“Asal Ustadzah tau, Timun bisa digunakan untuk hal lain, selain dimakan.”
Kalimat Darto itu membikin Ustadzah Aisyah menggeleng-geleng. Bisa-bisanya pemuda itu bercanda vulgar kepada sosok Ustadzah sepertinya. Ia tengah berbelanja di pasar, Ustazah Aisyah itu. Sebelumnya ia bertemu Darto ketika memesan satu galon isi ulang. Setelah berbelanja. Kemudian ia membereskan rumah. Dan sebagai Ustadzah Kondang, tentu ia kerap mengisi Pengajian di waktu sore. Rutin di Masjid Al-Nurul.
Pagi itu, di Ruang tamu, Ustadzah Aisyah sedang bermain Lego bersama Si Kecil Nana.
“Umi gak bisa main.” Si kecil Nana merengek sambil memasang wajah sebal. “Bukan begitu, Umi,” katanya lagi sambil memasang lego ke tempat yang benar. “Ini. Begini.”
Ustadzah Aisyah mengangguk-angguk. Kemudian menata Lego dengan benar, sebelum suara ketukan pintu membuatnya segera bangkit. Ketika pintu terbuka, dilihatnya Darto dengan senyum khas tengah menggendong satu galon. Segera Ustadzah Aisyah minggir dan mempersilahkan pemuda berusia 24 tahun itu menaruh galon ke asalnya, sementara Ustadzah Aisyah kembali bermain dengan Si Kecil Nana.
Di tengah kesibukan itu, Darto muncul dan meminta Izin untuk ke kamar mandi. Sejenak Ustadzah Aisyah tampak gusar. Ia sudah mengenal Darto sebagaimana Warga lain. Darto itu suka bercanda Cabul. Suka menggoda perempuan. Merasa tidak enak sebab melihat Darto tak tahan menahan kencing, akhirnya Ustadzah Aisyah menunjuk satu arah di samping Dapur. Lekas pemuda itu ke sana.
Selang sepuluh menit, pemuda itu keluar, dan berterima kasih kepadanya. Sebelum pergi Darto berkata singkat: “Bagaimana, Ustadzah? Timunnya sudah dibeli?”
Ustadzah Aisyah enggan betul meladeni pemuda itu. Maka ia sibuk dengan si kecil Nana. Sedang Darto malah ikut duduk di lantai, di antara ibu dan anak itu. Membuat Ustadzah Aisyah lekas berpindah ke sofa.
Darto Sekonyong mengambil alih susunan lego, dan kepada Si Kecil Nana ia ajarkan cara menata lego yang benar. Si kecil tampaknya girang, mencoba melakukan apa yang dilakukan Darto. Sementara Ustadzah Aisyah bergeming dalam duduknya. Memegang erat Gamisnya. Merasa takut. Tetapi kemudian Tukang Galon itu pergi tak lama, berpamitan dengan cengir khasnya. Membuat Ustadzah Aisyah bisa`bernafas lega.
Ia sungguh tak perlu takut. Bukan setahun-dua tahun ia kenal Darto. Melainkan sudah lama jauh. Sebab di kampung Damai—kampung kecil—semuanya tampak saling mengenal satu sama lain, akrab, sebagaimana bunyi beduk lima kali dalam sehari. Tak seharusnya membuat takut. Tetapi begitulah pertahanan dirinya. Ia sarjana`pendidikan islam. Menghafal Quran dalam bentuk paling dalam. Sungguh dalam kaidah-kaidah pembelajaran, ia mengenal baik seluk-beluk. Sebab hal itu membuatnya menjaga dirinya. Seorang Hamba adalah Milik-Nya, dan dengan-Nya, ia berserah, demikian ia selalu membentengi dirinya akan hal-hal bersifat duniawi.
Sore itu Ustadzah Aisyah bercerama di Masjid Al-Nurul. Dihadiri oleh berbagai jenis kalangan perempuan. Beberapa ada yang yang lebih muda. Duduk takzim di lantai Masjid. Mendengar eloknya suara penceramah. Yang selalu tersenyum. Dan aduhai ketika ia melantunkan dalil-dalil untuk membentengi segala hal dari kemungkaran. Tingkahnya ketika membenarkan gamisnya, dan juga bola matanya yang besar itu, sungguh sejalur dengan keilmuan yang ia punya. Cantik. Dan nyaris sempurna.
Sehabis pengajian, para jamaah mengerumuninya. Bertanya-tanya perihal agama. Beberapa menceritakan masalah pribadi tentang rumah tangga. Juga sedikit konyol salah satu jamaah bertanya:
“Ustadzah. Saya akhir-akhir ini merasa diri saya diguna-guna.”
Ustadzah Aisyah dengan senang hati menanggapi. Menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Sehingga para jemaah merasa terpuaskan. Dan merasa beruntung memiliki seorang perempuan alim di kampung ini. Mereka bahkan dengan terang-terangan memuji Ustadzah Aisyah dengan mengatakan bahwa ia ahli surga. Meskipun Ustadzah Aisyah tidak ingin pongah. Itu tingkah setan. Pongah itu.
Demikian setiap sore selalu begitu. Kemudian bersama Si Kecil Nana—sekali waktu ia mengajak si kecil menemaninya—yang raut wajahnya suntuk, pulang. Di perjalanan pulang, beberapa`warga menyapa. Kadang-kadang ia berhenti sejenak, untuk mendengar keluh pertanyaan dari ibu-ibu berdaster—membuat Si kecil merajuk–lalu melanjutkan kembali perjalanan.
Sampai di rumah Ustadzah Aisyah lekas menuju dapur. Itu sudah pukul lima sore. Hendak ia menyiapkan makanan untuk suaminya. Maka ia memasak. Membuka kulkas dan menggoreng ayam. Si Kecil ia biarkan di meja makan bermain sendirian, sambil dirinya menata lauk pauk di atas meja. Ia tutup agar lalat tak masuk. Kemudian menggendong si kecil untu bermain di ruang tamu sambil menunggu kepulangan lelaki satu-satunya di rumah itu.
Sambil memperhatikan si kecil, Ustadzah Aisyah sibuk dengan ponselnya. Membalas pesan WhatsApp dari ibu-ibu dan beberapa kenalannya. Untuk sejenak ia melihat pesan dari nomor tidak dikenal, mengirim sebuah kalimat yang membuatnya kembali menggeleng-geleng. Adalah Darto si pengirim.
***
Meja makan tampak lengang, menghadirkan bunyi denting sendok dan piring, cecap mulut mengunyah makan.
“Selesaikan dulu makannya, Abi. ” Ustadzah Aisyah memperhatikan suaminya sedari tadi, yang terlampau sibuk dengan`ponsel. Membuat suasana meja makan menjadi muram. “Kan bisa nanti balas pesannya.”
“Iya Umi, Iya.” Jawab suaminya sambil menaruh ponsel.
Suaminya bernama Farhan. Bekerja di penerbitan membuatnya terlampau sibuk. Setiap hari diberondong pesan oleh atasan-atasannya perihal tenggat waktu. Membuatnya kadang-kadang susah untuk membedakan waktu kerja dan bersantai. Sehingga kerap ia mendapati istrinya mengomel.
Selepas makan malam biasanya sekeluarga itu berkumpul di ruang tamu. Menghabiskan jatah malam sebelum tidur untuk keharmonisan keluarga Tetapi Farhan minta izin untuk tidur lebih dulu. Katanya ia terlampau lelah, dan kepalanya penuh oleh raung-raung tak berkesudahan.
Maka Ustadzah Aisyah disibukan mengurus Si Kecil yang baru Masuk Sekolah Dasar itu. Menemaninya bermain lego-lego. Keping-kepingannya berserak di mana-mana. Sementara Si Kecil bermain, Ustadzah Aisyah kembali sibuk dengan ponselnya. Membalas pesan perihal ceramahnya yang akan diadakan dua hari lagi. Juga`beberapa tawaran mengisi ceramah di Kampung sebelah, yang ditolaknya dengan sangat sopan. Sebab jadwalnya`mengisi ceramah penuh minggu-minggu ini.
Kemudian, pesan nomor tak dikenal masuk lagi. Darto menyapa singkat: Selamat malam. Untuk kesekian kali Ustadzah Aisyah mendengus, kembali menggeser layar ponsel. Membalas yang penting-penting saja. Tetapi pesan dari Darto demikian bertambah. Membuatnya akhirnya membalas: Malam. Lalu dimatikannya layar ponselnya, bergabung bermain lego dengan Si kecil Nana.
“Ih, Umi. Bukan begitu!” Si Kecil berseru sambil mengambil lego yang ditumpuk uminya dengan asal-asal. Mengajarkan dengan ketelatenan seorang guru. Bahwa keping ini harus di sini. Dan itu di situ. Kemudian ia kembali sibuk dengan daya khayalnya.
Ustadzah Aisyah kembali sibuk dengan ponselnya, membaringkan tubuhnya di sofa. Saat layar itu terbuka. Terlihat Sepuluh pesan masuk dari Darto. Sepuluh pesan itu terdiri dari rangkain kata yang sama: Lagi apa? Selang beberapa menit, pesan itu berlanjut lagi: Bales dong, Ustadzah. Kemudian Ustadzah Aisyah membalas: Ada apa? Saya lagi sama keluarga, Darto. Kemudian tak lama dering berbunyi: Nemenin si kecil bermain?
Semakin diladenin, semakin pula Darto Bertanya. Akhirnya Ustadzah Aisyah mematikan ponselnya. Melihat ke arah jam; sudah pukul delapan lewat lima belas. Setelah membersihkan lego di karpet, ia kemudian menuntun si Kecil. Di kamarnya ia bacakan dongeng Kancil, bermenit-menit barulah Nana tertidur. Dikecupnya kening putri tercintanya, mengusap rambut halus itu dengan telapak tangan lembutnya. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya.
Di atas tempat tidur, Farhan tengah terlelap, saking nyenyak ia tidak menyadari gerakan istrinya naik ke atas kasur. Ustadzah Aisyah lekas mematikan lampu. Memejamkan mata. Berselang sepuluh menit. Ia merasakan matanya panas—ia tidak bisa tidur sehingga ia kembali menghidupkan lampu. Sudah pukul sembilan. Tetapi ia masih belum bisa lelap.
Akhirnya ia beranjak kembali ke ruang tamu. Di sana ia membuka ponselnya. Lalu dua puluh pesan masuk dari Darto muncul paling atas. Sebab merasa bosan, ia membalas kalimat Darto yang bertanya: Besok Ustadzah mau di anter lagi, Galonnya?
“Masih ada, Darto.” Tulis Ustazah Aisyah.
“Besok, besoknya lagi?” Cepat Darto membalas.
“Nanti saya kabarin lagi, kalau memang sudah habis.”
“Kalau Timun?”
Membaca itu, Ustadzah Aisyah menelan ludah. Untuk sesaat ada keinginan untuk membalas pesan nakal itu. Tetapi ia perempuan alim, penghafal kitab-kitab gundul. Tak elok baginya. Lagi pula`Ia sarjana pendidikan Islam. Tetapi ia malah membalas:
“Buat apa?”
Ketika ia mengirim itu, tangannya gemetar. Tubuhnya mendadak mematung. Dan bibirnya terasa kaku. Sebelum kemudian Darto membalas, membuat Ustadzah Aisyah yang membaca itu lekas mematikan ponselnya dan kembali ke kamar tidurnya,
“Buat enak-enak.”
***
Minggu sore itu, Ustadzah Aisyah berpenampilan cantik dengan Gamis dan tas kecil disandang di bahu. Di depan cermin ia liuk tubuhnya ke samping. Aduhai ramping tubuhnya. Ia kenakan hijab panjang menutupi dada. Bibirnya dipoles gincu tipis berwarna merah pudar. Berpakain demikian, sebab ia akan menghadiri kondangan.
Di ruang tamu, Ustadzah Aisyah mendapati suaminya sibuk dengan Laptop berada di pangkuan, bersama si Kecil Nana sedang menyusun Lego. Kemudian kepada keduanya ia berpamitan. Menyalami suaminya, dan mengecup pipi si kecil.
Di luar ia telah disambut oleh ibu-ibu lain, yang mengenakan pakaian mencolok dan hijab motif bunga, juga make-up berlebihan. Mereka berjalan menghadiri rumah acara.
Disana musik telah berkumandang, tamu-tamu undangan terlihat menepati kursi-kursi. Sedang mempelai sibuk berjabat tangan kepada hadirin. Biduan berjoget di atas panggung, dengan gerak tubuh melingkar di barengi tangan di atas, sehingga ketiaknya terpampang oleh hadirin yang menyaksikan. Lantunan dangdut kian menggema, diiringi sorak hadirin yang menganga.
Ustadzah Aisyah bersama yang lainnya, mengambil duduk di paling ujung, setelah mengambil makan dan berjabat tangan dengan si pengantin. Bahkan ketika menyuap perempuan ini tampak elok, sesekali ia seka noda di bibirnya`dengan tisu. Beberapa hadirin lelaki memperhatikannya, sungguh berbayang nakal mereka. Mereka bahkan sesekali mengajak Ustadzah Aisyah mengobrol, meskipun ibu-ibu di samping Aisyah memberikan tatapan tajam, seolah-olah berkata bahwa mereka sudah memiliki istri.
Musik Dangdut kembali meriah, biduan bersolek penuh gairah. Beberapa hadirin–lelaki– maju ke depan panggung, ikut meliuk tubuh. Yang lain pada ikut, berbondong dalam irama tarian tak bernama dan tak jelas asal mulanya. Semakin sore semakin pula banyak yang berjoget, bahkan pengantin pria ikut pula ditarik tangannya, ikut memeriahkan acara.
Ustadzah Aisyah sungkan untuk pulang lebih dahulu. Sesungguhnya`setelah selesai makan, dirinya ingin langsung pulang, tetapi pemilik rumah mencegahnya. Bermaksud menghargai orang berilmu sepertinya, harus memberikan “Cuci tangan” Meskipun Ustadzah Aisyah sudah menolak, dan tak perlu begitu.
“Ah, ini sudah menjadi adat acara, Ustadzah.” Kata si pemilik rumah. “Tak elok kalau pengantin tak bersikap ramah ke orang berilmu.”
Pada saat itulah ia kemudian bertemu dengan Darto yang keluar dari dalam rumah. Menunduk Ustadzah Aisyah, dengan cara itu dipikirnya Darto tak mungkin mengenalinya. Tetapi Tukang Galong itu tak mudah ditipu oleh samaran tingkat rendah.
Seketika Ustadzah Aisyah tersentak mundur dua langkah, ketika dilihatnya Wajah Darto tepat di hadapannya—ketika ia`menunduk. Lekas ia kemudian menjauh dan mengambil satu duduk di meja hidangan, menaruh kantong kresek yang berisi lauk pemberian dari Pemilik Rumah di atas meja. Ia menghindari Darto. Tukang Galon itu mengganggunya.
Benar rupanya, Darto mengambil kursi dan duduk di sampingnya. Sementara hadirin tampak mulai sepi, tetapi ramai di depan Panggung, bahkan pemilik rumah ikut-ikutan.
“Kenapa pesan saya gak dibalas Ustadzah?” Darto bertanya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya.
Ustadzah Aisyah masih diam. Membiarkan Darto berceloteh tak karuan. Kemudian ia bangkit, dan tanpa menoleh dan mengucap perpisahan, ia berlalu di antara hadirin yang berjoget. Bahkan ketika ia telah separuh Jalan, Tukang Galon itu menghampirinya, berjalan di sampingnya dengan cengir sana-sini. Akan tetapi, Ustadzah Aisyah mempercepat langkah. Terjadilah kejar-kejaran langkah. Membikin Ustadzah Aisyah capek, lalu perlahan langkahnya mulai kendur.
“Kenapa Ustadzah menghindari saya?” Bertanya Darto. “Apakah sebab saya bukan orang suci?”
Berhenti langkah perempuan alim itu. Berbalik menghadap Darto. Sedikit terengah ia berkata, “Kamu terlampau kurang ajar. Dan sebab itu saya tidak membalas pesan kamu. Tidak ada urusan suci atau tidak. Tetapi baik dan buruk. Kamu buruk! Dan itu alasannya,” Sebelum melanjutkan langkah, ia berkata lagi. “Kamu harus menghargai seorang perempuan. Terlebih saya sudah berumah tangga!”
***
Ustadzah Aisyah tampak gusar ingin mengadukan sikap Darto kepada Suaminya. Selepas makan malam, ia berniat mengadukan itu, barangkali suaminya bisa omong baik-baik kepada Tukang Galon itu. Tetapi ia urung. Kini di ruang tamu, dan suaminya di sebelahnya, ia juga tampak ragu. Ia merasa kasihan, dalam pengertian seandainya Darto dipecat sebab tingkahnya itu. Sebab Ustadzah Aisyah tahu bahwa Darto itu sehari-sehari mencukupi kebutuhan dari bekerja sebagai Tukang Galon. Pemuda itu tak bersekolah, tak tamat lulus Sekolah Dasar. Bahkan ia tidak punya siapa-siapa; orang tua maupun adik. Bahkan ia memilih tinggal di satu rumah kosong, terletak di dalam pekuburan. Sebagaimana yang diketahui Ustadzah Aisyah dan warga-warga sini. Tak ayal dilema dirinya. Akan tetapi, jika ia tidak mengadukan, apakah Darto akan kembali mengusiknya? Membercandainya dengan Nakal? Sungguh tak elok dan tak nyaman ia diperlakukan sebagai itu; sebagai perempuan murahan. Tetapi dalam hatinya, tak pula ia ingin menambah kesengsaraan tukang Galong itu.
“Umi kenapa?” Suaminya memperhatikan kebingungannya. “Umi mau cerita?” Ia taruh laptopnya di sofa. Kemudian ia rangkul istrinya. “Ada masalah di pengajian? Atau gimana? Umi kelihatan gusar.”
Pada Akhirnya Ustadzah Aisyah memilih bungkam. Seandainya Darto kembali berperilaku nakal, ia akan tegas, barangkali memperingatinya dengan dali-dalil keagamaan.
“Umi cuma ngerasa capek aja akhir-akhir ini.” Kata Ustadzah Aisyah dengan roman wajah syahdu.
Farhan kemudian menghambur ikut bermain bersama si kecil. Kepada`istrinya ia beri isyarat untuk ikut bergabung juga. Ketiga keluarga itu menyusun balok lego. Sesekali si kecil akan memarahi umi dan abinya dengan gemes, kepalang jengkel sebab mereka tak bisa menyusun dengan benar. Sesekali Ustadzah Aisyah akan membentur tubuhnya ke arah suaminya, kemudian merangkul tangan suaminya. Tampak keluarga itu harmonis dalam irama penuh ria dan gembira.
***
Pagi itu, setelah mengantar si Kecil dan berbelanja keperluan rumah, Ustadzah Aisyah berehat di beranda rumahnya. Ia mengaji di dalam hati. Tak ingin membuat dirinya dipandang berlebih oleh tetangga sekitar yang berlalu lalang, dan menegurnya dengan sopan. Gerik matanya sibuk dari huruf ke huruf. Dibolak-baliknya kitab itu. Setelahnya, kemudian ia tutup, tak lupa dikecupnya. Menaruh kitab itu di kamarnya dan kembali ke beranda.
Ketika ia membuka ponselnya ia mendapati Tukang Galon itu mengirim fotonya tengah sholat, memakai peci, dan tersenyum ke arah kemera. Sontak Ustadzah Asiyah tergeletik dan melepas tawa kecil. Bukan sebab fotonya, tetapi sebab tulisan di bawah foto itu: Saya sudah meminta maaf kepada Tuhan, sebab saya berlaku buruk.
Tanpa ia sadari ia mengetik balasan: Kamu berlebihan, Darto… Saya juga minta maaf atas ucapan saya.
Aneh. Ustadzah Aisyah merasa aneh. Sebab ketika pesan itu dikirim, ia menantikan untuk segera dibalas, sehingga membuatnya berkali-kali mengetuk nomor Darto. Bahkan beberapa pesan dari jamaahnya, untuk sejenak ia hiraukan, menanti balasan Tukang Galon itu. Tentu ia tidak menyadari kegelisahannya, tetapi gerak tingkahnya, secara alami, melakukan tindakan penerimaan.
Untuk menyibukan dirinya, Ustadzah Aisyah berkemas-kemas. Merapikan kamar si kecil, dan juga kamarnya. Serta membersihkan sofa dari debu-debu. Di dapur perabotan ia tata kembali, meskipun sudah rapi. Beberapa piring bekas makan malam, ia cuci. Menggelembung sabun di tangannya. Sehabis usai ia bersantai di sofa. Menghidupkan Televisi, sekadar untuk membuatnya merasa tidak sendirian.
Ketika pada akhirnya ponselnya berdering singkat dan kecil, buru-buru ia buka dan mendapati Tukang Galon itu membalas pesannya: “Tetapi betul Timun bisa dinikmati tanpa dimakan, Ustadzah.”
Kali ini tingkah Ustadzah Aisyah hanya menggeleng dan ada senyum kecil di sudut bibirnya. Tidak ia merasa terganggu atau terlecehkan seperti biasa. Ia hanya membalas: Mulai Lagi?
Darto menjelaskan, sebagaimana pesannya: “Maksud saya, Timun itu, kan bisa digunakan untuk hal lain. Contohnya, apa ya? Hmm.”
“Apa?” Singkat Ustadzah Aisyah membalas.
“Buat kucing, kan, bisa, Ustadzah.”
“Emang kucing makan Timun? Lho, baru tau saya, Darto.”
“Kucing saya makan Timun.”
Mereka saling mengirim balasan. Kemudian Tukang Galon itu menjelaskan niatnya. Ia sungguh tak bermaksud kasar. Meskipun ia ralat kemudian. Sedikit, katanya. Tetapi bukan berarti ia tak senonoh dalam bertindak. Ia sebagaimana yang`lain, katanya, menghargai Ustadzah Aisyah. Percakapan mereka terhenti sebab Darto ingin melanjutkan pekerjaan.
“Nanti saya hubungi lagi, ya, Ustadzah?” Ketiknya. “Apakah boleh?”
Ustadzah Aisyah ragu menjawab. Ia tidak bermaksud untuk melanjutkan obrolan. Tetapi alam bawah sadarnya berkata lain, sebab ia membalas singkat: “Boleh.”
Pukul sembilan pagi ia menjemput Si Kecil Nana. Sebab cuaca panas, ia mengendarai mobilnya. Keluar dari garasi rumahnya. Berbaur di jalan-jalan.
***
Si Kecil Nana mengomel di dalam Mobil sebab uminya itu kelewat sepuluh menit. Ia mengambek. Menghentak tangannya`di dada. Dan sebagai permintaan maaf, Ustadzah Aisyah berjanji akan membelikannya Lego jenis baru. Sepasang Batman sedang mengendarai mobilnya.
“Umi Janji?” Si Kecil tampak begitu ruang.
“Iya sayang.”
Sesampai di rumah, Ustadzah Aisyah lekas masuk. Si kecil terlebih dahulu menghempas duduknya di sofa, tasnya ia lempar ke tengah karpet, berbaring di sana. Sementara Ustadzah Aisyah membuatkannya Es jeruk.
Setelah meminum Es Jeruk, Si kecil Nana, menagih janjinya. Ia melompat-lompat sambil berseru mengulurkan tangan,
“Mana Legonya, Umi?”
Ustadzah Aisyah lekas menyapu rambut putrinya dengan gemas. Aduhai tingkahnya bikin Uminya tersenyum-senyum. Seolah-olah melihat dirinya sendiri dalam bentuk yang lebih kecil, dan juga cerewet. Kepada Si Kecil Nana, ia bilang ia titip kepada Abinya. Mengertilah anak kecil itu. Tak merengek lagi.
Seperti biasa. Ustadzah Aisyah disibukan lagi oleh urusan rumah. Ketika si Kecil tertidur, akhirnya ia bisa bernafas lega, menghempas pantatnya di sofa. Satu pesan dari Darto belum terbaca. Ia ketuk. Tukang Galong itu bertanya, apakah mau pesan galon. Diliriknya di spenser yang merapat ke dinding. Masih penuh. Tetapi apa salahnya menyiapkan cadangan? Pikirnya. Kemudian ia minta Darto untuk mengantar satu galon.
Ia gelisah. Ustadzah itu. Disebabkan oleh terakhir kali mereka bertemu, yang di mana ia memberikan kecaman ringan. Selang lima belas kemudian. Saat ia berada di dapur. Ia mendengar ketukan pintu, berlari cepat dan membukanya. Tampak Tukang Galon dengan rambut gondrong, dan keringat banjir di tubuhnya, tersenyum. Izin masuk dan kemudian menaruh galon itu di samping galon lain di bawah kolong dapur.
Ustadzah Aisyah di belakangnya. Memperhatikan pemuda itu dengan seksama. Jemarinya saling bertaut satu sama lain. Pertanda bahwa dirinya mengalami kegusaran. Ketika Tukang Galon itu berbalik, Ustadzah Aisyah tampak salah tingkah, ia langsung berbalik melangkah cepat ke Ruang tamu, untuk kemudian duduk terdiam di sana.
Darto lempus kemudian. Ia tak berucap satu kata pun. Tetapi setelah pulang dan menjelang beberapa saat kemudian. Ia mengirim sebuah pesan singkat tapi mampu membuat Ustadzah Aisyah malu-malu:
“Ustadzah tadi, kok, memperhatikan saya dan terlihat salah tingkah. Hm… Kenapa Ustadzah?”
Ustadzah Aisyah merasa tertangkap basah. Ia tak berniat membalas itu. Ia menggerutu kepada dirinya sendiri, kenapa, kok, bisa ia bertingkah seperti itu. Padahal ia tak bermaksud seperti itu. Sungguh, katanya kepada diri sendiri. Dan memang betul ia tak berniat apapun. Gerak tubuhnya itu adalah gerak tanpa ia sadari, barangkali pemberontakan terhadap dirinya sendiri, atas pengekangan bertahun-tahun. Untuk mendobrak norma, yang dipegangnya erat. Atau barangkali setan membisikannya sesuatu.
“Saya tadi berniat meminta maaf secara langsung, Darto.” Tulisnya.
“Kenapa gak jadi, Ustadzah? Eh, malah lari. Padahal tadi saya juga berniat sama. Melihat Ustadzah kayak sehabis lihat setan, saya jadi takut kalau nanti saya malah kena marah lagi.”
Ustadzah Aisyah tak membalas . Ia berpikir langkahnya membalas pesan Darto sudah berlebihan. Ia menyadari bahwa tindakannya yang tanpa ia sadari, kerap mengambil alih gerak tubuhnya. Demikian, pada akhirnya, ia memutuskan untuk menyudahi percakapan. Bukan ia tidak percaya terhadap kesalehannya, tetapi setan, sebagaimana yang ia tahu, punya banyak cara untuk menjerumuskan manusia dalam perangkapnya.