Saya bertemu Darto ketika hendak ke Masjid bersama Zubaidah. Dia mencegah saya dengan roman wajah memohon. Saya buru-buru menarik tangan Zubaidah dan melewatinya. Andaikata saya cukup berani, saya ingin menampar wajahnya, menendang-nendangnya, dan memaki-makinya. Akan tetapi, ketika saya lihat dia, saya merasa kasihan dan sedikit merasakan rindu. Yang buru-buru saya padamkan atas sikapnya menyodomi saya tempo lalu.
Zubaidah sempat mengatakan kepada saya agar omong-omong dengan Darto. Katanya, barangkali dengan itu saya bisa kembali normal bersamanya. “Saya belum punya kesiapan,” kata saya kepada Zubaidah. Tidak pula bermaksud memberinya kesempatan. Tidak demikian. Hal ini masih bergejolak di pikiran saya, dan hingga saat ini, saya belum menemukan jawabannya. Meskipun saya pribadi ingin.
Sore itu selepas memberi ceramah seperti biasa, saya mengambil jalan memutar. Meskipun Zubaidah sempat memprotes, katanya jauh. Sebab tidak ingin melihat wajah Darto, saya sanggupi.
Zubaidah memberi nasihat tentang hubungan saya dengan Darto. Katanya, saya harus memikirkan kemungkinan untuk memberinya peluang. Bagi Zubaidah, Darto tidak sepenuhnya salah. Kata dia, saya sudah bersumpah, dan Darto hanya ingin menagih sumpahnya, sebagaimana Drupadi menagih sumpahnya terhadap kelima suaminya. Dengan demikian, Zubaidah berpendapat bahwa Darto pantas dimaafkan. Akan tetapi, saya belum memutuskan.
Bahkan Zubaidah beberapa kali menasihati saya. Ketika di ruang tamu, di meja makan, bahkan malam kemarin ketika kami tidur satu ranjang; dia membisikkan kepada saya hal-hal cabul: sebuah kemungkinan yang akan dilakukan Darto ketika pada akhirnya saya memaafkannya.
Ketika kami di dapur dan menyiapkan makan malam untuk kami berdua, sekonyong Zubaidah berkata, “Ustadzah, apakah boleh saya ajak murid saya ke sini?” Saya sempat ragu sebab saya yakin dia akan melakukan hal tidak senonoh di rumah ini. Jadi, saya katakan dengan rendah hati bahwa tidak boleh. Zubaidah tampaknya mengerti.
Kami makan dengan takzim tanpa obrolan. Kemudian, saya menyadari akhir-akhir ini saya tidak membuka ponsel. Ketika saya membuka kotak masuk, berbondong ratusan pesan menyapa. Membuat saya pusing sehingga mematikan ponsel.
Selesai makan, saya dan Zubaidah menonton televisi. Sedikit omong-omong basa-basi. Kemudian, saya memutuskan untuk membuka ponsel tidak lain tidak bukan untuk menghubungi suami saya. Ternyata terdapat tiga puluh pesan bertubi-tubi. Lekas saja saya ketuk. Isinya bertanya perihal kondisi kesehatan saya. Akan tetapi, pesan terakhirnya terdapat nama Zubaidah.
Kemudian, saya mengetahui dari Zubaidah bahwa sore kemarin suami saya mengirim pesan kepadanya dan Zubaidah mengatakan bahwa saya beristirahat sepanjang waktu dan tidak sempat membalas. Jika saya sudah sedikit baikan nanti akan dia sampaikan, kata dia kepada suami saya. Dengan demikian, saya tak perlu repot-repot memberikan alasan.
Saya tulis pesan baru kepada suami saya; menanyakan kabar si kecil, dan andaikata nanti ada waktu, saya ingin melakukan panggilan video untuk melihat kemeriahan di sana. Tetapi, kata suami saya, jaringan di sana cukup buruk, bahkan ketika dia membalas pesan saya, dia bergeser sedikit ke arah kota. Saya memaklumi dan setelah bertukar kabar, suami saya mengakhiri pesan dengan salam. Katanya, dia harus kembali ke kediaman.
Saya lihat Zubaidah tersenyum di layar ponselnya. Kemudian, saya berniat menggoda dia. Berdehem saya. Menyadari itu, dia tampak malu-malu, kemudian mendekati saya dan memperlihatkan isi pesannya. Saya membaca pesan itu: bahwa muridnya meminta “Jatah”. Akan tetapi, Zubaidah tidak berkenan disebabkan oleh waktu. Bahkan, dia ambil cuti selama satu minggu dengan satu alasan yang tidak dia sebutkan.
Saya hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan dia ketika memohon kepada saya agar muridnya besok diperkenankan ke sini. Saya ulangi, “Tidak boleh,” kata saya. Kemudian, dia memeluk saya dan mencium-cium pipi saya sebagai permohonan. Saya kekeh. Tak lama kemudian, dia menyodorkan ponselnya. Saya memandangi dia penuh kebingungan. Saya pikir awalnya itu adalah muridnya. Akan tetapi, ketika saya mengatakan “Halo”, ternyata suara yang keluar serak dan kasar; yang terlalu akrab bagi saya sehingga sulit untuk tidak saya kenali.
Saya segera mematikan saluran. Kepada Zubaidah saya pelototi, tetapi dia tampak riang. Sedikit penasaran, saya bertanya kepada Zubaidah, kenapa dia memiliki nomor ponsel Darto. Zubaidah malah melihat saya dengan tatapan curiga dan sekonyong dia tertawa.
“Ustadzah cemburu?” katanya.
Saya merasakan wajah saya memanas, dan kemudian saya menggeleng. Akan tetapi, Zubaidah menggoda saya terus-menerus. Dia merekam wajah saya dan mengolok-ngolok saya. Demikian katanya: “Darto lihatlah, Ustadzah Aisyah cemburu ketika saya menyimpan nomor kamu. Bahkan wajahnya memerah padam.” Dan ia tertawa terbahak-bahak. Ketika saya ingin merebut ponselnya, Zubaidah dengan lincah menarik tubuhnya menjauh dan mengumpatkan ponselnya ke dada, kemudian menjulurkan lidah.
Saya sedikit kesal atas tingkah Zubaidah. Dia seperti membalas dendam sebab tidak saya izinkan membawa kekasihnya ke rumah ini. Tak lama kemudian, Zubaidah menjulurkan ponselnya lagi. Akan tetapi, terlihat wajahnya kali ini serius. Dia mengangguk satu kali. Bibirnya bergerak, dan saya rasa dia ingin mengatakan, “Angkat.” Namun, saya ragu sebab di ponsel itu tertulis nama Darto dengan huruf o yang banyak.
Zubaidah mengangguk lagi dan mengatakan, “Angkat,” kali ini sedikit jelas suaranya. Butuh waktu yang lama untuk saya meyakini diri sendiri; bahkan tubuh saya bergetar, oleh karena apa, saya tidak tahu. Jantung saya memompa darah dan mengalirkannya dengan cepat. Demikian saya mendapati keraguan terhadap diri saya sendiri. Akhirnya, saya menolak panggilan telepon itu.
“Saya masih benar-benar belum bisa,” kata saya kepada Zubaidah. “Saya memang merindukan dia akhir-akhir ini. Namun berat rasanya untuk berkomunikasi setelah apa yang dia lakukan. Setidaknya untuk saat ini. Dan saya harap kamu menghargai keputusan saya, Zubaidah.”
Zubaidah pasrah dan menjatuhkan kepalanya di paha saya. Katanya, dia minta kepalanya dielus-elus. Terkekeh saya atas tingkah kanak-kanaknya ini. Tetapi, tetap saya lakukan. Kemudian, tanpa saya minta, dia bercerita bahwa dia semakin gelisah hari ke hari disebabkan oleh pernikahannya. Di lain sisi, dia merasa tidak enak kepada calon suaminya, untuk dia khianati di kemudian hari. Sisi lain, dia merasa bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Itu yang membuatnya kebingungan. Katanya, jika menyangkut soal perasaan, dia memilih muridnya; sebab mereka sudah menjalin hubungan yang cukup lama. Bahkan akhir-akhir ini dia merindukan muridnya; mereka tidak bisa bertemu disebabkan oleh Zubaidah yang tidak punya banyak waktu. Kemudian, dia terus bercerita tentang hubungan dia dan muridnya.
Kata Zubaidah, dia bertemu dengan muridnya sewaktu kelas dua SMA. Zubaidah sendiri berterus terang bahwa dia banyak menggoda murid-murid lelaki. Tetapi, murid yang satu ini, katanya, berbeda daripada yang lain. Yang lain, tampak segan kepadanya, sedang yang satu ini, lebih liar. Dalam konteks apa, saya tidak tahu. Kemudian, katanya, setelah menjalani kedekatan dengan main kucing-kucingan, dan sesekali bertukar kabar lewat pesan, muridnya ini, menurut cerita Zubaidah, mulai berani menyentuhnya.
Semisal, ketika dia berjalan di koridor, muridnya akan menepuk bokongnya. Zubaidah mengatakan bahwa dia membiarkannya, dan malah terangsang. Beberapa hari kemudian, sikap muridnya semakin berani. Bahkan, kadang meremas payudaranya tanpa izin ketika suasana sepi. Sekali waktu muridnya ini mengendus-endus tengkuknya.
“Entah kenapa, ketika dia melakukan itu saya seolah-olah terikat atas tindakannya,” kata Zubaidah. Dia mengubah posisi tubuhnya menyamping. Saya elus-elus kepalanya dengan lembut. Kemudian, dia berkata lagi, “Saya masih ingat pertama kali dia memerawani saya adalah di rumahnya. Boleh dibilang, dia anak orang kaya yang kesepian. Orang tuanya sering tidak di rumah.”
Tanpa canggung Zubaidah menjelaskan dengan detail bahwa ketika itu muridnya menciumnya dengan tergesa-gesa sambil membuka kancing bajunya. Kemudian menggendong tubuhnya untuk dijatuhkan ke atas ranjang. Setelah itu mereka berciuman. Menurut cerita Zubaidah, dia membalasnya dengan kaku, bahkan katanya dia sulit mengimbangi permainan muridnya.
“Ketika dia menggempur saya, Ustadzah, saya berpikir bahwa anak ini sesungguhnya sudah mengincar saya. Terlihat bagaimana dia mempermainkan tubuh saya dengan lembut dan secara perlahan. Bahkan untuk pertama kalinya, dia membuat saya memohon-minta.”
Zubaidah melanjutkan ceritanya. Dia berkata bahwa muridnya memperlakukan tubuhnya dengan rinci, seolah-olah tubuhnya adalah benda antik yang menyimpan jejak sejarah.
“Ketika dia menyentuh kulit saya dengan bibirnya, tubuh saya menegang. Mata saya terpejam. Bahkan saya mengeluarkan erangan kecil.” Zubaidah bangkit, kali ini dia sandarkan kepalanya di bahu saya. “Ketika untuk pertama kalinya dia memasukkan kemaluannya, saya menjerit kecil. Perih saya rasakan. Dia bilang, “Tahan sebentar. Nanti bakal enak.” Entah kenapa saya patuh. Sebab semakin bergairah, saya minta dia ciumi saya. Kemudian dia meminta saya untuk memohon. Saya tidak tahu dapat dari mana keberanian seperti itu. Memohonlah saya dengan suara parau untuk minta diciumi.”
Saya merasakan tubuh saya seolah-olah bereaksi atas cerita Zubaidah. Tergagap saya menyuruh Zubaidah melanjutkan ceritanya.
“Sebagaimana perawan, kemaluan saya mengeluarkan darah. Setelah beberapa tusukan, saya merasa sensasi menggelitik di dalam kemaluan saya. Serta tubuh saya memanas dan menegang. Dia juga memberi saya sentuhan-sentuhan lain: menggigit puting saya; memberi tanda di leher saya; bahkan hijab saya dia buka dan dibuangnya sembarangan. Ketika itu saya berpikir bahwa saya telah ditundukkan oleh bocah ini. Tak sampai di situ, Ustadzah. Dia juga mengajari saya banyak hal. Seperti, misalnya, gaya-gaya aneh. Saya yakin Ustadzah tidak pernah diperlakukan layaknya anak kecil, seperti digendong.”
Membayangkan diri saya digendong dan kemudian diperlakukan demikian, membikin merinding.
Zubaidah terus melanjutkan, kali ini dia sedikit malu-malu: “Sewaktu itu dia menyuruh saya di posisi atas. Kemudian saya melingkarkan kedua kaki saya di pinggangnya, sementara dia duduk di tepi ranjang. Sekonyong-konyong tubuh saya terangkat. Saya bilang kepadanya untuk menurunkan saya, sebab posisi ini sungguh membuat saya malu; bagaimana dia bisa memperlakukan perempuan yang lebih tua bagaikan anak kecil. Akan tetapi dia tetap menusuk saya; bahkan dengan kuat dia menahan kedua kaki saya. Pada awalnya memang malu, tetapi kemudian oleh rasa nikmat saya semakin menjadi-jadi, tanpa dia minta, saya memohon kepadanya untuk terus menusuk saya. Setelah puas membuat saya mengoceh tak karuan, dia turunkan saya. Tubuh kami sama-sama berkeringat. Setelah itu dia masih menggarap saya. Menyuruh saya menungging sementara dia beralih ke belakang. Saya menurut. Ketika dia bertanya apakah tusukannya enak, saya katakan, “Ya.” Ketika dia menekan kepala saya sehingga terbenam ke ranjang, saya membiarkannya; bahkan ketika dia menampar pantat saya, alih-alih menangis saya mengerang. Hari itu saya mendapati bahwa diri saya, sejatinya, telah takluk olehnya.”
Zubaidah kembali menjatuhkan kepalanya di paha saya. Saya elus-elus kembali puncak kepalanya. “Kemudian apa yang terjadi, Zubaidah?” tanya saya. Penasaran.
“Selama itu pula dia memperlakukan saya bagaikan saya ini istrinya. Kadang-kadang tak kenal tempat dia setubuhi saya. Pernah sekali waktu dia menyuruh saya untuk ke toilet siswa ketika jam pelajaran berlangsung. Kemudian di dalam toilet itu dia menyuruh saya menghisap kemaluannya. Saya sempat menolak, sebab merasa jijik. Akan tetapi dia mengarahkan saya. Secara perlahan dia tundukkan kepala saya di depan kemaluannya. Kemudian dia elus-elus puncak kepala saya. Katanya saya ini gadis penurut dan baik-baik. Tentu saya mengerti bahwa bocah ini melecehkan saya. Tetapi, anehnya, saya malah merasa terangsang. Berangsur-angsur saya buka mulut dan untuk pertama kalinya saya merasakan benda kotor itu memenuhi mulut saya. Perlahan saya keluar-masukkan benda kotor itu. Pada saat itulah untuk kali pertama dia menyakiti saya. Dia menampar saya, sebab katanya saya menggigit dia punya kemaluan. Sesungguhnya, saya ini perempuan cengeng. Demikian saya menangis sambil terus menghisap kemaluannya. Sementara dia sesekali menenggelamkan kepala saya dalam-dalam, membikin saya kesulitan bernapas. Ketika dia mencapai puncaknya, dia muntahkan semua cairannya di mulut saya. Katanya, “Telan semuanya.” Saya bagaikan gadis patuh, menuruti perintahnya.”
“Rasanya aneh,” kata saya memotong, teringat bagaimana Darto melakukan hal yang serupa tempo lalu.
Kemudian Zubaidah berkata bahwa semenjak itu muridnya kerap meminta di mana pun dia berada; tak mengenal tempat. Bahkan Zubaidah mengatakan bahwa dirinya hanya dijadikan toilet oleh siswanya tersebut.
Kemudian saya bertanya kepadanya secara hati-hati. “Kenapa kamu masih mau setelah diperlakukan seperti itu?”
“Sebab saya mencintainya,” Zubaidah tertawa sumbang. “Meskipun dia kasar, di luar hubungan seksual, dia perlakukan saya sebagai wanita. Pernah saya tempo lalu dikasihnya hadiah berupa kalung emas. Saya ini perempuan yang bisa tergoda pula dengan hal-hal romantis, Ustadzah. Meskipun beberapa hari kemudian dia minta saya untuk datang ke rumahnya, dan seperti biasa dia gunakan saya. Akan tetapi di luar daripada itu, perlakuan dia cenderung romantis. Dia itu anak dari orang berada. Kadang-kadang tanpa saya minta dia kerap membelikan saya pakaian, meskipun pakaian itu cenderung aneh dan hanya untuk memuaskan fantasinya. Meskipun demikian, kadang dia membelikan saya pakaian yang layak, dalam artian pakaian yang saya inginkan. Akan tetapi, sebagaimana berita tentangnya di sekolah, dia ini cukup dikenal dalam artian buruk. Oleh karena itu, kadang saya berpikir, saya ini bukan perempuan satu-satunya yang dia gunakan, dan saya yakin. Namun, dia selalu mengatakan bahwa dia mencintai saya. Meskipun sulit untuk saya mempercayai itu semua.”
“Jadi alasan kamu ragu menikah sebab kamu mencintai dia?” tanya saya.
Dan Zubaidah mengangguk. Dengan demikian masuk akal kenapa dia gelisah.
“Itu menjadi pilihan sulit, Zubaidah,” kata saya lagi. “Seperti kamu, saya juga merasakan hal yang sama. Boleh dibilang saya menyukai Darto, terlepas dari dia punya wajah atau latarnya.”
“Ya,” kata Zubaidah. “Kita berada di posisi yang sama. Namun saya belum menikah.” Dia menoleh ke saya. Tersenyum. “Namun Ustadzah jauh lebih sulit keadaannya.”
“Bagaimana kalau besok kamu ajak dia ke sini?”
Sekonyong Zubaidah bangkit dan menarik kedua tangan saya. Tampak wajahnya memancarkan ketidakyakinan atas ucapan saya. Sehingga dia berkata berulang-ulang apakah saya bersungguh-sungguh atau berniat mengakalinya. Untuk kedua kalinya saya ucapkan hal yang sama.
Sedikit kikuk dia berkata, “Apakah boleh saya meminjam kamar, Ustadzah?”
Saya mendengus. Mata bulatnya bersinar-sinar. “Ya,” kata saya akhirnya.
Zubaidah memeluk saya sekonyong-konyong. Saya membalas erat pelukannya. Kemudian, dia berbisik, “Besok pintunya saya buka sedikit, andaikata Ustadzah mau lihat.” Dan ia tertawa.
***
Saya sudah bersiap tidur ketika Zubaidah tiba-tiba menggelitik perut saya, membikin saya menggeliat di atas kasur. Katanya, dia tidak bisa tidur sebab tidak sabar menunggu esok hari. Dengan demikian, saya menyalakan lampu dan tampaklah Zubaidah dengan rambutnya yang tergerai panjang. Kemudian, dia menyuruh saya duduk di depannya, katanya dia mau mengepang rambut saya. Meskipun saya tolak dia memaksa, katanya dia suka memainkan rambut. Akhirnya, menyerahlah saya, membiarkan dia mengurai rambut saya sebelum kemudian menyatukannya.
Kemudian, dengan nada sungguh-sungguh Zubaidah meminta maaf atas tindakan mengancamnya kepada saya tempo lalu. Tampaknya dia merasa bersalah atas sikapnya. Sambil mengepang rambut saya, Zubaidah kembali bercerita perihal perjodohannya; kadang-kadang dia berhenti sejenak, saya merasakan bahwa dia seperti ingin menangis. Katanya, dia masih gelisah meskipun sudah memutuskan akan menikah, sebab dia belum yakin sepenuhnya. Dari ceritanya, saya mengetahui bahwa Zubaidah sesungguhnya tidak mau atau tidak ingin menikah. Dia ini ternyata memilih jalan ini semata-mata karena ayahnya. Baginya, meskipun ayahnya demikian, dia menyayanginya. Sementara, untuk memilih jalannya sendiri, dia menjadi ragu. Ini berlawanan dengan bagaimana ucapannya tempo lalu atas tindakannya. Tetapi, saya bisa memaklumi hal itu, sebab demikianlah saya pula.
Tak lama kemudian, saya mematikan lampu, sebelum itu saya peluk Zubaidah. Entah kenapa saya merasa dia ini bagaikan adik saya. Setelah itu kami mengambil posisi siap tidur.
Demikian malam itu saya bermimpi; Saya tercangkul di padang rumput yang luas dengan sepoi angin yang sejuk. Kemudian saya mendapati Darto berdiri tak jauh dari saya; tetapi dia membelakangi saya, meskipun demikian yakinlah saya itu dia.
Dia mengenakan pakaian serba hitam, dan ketika dia menoleh, saya lihat wajahnya tampak berseri-seri, tersenyum kepada saya. Di dalam mimpi itu, saya merasakan diri saya merindu dengan luar biasa; sehingga saya menghampirinya. Tetapi Darto seolah-olah menjauh dari saya, atau padang rumput ini yang ikut bergerak ketika saya bergerak, saya tidak tahu.
Semakin saya mengejar Darto, semakin pula dia menjauh; sehingga saya merasa capai dan gelisah. Akan tetapi, saya terus mengejarnya dan mengejarnya. Demikian pula dia semakin jauh. Dari kejauhan saya berteriak kepadanya, “Kemari Darto. Darto Kemari!” Namun, dia hanya tersenyum.
Sekonyong-konyong saya melepas pakaian dan bertelanjang di padang rumput yang luas; berharap dengan itu dia menghampiri saya. Kemudian saya berteriak kepada dia dengan suara melengking, “Perawanilah saya, Darto.” Secara perlahan saya lihat dia mendekat, saya ikut pula mendekat. Saya merasakan sepoi angin menyapu kulit-kulit saya.
Ketika jarak kami semakin dekat; jantung saya seperti mau copot. Dari jarak segini saya bisa cium aroma keringatnya. Kemudian Sekonyong-konyong saya langsung cium dia sehingga tubuh saya terjatuh di atas tubuhnya; saya mengalami gejala yang tak biasa di dalam mimpi ini. Kepadanya saya berkata, “Jangan tinggalkan saya.” Belum sempat dia menjawab, saya cium dia.
Darto tidak memberikan perlawanan, seolah-olah tubuhnya bukan miliknya. Demikian saya lucuti pakaiannya sehingga kami sama-sama bertelanjang. Ketika saya menciumi seluruh tubuhnya, dia tidak bereaksi sama sekali; bahkan dia hanya cenderung diam dan tak menjawab pertanyaan saya, sehingga saya memutuskan untuk menghamba kepadanya. Saya menungging dan kepadanya saya katakan, “Ambillah perawan saya.” Saya memejamkan mata dan perlahan saya rasakan pinggang saya dicekik…
Kemudian, saya terbangun dengan perasaan gelisah dan nafas tersengal-sengal dan mendapati Zubaidah memeluk saya dengan erat. Saya singkirkan tubuhnya dan kemudian berangsur-angsur keluar dari kamar. Ternyata masih pukul tiga lewat sedikit.
Di dapur saya bikin es jeruk dan duduk di sana cukup lama; menyeka wajah saya yang tampak penuh gelisah. Mimpi tadi menimbulkan perasaan tidak nyaman di benak saya, sekaligus perasaan yang sulit untuk saya mengerti.
Sebelum kembali ke kamar saya sempatkan mengecek ponsel, entah kenapa saya membuka arsip yang menampilkan satu nomor dengan lima ratus enam puluh tiga pesan tidak terbaca. Kalimat terakhir yang bisa saya baca tanpa membukanya adalah:
“Selamat Malam.”