USTADZAH AISYAH – Part 14

Kesan pertama ketika saya bertemu Yorrick adalah dia cukup sopan. Sebagaimana ketika Zubaidah memperkenalkannya pagi itu. Tampangnya seperti remaja pada umumnya; dia tinggi dan tubuhnya cenderung kurus. Sebab dia menggunakan kacamata, saya pikir dia ini seorang kutu buku dan wajahnya memang cenderung mendukung. Saya pribadi, tidak melihat keistimewaan terhadap Yorrick kecuali seperti yang Zubaidah katakan bahwa dia ini orang berada. Tidak sulit untuk mengetahuinya dari kemeja dan celana jeans berikat pinggang kulit, serta jam tangannya yang mengkilat itu.

Yorrick sempat omong-omong dengan saya. Menanyai usia saya dan apakah benar saya seorang ustadzah. Pastilah Zubaidah telah mengatakan yang sesungguhnya kepada remaja ini. Saya jawab sekenanya, kemudian menyuruh Zubaidah membawanya ke ruang tamu, sementara saya menuju dapur untuk menjamunya.

Di ruang tamu saya lihat mereka tengah bermesraan. Ketika menyadari kehadiran saya, buru-buru keduanya bersikap santun. Saya tidak ingin mengganggu, demikian setelah menaruh nampan berisi es jeruk dan camilan yang saya ambil dari kulkas, saya hengkang dan masuk ke dalam kamar.

Cukup awas saya ketika menyadari kemungkinan bahwa keduanya boleh jadi melakukan tindakan tidak senonoh. Maka saya kirim pesan kepada Zubaidah untuk tidak melewati batas. Menjelang beberapa menit setelah pesan terkirim, Zubaidah membalas. Katanya dia benar-benar tidak sanggup menahan lagi, andaikata saya berkenan dia ingin meminjam kamar saya.

Mestilah saya tahu bahwa ini pasti terjadi. Namun saya telah berjanji memperbolehkannya. Keluar dari kamar, sekonyong saya berpapasan dengan Zubaidah dan Yorrick. Zubaidah memberi kedipan mata. Anehnya, Yorrick ini tidak memperlihatkan tingkah malu-malunya, atau merasa tidak enak. Dia bahkan tersenyum dan menunduk ketika saya lewati.

Tercangkul saya di ruang tamu seorang diri. Sementara pikiran saya berkecamuk perihal apa yang keduanya akan lakukan. Tentu saya yakin bahwa dua orang itu akan bercinta sebagaimana sepasang kekasih yang dilanda rindu bagaikan seribu tahun tak bertemu. Tetapi, lebih daripada itu, saya membayangkan tingkah ketika mereka bercinta. Ada sedikit rasa penasaran, tetapi saya sungkan mengintip, meskipun Zubaidah memberi izin dan mengundang saya untuk melakukannya.

Oleh karena itu saya sibukkan diri saya di dapur, memasak apa pun dengan bahan yang tersedia di kulkas—saya tidak ke pasar akhir-akhir ini—dan membuat apa pun dengan bahan tersebut untuk makan siang. Barangkali Yorrick ikut makan siang di sini, pikir saya, dengan demikian saya bikin porsi yang lebih banyak.

Sambil memasak, pikiran saya masih berkecamuk perihal keduanya. Entah kenapa, menjadi menarik bagi saya. Seolah-olah pikiran saya menuntun untuk ke sana.

Selesai memasak, saya kembali tercangkul di ruang tamu. Kali ini benar-benar tidak tahu mau berbuat apa lagi. Sehingga saya mengecek ponsel dan mengirim pesan kepada suami saya bahwa saya berangsur-angsur pulih. Kata saya, psikiater mengatakan bahwa gejala yang saya alami tidak begitu rumit dan boleh dibilang itu kondisi mental yang biasa terjadi di umur saya ini. Dan saya menambahkan bahwa untuk sementara waktu, menurut psikiater khayalan saya, harus mengurangi aktivitas berlebihan di tempat ramai.

Saat itulah kemudian saya dengar suara menjerit samar-samar dari kejauhan. Patah-patah namun jelas. Lagi-lagi pikiran saya menuntun untuk ke sana. Lama kelamaan saya merasa penasaran dan sedikit…

Seberusaha apa pun saya berniat untuk tidak ke sana, pada akhirnya saya menyerah, dan kemudian secara hati-hati saya menuju asal suara. Semakin dekat langkah saya, semakin pula suara itu terdengar. “Arghhhh…” atau kadang-kadang hanya jeritan kecil seperti terpijak duri kecil.

Kini suara rintihan itu jelas terdengar, membikin saya tambah ragu, meskipun demikian saya tetap melangkah hingga berdiri di depan pintu. Meskipun tertutup, saya yakin bahwa pintu ini tidak dikunci, sebab terdapat celah kecil tak tertutup rapat, seolah-olah Zubaidah memang yakin bahwa saya akan menonton mereka bercinta.

Terlepas dari semua itu, perasaan saya sungguh gelisah seperti saya melakukan perbuatan yang mengancam nyawa sebagai taruhannya. Kemudian saya tempelkan daun telinga saya ke pintu. Demikian yang saya dengar kemudian: “Yorrick lekas tusuk saya…” Suara itu milik Zubaidah. Saya semakin gusar.

Kemudian saya dengar lagi Zubaidah meminta Yorrick agar menusuknya lebih kencang. Katanya, tusuk lebih keras. Yorrick membalas, suaranya agak serak dan basah. Katanya, Zubaidah jalang keparat. Mendengar kalimat itu, saya tertegun dan terdiam. Jantung saya mencelos, serasa bahwa saya merasakan apa yang terjadi. Dan suara yang ditimbulkan oleh tubuh mereka yang saling menusuk, terdengar menggelikan di telinga saya.

Suara tubuh mereka semakin keras dan sekali tempo saya dengar napas entah siapa yang tersengal-sengal. Namun suara erangan Zubaidah tak berhenti-henti, bahkan nyaris pecah dan melengking sehingga saya takut tetangga di sekitar mendengar.

Akan tetapi, saya tidak berniat untuk menyudahi aktivitas ini. Malahan saya semakin tertarik, namun tidak punya cukup keberanian untuk melihat mereka. Dengan demikian, saya memfokuskan pendengaran saya sampai-sampai gerak tubuh dan derit ranjang makin jelas seirama dengan suara aneh yang menggelitik itu.

Alangkah terkejut saya ketika terdengar suara tamparan cukup keras yang membikin dada saya sesak. “Sakit… Yorrick.” Demikian suara Zubaidah setelahnya. Saya berpikir bahwa Yorrick menampar bokong Zubaidah. Berikutnya suara Zubaidah semakin serak dan parau. Kemudian terdengar lagi: “Ahmpshhh… Yorrick maaf.” Disusul tamparan itu lagi.

Saya tidak tahu dan tidak memutuskan ingin tahu. Telinga saya semakin kuat menangkap suara-suara dari dalam. Oleh karena itu saya membayangkan bahwa Zubaidah ini pastilah menungging serupa ketika Darto memperlakukan saya dan memecut bokong saya bagaikan saya ini kuda. Tanpa saya sadari saya meremas gamis yang membungkus dada saya. Semakin saya dengar suara cecap basah itu dan erangan dari Zubaidah, pula semakin saya remas benda di balik gamis saya ini. Dengan demikian tubuh saya merosot dan kaki saya terkulai dengan napas tertahan-tahan.

Saya membayangkan bahwa Yorrick menunggangi Zubaidah dengan bersimbah keringat. Yakin saya remaja ini memiliki tubuh bagus, sehingga barangkali tampak seluruh badannya yang putih itu mengkilat oleh keringat. Kemudian saya membayangkan bertukar posisi dengan Zubaidah. Di mana saya ditunggangi oleh Yorrick, kemudian dia memecut saya seperti yang Darto lakukan. Lalu saya teronggok-onggok seperti Zubaidah. Reaksi itu menyebabkan tubuh dan selangkangan saya memanas, yang kemudian baru saya sadari bahwa kemaluan saya mengeluarkan lendir sebagaimana tempo lalu ketika Darto menggoda saya.

Saya mendapati diri sendiri semakin tak terkendali. Saya meremas kedua payudara saya sambil membayangkan Yorrick menusuk saya, memperlakukan saya seperti dia memperlakukan Zubaidah. Andaikata saya tahu apa yang dia lakukan terhadap Zubaidah di dalam, barangkali khayalan saya semakin detail.

Kemudian sekonyong-konyong saya dengar suara menangis yang pilu, disusul suara tamparan yang semakin jelas terdengar. Kemudian patah-patah saya dengar Zubaidah mengatakan permintaan maaf yang berlebihan setiap kali tamparan itu melayang. Sepertinya Yorrick melakukan sesuatu yang “tidak biasa”, yang menurut saya, dia meminta Zubaidah memberikan perawannya.

Itu didukung oleh jerit Zubaidah kemudian. “Yorrick… saya mohon. Jangan begini…” Kemudian Zubaidah terdiam. Lalu menangis. Suara gempuran tubuh mereka tidak terdengar lagi. Saya merasa Yorrick tengah bersiap-siap. Begitu pun saya. Tetapi, bukan suara tusukan atau ciuman yang saya dengar, melainkan tamparan bertubi-tubi. Pastilah bokong Zubaidah memerah, pikir saya. Dan suaranya semakin pula parau dan patah-patah dan tidak jelas. Berkali-kali dia memohon ampun kepada Yorrick.

Dengan demikian saya menaruh simpati kepada Zubaidah. Sehingga ketika suara Zubaidah semakin jelas menahan sakit dan tamparan itu kian tidak mereda, saya mendapati keberanian untuk melihat apa yang terjadi, dan andaikata saya lihat Zubaidah tak sanggup lagi, maka saya akan menghentikan itu. Kemudian di saat yang bersamaan terdengar suara bedebuk keras, tak menjelang lama suara tamparan bertubi-tubi kembali terdengar.

Tanpa sadar saya telah memegang kenop pintu dan mendorongnya. Demikian yang saya lihat ternyata berbeda dari yang saya bayangkan: wajah Zubaidah nyaris tak saya kenali dengan kedua mata bengkak sehingga kelopak matanya menutupi bola matanya, dan pipinya menyembul bagaikan dia sedang mengunyah bakso besar di kedua sisi, serta bibirnya tampak pecah di bawah dan atas.

Sementara saya tercengang masih, sebelum kemudian saya lihat lagi Yorrick menarik rambut Zubaidah yang tengah terkapar di lantai, kemudian tangannya terhuyung dan mendarat berkali-kali sehingga wajah Zubaidah menyentuh lantai untuk kemudian dia lakukan hal yang sama berulang-ulang.

Perhatian saya terpaku kepada Zubaidah dengan tubuh telanjangnya yang beringsut menuju ke arah saya. Saya tidak bisa melihat matanya, tetapi saya yakin mata bulat dan ceria itu meminta pertolongan. Kemudian dia mengatakan sesuatu, tidak jelas terdengar sebab dia masih menangis. Menyaksikan itu saya ingin pula menangis disebabkan yang terjadi padanya yang terlihat buruk rupa.

Saya terpaku sebelum kemudian Zubaidah mengatakan sesuatu yang bisa saya tangkap. “Jangan kemari.” Belum sempat mengartikan hal itu secara harfiah, tubuh saya telah disekap dan kemudian digotong oleh remaja kerasukan ini. Mendapatkan kesadaran kembali, saya pukul-pukul punggungnya, tetapi dia hempas tubuh saya di atas ranjang, dan beringsut saya melepaskan diri sambil menendang tubuhnya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, dengan cekatan dia mengurung tubuh saya. Meskipun saya sudah berusaha sedemikian rupa, tetapi tampaknya itu hanya perlawanan sia-sia sebab berikutnya dia menampar saya.

Tertegun saya ketika melihat wajah remaja ini yang penuh serius, dan jujur saya merasa takut, kemudian saya menangis sebagaimana Zubaidah. Mendapati saya tampak lemah, dia memanfaatkan itu untuk menyentuh pangkal paha saya; digerayanginya sesuka hati sebelum kemudian menarik gamis saya dengan paksa.

“Saya mohon,” kata saya tergagap. Terlepas hijab saya kemudian, dan dia menggunakan itu untuk mencicipi leher saya, sehingga saya menggelinjang bukan sebab nikmat, melainkan sebab melawan. Tetapi dia membatasi gerak saya dengan menekan tubuh saya. “Yorrick,” kata saya. “Jangan lakukan ini. Saya mohon.” Sekonyong dia menampar saya sehingga mata saya membulat sempurna. Di matanya saya lihat amarah yang luar biasa, membikin saya ciut dan memalingkan wajah. Panas pipi saya diperbuatnya.

“Saya bertaruh kamu akan benar-benar mati seandainya melawan,” demikian katanya. Berikutnya dia jejaki tubuh saya, disentuh-sentuhnya perut saya, dan kemaluan saya dibelai-belainya. Sementara tubuh saya tampaknya menolak sehingga kedua kaki saya berusaha menutup rapat-rapat. Tetapi Yorrick kemudian merentang kedua kaki saya. Ketika saya berusaha menutupi selangkangan saya, Yorrick dengan cekat menahan kedua tangan saya dan kemudian dia menonjok saya punya perut—Bughh—sehingga terdengar napas saya yang mendadak dan tersendat sebab rasa sakit luar biasa tak tertahankan.

Kemudian saya merasakan celana dalam saya dipelorotkan, dan kemaluan saya disentuh-sentuh sehingga saya meliuk. Ketika saya melihatnya, dia tengah tersenyum. Sekonyong saya meringis ketika jarinya memasuki kemaluan saya dan mengeluar-masukkannya dengan tempo yang cepat. Dia bahkan mencabuti bulu-bulu kemaluan saya. Katanya saya ini seorang ustadzah, tetapi kenapa tidak pernah bercukur.

“Kalau begitu akan saya bantu,” katanya.

Sebelum dia sempat melakukan tindakan lebih jauh, saya mendapati Zubaidah berdiri di belakangnya dan kemudian memukul kepalanya, membikin remaja ini memutar tubuh dan sekonyong menendang Zubaidah hingga tersungkur lumayan jauh, saya mendapati kesempatan melarikan diri. Tetapi saya malah terjatuh sebab gamis saya tersangkut oleh kaki saya sendiri. Belum sempat meringkuk ke arah pintu, Yorrick menarik kaki saya dan kemudian menonjok wajah saya sehingga mata sebelah kanan saya tampak menyipit dan kabur jarak pandangnya.

Dia merentangkan kembali kedua kaki saya, kabur saya lihat kemaluan dia sudah bersiap. Napas saya ngos-ngos, perut saya masih sakit, dan mata saya agaknya semakin membengkak. “Akhhhhhhh… S-sakit…” Saya menjerit. Dia melakukannya tanpa aba-aba dalam kondisi kemaluan saya belum siap.

Yorrick tampak menikmati apa yang dia telah perbuat atas saya dan Zubaidah. Memajamkan mata sambil meracau tidak jelas. Katanya tubuh saya sangat nikmat. Andaikata dia lebih dulu mengenal saya, dia tidak akan sekecewa ini sehingga membonyoki Zubaidah. Kemudian katanya lagi, dengan napas tersengal-sengal, bahwa dia melakukan ini sebab Zubaidah menyetujui pernikahan itu.

Saya ingin mengatakan bahwa itu tidak bisa dijadikan alasan yang tepat. Tetapi saya tidak punya tenaga. Tubuh saya terseok-seok sudah, kaki saya dicengkeram dan terbentang lebar-lebar, gamis saya terangkat setinggi dada, rambut saya terjepit di lantai dan rontok di setiap tempo dia menggoyang saya.

Entah kenapa pada saat yang menyakitkan ini saya mengingat Darto. Andaikata dia melihat saya diperlakukan seperti ini, pastilah dia murka sehingga membonyoki remaja ini. Saya membayangkan dia datang ketika saya tengah digagahi; memukul Yorrick dengan sekuat tenaga dan berkata kepadanya bahwa saya ini miliknya sambil memeluk dan menenangkan tangisan saya. Untuk sesaat saya tersenyum kecil, dan menyesali kenapa saya begitu jahat kepadanya.

Menangis menjadi-jadi saya ini. Kepada Yorrick saya memohon minta dilepaskan. Tetapi dia malah asik menggoyang saya, dan tak henti-henti tubuh saya dinikmatinya. Dada saya dia cicipi dan dia gigit sehingga menangislah saya lagi-lagi. Tetapi ketika dia memberi tanda di kulit saya, sekonyong saya tonjok kepalanya sungguh kuat. Dia memandangi saya dengan murka, pun saya demikian.

Saya melihat tangannya terangkat di udara, lalu lepas landas dalam satu kecepatan yang luar biasa, dan mendarat di pipi saya dengan suara debuk bagaikan menonjok dinding. Katanya kemudian, saya akan benar-benar mati kalau masih melawan. Saya demikian takut mendengarnya.

Dengan demikian terasa wajah saya mengembang, ingus saya meleleh, sepertinya, agak ragu itu ingus atau darah. Sementara kaki saya semakin sakit sebab tak henti dia rentangkan, dan kemaluan saya terasa nyeri oleh aktivitas kemaluannya.

Zubaidah tergeletak beberapa meter di depan. Dari jarak pandang saya, Zubaidah terlihat memeluk diri sendiri. Karenanya saya semakin menangis. Rupanya sungguh tak terkira, terpejam matanya. Mestilah dia berharap ketika terbangun nanti semua ini hanyalah mimpi. Akan tetapi tidak, sebab saya merasakan dengan jelas kemaluan Yorrick di dalam kemaluan saya. Bahkan tubuh ini mulai menikmati sehingga ketika Yorrick mencicipi leher saya dan menandainya, tanpa sadar saya melenguh.

Saya benci situasi seperti ini. Tetapi oleh keyakinan satu-satunya, dan sebab itu pula, saya gigit bibir saya hingga berdarah, sebab dengan rasa sakit saya bisa melupakan rasa nikmat yang dia coba mau kasih. Demi Darto, pikir saya. Dan oleh karenanya saya harus melawan.

Sekonyong karena itu, sekuat tenaga saya merapatkan kaki dan kemudian menendang dada Yorrick sehingga dia terpental dan tercabut penisnya. Kalang kabut saya mencoba berdiri. Meskipun sempoyongan. Tujuan saya adalah meja rias, di sana ada benda tajam, yang barangkali bisa kugunakan. Namun demikian, ketika saya hendak mengambil satu alat, punggung saya ditekuk sehingga dada saya membentur meja. Saya mencoba menendang Yorrick dari arah belakang, tetapi dia keburu memasukan kemaluannya dan menampar pantat saya. Kata Yorrick saya ini jalang. Kemudian dia menggumpal rambut saya dalam satu genggaman, dan bagai kuda di tarik tali kekang dia tunggangi saya tak terkira.

Di kaca meja rias, saya lihat rupa saya. Mata kanan saya bengkak dan membiru. Dagu saya mengalir darah, pipi saya tampak tembem bagaikan kepunyaan kanak-kanak. Rambut saya berantakan bagaikan tak pernah disisir seumur-umur. Kemudian pada saat Yorrick mendorong kemaluannya dengan kuat, saya berpegangan di sisi meja agar tidak terjerembab.

“Semoga kamu mati setelah ini,” kata saya.

“Atau kamu,” dan dia menonjok bokong saya kuat-kuat.

“Itu sakit,” kata saya.

Dan dia menonjok bokong saya bertubi-tubi sehingga tubuh saya merosot ke bawah sebelum kemudian ditariknya kembali. Lalu digempurnya saya lagi. Gemetar kaki saya. Tak kuat tangan saya lagi.

Tetapi Yorrick tak berhenti di situ menyiksa saya. Dia kemudian menarik kedua tangan saya setelah bosan menjadikan rambut saya pijakannya. Sekonyong wajah saya membentur meja dengan kuat sebelum kemudian wajah saya terangkat dan dengan jelas dari kaca saya lihat Yorrick membenturkan bokongnya dengan tempo yang membikin payudara saya goyang-goyang dan tubuh saya maju-mundur.

Dari wajahnya, saya tidak pernah mengira Yorrick akan menjadi sebengis ini. Dia ini remaja sopan. Tetapi kini rupanya tak ubahnya binatang. Kepadanya saya sumpahi agar hidupnya menderita sebab telah menonjok dan memperkosa saya. Kata saya semoga kedua orang tuanya bangkrut. Dia terus menggempur saya. Kata saya lagi semoga dia dibakar di neraka jahanam. Kemudian dia melepaskan kedua tangan saya sehingga wajah saya kembali tertampar meja, dan ditariknya lagi. Kata saya lagi semoga dia tak mempunyai istri kelak, dan andaikata punya, semoga dia tidak memperoleh anak, andaikata memperoleh, semoga itu anak dari benih lelaki lain. Kemudian dia menyentak tubuh saya dengan kuat sehingga wajah saya menempel di kaca, lalu didorongnya kepala saya kuat-kuat dengan cengkraman tangannya.

“Mengoceh lagi dan kamu benar-benar mati,” kata dia. Kali ini saya benar-benar takut.

Kembali dia menggempur semakin cepat. Bokong saya bergetar. Dicengkramnya agar tegak berdiri. Lalu dia mendorong lagi kemaluannya dalam-dalam.

“Bajingan… Argh…” Dia mengerang kuat sambil menekan pinggang saya hingga nyaris saya terjatuh.

Kata saya, “Kamu yang bajingan.” Sebelum tubuh saya ambruk ke lantai dengan dentum keras. Napas saya berada di pucuk. Mata saya tampaknya bosan mengeluarkan tangis, dan hidung saya penuh ingus atau darah, dan wajah saya terasa melebar. Dari dalam kemaluan saya, terasa cairan panas meleleh dan tumpah keluar secara perlahan.

Remaja bejat ini memuntahkan anak-anaknya ke dalam tubuh saya. Namun saya capai dan nyaris kehilangan kesadaran untuk memarahinya. Tetapi sebelum itu saya rasakan kemaluannya memasuki saya lagi. Serasa sumpek dan penuh.

***

Saya mendapati diri saya tertidur di pangkuan Zubaidah di tempat yang sama. Butuh waktu cukup lama untuk saya menyadari apa yang barusan terjadi. Dan ketika saya menyadari itu, hal pertama yang saya ingat adalah bagaimana Yorrick memperlakukan saya dengan kasar.

Ketika saya berusaha bangkit dengan limbung, Zubaidah terbangun dan sekonyong memeluk kaki saya.

“Maaf,” katanya terisak. “Saya minta maaf.”

Saya meregangkan tangannya dan meninggalkannya dengan langkah patah-patah. Selangkangan saya nyerinya minta ampun, bahkan untuk ke kamar mandi, saya perlu memegangi tembok dan melangkah terseret-seret.

Saya duduk lama di lantai kamar mandi sambil memeluk lutut. Membasuh tubuh tentu saja adalah pilihan paling buruk sebab wajah saya masih membengkak, saya yakin tak jauh berbeda dengan bentuk Zubaidah. Maka saya biarkan keringat Yorrick, liur, dan segalanya yang dia tinggalkan di tubuh saya menggenang sepanjang hari.

Tulang punggung saya yang terkena dampak, memaksa saya berbaring, dan kemudian memaksa tubuh lain ikut bereaksi dengan sama pula, sehingga saya memutuskan pada akhirnya untuk bersandar sebab merasa lebih baik.

Saya tidak kenal Yorrick. Ini adalah kali pertama saya bertemu dengannya. Lantas kenapa dia perlakukan saya seperti ini. Memang saya mengundang dia adalah hal yang salah, andaikata saya mengetahui apa yang terjadi. Tetapi lebih daripada itu, nyatanya saya juga tidak memberikan perlawanan yang signifikan setelah saya pikir-pikir. Atau saya memang lemah dan tidak berdaya diperlakukan demikian.

Pada saat saya merenggangkan kedua kaki, cairan putih kental keluar dari lubang kemaluan saya. Entah seberapa banyak Yorrick memuntahkan anaknya ini. Tetapi cukup banyak sehingga saya harus memaksanya keluar dengan jari saya, memastikan tidak ada yang tersisa di dalam tubuh saya.

Sekonyong saya merasa takut, sebab ini adalah hari tidak aman. Dengan kata lain, pembuahan boleh jadi berhasil. Oleh sebab itu, kemudian, saya menonjok perut saya kuat-kuat, oleh karena apa, saya tidak tahu. Tetapi tetap saya lakukan sehingga saya capai dan berhenti, sebelum kemudian melanjutkan lagi.

Kemudian saya disengat oleh rasa lelah dan kantuk.

***​

Entah ini malam atau sore saya tidak tahu. Yang saya ingat setelah keluar dari kamar mandi, Zubaidah tengah menunggu saya di meja makan. Katanya saya harus makan. Kata saya, makanlah, kemudian pulang dan jangan pernah kembali. Kemudian hengkang saya dan masuk ke dalam kamar.

Kalau saya punya suara lebih sedikit, barangkali saya akan berteriak ketika melihat bentuk saya di kaca lemari. Tubuh bagian atas saya dipenuhi oleh merah dan bekas gigitan dalam suatu jarak yang berdekatan. Payudara saya tampak dimainkan oleh Yorrick sepenuhnya sebab di dada kanan saya terdapat luka merah bekas gigitan. Yang membikin saya tidak habis pikir adalah ketika saya menyadari bahwa bulu-bulu kemaluan saya dicukur membentuk huruf Y. Artinya Yorrick. Remaja ini bahkan masih sempat-sempat untuk menjadikan tubuh saya sebagai objek leluconnya.

Saya tidak sanggup lagi melihat rupa saya sendiri. Segera saya berbaring di atas kasur secara hati-hati dengan meletakan anggota tubuh satu per satu. Kemudian saya menyadari anus saya tidak ikut tertular nyeri. Dengan demikian boleh dikatakan saya masih perawan. Dengan kata lain, masih ada yang bisa saya persembahkan kepada Darto. Setidaknya Yorrick menyisakan itu. Meskipun demikian, saya bersumpah, andaikata melihatnya lagi, saya akan membunuhnya, benar-benar akan membunuhnya atas apa yang telah dia lakukan terhadap tubuh saya.

***​

Saya kembali terbangun oleh suasana dingin, memaksa saya untuk mengenakan pakaian, tak peduli terhadap tubuh saya yang pesakitan ini. Susah payah saya mengenakan pakaian tidur yang tipis tanpa dalaman. Kemudian sebab haus, saya beringsut-ingsut ke dapur. Mengambil apa pun yang bisa saya makan, dan duduk di sana cukup lama, sebelum kemudian saya kembali ke kamar dan memaksa tidur lagi.

***

Saya kembali terbangun setelah memaksa memejamkan mata, tetapi rasa perih di mata kanan saya, tidak terhindarkan. Kemudian saya berkaca di meja rias. Tampak semakin membesar kelopak mata saya. Ketika saya mencoba menyentuhnya, saya mengalami gejala nyeri di mata saya yang membuat saya terjatuh sebab kaki saya mendorong kaki meja karena terkejut oleh rasa sakit tersebut.

Bersusah payah saya bangkit dan berangsur-angsur ke dapur untuk mengambil kotak P3K. Mengeluarkan alat-alat yang saya perlukan, dan mengobati luka yang bisa diobatkan, tidak terkecuali mata sebab saya tak cukup berani untuk menyentuhnya.

Besok barangkali saya akan ke rumah sakit. Tetapi andaikata dokter bertanya oleh sebab apa, saya menjadi bingung. Dan akhirnya saya memutuskan mengurung niat saya. Semoga ketika suami dan anak saya pulang, tubuh saya kembali sedia kala. Andaikata masih sakit pun tidak mengapa.

Kemudian, sekembali ke kamar, saya tidak langsung tidur, bukan sebab tidak bisa, melainkan pikiran saya melayang jauh. Boleh dibilang saya memikirkan bagaimana cara membunuh Yorrick dengan cara yang paling menyakitkan. Saya tidak tahu kenapa saya berpikir demikian, tetapi ketika saya berpikir demikian, saya merasa sedikit puas.

Saya akan mencabik-cabik mulutnya, pikir saya, kemudian menonjok hidungnya. Mulutnya akan saya tonjok berulang-ulang sebagaimana dia menonjok bokong saya. Dan saya akan menyepak tubuhnya hingga dia menggelinding menahan rasa sakit. Saya tertawa sebelum kemudian menangis sebab merasa tidak yakin bisa melakukannya. Akan tetapi, kalau kesempatan itu berada di depan mata, demi Tuhan, saya tidak akan melewatinya barang sedetik pun.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *