dalam Naira.

Tubuh Naira menegang, punggungnya melengkung spontan. “Aaahhh…!” desisnya pecah. Tangannya mencengkeram bahu Rizal erat, matanya terbelalak karena rasa penuh yang tiba-tiba menguasai dirinya.

Naira tersentak keras. “Bangsaat kamu Zal…!” serunya spontan, pinggulnya melengkung ke atas karena kaget sekaligus merasakan hentakan nikmat pertama.

Rizal mengerang pelan, napasnya memburu. Ia menahan sejenak, lalu dengan suara berat, ia bertanya pelan, “Mau aku cabut aja…?” sambil menarik keluar batangnya yang kini berkilat basah, hanya tersisa kepalanya di bibir lembah itu. “Atau…” suaranya turun lebih rendah, “mau diterusin?” Dalam satu hentakan pelan tapi dalam, ia mendorong kembali seluruh batangnya masuk sampai pangkal.

“Aaargghhh…!” Naira menjerit pendek, tubuhnya melengkung mengikuti dorongan itu. Nafasnya memburu, bibirnya gemetar. “Jangan… jangan digerakin…, jangan goyang… biarin aja…. diem dulu di dalem gpp…” katanya lirih, suaranya pecah menahan sensasi baru yang membanjiri tubuhnya. Dalam hati dia bergumam “Ya Allah, enak banget kontol ini, penuh banget rasanya”

Rizal menahan gerakannya, membiarkan dirinya tertanam utuh di dalam kehangatan Naira. Tapi saat keheningan menggantung di antara mereka, Rizal bisa merasakan dinding dalam Naira mulai bergerak, meremas-remas pelan batangnya seolah memanggil lebih, Rizalpun kembali melumat leher dan daun telinga naira.

Sementara Naira menggigit bibir, matanya terpejam, pipinya memerah. Pinggulnya mulai bergerak lambat, menggoyang pelan seolah tanpa sadar, membuat sensasi hangat itu beriak naik turun di tubuh mereka.
Naira menggigit bibirnya lebih keras, matanya setengah terpejam. “Hmmhh… eeemmmmpphhhh….Bajingan kamu Zal…” desahnya, suaranya kini berubah jadi manja, “Zal…hhhhhh…..tersin…. pelan aja dulu ya!”

Jawaban itu seperti melepas semua pengikat di dada Rizal. Ia mulai mendorong perlahan, sangat perlahan, membiarkan batangnya meluncur masuk sedikit demi sedikit. Setiap senti membuat Naira meringis kecil sekaligus mendesah panjang, tangan dan kakinya melingkar di tubuh Rizal tanpa sadar. Dalam hatinya naira minta maaf sama suaminya “Maafin aku mas, aku kelepasan sampe kontol ini masuk memek aku, ga bisa aku lepasin…enak banget”

Naira mulai bergoyang mengimbangi gerakan Rizal “Hhh… Rizal… ohhh…aaaahhhhhg,” desah Naira, suaranya pecah dan gemetar.

Rizal mencium bibir Naira, menelan desahannya, sementara dorongannya makin dalam tapi tetap lambat, seolah menikmati setiap detik mereka perlahan kebablasan ke dalam kenikmatan yang sejak tadi mereka tahan.

Naira menatap Rizal dengan mata berkaca, napasnya berat dan terputus-putus. Setiap dorongan perlahan tadi telah mengoyak pertahanan terakhirnya. Ketika Rizal menekan masuk penuh hingga pangkal, tubuh Naira menegang, lalu melengkung menyerah di bawahnya.

“Aaahhh… Zal…uuuggghhhhh,” erangnya pecah, menggema di ruangan yang kini hanya dipenuhi suara napas dan desah mereka.

Rizal mulai bergerak lebih cepat, irama dorongannya makin menghentak, hingga terdengar bunyi plak… plak… plak… setiap kali selangkangan mereka beradu. Suara itu membuat Naira kian terhanyut, pinggulnya refleks menyesuaikan hentakan Rizal.

Dalam satu gerakan impulsif, Naira meraih blus batiknya yang sudah kusut dan terbuka sebagian, lalu melepaskannya sepenuhnya dari tubuhnya. Ia melemparkannya ke lantai tanpa peduli. Hanya tersisa bra dan rok lebar yang tersingkap tinggi hingga pinggulnya nyaris telanjang.

Rizal menatapnya dengan mata membara, lalu meraih kaitan bra Naira dari depan, menariknya kasar hingga putus terbuka, lalu melemparkannya jauh ke ujung ruangan. Kedua payudara Naira langsung terlepas bebas, berguncang lembut mengikuti gerakan tubuhnya. Rizal membungkuk cepat, melumat salah satu putingnya dalam hisapan dalam sementara pinggulnya terus menghantam masuk cepat.

“Ahhh…Anjing kamu Rizal! Eemmpppphhhh….. Gila…, Ughhh…..” Naira melengkungkan punggungnya, tangannya mencengkeram rambut Rizal erat.

Mereka berpindah posisi. Rizal menggulingkan tubuhnya ke samping, menarik Naira ke atas. Kini Naira duduk di atasnya, rok lebarnya tersingkap penuh, tubuh bagian atasnya telanjang, rambutnya acak berantakan. Ia mulai mengayun pinggul naik-turun, menelan batang Rizal sepenuhnya tiap kali duduk menghentak ke bawah. Bunyi plak plak plak terdengar lebih nyaring, bercampur cipratan cairan dari setiap benturan.

“Hhh… ya Tuhan… dalam banget…” Naira mendesah serak, kedua tangannya meremas dada sendiri seirama ayunan liar pinggulnya.

Rizal menggenggam pinggang Naira kuat-kuat, lalu mendadak bangkit, membalik posisi mereka hingga Naira terdorong tengkurap di kasur. Tanpa memberi jeda, Rizal menembusnya dari belakang, hentakannya lebih keras dan dalam. Pantat Naira bergetar setiap kali Rizal menghantam masuk, suara plak plak plak memenuhi ruangan tanpa henti.

“Aaahhh… Rizal… mentok bangeeethhh…” Naira setengah menjerit, wajahnya menunduk ke bantal, pinggulnya menolak mundur setiap kali dihantam.

Rizal meraih rambutnya, menariknya lembut ke belakang sambil terus menghentak cepat dari belakang, tubuh mereka beradu liar, penuh nafsu, seolah tak ada lagi dunia selain mereka berdua siang itu.

Hentakan Rizal dari belakang makin keras, tubuh Naira terguncang hebat di atas kasur, pantatnya yang besar bergetar setiap kali Rizal menubruk masuk. Suara plak plak plak menggema, deras dan tak terputus.

Lalu Rizal mendadak menghentikan gerakannya. Ia mencabut batangnya dari vagina Naira yang masih terbuka menggigil, terdengar bunyi plop basah saat kepala batangnya terlepas dari dalam. Naira mendesah keras, tubuhnya seolah melunak seketika, tapi matanya masih berkaca penuh hasrat. Rizal menarik naira pelan, lalu menggulingkan tubuh Naira kembali terlentang di bawahnya. Nafas mereka sama-sama memburu, kulit mereka basah oleh keringat yang bercampur aroma panas tubuh.

Naira menatap Rizal dengan mata setengah tertutup, bibirnya terbuka menahan desah. Rok lebarnya masih melingkar di pinggang tapi tersingkap lebar, menampakkan paha dan lembah basahnya yang berkilat.

Rizal meraih kedua kaki Naira, mengangkatnya tinggi hingga pergelangan kakinya bertumpu di bahunya. Posisi itu membuat panggul Naira terangkat dan vagina naira terbuka penuh.

“Siap ya…,” bisik Rizal dengan suara berat serak.

Belum sempat Naira menjawab, Rizal sudah menghentakkan pinggulnya keras ke dalam, menancap penuh hingga pangkal.

“Aaaaarrhhhh… Rizal…!” Naira menjerit kecil, tubuhnya melengkung mendadak.

Kedua kaki Naira bergetar di bahunya, tangannya mencengkeram sprei erat, matanya terpejam rapat menahan gelombang kenikmatan yang meledak-ledak dari dalam.

Rizal menancap masuk dalam sekali hentakan, membuat Naira memekik tinggi. Tanpa jeda, ia mulai menggoyang pinggulnya, dorongan penuh tenaga menghantam dalam berulang-ulang. Rizal mulai menggoyang semakin cepat, kasar, setiap hentakan menghasilkan suara plak plak plak yang menggema di ruangan. Suara plak plak plak makin keras, bercampur cipratan cairan setiap kali batang Rizal menghujam.

Irama Rizal makin kacau, makin liar, seolah ingin menenggelamkan diri mereka berdua sepenuhnya dalam pusaran nikmat.

Tubuh Naira mulai menegang, otot perutnya mengeras, napasnya tersengal tak beraturan. “Aaahhh… Rizal… aku… aku mau sampe…!” teriaknya lirih, matanya terbuka lebar sesaat sebelum kembali terpejam kuat.
Tubuhnya menegang hebat, napasnya terputus-putus, lalu ia meledak dalam klimaksnya yang kedua. “Hhhhhh… ahhhhhh… Rizaaaal… ya Allah… aku… keluar… aaaaahhhh!!!” jeritnya pecah panjang, serak dan lepas seperti seseorang yang akhirnya meruntuhkan semua beban yang selama ini ia tahan. Pinggulnya menegang, kemudian bergetar hebat, semburan cairan hangat menyembur deras memancar dari vaginanya membanjiri pangkal batang Rizal yang masih menggempur dalam.

Rizal terus menghentak tanpa henti meski tubuh Naira sudah lemas, matanya tajam membara, napasnya berat—namun belum ada tanda-tanda hendak keluar. Ia masih keras, masih panas, dan masih mengoyak dalam, bahkan ketika Naira sudah terkulai basah kuyup di bawahnya, dadanya naik turun cepat seperti baru lolos dari badai.

Tubuh Naira masih kejang-kejang kecil saat Rizal terus menggempur dari atas, hentakannya kini lebih dalam dan cepat, seolah tak peduli betapa sensitifnya tubuh Naira setelah orgasme barusan.
“Rizaaal… cukup… hhh… udah… please…,” Naira merintih serak, suaranya parau dan pecah, kedua kakinya gemetar hebat di bahu Rizal. “Aku nggak kuat lagi… ahhh….”

Namun Rizal masih keras, masih membara, belum ada tanda-tanda akan keluar. Dorongannya terus menghantam, membuat tubuh Naira menegang tiap kali ujungnya menghujam titik dalam yang masih berdenyut sensitif.

“Aku nyerah… ampun Rizal… ampun…,” rengek Naira akhirnya, tubuhnya lemas dan tak sanggup melawan lagi. Kakinya terkulai jatuh dari bahu Rizal, sementara cairan hangat masih mengalir dari sela pahanya, membasahi kasur di bawah mereka.

Mendengar itu, Rizal akhirnya menghentikan gerakannya. Ia menarik dirinya keluar perlahan, batangnya masih basah berkilat, lalu rebah terlentang di sebelah Naira dengan dada naik turun cepat. Batangnya berdiri tegak penuh urat, menantang ke atas seperti tiang bendera yang belum mau menyerah pada angin malam.

Naira menoleh, masih terengah, lalu tertawa kecil serak. “Astaga… kontol kamu masih kenceng aja…” katanya sambil menatap batang itu yang mengilap basah.

Rizal hanya tersenyum napas berat, “Aku belum keluar sama sekali…”

Naira menghela napas panjang, lalu menggigit bibir bawahnya dengan senyum binal. Ia merangkak pelan mendekat, rambut acaknya tergerai menutupi dada telanjangnya, rok lebarnya masih tersingkap tinggi di pinggang.

“Memekku udah nyerah… udah nggak sanggup kalu dimasukin lagi,” bisiknya nakal, menatap Rizal tajam. “Mau aku sepong aja ga sampe kamu crot??”
Matanya menantang, bibirnya menyungging senyum penuh nafsu saat ia merunduk perlahan mendekati batang Rizal yang masih berdiri keras di hadapannya, siap menyambut ronde yang berbeda.

Naira masih terlentang, menatap Rizal yang terbaring di sampingnya, matanya menyala nakal.

Ia menatap batang Rizal yang masih berdiri keras, lalu menoleh naik ke wajah Rizal, mendekatkan bibirnya.

Ia mendekatkan wajahnya, lalu meraih tengkuk Rizal dan mencium bibirnya ganas. Ciumannya basah, penuh desakan, lidahnya menyusup dan menari liar. Sementara bibir mereka saling menghantam basah, tangan Naira sudah meraih kejantanan Rizal yang keras, menggenggamnya erat dan mengocok pelan. Rizal mengerang tertahan ke dalam mulutnya, mencengkeram pinggang Naira.

Rizal mengerang tertahan di sela ciuman mereka, pinggulnya ikut bergerak kecil setiap kali tangan Naira memeras lembut dari pangkal ke kepala.

“Masih keras banget…” bisik Naira di sela napasnya, lalu menurunkan ciumannya perlahan di sepanjang rahang dan leher Rizal, turun ke dada, perut, hingga akhirnya ia berlutut di antara paha Rizal.

Ia menatap kejantanan Rizal yang berkilat, lalu menunduk pelan, mengecup ujung kepalanya dengan bibir hangat. Rizal mendesah berat. Naira tersenyum kecil, menjilat perlahan sekeliling kepala itu, membiarkan ujung lidahnya bermain di celah kecil yang sudah mengilap basah karena bekas cairan orgasme naira sebelumnya.

Kemudian, seperti menelusuri anak kecil makan lolipop, ia melanjutkan jilatan panjang dari pangkal hingga ke kepala, berulang-ulang, kadang dengan hela napas panas yang membuat kulit Rizal merinding. Lidahnya bahkan turun ke bawah, membasahi lembut kedua testis Rizal, menyuapkannya satu per satu ke dalam mulutnya dan mengelusnya dengan penuh sayang.

Rizal menggigit bibirnya keras, tangannya meremas rambut Naira, tubuhnya menegang menahan sensasi yang menggila.

Naira melanjutkan, lidahnya melingkari batang Rizal perlahan dari pangkal ke ujung, lalu turun lebih rendah lagi, menjilat pangkal dan kedua testisnya dengan belaian lembut namun penuh nafsu. Rizal menggigit bibir, menggeliat di kasur.

Sambil menjilat, Naira menunduk ke sisi dalam paha Rizal, mengecup, menjilat kemudian mengisap kulitnya keras hingga meninggalkan bekas merah keunguan. “Ini tanda…sekarang jadi sah milik Naira,” bisiknya binal, sebelum melanjutkan dengan tatapan mata yang tajam.

Tanpa menunggu balasan, Naira naik ke atas tubuh Rizal, memposisikan dirinya membalik, hingga wajahnya tepat di atas batang Rizal, dan vaginanya yang masih basah menetes menggantung tepat di wajah Rizal.

Rizal spontan menarik pinggul Naira ke bawah, lidahnya langsung menyapu lembah basah itu, menjilat dan menghisap gemas kelentit Naira. Naira menjerit pelan, tapi tak berhenti — ia membuka mulutnya lebar, melahap kepala Rizal perlahan ke dalam.

Rizal langsung menjulurkan lidahnya ke vagina Naira yang masih basah berlimpah, menjilat dengan rakus.

“Ahhh… Zal… jangan… nanti aku…,” rintih Naira, tapi mulutnya tetap meluncur lebih dalam ke batang Rizal.

Sensasi lidah Rizal di vaginanya berpadu dengan rasa keras panas yang memenuhi mulutnya, membuat tubuh Naira bergetar hebat. Ia mulai menggerakkan kepalanya naik turun, lidahnya memutar di sekeliling batang, sesekali menahan di tenggorokannya hingga seluruh pan jangnya lenyap dalam mulutnya. Rizal menggeliat keras,desahannya pecah.

Setiap kali Rizal menjilat lebih cepat, Naira pun membalas dengan hisapan lebih dalam, basah, dan berisik. Ia memelintir lidahnya di bawah kepala Rizal, lalu mengisap keras-keras hingga Rizal terangkat pinggulnya, nyaris tak tahan.

Ia menunjukkan kepiawaiannya—bibirnya terus meluncur turun penuh, menelan batang Rizal nyaris seluruhnya, lalu menariknya keluar perlahan dengan bunyi basah menggoda. -sslruuuullp…plop…- Tangannya membelai pangkalnya, lidahnya berputar di kepala, lalu kembali menelannya dalam. Ia melakukan ritme yang begitu mantap, penuh pengalaman, membuat Rizal terengah.

“Teh… Teteh… aku mau keluar…” erang Rizal, pinggulnya mulai menegang, napasnya berat dan pecah-pecah.

Alih-alih berhenti, Naira justru menggila—menelan lebih dalam, mendorong seluruh batang Rizal ke tenggorokannya dalam sekali gerakan, membiarkan batang itu masuk ke tenggorokannya, deepthroat penuh, hingga bibirnya menempel di pangkal Rizal. Ia menahan di sana, mengulum kuat-kuat, hingga Rizal meraung pendek dan tubuhnya menegang keras.

Detik berikutnya Rizal menegang keras, tubuhnya melengkung. “Aaaahhh… Naira…!” raungnya, dan semburan hangat yang pekat memancar berdenyut-denyut deras di mulut Naira. Semburan pertama membuat Naira tersedak kecil, tapi ia tetap menahan semuanya, meneguknya cepat sambil terus mengisap, membuat Rizal terlonjak-lonjak kejang saat sisa-sisa semburannya keluar tanpa henti.

Baru setelah benar-benar selesai, Naira melepaskan batang Rizal dari bibirnya dengan suara plop basah, menatapnya dengan senyum nakal, posisinya masih duduk di wajah rizal, Beberapa tetes cairan kental meluber dari sudut bibirnya, menetes ke payudaranya, tapi ia hanya tersenyum puas dan menjilat bibirnya perlahan.

Rizal terkulai lemas di bawahnya, napasnya memburu tak teratur, sementara Naira perlahan naik dari tubuhnya duduk di kasur, menjilat sisa cairan dari sudut bibir, lalu berbisik nakal, “Gila…bisa2nya ya gw mau di ewe bajingan kaya lo ya Zal”
Ia tersenyum binal, lalu menunduk mengecup lembut kepala penis Rizal yang mulai melembek dan seolah bicara ke penis itu.
“Hmm… akhirnya kamu crot juga… banyak banget, ya?” naira meremas gemas penis Rizal “Hhh… bisa lemes juga kamu akhirnya…” suaranya serak dan penuh kepuasan.

Naira kembali menjilat bibirnya pelan, sambil melirik Rizal. sementara Rizal terkulai setengah duduk, napasnya memburu, masih tak percaya pada apa yang baru saja ia alami.

Tubuh mereka masih saling menempel, kulit lembap bersentuhan, napas berat pelan-pelan kembali normal. Rizal berbaring setengah telentang di tempat tidur, sementara Naira menyandarkan kepala di dadanya, jemarinya mengusap pelan dada Rizal yang masih berdebar cepat.

Mereka sama-sama diam beberapa saat, hanya suara napas dan detak jantung yang terdengar… sampai Rizal terkekeh kecil.
“Gila, Teh… itu barusan kayak film bokep live,” celetuknya tengil, jemarinya mengelus rambut Naira yang acak-acakan.

Naira ikut tertawa lirih, menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Jangan ngomong gitu… bikin malu aja…, Hmm… kamu aja yang kelewatan, Zal… aku khilaf, aku kebablasan, nggak nyangka kamu seganas itu,” balasnya manja.

Rizal menoleh, menatap wajahnya dari samping dengan senyum menggoda. “Malu kenapa? Tapi kamu juga… permainannya gila. Jujur aja, aku nggak percaya kamu cuma main sama suami doang selama ini, jam terbang kamu udah tinggi teh.”

Naira membuka matanya, menatapnya malas, lalu menyunggingkan senyum nakal. “Heh, maksudnya?” Naira melirik tajam. “Jam terbang apaan sih…”

“Ya…” Rizal mencubit pinggangnya pelan. “Udah ah, jangan pura-pura polos,” Rizal menyeringai. “Dari cara kamu main tadi aja… aku bisa nebak. Selain aku sama suami kamu, pasti ada…”
“kamu terlalu jago buat ukuran ibu-ibu alim. Cara kamu mainin lidah… seponganmu, caramu ngisep aku tadi… goyang pinggulmu… itu bukan skill orang biasa.. itu jam terbang tinggi banget. Kayaknya sih… lebih dari lima batang yang pernah kamu rasain, ya?” 
godanya, terkekeh tengil.

Naira langsung mendorong dada Rizal pelan. “Kurang ajar,” katanya dengan tawa menahan malu,
Naira mencubit pinggang Rizal, tapi senyumnya justru makin lebar. “Kamu ini ya… mulutmu nggak ada remnya…”

“Aku cuma ngomong fakta,” Rizal menyeringai.

Naira mendesah pasrah “Ya… dulu aku memang pernah… nakal,” lirihnya. “Pas jadi janda dulu… nafsuku tinggi banget. Aku sempat pacaran sama beberapa cowok sekaligus, bareng… Pernah siang maen sama pacar yg ini malemnya maen lh sama yang itu… bahkan sempat jg maen sama teman kuliah S2-ku, temen kantor pas lagi dinas luar juga pernah… sampai temenku waktu ikut kontes Abang None di kota.” Ia tersenyum getir.
“Tapi semua itu dulu. Waktu aku nikah lagi, aku udah berhenti. Aku berusaha jadi istri yang setia, alim, ngikutin suami… walau hasratku sering nggak kesalurin, aku tahan hampir enam tahun.” Naira menarik napas dalam, suaranya melembut. “Aku bisa tahan enam tahun… enam tahun aku bertahan…aku udah hijrah, berhijab sampai kamu datang… kamu ngerusak semuanya, Zal…”

Rizal diam beberapa detik, lalu tertawa kecil, geli mendengar kalimat itu keluar dari bibir seorang wanita yang tadi menelannya habis-habisan. “Jadi aku ini perusak wanita soleha, ya? Eh pemuas binor solehot deng” godanya tengil.

Naira menoleh, tatapannya tajam tapi bibirnya tersenyum sinis. “Kamu brengsek… kamu yang bikin aku dosa, maksa aku mengulang hal yang udah aku tinggalin.”

“Dan kamu menikmatinya,” potong Rizal, menatapnya dalam.

Naira menahan senyum. “Iya… parah banget.”

Rizal meledek naira sambil melirik nakal “3 kali keluar pula, aku Cuma dapet sekali loh teh, masi banyak energi ini”.

Mereka tertawa bersamaan, lalu hening sejenak. Naira menggeliat kecil di dada Rizal, lalu menatapnya curiga.

Naira menatapnya menyipit. “Kamu juga jangan sok suci. Kamu itu terlalu jago buat ujuran cowok bujangan. Teknikmu tadi tuh… nggak mungkin cuma hasil dari tidur sama satu dua cewek. Jangan-jangan kamu pernah jadi gigolo, ya?”

Rizal mengangkat alis. “Maksudnya?”
Rizal tertawa keras, memeluknya lebih erat. “Gigolo? Hahaha… nggak lah. Tapi… ya, mungkin jam terbangku lumayan lah, bisa dibilang aku punya… beberapa ‘teman spesial’ dulu..” Ia berkedip nakal. “Tapi kamu paling enak, Teh. Nggak ada yang bisa nyamain.”

“Beberapa? Berapa orang yang uda kamu…??” Naira mengangkat alis, pura-pura kaget.

Rizal hanya mengedip genit. “Nggak penting itunya. Yang penting sekarang… bisa bikin kamu puas, kan?”

Naira mendengus manja, menepuk dadanya pelan. “Bangke… puas banget malah.”

Rizal mencium keningnya pelan, lalu berbisik nakal, “Ronde berikutnya nanti aku kasih yang beda… bikin kamu makin nggak bisa lupa sama aku, kamu punya utang 2 kali crot Teh.”

Naira langsung duduk, menatapnya ketus sambil berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi. “Astaghfirullah al-‘azhim….. Jangan ngelunjak Zal. Cukup sekali kamu bisa pake gue!! Tadi itu aku cuma…khilaf. Kelepasan gara-gara kebawa suasana aja, godaan mu, gara gara jari kamu kurang ajar elus-elus memew gue, wanita normal ya sange lah…tambah lagi gara gara kontol nakal lo ga ngecrot-ngecrot uda berbagai gaya juga, terpaksa kan gw harus keluarin skill mulut sama lidah gw.”

Ia berdiri, membelakangi Rizal, mulai melepaskan roknya yang sudah lecek. Tapi gerakannya… lambat, sensual, seperti menari. Saat ia menunduk menurunkan rok itu, pinggulnya bergoyang pelan tanpa sadar, pantatnya yang bulat menggoda bergerak halus, dan ketika kain itu melorot ke bawah, celah vaginanya yang masih basah dan merah merekah sempat terlihat jelas di antara kedua pahanya.

Rizal menatapnya tanpa berkedip, tersenyum miring, sementara Naira melangkah pelan ke kamar mandi, hanya berkata lirih, “Jangan harap ada ronde berikutnya…”
Rizal menelan ludah keras, penisnya Kembali membesar.

Naira menoleh sedikit ke arah Rizal dengan senyum tipis yang menggoda. “Mandi dulu ah…” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke kamar mandi—menyisakan aroma tubuhnya dan bayangan bokongnya yang masih menari di kepala Rizal.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *