Sungguh Ustadzah Aisyah tak mengira kalau dirinya akan pipis tak pada tempatnya. Tak terdidik dan tak mengenal adab, bukan pula lakon seorang alim. Akan tetapi kemudian Darto berbisik di telinganya. Katanya ia menyukai Ustadzah yang apa adanya seperti ini dan tak memiliki malu. Mendengar itu sontak saja Ustadzah Aisyah menepuk pelan dada darto dalam satu kesan bermanja.
“Saya ganti sprei dulu, Darto.” Ustadzah Aisyah berusaha bangkit. Akan tetapi, ketika ia membuka lemari pakain, sekonyong tubuhnya dipeluk Darto dari belakang. Berkata ia kemudian. “Tunggu, Darto. Darto… dasar gak sabaran!” Ia merasakan pantatnya tengah di sodok-sodok. Saat Darto masih memeluknya dan menyodoknya, Ustadzah Aisyah tertatih-tatih melangkah. Membiarkan pemuda itu bersuka-suka mengapain tubuhnya. “Darto, lepas dulu. Saya susah gerak,” katanya lagi.
Akan tetapi Darto tak membiarkan Ustadzah Aisyah mengganti sprei dengan mulus. Digerayanginya tubuh seorang alim itu. Bahkan ketika Ustadzah Aisyah menungging untuk menggapai ujung Sprei lain, Darto menekan punggungnya, kemudian, menggunakan kemaluannya ia dorong pantat Ustadzah Aisyah, sehingga perempuan itu terjerembab di atas kasur, tepat di samping pipisnya sendiri. Aroma itu pesing betul, untuk membuatnya tidak berlama-lama dan bangkit kembali, lalu berbalik badan menghadap Darto.
Tingkah Darto yang seperti itu, bagi Ustadzah Aisyah menggemaskan. Dijewarnya telinga Darto. Kemudian dengan satu nada dibuat-buat ia berkata, “Darto. Darto. Tunggu dulu…” Akan tetapi, ketika ia mau melanjutkan, mulutnya lalu di sumpal oleh bibir Darto, dalam lumatan ganas sehingga terdengar suara benturan bibir mereka. Ustadzah Aisyah membalas lumatan itu. Meskipun tak bisa mengimbangi Darto.
Selepas itu, barulah Ustadzah Aisyah mengganti spreinya dengan yang baru. Ketika selesai, sekonyong saja Darto menggendong tubuh Ustadzah Aisyah. Membikin Ustadzah sekonyong mengalungkan tangannya ke leher pemuda itu. Dari bawah, ia bisa lihat wajah Darto. Kemudian tubuhnya dihempas ke atas kasur, sedikit kasar, kepalanya bahkan menghantam ranjang dan memantul. Ustadzah Aisyah ingin memprotes, akan tetapi Darto keburu berada di atas tubuhnya. Entah dorong dari mana, Ustadzah Aisyah melintangkan tangannya ke atas, seolah-olah meminta gamisnya dibuka.
Tentu saja Darto mengerti, gamis itu ditariknya hingga lolos dan kemudian dibuangnya sembarang tempat. Kemudian ia menanggalkan celananya dan bajunya. Tampak kedua pengantin itu bertelanjang sepenuhnya. Setelah mencolok kemaluan Ustadzah Aisyah dengan dua jarinya—dan ia merasa kemaluan itu telah sedikit melebar—Darto berjongkok di perut Ustadzah Aisyah. Telapak tangannya menyentuh buah dada itu, kemudian ia maju sedikit, menaruh penisnya di tengah-tengah gunung kembar itu. Akan tetapi Darto menyadari bahwa buah dada Ustadzah Aisyah tak sebesar itu.
Sementara Ustadzah Aisyah tampak bingung ketika buah dadanya menjempit kemaluan Darto. Sehingga ia bertanya kemudian, “Kamu mau ngapain, Darto?”
“Toket Ustadzah terlalu kecil.” Kemudian ia menampar pelan salah satu toket itu dengan agak kesal. Lalu turun dan segera bibirnya menyantap puting kecoklatan yang telah menegang itu, bibirnya mencuat-cuat bagaikan mulut ikan.
“Ustadzah mau dientot?” Darto bertanya. Jarak wajah keduanya begitu dekat. Dikecupnya bibir Ustadzah.
“Mau,” kata Ustadzah Aisyah. Berani diri, dicium balik bibir Darto sekilas.
“Sekarang?”
“Iya.”
“Ustadzah suka disodok kemaluan saya?”
Ustadzah Aisyah mengangguk.
Darto mencium bibir Ustadzah Aisyah. Dilumatnya. Berkata kemudian. “Memek Ustadzah Aisyah udah becek. Ustadzah udah mau disodok?”
“Mau,” katanya. “Tapi pelan-pelan ya, Darto.” Dicium bibir Darto dan dilumatnya dengan lakon pemula. Merasa malu atas tindakannya, Ustadzah Aisyah memalingkan wajah. Bersemu merah.
“Udah siap, Ustadzah?”
“Siap, Darto.”
Darto mengambil posisinya. Kemudian ke dua tangannya mertentangkan kedua kaki Ustadzah Aisyah selebar mungkin sehingga bibir kemaluan Ustadzah Aisyah terbuka, tampak bagian dalam vaginanya tertarik melebar, ada lubang kecil di titik tengah, dan satu lubang nyaris tak terlihat di bagian atas. Itu lubang yang tadi memancarkan air mancur. Bibir kemaluannya kemudian direnggangkan Darto dengan dua jarinya, sehingga bagian dalam terlihat sepenuhnya bagaikan luka yang menganga. Dalam satu sentuhan lembut, telunjuk Darto mengiris lubang yang melahirkan Si Kecil Nana.
Ustadzah Aisyah mengalami gejala sange yang luar biasa. Sungguh ia ingin berkata untuk segera Darto mengentotnya. Akan tetapi ia tak pernah berkata kotor. Ia hanya memberi isyarat dengan desah. Kemaluannya benar-benar tak sabar mau dimasuki.
“Ustadzah, tahan kakinya,” kata Darto. Kemudian ia memajukan penisnya. Tetapi tak langsung dimasuk. Melainkan mengiris kemaluan Ustadzah Aisyah diselingi tamparan, kemudian Darto mendorong kemaluannya. Lagi, tidak sampai masuk; ia menekan sedikit—kepala penisnya tidak masuk—lalu menggerakkannya ke bagian atas, kemudian mencambuk kelentit Ustadzah Aisyah bertubi-tubi. Berulang-ulang.
Bagian paha Ustadzah Aisyah bergetar-getar. Perutnya menahan sesak. Wajahnya tak karuan dimabuk nafsu. Setiap kali Darto mengiris kemaluannya, Ustadzah Aisyah melenguh kecil. “Hmpshhhh,” desahnya. Ia mau dientot, jelas itu. Bahkan ia menggerakan pantanya ke depan, agar Darto mengerti Isyaratnya. Akan tetapi Darto memainkan tubuhnya. Membikin Ustadzah Aisyah—yang dilanda nafsu—bertingkah berani. Kemudian dilakukannya itu; melepaskan tangannya, yang menopang kakinya, lalu kedua kakinya mengalung di pinggang Darto, kedua kaki itu yang kemudian menarik tubuh Darto ke depan; berharap kemaluan Darto masuk ke dalam vaginanya. Akan tetapi ia gagal. Darto terus mempermainkan vaginanya. Sehingga ia berkata:
“Darto, saya udah gak kuat. Ayo Darto. Tusuk Saya. Darto.”
“Saya bakal masukin sekarang. Tetapi Ustadzah harus janji, bakal nurutin perintah saya untuk berikutnya, ya, Ustadzah, ya?”
Ustadzah Aisyah tak sempat berpikir, “apa itu?” Ia telah dilanda demam nafsu. “Iya, Darto. Ayo, Darto.”
Vagina Ustadzah ditampar oleh penis Darto berkali-kali, menimbulkan bunyi aneh. Kemudian ia memasukan kepala penisnya, lalu menariknya untuk kemudian memasukinya lagi. Sontak saja Ustadzah Aisyah melenguh. Tetapi Darto memainkannya. Lagi-lagi. Ketika ia merasakan kepala penis Darto masuk, buru-buru ia menarik tubuh Darto dengan kakinya, agar kemaluan itu sepenuhnya masuk. Akan tetapi Darto menahan perut Ustadzah Aisyah, sehingga tak sepenuhnya penisnya tenggelam.
“Janji Ustadzah?”
“Janji Darto.”
“Ustadzah bersumpah?”
Ustadzah Aisyah menatap darto dengan Roman wajah bersungguh-sungguh. Bibirnya sedikit berkerut. Mengangguk.
“Semoga Ustadzah gak menyesal nantinya.”
Kemudian sekonyong-sekonyong penis Darto menusuk vagina Ustadzah Aisyah dalam satu luncuran cepat bagai kilat, sehingga Ustadzah Aisyah dibuatnya tersentak dan mengerang panjang, Perempuan alim itu terguncang dahsyat tubuhnya ketika lubang kemaluannya ditusuk-tusuk, mencipta lendir baru yang menguyup. Bahkan matanya mengerling ke atas bagaikan orang kesurupan. Kuat sprei di cakar-cakarnya. Buah dadanya yang kecil itu bergoyang-goyang tak elok. Digagahi ia. Moral dan tubuhnya.
Sambil terus menggenjot, Darto menepati kedua kaki Ustadzah Aisyah di pundaknya, sehingga perempuan itu melakukan sikap lilin yang aneh tetapi juga tampak menggairahkan. Terus digenjotnya perempuan alim beranak satu itu.
“Hmpshhh…Darto…Ahhhh…huffff…Akhs….Darto. Darto…” Keluar desah yang tak elok dari bibirnya. Sebab disodok-sodok kemaluannya. Tanpa ia sadari kedua tangannya terjulur, meminta Darto untuk menggenggamnya.
Sambil terus memompa tubuh, disambar Darto juluran Ustadzah Aisyah, sehingga setiap ia menusuk kemaluannya dalam-dalam, genggaman tangan mereka bagaikan penghubung.
Ustadzah Aisyah menggenggam erat jemari Darto setiap kali tubuhnya terseret-seret. Kemudian kakinya tertekuk ke depan—searah wajahnya. “Empshhh..awww…Dartoo…” Sedikit merasakan nyeri kaki Ustadzah Aisyah itu.
Posisi mereka sungguh binal. Lihat! Ustadzah Aisyah melakukan posisi bercinta yang aneh; di mana kakinya bahkan hampir menyentuh kepalanya sendiri, sementara pantatnya memantul-mantul, dan lubang kemaluannya tampak menganga lebar. Sementara Darto gencar menyodoknya, belahan pantatnya yang hitam berlendir keringat. Penuh nafsu kemudian ia mencumbu Ustadzah Aisyah. Saling bertukar ludah ke duanya.
Kemudian kaki Ustadzah Aisyah terbuka selebar-lebarnya. Dirasakannya perih pada urat pahanya saat kedua kakinya itu didorong Darto hingga menempel di kasur, searah cuping telinganya. Membikin pantatnya ikut terseok, tampak pula celah duburnya banjir keringat. “Darto…Empshhhh.” Sebab masih terus ditusuk ia mendesah. Kemudian ia melanjutkan. “Ngilu, Darto. Ahhhhh. Darto…” Akan tetapi saraf dalam kemaluannya membuatnya merasa nikmat, demikian bertahan sebisa mungkin, Ustadzah Aisyah itu.
Darto sekonyong berhenti. Nafasnya tersengal-sengal. “Mau cobain gaya lain, Ustadzah?”. Tanpa menunggu jawaban, ia menarik kedua tangan Ustadzah Aisyah kuat-kuat, menyebabkan tubuh seorang alim itu berangsur-angsur terangkat, meskipun tubuhnya agaknya akan terjatuh lagi sebelum kemudian Darto memeluknya. Kini posisi mereka bagaikan penyatuan sesungguhnya. Payudara Ustadzah Aisyah menempel di dada Darto. Barangkali wajah mereka tak lebih dari satu jengkal, sehingga nafas dan bau mulut keduanya saling mengenal begitu akrab.
“Ustadzah goyang ya?” Setelah mencium bibir Ustadzah Aisyah beberapa kali dengan lumatan Darto berkata. Bagai menaiki kuda ia pecut pantat Ustadzah Aisyah. “Sekarang, Ustadzah!” Perintahnya.
Ustadzah Aisyah memeluk leher Darto. Dengan roman wajah bersemu, ia menggerakan pantatnya ke atas lalu turun ke bawah. Setiap kali ia menyentak ke bawah, roman wajahnya berubah ngilu. Ia turun-naik menenggelamkan penis darto dalam vaginanya. Akan tetapi, kemudian ia`bersorak ketika Darto dengan sengaja memasukan ujung jari kelingkingnya ke dalam duburnya, sehingga Ustadzah Aisyah menarik tangan nakal itu. Kemudian perih disarankannya ketika Darto memecut pantatnya.
“Bukan gitu, Ustadzah,” kata Darto. Sambil meremas buah dada perempuan alim itu, melanjutkan. “Pantat Ustadzah bergerak memutar, terus tekan kontol saya dalam-dalam.” Dan ia pecut lagi Ustadzah Aisyah.
Meskipun sudah mencoba instruksi Darto, Ustadzah Aisyah masih kaku. Putaran gerakannya tak ubahnya penari ronggeng yang baru belajar meronggeng. Dengan wajah bodoh bagaikan keledai, Ustadzah Aisyah berkata, “Begini? Darto?” Sedikit terengah-engah.
Darot mengangkat pantat Ustadzah Aisyah, untuk kemudian menggempurnya dengan kencang. Sehingga` perempuan alim itu langsung memeluknya, dan meronta sedemikian rupa. “Akhhhh…Empshhh…Terus, Darto. Terus…”
Akan tetapi, Darto sekonyong berhenti. “Seharusnya Ustadzah yang bikin saya enak,” katanya. “Coba lagi! Pantat Ustadzah, tekan searah kemaluan saya. Kemudian Ustadzah rasain kontol saya di dalam kemaluan Ustadzah. Pantat Ustadzah bergerak menekan sambil memutar.” Dipecutnya pantat Ustadzah dengan keras dalam satu kesan perintah. “Cepetan, Ustadzah!”
Dengan demikian Ustadzah Aisyah mulai bergerak bagai kuda, memutar pinggulnya dalam satu gerakan perlahan. Bercampur desah ia memacu dirinya. Matanya meram sepenuhnya, beberapa helai rambutnya yang menempel, oleh Tukang Galon itu disingkap, sebelum kemudian mereka bercumbu.
“Nah,” Darto berkata. “Gitu, Ustadzah. Tunjukin!”
Terbakar nafsu, Ustadzah Aisyah pongah sehinnga ia menunjukan kemampuannya; ia memutar pinggulnya dalam tempo lumayan cepat sambil mengangkat kedua tangannya untuk membenarkan rambutnya. Kemudian bergoyang-goyang pinggulnya dibersamai erangan manja keluar dari bibirnya. Dengan berani, kemudian, ia menangkap tangan Darto untuk mencaplok ia punya buah dada, sehingga ketika buah dadanya diremas ia melenguh panjang bagai lolongan anjing.
Sungguh Ustadzah Aisyah tak peduli lagi akan martabatnya sebagai seorang alim. Sekarang ini ia tak ubahnya perempuan jahanam yang tengah bergoyang di atas tubuh seorang tukang galon bagaikan penari ronggeng paling masyhur.
“Sedap banget, Ustadzah! Lebih lagi, Ustadzah!” Darto berkata sambil mengerang. Jemarinya gencar meremas kuat payudara seorang alim ini. Sesekali ia cicipi putingnya, tak lupa ia kasih tanda di kulit-kulit putih penuh keringat itu.
Merasa dipacu oleh gairah yang membuncah, Ustadzah Aisyah menggerakan pinggulnya dengan cepat; memutar-mutar, dan satu kali ia angkat pinggulnya dan menghantam kemaluan Darto. Untuk kemudian ia memutarnya lagi. Membenamkan kemaluan Darto hingga tak tersisa.
Tampak cairan`apa itu melumer di kaki mereka, bening dan kental, serta keringat ke duanya mencampur. Bahkan rambut Ustadzah Aisyah sungguh berantakan sini-sana. Buah dadanya yang melompat-lompat tertangkap oleh bibir darto, yang langsung saja digigit olehnya, sontak menimbulkan erangan perih dari bibir Ustadzah Aisyah.
“Awwww,” katanya. “Ehmpshhhh…Darto, Enak. Darto…Enak…” Kemudian mendesah ia.
Sekonyong Darto membalik posisi. Kini ia berada di atas Ustadzah Aisyah yang terbaring penuh pasrah, menatap perempuan alim itu dengan seringai cabul. Mencium pipinya bergantian, juga keningnya, sebelum kemudian mencium bibir kenyal itu dalam tempo yang cepat, memuntahkan ludahnya, bersilat-silat kemudian lidah mereka. Barulah Darto kemudian melepaskan ciuman itu ketika didapatinya Ustadzah Aisyah kesulitan bernafas.
“Gila!” Darto berkata dalam satu kesan terpukau. “Ngentot Ustadzah adalah yang terbaik. Lebih enak daripada pelacur.”
Ustadzah Aisyah kali ini mendapati dirinya tak terhina. Bahkan ia tersenyum dan menarik wajah Darto untuk melanjutkan percumbuan. Bahkan foto pernikahan di dinding, tak membuatnya merasa bersalah. Berahi dari tusukan Darto di kemaluannya, sungguh membuat ia punya otak tak bisa berpikir. Demikian ia menyambut penis Darto yang memporak-porandakan kemaluannya. Terlihat memeknya terbuka tutup dengan kemaluan Darto memenuhi lubang itu, bahkan ketika Darto menusuknya, pantatnya ikut ternaik sedikit, sehingga tampak lubang duburnya terlihat mengerut bagaikan jari keriput di musim dingin.
“Darto… Hmpshhhh…S-saya… U-udah…G-gak…” Ia menarik nafasnya panjang. Dibenamkan wajahnya di leher Darto kuat-kuat, mencium aroma keringat tukang Galon itu yang berbau amis, tetapi baginya tak begitu masalah. Dikokohkan kakinya ke pinggang yang terus menyodok-nyodoknya. Pula ia kalungkan tangannya ke leher pemuda itu.
Sementara Darto merasakan gejala yang sama pula. Ia mempercepat temponya dua kali daripada biasa. Sehingga terdengar bunyi cecap basah yang menggelegar bagai guntur. Satu tempo ia dorong kemaluannya dalam-dalam, akan tetapi tak ia tarik untuk menusuk lagi. Membiarkannya di sana sambil mencicipi leher Ustadzah Aisyah yang kuyup oleh keringat. Asin, keringat itu. Tetapi tetap disapu-sapu olehnya, bahkan kulit itu ia gigit kecil sehingga tertarik, kemudian berbekas merah. Dilakukannya tiga kali.
Ketika Darto memberikannya cupangan, Ustadzah Aisyah meringis perih, akan tetapi membiarkan Tukang Galon itu menandainya atas kepemilikannya. Kemudian, sebab Darto tak menggenjotnya lagi, dan sungguh ia berada di puncak kenikmatan, dengan nafas tersengal-sengal Ustadzah Aisyah membuka suara, sedikit capai:
“Darto terusin!”
“Ustadzah udah gak kuat?”
“I-Iya.”
“Boleh saya keluarin di dalam?”
Ustadzah Aisyah mengangguk patuh.
“Kalau Ustadzah hamil?”
“Hari ini aman, Darto.”
Kemudian Darto mengambil ancang-ancang. Dipeganginya sisi kaki Ustadzah Aisyah. Penisnya ia keluarkan terlebih dahulu, kemudian menamparkannya ke bibir vagina Ustadzah Aisyah yang tampak berkedut-kedut. Diarahkannya kemaluannya itu di lubang vaginanya. Kepalanya masuk. Tetapi ia tahan. Lalu ia keluarkan. Dilihatnya lagi Ustadzah Aisyah yang memeram dengan wajah tak sabaran. Kemudian dimasukinya lagi kulup kemaluannya. Setengah batang kemaluannya tampak masuk. Sambil melihat seorang alim itu yang wajahnya mengerut menahan enak, Berangsur-angsur Darto menekan kemaluannya. Sekonyong kemudian disodoknya dengan kekuatan luar biasa. Sehingga suara plop basah terdengar nyaring.
Mendapati dirinya dimasuki oleh benda itu, Ustadzah Aisyah tak bisa untuk tidak meraung. Bahkan kali ini bola matanya terbelangak, dan perut kurusnya itu kembang-kempis, seolah-olah penis Darto menyampai bagian itu. Tak kuasa Ustadzah Aisyah menahan semuanya. Sehingga ia meracau tak karuan: “Darto…Akhhhh…” Ketika Darto menusuknya dengan sungguh dalam, ia rasakan sesak dalam vaginanya, sontak ia mengucap Istigfar, sebelum kemudian berganti desah panjang. “Darto. S-saya…benar-benar…G-gak K-kuat L-lagi.” Berikutnya, roman wajah Ustadzah Aisyah tampak terlihat mau menangis, disusul oleh tubuhnya terguncang hebat, pantatnya terangkat naik, cukup tinggi sehingga Darto mau tak mau menekan lututnya, menyamainya. Masih bergetar tubuh Ustadzah Aisyah itu, bola`matanya tampak memutih, kepalanya menahan bobot tubuhnya. Itu semua disebabkan kemaluannya yang terasa ingin pecah oleh gelombang dahsyat memaharaja.
Disaat yang bersamaan, Darto tidak mau kalah. Meskipun tubuh Ustadzah Aisyah masih kejang-kejang, ia tak peduli; menekan perut Ustadzah Aisyah sekuat mungkin. AndaIkata Ustadzah Aisyah lagi mengandung, betul-betul yakin kalau itu anak dalam kandungannya akan gugur. Kemudian Darto menyodoknya dalam tempo yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Sambil memejamkan mata ia terus menyodok-nyodok; ia merasakan kemaluannya diurut-urut Panas. Basah. Dan terasa nikmat.
Kemudian Darto mengangkat satu tangan Ustadzah AIsyah, dan menjilat ketiak berbau keringat itu tanpa rasa jijik. Bahkan ia kasih gigitan di sana. Barulah kemudian pantatnya terhunus ke depan, disusul oleh dirinya yang jatuh di atas tubuh perempuan itu.
Kemaluan Ustadzah Aisyah masih dipenuhi oleh penis Darto. Bulu-bulu kemaluan mereka saling menempel, bahkan beberapa rontok. Tak lama kemudian terlihat cairan putih kental merambat keluar dari Memek Ustadzah Aisyah, turun ke kulit sekitar, lalu merambat jatuh ke sprei. Keduanya`masih bergeming.
Ustadzah Aisyah memeluk tubuh Darto. Hangat. Sebelum ia terlelap, ia ciumi pipi pemuda itu berkali-kali dengan mesra. Sedang kemaluan mereka masih menyatu untuk waktu yang cukup lama.
***
Di dalam selimut, Ustadzah Aisyah menjatuhkan kepalanya di pundak Darto. Sementata tangan mereka main kucing-kucingan. Tampak ketika Darto menggodanya dengan sentuhan halus di kemaluannya, Ustadzah Aisyah membalas menyentil penis Darto sehingga Tukang Galon itu terkekeh sebelum kemudian memberantakan rambutnya dengan sentuhan asal-asal.
Untuk sesaat, Ustadzah Aisyah merasakan syahdu dalam suasana ini. Akan tetapi, sekonyong rasa bersalah di benaknya muncul kembali. Selalu disaat-saat seperti ini. Sebuah rasa bersalah kepada suaminya dan anaknya. Itu cukup untuk membuat roman wajahnya berubah menjadi sendu. Oleh karena itu dipeluknya lengan Darto erat-erat.
“Darto,” Ustadzah Aisyah berkata lirih. “Kamu masih menganggap saya pelacur?”
“Enggak, kok, Ustadzah. Mungkin kata-kata saya kotor. Tetapi saya menghargai Ustadzah. Meskipun Ustadzah sudah saya entot, sih. Akan tetapi, Maksud saya, saya memandang Ustadzah masih sama. Perempuan alim, cantik, istri orang, ibu beranak satu, dan gampang becek.”
“Saya seburuk itu, Darto?”
“Itu nggak buruk, Ustadzah. Justru bagi saya itu sempurna. Ustadzah yang kaya gini, yang saya mau. Yang alim di luar, tetapi nakal di depan saya.” Darto meremas buah dadanya, sehingga perempuan alim itu mengerang pelan. Kemudian ia melanjutkan. “Di mata saya, Ustadzah yang sesungguhnya adalah ketika Ustadzah saya masukin. Ketika Ustadzah membalas ciuman saya. Ketika Ustadzah meminta disodok-sodok. Betul saya memang penuh nafsu, Ustadzah. Tetapi, jika boleh berkata perihal perasaan, saya mencintai Ustadzah. Tapi, toh, saya sadar diri siapa saya ini.”
“Kenapa kamu bisa suka sama saya? Ayo jawab Darto!”
“Karena Ustadzah enak?”
“Gimana kalau saya tidak enak lagi. Apakah kamu masih suka saya, Darto?!”
Darto terkekeh kecil. Dianggapnya tingkah Ustadzah Aisyah gemas begini adalah sebab mulai menaruh perasaanya kepadanya. Kemudian ia menjatuhkan kepalanya di atas kepala perempuan alim itu.
“Mungkin sebab Ustadzah satu-satunya perempuan yang mau mengangkang demi saya? Yang mau saya setubuhi secara cuma-cuma?”
“Kamu menghina saya? Dengan kata lain saya tak lebih dari pemuas nafsu kamu, Darto?”
“Saya gak bermaksud buruk, Ustadzah. Mungkin ucapan saya terdengar kasar,” Kata Darto. “Tetapi, lebih daripada itu, Ustadzah menerima saya. Apakah saya mencintai Ustadzah lebih daripada sekadar pemuas nafsu, saya tidak tahu. Tetapi ketika bersama Ustadzah, saya sange betul. Namun saya gak bisa menghindar pula, di saat bersamaan, saya merasa tenang dekat Ustadzah. Seperti dibacakan doa. Di jampi-jampi.” Mereka saling bertatapan dengan khusyuk. Kemudian Darto berkata dengan polos, “Ustadzah mau menikah dengan saya?”
Sontak saja Ustadzah Aisyah terpingkal-pingkal. Bahkan tawa ini tak pernah diperlihatkannya kepada suaminya. Di balik tawa lebar itu, berjejer gigi putih dan rapinya.
“Kok. ketawa Ustadzah? Saya serius!”
“Saya sudah menikah, Darto. Tak mungkin saya menikahi kamu. Saya bukan Drupadi yang punya lima suami!”
“Drupadi? Siapa pula itu Ustadzah?”
Ustadzah Aisyah sekonyong berpikir untuk mengakali pemuda bodoh ini. Berkatalah ia kemudian, “Drupadi itu teman saya. Begini kisahnya, Darto. Semulanya Drupadi itu menyukai Arjuna. Sebelumnya, Arjuna punya lima saudara. Singkat cerita, Darto. Drupadi menikah dengan Arjuna. Akan tetapi, Ibunya Arjuan ini tak pula setuju. Ia telah bersumpah jika satu anak mendapatkan sesuatu—atau mengalami—akan membagi sama rata. Demikian Drupadi kemudian menikahi mereka berlima.”
“Ribet juga, ya, Ustadzah. Berarti teman Ustadzah itu digilir bergantian, dong, setiap malamnya?”
Ustadzah Aisyah tampak bingung menjelaskan. Maka mengangguk ia. “Ya,” katanya. “Seperti itu.”
“Sementar Ustadzah, hanya saya dan suami yang bisa gilir,” kata Darto. “Tapi saya sedikit cemburu. Ustadzah dan suami sudah punya Nana. Saya sama Ustadzah belum.” Dalam satu maksud, Darto mengelus perut Ustadzah Aisyah dari bawah selimut. “Ustadzah mau gak mengandung anak saya?”
Ustadzah Aisyah sejenak melihat keseriusan di mata pemuda itu. Bukan ketenangan yang ia dapatkan, melainkan hawa merinding yang pekat. Yang membuat bulu kuduknya meremang. Seolah-olah menandakan bahaya yang nyata. Ustadzah Aisyah, meskipun sudah terbuka dengan Darto, bukan pula ia mau melakukan tindak gegabah yang akan menghancurkan nilai hidupnya. Oleh karena itu ia kemudian berkata dengan nada serius yang mencekam, sehingga suasana berubah seketika:
“Saya bersumpah, Darto. Jika kamu berniat menghamili saya. Atau keluar di dalam kemaluan saya ketika hari-hari aman saya. Mungkin, kamu tidak akan pernah melihat saya lagi saat itu terjadi,” kemudian ia menambahkan, “Seperti Kunti, saya juga memegang sumpah saya.”
Mendengar itu, air muka Darto berubah. Perempuan itu serius dalam ucapannya. Dengan gelisah ia berkata, “Kunti itu siapa Ustadzah? Temannya Ustadzah?”
Ustadzah Aisyah mendengus. “Lupakanlah.”
“Kalau begitu, Ustadzah. Ustadzah gak bakal ingkar sumpah, kan. Perihal pernyataan saya sebelum kita bersetubuh itu?” Roman Wajah Darto berganti riang seketika.
“Asalkan kamu tidak berniat menghamili saya.”
“Ya,” kata Darto. “Kalau begitu saya pengen ambil perawan Ustadzah.”
Untuk kedua kalinya Ustadzah Aisyah terpingkal-pingkal. Bahkan kali ini lebih menggelegar, sehingga dirasakannya perutnya kesakitan. Dipikirnya, Darto ini sebodoh itu. “Saya sudah melahirkan, Darto. Tidak mungkin saya masih perawan. Kamu jangan aneh-aneh.”
Akan tetapi tampak wajah Darto penuh serius. Ustadzah Aisyah tak tahu maksudnya. Tetapi Darto tau betul maksud kalimat yang ia lontarkan.
“Ustadzah punya dua lubang, kan?” katanya. “Saya yakin yang satunya masih perawan.”