Jejak Rahasia Naira – Part 8

Uap hangat memenuhi kamar mandi. Naira bersandar di dinding marmer yang dingin, air menetes perlahan dari rambut ke bahunya, mengalir turun melewati lekuk tubuhnya yang masih bergetar halus.

Pikirannya kalut — setengah diselimuti rasa bersalah, setengah lagi diselimuti sensasi nikmat yang baru saja ia rasakan. Sudah begitu lama ia tak disentuh dengan begitu… liar. Rasanya tubuhnya masih bergetar mengingat bagaimana Rizal tadi memperlakukannya — seolah setiap inci kulitnya punya rasa, dan Rizal tahu persis cara menyalakannya.

Naira menutup wajah dengan kedua tangan, menahan napas yang belum sepenuhnya stabil.
“Ya Allah… apa yang aku lakuin tadi barusan,” bisiknya lirih, tapi bibirnya masih melengkung samar, seperti tubuhnya menyimpan kenangan panas itu dan enggan melepaskannya.

Ia akhirnya mematikan air, melilit tubuhnya dengan handuk tipis, lalu keluar dari kamar mandi. Kulitnya masih kemerahan oleh hangat air dan… sisa gairah.

Rizal sedang duduk di ujung ranjang, bertelanjang dada, boxer-nya agak turun di pinggang. Begitu Naira muncul, tatapannya langsung berubah — nyala api itu kembali tampak.

“Kekuar-keluar… tapi malah makin bikin pengen lagi,” suaranya rendah dan serak.

“Rizal, jangan… cukup tadi aja,” ucap Naira, berusaha terdengar tegas, meski suaranya bergetar.

Rizal bangkit perlahan, langkahnya tenang tapi tatapannya membuat jantung Naira berdebar kencang. Ia meraih pinggang Naira, dan sebelum sempat menghindar, bibirnya sudah menelusuri bahu Naira yang masih basah.

“Jangan, Zal… aku serius…”
“Hmm… yakiiin??” bisik Rizal, sambil menciumi leher nsirs dan ia menarik simpul handuk Naira.

Handuk itu terlepas, jatuh ke lantai. Seketika udara dingin menyapu kulit Naira yang telanjang. Ia menegakkan bahu, refleks menutupi dada dengan kedua tangan, tapi Rizal sudah mengangkatnya ke dalam gendongan hangat.

“Rizal…” Naira merintih lirih, setengah menolak, setengah menyerah.

Rizal membaringkannya perlahan ke kasur, lalu menunduk ke arah tubuhnya, menaburkan kecupan lembut yang membuat Naira melengkungkan punggung tanpa sadar…

Suasana kamar kembali dipenuhi desahan halus, gesekan kulit dan napas yang saling memburu…

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
Tok… tok…

Rizal mengangkat kepala, tersenyum usil.
“Makanan pesananku, kayaknya.”

“Zal! Gila, jangan dibuka dulu!” Naira sontak terduduk, tubuhnya masih sepenuhnya telanjang, matanya membelalak panik. Ia meraih handuk yang tadi terjatuh ke lantai, tapi jari-jarinya gemetar.

Rizal, dengan santainya, hanya menarik boxer-nya yang setengah melorot menutup penisnya yang menyembul ke atas lalu berjalan ke pintu.
“Tenang aja, dia cuma nganterin, kok,” katanya santai.

“Rizal, jangan!!”

Tapi pintu sudah terbuka.

Seorang petugas room service muda berdiri di ambang pintu, nampan berisi makanan di tangannya. Matanya membelalak sepersekian detik — lalu buru-buru menunduk, pipinya merona.

Naira membeku — masih di atas ranjang, menunduk tergesa hendak mengambil handuk, tubuhnya yang polos hanya sempat tertutup tangan seadanya.

Keheningan menggantung setebal udara panas di kamar.

Petugas itu, dengan suara pelan yang nyaris tercekat, berkata,
“Maaf, Pak… pesanan makanannya.”

Rizal menerima nampan itu dengan senyum tipis, seolah tak ada yang janggal, sementara Naira bergegas berlari ke kamar mandi, wajahnya memanas bukan main — antara malu, syok, dan… entah kenapa, masih ada sisa debar menggetarkan dadanya.

Dan di balik pintu kamar mandi yang tertutup, ia menatap pantulannya sendiri di cermin. Napasnya masih berat. Pipinya merah. Dan di balik rasa malunya yang menggelegak…

Naira bersandar di balik pintu kamar mandi, masih telanjang, napasnya memburu. Ia menekan dada dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa sampai ke telinga. Adegan barusan berputar di kepalanya — dirinya yang nyaris tak tertutup apa pun, ditindih Rizal, dan seorang petugas muda masuk melihat semuanya.

“Ya ampun… itu gila banget,” gumamnya, wajahnya masih merah.

Beberapa menit kemudian, suara pintu tertutup terdengar. Hening. Lalu suara langkah kaki Rizal mendekat.

“Mas mas nya udah pergi,” ucapnya santai dari luar pintu.

Naira menelan ludah. Ia membungkus tubuh dengan handuk dan keluar pelan. Rizal bersandar di dinding, hanya mengenakan boxer, tatapannya tajam tapi santai — tatapan yang bikin bulu kuduk Naira berdiri.

“Muka kamu mu masih merah,” goda Rizal, mendekat.
“Malu tau… tadi hampir ketauan, Zal,” desis Naira, menunduk.

Rizal mendekat sampai napasnya terasa di leher Naira.
“Tapi kamu lihat nggak tadi? Wajah dia langsung merah pas liat teteh telanjang…”
“Zal, jangan ngomong gitu…”
“Dia pasti mikir yang enggak-enggak,” Rizal berbisik di telinganya, jemarinya menyusuri pinggang Naira. “Mungkin dia bayangin… ngeliatin kita lanjut di depannya.”

Naira menggigit bibir, tubuhnya merinding campur degup.
“Rizal…” ucapnya, pelan, seolah separuh protes separuh pasrah.

Rizal mencium bahunya perlahan, menurunkan lilitan handuk dari tubuh Naira. Handuk itu jatuh ke lantai lagi.
“Kalau tadi dia lihat aku nyium kamu gini…” Rizal mencium leher Naira, “…kira-kira dia cuma nonton… atau pengen ikutan?”

Naira menghela napas berat, tubuhnya refleks melengkung menempel ke dada Rizal.
“Jangan ngomong gitu…”
“Kenapa? Malu? Biarin dia makin panas, makin nafsu liat tubuh kamu” Rizal menyeringai, mendorong Naira perlahan ke ranjang.

Ia menindihnya lembut, mencumbunya lagi — bibirnya menjelajah dari leher ke dada Naira, membuatnya meliuk kecil dan menahan suara.
“Kalau dia lihat aku nyusuin kamu begini… apa dia bakal tahan nggak ngaceng?” bisik Rizal di sela ciuman.

Naira memejam mata, napasnya tersengal. Gairah yang sempat padam karena panik tadi kembali menyala cepat, bahkan lebih liar karena bayangan kemungkinan dilihat orang lain tadi masih membekas di kepalanya.

Rizal mengangkat wajahnya, menatap Naira yang pipinya merah dan dadanya naik-turun cepat.
“Atau… kalau dia lihat aku colmekin kamu, bikin kamu nggak bisa tahan sampai desah…”
“Rizal…” Naira nyaris merintih, jemarinya mencengkeram lengan Rizal.

Rizal tersenyum miring, lalu kembali menunduk — bibirnya bergerak turun, menabur kecupan basah yang membuat Naira mencakar sprei.
“Bayangin aja… kita main lagi sekarang, dan pintu itu kebuka,” katanya pelan, serak, “dia berdiri di sana… nonton kita.”

Naira menoleh sekilas ke arah pintu, jantungnya menghantam dada. Sensasi campur aduk — malu, takut, tapi juga anehnya justru makin bikin tubuhnya bergetar.
Dan ketika Rizal melanjutkan sentuhannya, Naira tak lagi melawan — tubuhnya sudah lebih jujur dari kata-katanya.

 

Mereka kembali terjerat, bergerak berdua dalam irama yang makin panas, bayangan “nyaris ketahuan” tadi membuat setiap sentuhan terasa dua kali lebih menggetarkan, bibir mereka Kembali menyatu seketika Rizal mengangkat tubuh naira dan membawanya ke ranjang bibir mereka terus berpagutan hingga mereka sampai di tempat tidur…

Naira masih terbaring menyamping di ranjang, rambutnya berantakan menutup sebagian pipi, tubuhnya hangat dan lembap oleh keringat dingin karena kejadian barusan. Rizal duduk bersandar di sandaran kepala ranjang, dadanya masih naik turun, menatap Naira dengan senyum lebar yang sedikit nakal.

Naira meliriknya sekilas. “Ngapain liatin gitu…” gumamnya, menarik selimut menutupi dada.

Rizal mengusap pahanya pelan, lalu mencondongkan tubuh mendekat. “Soalnya kamu kelihatan… cantik banget barusan,” bisiknya, jemarinya menggambar garis tipis di sepanjang pinggang Naira.

Naira menahan napas, pipinya memanas lagi. “Zal… jangan godain terus…”

“Boleh minta sesuatu?” tanya Rizal pelan, matanya menatap dalam ke mata Naira.

“Hmm… apa?” Naira balik menatap, sedikit curiga.

Rizal tersenyum miring, suaranya menurun menjadi lirih, serak.
“Aku pengen… kamu sepong lagi Teh sekarang.”
Tangannya menyentuh bagian kerasnya yang masih berdiri gagah di antara pahanya, menonjol jelas di balik boxer yang sudah setengah turun.

Mata Naira spontan membelalak kecil, lalu buru-buru menunduk, menahan senyum malu yang ingin muncul.
“Zal… astaga…” desisnya, menutup wajah dengan tangan.

Rizal tertawa kecil, lalu menarik perlahan tangannya dari wajah. “Nggak usah malu-malu…tdi doyan banget,… aku pengen ngerasain sedotan bibir kamu lagi teh.”

Naira menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdetak makin cepat. Ada sensasi aneh di dadanya—campur antara gugup, takut, tapi juga rasa bangga… karena pria itu menginginkannya seperti itu.

Dia duduk perlahan, menyibakkan selimut, lalu melirik sekilas ke arah bagian Rizal yang kini benar-benar sudah tegak. Nafasnya tercekat.

Rizal membelai pipinya pelan. “Kalem aja… jangan kenceng-kenceng.”

Naira mengangguk kecil, menelan ludah, lalu beringsut turun dari ranjang… sampai ia berlutut di hadapan Rizal, kedua tangannya gemetar ringan saat menyentuh paha Rizal yang hangat.

Tatapan Rizal mengikutinya dari atas, matanya penuh bara.
“Ya gitu… sayang…” bisiknya, suaranya berat.

Naira menghela napas pelan… lalu menunduk perlahan ke arah kejantanan Rizal — dan dari sanalah semuanya mulai.

Naira menunduk di antara kedua paha Rizal, pipinya masih merona. Ia bisa mencium aroma maskulin penis Rizal begitu dekat, membuat dadanya terasa sesak menahan debar. Tangannya yang mungil membelai perlahan bagian keras Rizal yang menegang penuh — besar, hangat, dan terasa berdenyut halus di telapaknya.

Rizal bersandar di sandaran kepala ranjang, napasnya berat, menatap Naira dari atas.
“Ya ampun… kamu cantik banget lagi nyepong gitu,” ucapnya pelan, lirih tapi penuh bara.

Pipi Naira makin merah, tapi ia menurunkan kepala… bibirnya menyentuh ujungnya dengan ragu, lalu perlahan menyapunya masuk.

“Slurrlp…” suara basah terdengar, lembut dan menggoda.

Rizal mendesah keras.
“Teteh… ya gitu… pelan… hmm…”

Naira memejamkan mata, bibirnya bergerak naik-turun perlahan, sementara tangannya menahan pangkalnya yang kokoh. Setiap desahan Rizal membuat tubuhnya sendiri bergetar aneh — malu, tapi juga… tersanjung. Ada getar hangat di dadanya membayangkan pria itu menatapnya seperti harta paling berharga.

“Plop…” terdengar saat ia menarik bibirnya sejenak, udara tipis menghubungkan mereka.

Rizal mengelus pipinya dengan ibu jari, menatap lurus ke matanya yang setengah basah.
“Kamu tau nggak… kelihatan kamu lagi nyepongin aku gini… gila seksinya.”

Naira menggigit bibir, lalu kembali menunduk, menyapanya lebih dalam.
“Slurrllpp… hhhmm…” gumamnya samar.

Rizal menyeringai kecil, suaranya menurun menjadi bisikan kasar di udara.
“Bayangin… kalau sekarang ada orang lain di belakang kamu Teh…”

Gerakan bibir Naira melambat, alisnya berkerut sedikit.
“…seseorang yang berdiri nunggu giliran, kontolnya udah keras banget… terus pas kamu lagi begini…”
“Slrrp… hmm…” Naira mendesah di sela mulutnya, pipinya memanas.

“…dia langsung masukin ke memek kamu dari belakang… sementara kamu masih nyepong aku…”

Naira sontak memejam mata, tubuhnya menegang. Bayangan nakal itu langsung menyerbu benaknya — dirinya bertelut, Rizal di hadapannya, seseorang menatap dari belakang… dan tubuhnya jadi pusat hasrat dua pria sekaligus.

Ia tersengal, bibirnya bergetar tapi tak berhenti bergerak.
“Slurrrlp… slrpp… plop…”

Rizal mengusap rambutnya pelan, senyumnya liar.
“Kamu suka bayanginnya ya…”
Naira menggeleng pelan, tapi matanya setengah terpejam, dadanya naik turun cepat.

“Ngaku aja… kamu suka dipandangin gini. Dilihat… disembah,” bisik Rizal.

Naira menarik bibirnya perlahan dari kejantanan Rizal dengan suara “pop” basah yang nyaring, lalu menunduk menutupi wajahnya yang merah padam.
“Zal… kurang ajar kamu…” suaranya lirih, gemetar — tapi senyum malu-malu merayap di bibirnya.

Rizal menyandarkan kepalanya ke belakang, napasnya masih berat.
“Kurang ajar… atau cuma tahu persis apa yang kamu butuhin?”

Jari-jari Rizal menelusuri kulit halus di antara paha bagian dalam Naira, setiap sentuhan begitu ringan, sebentar semakin dalam menyentuh bibir labia yang sudah sangat basah. Nafas Naira terengah, tubuhnya menegang Ketika jari rizal menyentuh clitorisnya dan mengelusnya.

“Zal… jangan mulai-mulai lagi… ” bisiknya lemah, tapi panggulnya sudah sedikit mengangkat, menyambut belaian Rizal.

Naira menggigit bibir, matanya terpejam, napasnya terengah. Rasa malu karena kejadian tadi masih menempel kuat, tapi justru itu yang membuat gairahnya melonjak tak terkendali.

Blum tamelengkung halus. Sentuhan jemarinya pun bergerak semakin cepat keluar masuk vagina naira yang membuat Naira menggigit bibir, menahan erangan yang nyaris lolos.

Naira menggeliat, jemarinya mencengkeram sprei, lututnya merapat lalu terbuka pelan seperti kelopak yang mekar. Rizal menunduk, mencium perut bawahnya lembut, membiarkan bibirnya berlama-lama di sana, panas napasnya menggelitik kulit sensitif Naira.

Rizal menatap wajah Naira yang memerah, bibir Naira sedikit terbuka, seolah memanggil. Ia membiarkan jemarinya masuk perlahan lebih ke atas, lebih ke dalam, lalu mundur lagi, menggoyang goyangkan clitorisnya lagi membuat Naira mendesah frustasi sekaligus menginginkan lebih.

“Lihat kamu…” bisik Rizal serak, matanya berkilat. “Manis banget kalu lagi sange…”

Rizal tersenyum tipis, lalu menunduk. Bibirnya menyusuri garis rahang Naira, turun ke lehernya, menanamkan kecupan ringan yang membuat tubuh Naira menegang dan melengkung halus. Sentuhan jemarinya pun bergerak semakin cepat keluar masuk vagina naira yang membuat Naira menggigit bibir, menahan erangan yang nyaris lolos.

Naira menggeliat, jemarinya mencengkeram sprei, lututnya merapat lalu terbuka pelan seperti kelopak yang mekar. Rizal menunduk, mencium perut bawahnya lembut, membiarkan bibirnya berlama-lama di sana, panas napasnya menggelitik kulit sensitif Naira.

Tubuh Naira melengkung mengikuti gerakan itu, seolah menyerahkan diri sepenuhnya pada irama perlahan yang dimainkan Rizal — lambat, menyiksa, dan begitu memabukkan.

Nafas Naira semakin tersengal, dadanya naik turun cepat, sementara jemarinya masih mencengkeram sprei erat.

Naira (tersengal): “Zal… ahhh… jangan cuma itu… aku mau yang gede… buruan masukin…”

Rizal: “Yang gede? Mau dimasukin apa teh, hm…jempol?”(tersenyum menggoda) “Ngomong yang jelas, biar aku ngerti.”

Naira (memerah dan menggigit bibir, lalu meledak): “Masukin kontol kamu! Hayang ngewe, sekarang juga!”

Rizal tertawa kecil, lalu menatap tajam ke mata Naira.
“Begitu dong… baru keliatan aslinya. Ternyata dalamnya kamu binal juga ya.”

“Ugghhhh……Zal… sumpah, aku malu banget. Jangan pernah—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Rizal sudah mendekat, meraih dagunya, dan mencium bibirnya dengan rakus.
Naira mencoba menolak, tapi tubuhnya lagi-lagi kalah. Ciuman itu dalam, penuh nafsu, tangannya refleks melingkar ke leher Rizal.

“Lihat reaksi dia tadi, Teh?” bisik Rizal di sela ciuman, suaranya berat, hangat di telinga Naira. “Deg-degan, sange banget dia liatin badan kamu…. Teteh juga bangga kan ada cowo yang sange liat teteh?”

Naira langsung membelalak. “Eh, jangan ngawur, Zal!” bantahnya ketus, tapi napasnya sudah memburu.

Rizal tertawa pelan,

“Astagfirullah… Rizal!” Naira menepuk dadanya lagi, tapi tangannya tidak benar-benar mendorong. Matanya bergetar, tubuhnya merespons cepat—terutama ketika Rizal mulai melumat lehernya.

Nafas Naira semakin tersengal, dadanya naik turun cepat, sementara jemarinya masih mencengkeram sprei erat.
Rizal mendekat pelan, senyumnya tengil, matanya menelanjangi setiap lekuk tubuh Naira. “Tadi itu deg-degan banget ya, Teh? Aku bisa ngerasain badan kamu makin panas abis kejadian itu.”

“Zal… jangan ngomong aneh-aneh deh…” bisik Naira, menunduk sambil menutupi payudaranya dengan tangan.

Rizal langsung menangkap pergelangan tangannya, menyingkirkannya, lalu menunduk mencium salah satu payudara itu dengan rakus. Naira meliuk, tubuhnya tak bisa melawan.

Rizal tersenyum di sela hisapannya. “Coba bayangin deh… kalau watiers hotel tadi masih berdiri di pintu, ngeliat aku kenyotin nenen kamu gini… kira-kira dia cuma nonton, atau kepengen ikut pegang juga?”

“Zal… astaghfirullah…ngaco kamu… jangan ngomong gitu…” suara Naira bergetar, tapi bokongnya sudah refleks terdorong maju, mencari gesekan.

Rizal menurunkan ciumannya, perlahan menyusuri perutnya. Tangannya menyingkap lebar paha Naira, sampai wajahnya tepat di depan lembah basah yang sudah kembali mengembang. Ia menatap ke atas, menahan senyum nakal. “Kalau dia liat aku jilatin memek kamu gini…” Lidahnya menyapu lembut, membuat Naira menjerit pelan. “…kira-kira apa yang ada di kepalanya?”

Naira meremas sprei, tubuhnya gemetar hebat. “Jangan ngomong gitu…Malu aku Zal…” Tapi desahnya justru makin keras, pinggulnya menggeliat liar.

Rizal terus menjilat, menekan, mengeksplorasi setiap lekuk. Tangannya mencengkeram pinggul Naira kuat-kuat agar tidak kabur. “Malu… tapi nikmat kan, Teh? Memek kamu basah banget sekarang.”

Naira tak bisa menyangkal. Tubuhnya sudah menyerah total. Setiap bisikan Rizal tentang kemungkinan dilihat orang justru membuat darahnya makin mendidih. Ada rasa takut, tapi juga ada sensasi baru yang menyalakan api gairah lebih besar.

“Zal… aku nggak kuat…” lirihnya, matanya terpejam rapat, air mata tipis di sudut mata karena sensasi yang terlalu intens.

Rizal bangkit, mendekapnya, lalu membisikkan nakal di telinganya. “Kalau kamu udah sesange ini, coba bayangin… gimana rasanya kalau beneran ada yang nonton kita main?”

Rizal mengangkat kepalanya sebentar, wajahnya penuh cairan kenikmatan Naira. “Pasti dia iri mati-matian, Teh. Liat istri solehot, cantik, alim kayak kamu… tapi ternyata liar abis di ranjang. Bisa bikin laki-laki gila.”

Naira menutup wajahnya dengan tangan, tubuhnya bergetar hebat. Desahannya semakin panjang, makin lama makin tak terkendali.

Rizal bangkit, menciumi bibirnya lagi, lalu mengangkat tubuh Naira dengan kedua tangan. Naira refleks melingkarkan kaki ke pinggang Rizal, tubuhnya telanjang bulat menempel ke dada Rizal yang keras.
“Zal… jangan… aahhh…” rintihnya, tapi justru pinggulnya menekan maju, mencari sesuatu.

Rizal membaringkannya ke kasur, lalu menindihnya. Penisnya yang keras menempel di pintu surga Naira. Dengan sekali dorong, ia masuk perlahan.

“Ahhhhhh… Rizaaalll…,” Naira melolong, wajahnya tertekuk di bantal, tubuhnya bergetar menerima penetrasi yang dalam.

Rizal menunduk di telinganya. “Bayangin, Teh… kalo tadi dia masih di sini, nonton aku ngentot kamu… kira-kira dia tahan nggak?”

Tubuh Naira mengejang, desahannya makin panas. “Ahhh… jangan ngomong gitu… kalau dia beneran ikutan, kamu rela aku di ewe orang lain?? aku nggak kuat… ahhh…”

Rizal mulai bergerak, pelan tapi menghujam dalam, membuat suara basah berirama. Naira menjerit tertahan, tangannya mencakar sprei.

Mereka berganti gaya: Naira didorong ke atas, duduk di pangkuan Rizal, cowgirl.
Naira menunduk, rambutnya yang masih basah menutupi wajah, dadanya naik-turun. Ia mulai menggerakkan pinggul, naik-turun perlahan, lalu cepat.

“Ya Allah… ya Allah… ahhhhhh… Rizal… gila….”

Rizal mencubit pinggulnya, sambil terkekeh. “Teh, bayangin kalo dia liat kamu nunggangin aku gini. Kira-kira dia kuat diem aja, atau langsung buka celana?”

Naira mendesah keras, matanya setengah tertutup. “Berisiik ah, jangan ngomooong mulu… ahhh… aku becek banget….”

Dia berputar, berganti jadi reverse cowgirl. Bokong bulatnya jadi tontonan sempurna di atas perut Rizal. Rizal menepuknya, lalu menekan pinggul Naira makin dalam.

Desahan Naira makin liar, tubuhnya basah keringat, suaranya pecah. “Aaahhh… Rizal… aku mau keluar lagi… hhhhhh….”

Rizal balikkan tubuhnya, kini ia yang mendominasi dengan gaya missionary. Ia menindih Naira, menatap wajah cantiknya yang penuh dosa sekaligus nikmat. Bibir mereka bertaut, lidah beradu, sementara tubuh Rizal menghentak cepat.

Naira melengking, tubuhnya melengkung tinggi. “Ya Allah… aku keluar… ahhhhhh… Rizaaaal…!!!”

Rizal masih terus menghajar, lalu membalik jadi spooning, memeluk Naira dari belakang sambil menghujam dalam-dalam.
“Teh… aku mau keluar juga…,” desisnya.

Naira mengguncang kepala panik. “Jangan di dalem… jangan Zal… jangan…!”

Tapi tubuhnya berkhianat. Vaginanya berdenyut hebat, mencengkram penis Rizal begitu erat. Rizal meraung, tak sempat mencabut.

“Ahhhhhhhhhh…!!!”

Rizal memuntahkan benihnya, deras dan panjang, tepat di dalam tubuh Naira. Cairan panas itu membanjiri, membuat Naira terpekik panjang, tubuhnya menegang sebelum akhirnya ambruk ke kasur.

Rizal mendekapnya erat, menciumi bahunya. Napas mereka berdua memburu, keringat bercampur.

“Teh… dua ronde… akhirnya spermaku udah nyampe rahimmu,” Rizal berbisik puas, bangga.
Naira terisak kecil, wajahnya merah, setengah malu setengah nikmat. “Kamu… brengsek… bener-bener hancur memek gue….”

Tubuh Naira masih bergetar kecil, napasnya belum stabil. Cairan hangat masih terasa menetes di antara pahanya, membuatnya refleks menjepit kedua kaki. Ia menoleh tajam ke arah Rizal yang masih menindih santai di sampingnya.

“Kurang ajar kamu, Zal…” suaranya serak, napas masih tersengal. “Aku udah bilang jangan keluar di dalem…”

Rizal terkekeh, menciumi keningnya. “Hehehe… maaf, Teh. Memek kamu yang bikin aku lepas control. Rasanya rapet, anget banget, gimana mau nahan?”

Naira mendengus, menutup wajah dengan bantal. “Aku bisa gila beneran kalau sampai hamil. Udah tau aku istri orang, masih aja…”

Rizal mengusap perut Naira, lembut tapi tengil. “Aku seneng banget bisa nanem benihku di rahim kamu. Kaya ngecap bahwa kamu sah milik aku juga.”

Naira mengangkat kepala, matanya melotot. “Milik kamu apaan? Aku cuma kepleset sesaat. Jangan GR deh. Lagian aku KB sih, Jadi ga takut jadi, cuman masalahnya kalu suami gue ngeh ada sperma di meki gue runyam Zal.”

Rizal justru makin nyengir, duduk setengah bersandar sambil menepuk bokong Naira. “Tapi enak kan, Teh? Ngaku aja. Apalagi kalau tadi petugas hotel itu beneran nonton kita. Gila pasti rasanya.”

Pipi Naira merona, campuran malu dan terangsang. “Dasar gila kamu. Jangan-jangan kamu emang doyan pamer begituan ya?”

“Yaaa… aku sih nggak keberatan. Malah makin greget kalau ada yang ngeliat. Bayangin aja, aku jadi raja, dipuaskan dua selir cantik sekaligus. Kamu salah satunya…” Rizal menunduk, menciumi puting Naira sambil bicara. “Terus ada satu lagi perempuan, kalian gantian nyepong aku, nelen punya aku, terus bareng-bareng nungging buat aku entot bergiliran…”

Naira refleks menepis dadanya. “Ya Allah, Rizal! Otak kamu mesum bener. Mana ada perempuan waras mau begituan.”

Rizal nggak berhenti, malah makin sengaja. “Atau gini deh, biar adil. Kamu dipuaskan dua lelaki sekaligus. Satu mainin memek kamu, satu lagi disepong sama mulut kamu. Bayangin gimana puasnya.”

Wajah Naira langsung memerah, tapi kali ini karena kesal. Ia mendorong dada Rizal kuat-kuat. “Berhenti ngomong ngawur! Allah itu menciptakan manusia berpasang-pasangan. Setap laki punya kontol cuma satu, setiap wanita memek juga cuma satu, berarti ya harus satu lawan satu.”

Rizal menatapnya dengan senyum nakal, jelas belum kapok. “Tapi barusan kamu kan selingkuh sama aku. Itu juga udah di luar aturan satu lawan satu, Teh.”

Naira menggertakkan giginya, tapi suaranya goyah, seolah sedang menghibur diri sendiri. “Perkara aku lagi khilaf dientot kamu, ya nanti malem aku pulang main sama suami. Udah, selesai. Tapi jangan pernah lagi ngomongin barengan gitu. Itu dosa besar namanya, ga sesuai sama kodrat.”

Rizal terkekeh, matanya berkilat penuh nafsu. “Hmmm… berarti selingkuh boleh asal gantian, gitu ya? Kamu bener-bener istri solehot…”

Naira membalas dengan memukul dadanya pakai bantal, tapi tubuhnya masih menempel manja di lengannya. “Aku bener-bener nyesel kenal kamu… brengsek.”

Rizal menoleh, mencium bibir Naira sekali lagi, dalam dan panas. “Nyeseeel… tapi ketagihan, kan?”

Desahan kecil lolos lagi dari bibir Naira, meski ia buru-buru menutupnya dengan tangan.

Naira menatap Rizal dengan mata yang kini lebih dingin, tapi masih menyimpan sisa panas dari momen barusan. Napasnya masih agak tersengal, tapi suaranya tegas ketika ia berbicara.

“Dengar baik-baik, Rizal,” katanya, bibirnya masih berkilau tapi kata-katanya tajam, “aku lakukan semua ini supaya kamu tahu… liarnya bini orang itu beda. Jangan macam-macam sama bini orang lain, paham?”

Rizal terdiam sejenak, matanya terpaku pada sorot mata Naira yang kini serius penuh peringatan. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya sadar: Naira tidak main-main.

Naira menarik napas panjang, menegaskan lagi, “Dan aku nggak akan pernah lagi mau ketemu kamu dalam suasana seperti ini. Aku serius. Sekali ini saja. Jangan kira aku bakal mau ulangi.”

Rizal merasakan ketegasan itu menamparnya. Ada rasa hormat bercampur penasaran yang memenuhi dadanya, karena meski Naira baru saja menunjukkan sisi liarnya yang memabukkan, kini ia menegaskan batasnya dengan jelas.

Naira kemudian bangkit perlahan, menata kembali rambutnya dengan tenang. Setiap gerakan menunjukkan bahwa ia kembali menguasai dirinya sendiri. Tatapannya masih menahan rasa, masih ada sisa panas, tapi tegas: momen ini berakhir sekarang.

“Ingat,” katanya sambil menatap Rizal satu kali lagi, “aku bini orang. Aku tahu batasanku, dan aku nggak akan biarkan siapa pun, termasuk kamu, melewati itu lagi.”

Tubuh Naira masih lemas, paha bagian dalamnya terasa lengket dan basah, berdenyut pelan setiap kali ia menggerakkan kaki. Ia berbaring terlentang sejenak menatap langit-langit kamar, napasnya mulai kembali normal… tapi pikirannya masih campur aduk: rasa bersalah, tapi juga rasa puas yang belum sempat benar-benar reda.

Dengan enggan ia bangkit, duduk di pinggir ranjang, membiarkan selimut melorot dari dadanya hingga payudaranya terbuka sepenuhnya di udara sejuk AC kamar. Rizal masih berbaring setengah sadar di balik bantal, hanya memandanginya dengan senyum miring yang membuat pipi Naira makin panas.

“Jangan liatin gitu…” gumam Naira pelan, sambil menggapai handuk yang tergeletak di lantai.
“Hehe… nggak bisa, Teh. Pemandangan paling indah hari ini soalnya,” balas Rizal malas, nadanya berat karena kelelahan bercampur puas.

Naira berdiri, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju kamar mandi. Pantatnya yang bulat montok bergoyang halus tiap langkahnya, meninggalkan jejak kecil cairan putih yang masih menetes di paha. Rizal hanya bersiul pelan, matanya mengikuti tiap lenggak jalannya hingga pintu kamar mandi menutup.


Di dalam, Naira menyalakan shower. Suara air mengalir deras menutupi seluruh kegundahan di dadanya. Ia menunduk, membiarkan air hangat membasuh leher, dada, perutnya… lalu perlahan turun ke pahanya yang masih basah oleh campuran cairannya sendiri dan sperma Rizal.
Tangannya membersihkan dengan gerakan pelan, tapi kepalanya terus berisik: bayangan Rizal di atasnya, tatapannya, senyumnya, desahannya saat melepaskan diri di dalam rahimnya.

“Ya Allah… aku kenapa bisa selemah ini,” bisiknya sendiri, nyaris tersedu. Tapi tangannya justru berhenti sejenak di antara pahanya, seolah tubuhnya belum rela benar-benar melepaskan sensasi tadi. Ia cepat-cepat mengibaskan kepala, lalu menyabuni seluruh tubuhnya sampai benar-benar bersih, berkumur berkali-kali, dan memandangi wajahnya di cermin kabut. Matanya masih sembab, tapi pipinya bersemu merah muda…


Saat ia keluar, kamar sudah sunyi. Rizal tertidur setengah telanjang, satu kakinya menggantung dari kasur, napasnya berat. Naira berjalan pelan agar tidak membangunkannya, hanya berbalut handuk yang dililit ketat di dada. Rambutnya basah, menetes di punggung, dan kulitnya tampak lembap bercahaya.

Ia menatap pakaian kerjanya yang teronggok kusut di lantai—rok lipit dan blus batik yang tadi diseret Rizal dari tubuhnya dengan brutal. Naira menghela napas panjang, lalu meraih setrika hotel dari lemari kecil. Ia memasang talenan lipat kecil di sudut kamar, menancapkan kabel, lalu mulai menyetrika blusnya.

Uap hangat mengepul dari permukaan kain, sementara tubuh Naira membungkuk sedikit, handuknya naik, memperlihatkan paha atasnya yang mulus. Dadanya bergerak naik turun lembut mengikuti ritme tangannya yang menghaluskan setiap lipatan kain. Sesekali ia mengusap rambut basah dari wajah, lalu melanjutkan ke roknya—rok hitam yang masih menyimpan bekas lipatan kasar karena sempat dikepal erat Rizal di tangannya tadi.

Seketika terlintas bayangan dirinya beberapa jam lalu—rok ini terangkat tinggi, pinggulnya ditarik ke ujung ranjang, Rizal membenamkan diri dengan brutal dari belakang—dan Naira menggigit bibirnya keras-keras.

“Cukup,” gumamnya pelan, mencoba memaksa senyumnya sendiri. “Balik ke dunia nyata, Naira.”

Ia menaruh rok yang kini licin rapi di gantungan, lalu menoleh ke cermin besar di sudut kamar. Sosoknya hanya terbalut handuk kecil, rambut basah tergerai, kulit bersih mengilap, tampak seperti istri muda yang baru keluar spa… bukan seperti perempuan yang baru melanggar sumpah pernikahannya.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *