Ustadzah Aisyah masih menunggu. Bulir keringat di dahinya berontokan sementara giginya menggigit kuku. Gerak tubuhnya dipacu oleh ketidaksabaran penantian dari pemuda di seberang. Lima menit. Sepuluh menit. Tak kunjung ia terima balasan itu. Kemudian pada menit Lima belas ia dengar dering ponselnya. Buru-buru ia baca pesannya:
“Sebab Ustadzah cantik. Ayu. Soleha. Dan… bikin kangen.”
Tubuhnya semakin gelisah ketika membaca kalimat sanjungan itu. Melemparnya kembali pada masa remaja. Debur ombak kembali menerpa. Ia menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Entah kenapa ia merasa obrolan ini semakin seru. Semakin membuatnya ingin terus bertanya-tanya.
“Terus?” Tulisnya.
“Kayaknya, Ustadzah…enak.”
Kini pembuluh darahnya melaju cepat. Tubuhnya memanas. Kalimat itu tentu saja Vulgar. Dan Ustadzah Aisyah bisa dengan mudah menangkap maksudnya. Tetapi, anehnya, dengan kalimat itu ia merasa tersipu. Bagaimana bisa? Tetapi ia tak sampai untuk membalas. Ia hanya menatap kalimat itu lama-lama sambil berharap Tukang Galon itu kembali mengirimkan sebuah pesan lagi.
“Ustadzah marah? Sebab saya bilang Ustadzah enak?” Tulis Darto kemudian.
Untuk beberapa saat Ustadzah Aisyah tidak ingin melanjutkan percakapan. Bukan sebab ia tak mau, tetapi sebab ia tidak ingin tergelincir terlalu dalam. Akan tetapi, ketika ia hendak mau masuk ke dalam kamarnya, pikirannya seolah-olah menyuruhnya untuk membalas pesan Darto. Itu hanya berkirim pesan. Tidak bakal berdosa. Demikian pikirannya bekerja.
“Engga, Darto.” Tulisnya singkat.
“Terus kenapa Ustadzah gak balas waktu saya bilang Ustadzah enak? Hm…”
Segera ia mematikan ponselnya. Beranjak masuk ke dalam kamarnya. Di atas tempat tidur ia lihat suaminya lagi. Wajah itu pulas. Bola mata di balik kelopak itu tenang. Raut wajahnya bagaikan sepoi-sepoi angin yang sejuk. Ustdazah Aisyah menyenderkan punggungnya di penyangga ranjang. Sekali lagi. Ia lihat suaminya. Sekonyong rasa bersalah muncul dalam hatinya. Ia tak tahu kenapa ia bisa begitu. Ia telah jauh. Karenanya ia usap rambut suaminya dengan lembut. Membelai rambut itu bagaikan membelai seekor kucing. Sebelum terlelap, dikecupnya kening suaminya dalam kehangatan yang menjalar.
Pagi harinya ia terbangun kala biasa. Menggemaskan rumah ketika suaminya dan Si Kecil Nana sudah berangkat. Pagi ini ia tak punya jadwal apapun. Kemudian ia menyapu halaman, dipenuhi dedaunan dari pohon tetangga, yang barangkali tersapu angin dan mendarat di halaman rumahnya. Sambil menyapu ia bersenandung, sesekali menjawab tegur dari tetangganya yang mau berangkat kerja. Iya, hati-hati, katanya kepada mereka.
Tetangganya kerap menyapanya, bahkan tak jarang untuk mengajaknya bercakap-cakap. Bertanya-tanya perihal agama dan lain-lain. Tentu mereka mengharapkan jawaban dari seseorang berilmu untuk bekal menjalani kehidupan. Sekali waktu mereka mendekati Ustadzah Aisyah, sekadar untuk minta dibela perihal rumah tangga; ini salah siapa? Atau suami saya yang pasti salah! Akan tetapi, kadang-kadang mereka pulang dengan wajah memelas, sebab mendapatkan jawaban yang tidak diinginkan.
Ketika pada akhirnya semua tugas telah diselesaikan, Ustadzah Aisyah akhirnya bisa berehat sejenak. Ia pergi ke ruang tamu, membuka ponselnya. Lalu sekonyong ponselnya terhempas jatuh ke lantai. Disebabkan oleh sebuah gambar penis berbulu lebat dan panjang yang dikirim oleh Darto dalam foto sekali lihat. Ustadzah Aisyah masih dalam ketercekatan yang luarbiasa. Kemaluan itu sungguh masih berbayang. Rambut-rambut lebatnya, kulupnya, besarnya dan panjangnya.
Terlebih yang membuatnya terkejut adalah ia tidak menyangka Darto akan mengirim foto penisnya dengan enteng. Seolah-olah itu hanya foto biasa saja. Ustadzah Aisyah, untuk pertama kalinya, melihat penis yang bukan punya suaminya. Bahkan ia tak yakin bentuk kemaluan suaminya sebab selama delapan tahun pernikahan, mereka selalu bercinta dalam keadaan gelap. Akan tetapi, kemaluan Darto, jelas ia lihat.
Ustadzah Aisyah menangkup kedua wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ponselnya masih ia biarkan tergeletak di lantai. Ia mengatur tempo nafasnya agar stabil. Ketika pada akhirnya ia kembali mengambil ponselnya; dengan hati-hati ia menggeser layar agar Penis berbulu lebat itu tak memenuhi layar Ponsel. Tetapi ia tak sanggup untuk menggeser itu. Ia penasaran. Perlahan matanya yang terpejam menengok ke arah layar tetapi hanya sebagian; menampakan kulup kemaluan Tukang Galon itu. Masihlah ia tak sanggup dan menggeser layar itu sepenuhnya. Dan kemaluan itu hilang.
Reaksinya itu bukanlah sebuah reaksi kemarahan. Jelas geramnya tak timbul, bahkan ia sama sekali tak merasa dilecehkan, sebab ia pengen lihat lagi kemaluan itu. Reaksi yang ditimbulkannya agaknya serupa remaja polos yang kali pertama mengenal seks. Tampak malu-malu tetapi mau mencoba lebih jauh.
Kemudian satu pesan masuk membuatnya lebih tercengang lagi:
“Besar gak, Ustadzah? Lebih besar mana daripada suami?”
Sesungguhnya ia ingin mengumpat kepada Tukang Galon itu. Meneriakinya dengan nama-nama hewan atau nama-nama Jin. Tetapi ia tidak bisa. Tubuhnya melawan. Alam bawah sadarnya menginginkan pembicaraan yang cabul dan intens. Terlihat bagaimana ia merapatkan kedua pahanya, agar kemaluannya terjepit dan sensasi geli ia rasakan; bagaimana ia meremas gamisnya dengan remasan kuat seolah-olah membayang pemuda itu tengah menggerayangi tubuhnya dengan sesuka hati.
“Saya ke rumah ya? Ustadzah?”
Ia menelan ludah. Sedari tadi ia tidak bergerak duduknya. Pemuda itu tengah menuju rumahnya. Berbayang dalam otaknya bahwa Pemuda itu akan menunjukan kemaluan berbulunya lagi, tetapi kali ini secara nyata, yang bisa ia sentuh atau dengan sedikit keberanian bisa ia masukan ke dalam mulutnya. Kemudian ia tersadar dari renungannya. Tetapi ia tak membalas pesan Darto. Tak sama sekali. Adalah bingung sekaligus bimbang dalam dirinya. Norma agama melarangnya. Tetapi kebutuhan biologis—tubuhnya jelas menginginkan itu. Ustadzah Aisyah berdoa sungguh-sungguh agar Tuhan menjaga kehormatannya. Tetapi bagaimana?
Sekonyong akhirnya, dari arah pintu, Darto datang dengan senyum simpul sambil masuk tanpa izin—ia meletakan Galon dan kemudian mendekat. Ustadzah Aisyah melihat langkah kaki itu, segera merapatkan tubuhnya ke sudut Sofa. Kemudian dirasainya seseorang duduk di sampingnya. Tubuhnya kembali menegang. Salah tingkah ia membenarkan posisi duduknya dan berdehem.
“Ee, saya rasa, Darto, eh…” Kalimatnya terputus-putus.
Ustadzah Aisyah menemukan pundaknya diendus-endus. Tetapi ia masih diam. Bahkan ketika endusan itu masuk lebih jauh. Ia bergeming.
Sekonyong ia berdiri tetapi Darto langsung menarik tangannya, membuat tubuhnya terlempar sedekat mungkin dengan pemuda itu. Membuat pandangan mereka saling bertemu. Ustadzah Aisyah menemukan dirinya mematung dalam lingkar tangan pemuda itu. Tubuh mereka begitu dekat. Bahkan deruh nafas mereka terdengar satu sama lain. Aroma rokok tembakau yang menguar dari mulut Darto tercium. Ustadzah Aisyah baru kali ini mencium aroma seperti itu. Yang jelas ia bisa merasakan kemaluannya berdenyut dan dalam jarak seperti ini, ia tak tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
Darto menyaksikan bagaimana perempuan beranak satu itu seolah-olah menerima diperlakukan tak senonoh. Sebab bagaimana tidak, Bahkan ia telah menyingkap gamisnya setinggi paha. Sehingga betis putihnya terlihat dan diusap-usapnya. Darto begitu senang mendapati Ustadzah Aisyah yang malu-malu, mendorong dadanya dengan ke dua tangan mungil itu. Tetapi jelas itu bukan sebuah penolakan, melainkan sebatas menjaga kehormatan. Kemudian Darto mulai bersikap nakal. Jemarinya masuk lebih dalam. Dan ketika ia mendapati kemaluan Ustadzah Aisyah berlendir, ia tarik jemarinya, menunjukan lendir kuning berbau itu ke depan wajah perempuan beranak satu itu.
“Oho, Ustadzah bisa juga becek.” Darto Menyeringai cabul. Kemudian sekonyong ia berdiri setelah menyandarkan tubuh Ustadzah Aisyah ke sofa. Ia tersenyum. “Lain kali aja, Ustadzah. Saya mau lanjut anter galon lagi.” Kemudian ia keluarkan ponselnya. Menarik gamis Ustadzah Aisyah setinggi perut. Perempuan itu berusaha menutupi area terlarangnya. Tetapi Darto dengan sigap mengarahkan ponselnya ke bawah, mendapatkan potret jelas celana dalam berwarna Putih yang kuyup oleh lendir. Dan tanpa rasa bersalah ia meninggalkan Ustadzah Aisyah.
***
Pukul sepuluh lewat empat puluh, ia menjemput si Kecil Nana. Kemudian mereka bersinggah di Taman tak jauh dari Sekolah si kecil. Menemani si kecil bermain di sana; berlarian, melompat-lompat. Sementara Ustadzah Aisyah mengawasinya dari suatu jarak. Pikirannya masih berada di rumahnya, ketika Darto memperlakukannya. Ia menyesali dirinya sendiri sebab tidak bisa memberikan penolakan. Tubuhnya ketika itu, jelas menerima segala sentuhan. Bahkan ketika jemari Darto berpelesirr di pahanya dan bergerak dengan teratur hingga menyentuh kemaluannya dari balik celana dalam, sesungguhnya ia mau mendesah. Pada saat itu ia memejamkan mata seolah-olah membiarkan Tukang Galon itu untuk menelusuri seluruh tubuhnya; mengobrak-abriknya; memetakan setiap tubuhnya dengan sentuhan-sentuhan yang sensual.
Ustadzah Aisyah merapatkan kedua kakinya; membayangkannya membuatnya sungguh terangsang. Dengan lakon perempuan malu-malu ia membenarkan jilbabnya dan gamisnya, lalu memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Si Kecil Nana masih asyik bermain perosotan, sendirian.
Si Kecil tampak tidak tahu bahwa Uminya mengalami hari yang buruk—atau baik. Ia hanya tau bermain, anak kecil itu. Barangkali nanti Uminya akan memberinya seorang adik untuk bisa diajak bermain. Si kecil kemudian menghampiri Uminya, dan meminta agar uminya menjaganya sementara ia mau terjun dari perosotan.
Ustadzah Aisyah tersenyum. Dan ketika si kecil merosot ia tangkap dengan sempurna. Lalu berulang-ulang si kecil terjun. Berulang-ulang pula ia tangkap. Beberapa anak-anak yang lain terlihat bersama orang tua mereka, bermain jungkat-jungkit.
Kemudian setelah bermain, ibu dan anak itu duduk di satu bangku. Mereka memberi makan merpati dengan roti yang dibeli sewaktu di perjalanan. Melihat segerombolan merpati itu itu mematuk-matuk dan mendekat-dekat, Tampak si kecil menyukai burung-burung itu sehingga dengan langkah pendeknya ia mengejar mereka; ingin membawa mereka ke dalam pangkuannya, meskipun mereka terbang seketika.
Masih dalam lamunan, Ustadzah Aisyah itu. Bahkan ia tidak membuka ponselnya sedari tadi. Sangka-sangka nantinya Tukang Galon itu akan menggodanya lagi atau lebih buruk akan datang ke rumahnya dan lebih buruk lagi…seketika ia bergidik ngeri. Menggeleng-geleng tak karuan. Tetapi kemaluannya perlahan mengeluarkan lendir. Sehingga posisi duduknya terasa tak nyaman; ia menggerakan pantatnya kanan-kiri.
“Umi, Nana mau Es Krim!” Si Kecil segera saja berlari menuju abang-abang Es Krim di ujung taman. Mendapati Uminya masih di tempat, berseru dirinya, “Umi! Ayo! Umi!”
Ia masih becek. Kalau saja ia berdiri, lendir kemaluannya akan mengalir ke pahanya. Ia terlalu sensitif untuk berhadapan dengan seorang pria. Apa yang dilakukan Darto membuat berahinya masih berlanjut. Tetapi pada akhirnya ia mengikuti si kecil Nana sambil membenarkan gamisnya. Dan dalam satu gerakan malu-malu ia menekuk pantatnya ke belakang, berharap agar celana dalamnya menempat di kemaluannya.
Si kecil tampak girang betul mengambil Es Krimnya, lalu menjilatnya. Ustadzah Aisyah merasa bahwa Abang-abang Es Krim sedari tadi memperhatikan lekuk tubuhnya. Membuatnya merasa gelisah dan tak nyaman. Bahkan ketika Abang-abang es krim memberikan uang kembalian, Ustadzah Aisyah merasakan jarinya disentuh. Sehingga membuatnya buru-buru menarik tangan si kecil agar kembali ke tempat awal. Akan tetapi, bibir kemaluannya kembali mengeluarkan lendir bagaikan balon penuh air yang pecah, lendir itu berserakan di pahanya. Ia mau mengganti celana dalamnya dan gamisnya, serta mensucikan dirinya kembali. Maka ia ajak si Kecil Nana pulang. Meskipun agak susah sebab Si Kecil Masih mau menangkap burung-burung merpati.
***
Sepanjang hari Ustadzah Aisyah tak membuka ponselnya. Pastilah jamaahnya mengirim ribuan pesan curhat atau menanyakan kajian berikutnya. Aneh. Ketika pada saat ini, kepada siapa ia akan mencurahkan apa yang ia alami. Apakah pada Tuhannya? Mengatakan bahwa ia terangsang oleh seorang Tukang Galon dan kemaluannya mengeluarkan lendir kuning? Lalu apa Tuhannya akan sekonyong berkata: Lakukan!
Sejak kecil ia selalu dicekoki perihal agama. Dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas—Ingat! Ia Sarjana Pendidikan Agama Islam—ia dikelilingi lingkungan yang agamis. Yang bahkan untuk melakukan apapun mesti ada dalil yang sah. Tentu saja berpuluh tahun menjalani hidup seperti itu, membuat Ustadzah Aisyah merasakan keganjilan ketika mendapati dirinya begini.
Sehabis melaksanakan Sholat Isya —bahkan ketika ia memejamkan mata selagi Sembhayang—kemaluan berbulu lebat punya Darto sekonyong timbul. Seharian ini kemaluan itu dan bagaimana jemari Darto menyentuhnya, memenuhi alam pikirannya. Sehingga ia tak tahu harus bertindak apa. Cenderung diam dan merenung perempuan alim itu.
Ketika Suaminya bermain menyusun Lego dengan Si Kecil Nana, Ustadzah Aisyah tak tertarik untuk ikut bergabung. Pikirannya dan seluruh alam semestanya seolah-olah ditarik oleh suatu gaya yang kuat: berahi. Bahkan pada saat ia berdongeng Si Kecil, ia sempat keliru menamai salah satu buaya dengan nama Darto. Untung saja putrinya tak mengira apa-apa.
Pukul sebelas malam ia tak bisa tidur. Dan seperti biasa ia mengendap-endap keluar kamar. Di ruang tamu ia tatap layar ponselnya lama-lama sambil memejamkan mata. Ia masih penuh ragu untuk membuka ponselnya. Masih dalam ketidakyakinan perihal nantinya apa yang akan terjadi. Tetapi kemudian ia hidupkan layar itu dengan deruh nafas membuncah, matanya terbuka. Jarinya bergetar. Penuh ragu. Diketuknya nomer Darto.
Bagaikan tersengat arus listrik, pantat Ustadzah Aisyah melompat kecil saat dilihatnya Tukang Galon itu mengirim satu potret yang diambilnya pagi tadi. Dipotret itu terlihat jelas celana dalamnya banjir oleh cairan sehingga beberapa helai bulu kemaluannya terlihat saling tumpuk—ia lupa bercukur—dan kedua pahanya terbuka lebar.
Darto Menulis: “Mungkin lain kali, saya bisa masukin jemari saya di sana, Ustadzah.” Darto mengirim satu pesan, dikirim pukul sembilan belas dua puluh.
Ustadzah Aisyah tentu saja merasa dilecehkan oleh sikap Darto yang demikian. Andaikata Darto melakukan itu—agak malu ia bergumam: Memasukan jarinya. Ia akan lekas menepuk kepalanya dengan apapun yang ada di rumahnya. Ia bertekad. Berkata kepada dirinya sendiri, mungkin tadi ia tak berdaya, tetapi lain kali ia akan melawan. Ia merasakan bahwa kesalehannya telah kembali. Segenap jiwa ia menulis pesan balasan:
“Atas apa yang terjadi tadi pagi, Darto! Saya tidak bisa mentoleransi lagi. Kamu bertindak berlebihan. Dan saya harap, mulai sekarang kamu tidak melanggar batas-batas. Saya sudah berkeluarga, Darto!”
Ia kirim penuh bangga sambil menghela nafas.
Balasan berikutnya muncul dari darto: “Ah, Ustadzah. Mulutnya aja begitu. Tetapi memeknya, kok, becek? Kalau Ustadzah menolak. Seharusnya Ustadzah berteriak dari awal. Tetapi ini, kok, engga? Oho, apakah Ustadzah menikmati? Oh, ya, bahkan ketika saya mau pulang. Wajah Ustadzah terlihat kecewa. Tidak bisakah kita saling jujur, Ustadzah? Nanti bakal saya bikin enak lagi. Janji!”
“Saya tidak melawan bukan berarti saya menikmati, Darto. Saya tidak bisa memproses apa yang terjadi. Oleh karena itu saya diam. Tetapi kalau kamu beranggapan saya menikmati? Salah betul kamu Darto! Saya bukan perempuan seperti itu. Alangkah baiknya kamu menjauh dan tidak menghubungi saya lagi! Saya mohon, Darto!”
Darto mengetik cukup lama. Membuat Ustadzah Aisyah yang sedari tadi memperhatikan layar, gereget tak karuan. Menanti-nanti.
“Bagaimana kalau kita saling jujur, Ustadzah? Dimulai dari saya?”
Ustadzah Aisyah merasa tertarik untuk sesaat. Tetapi ia merasa ini jebakan Tukang Galon itu. Ia membalas:
“Sudahlah, Darto. Berhenti hubungi saya.”
Tetapi Darto tidak memperdulikan itu. Ia memulai pengakuan terlebih dahulu:
“Saya tertarik dengan Ustadzah sudah lama. Saya tidak bohong. Mungkin kira-kira pada saat saya berumur 17. Ketika itu saya melihat Ustadzah sering ke Masjid. Tetapi belum mengisi ceramah. Dari situ saya mulai sering lihat-lihat Ustadzah dari tempat saya bekerja ketika Ustadzah sehabis dari Masjid. Ketertarikan itu terus berlanjut. Ketika saya mengantar Galon ke rumah Ustadzah, saya sering curi pandang. Gak bisa saya pungkiri bahwa Ustadzah memiliki wajah yang teduh dan lembut. Bahkan cara berpakain Ustadzah membuat saya… sange. Maksud saya, saya suka melihat Ustadzah berpakain tertutup dan itu membuat saya penasaran. Saya pernah berfikir bagaimana bentuk tubuh Ustadzah? Ya, pikiran nakal begitu, Ustadzah. Tetapi lebih daripada itu, Ustadzah memiliki wajah yang cantik. Bola mata yang besar bagaikan bidadara—saya tahu sewaktu diajarkan mengaji dulu—katanya bidadari punya mata besar. Oho, saya pikir adalah Ustadzah. Kemudian, selang beberapa lama, saya hanya mengikuti naluri saya, bahwa saya harus mendekati Ustadzah. Meskipun ustadzah sudah memiliki anak dan suami. Toh, lagian saya tak peduli.”
Darto tak membiarkan kalimatnya terbalas, ia mengirim pesan lagi:
“Saya ini tak sekolah Ustadzah. Tak tamat. Tidak punya juga pekerjaan yang layak. Apalah saya dibandingkan suami Ustadzah. Saya hanya batu kerikil yang mudah untuk di tendang. Saya tidak pernah punya pacar. Berahi saya hanya dituntaskan dengan tangan. Sewaktu saya melakukan tindakan tempo pagi tadi. Saya memberanikan diri, dan saya sudah siap jika sesungguhnya Ustadzah berteriak. Tetapi ketika Ustadzah menikmati. Saya masih punya harapan untuk bersama Ustadzah. Saya sering membayangkan tubuh telanjang Ustadzah. Ustadzah yang binal kemudian terengah-engah bagaikan binatang. Sekejap saya berfikir mungkin khayalan saya akan jadi kenyataan. Demikian kejujuran saya. Sekarang giliran Ustadzah. Satu pertanyaan saya: Ustadzah menikmati apa yang saya lakukan tempo hari?”
Ustadzah Aisyah membaca hingga habis dan mendapati dirinya sendiri terpesona akan kejujuran itu. Bahkan kalimat-kalimat vulgar dari Darto dianggapnya sebagai kalimat puitis. Untuk kesekian kalinya dirasainya debur ombak di jantungnya, serta kepak-kepak burung camar di perutnya. Untuk sesaat ia mau jujur. Ia mau bercerita tentang apa yang ia alami tanpa satu kebohongan. Demikian ia menulis, sejujurnya:
“Darto, saya berasal dari keluarga yang agamis. Sedari kecil kerap lah saya diajarkan untuk melakukan ini dan itu, berdasarkan niat jahat dan buruk. Sewaktu saya kecil, saya sudah khatam Quran. Sewaktu Sekolah Menengah Atas saya menang berbagai perlombaan tingkat Madrasah. Saya selalu unggul dalam pemahaman agama. Dalil, teologi, dan beberapa hal lainnya. Ah, kamu tidak tamat sekolah, Darto. Maka saya akan sederhanakan bahasa saya. Saya selalu terikat oleh hal-hal yang bersifat Ketuhanan. Mungkin kamu menyangka kehidupan saya ini penuh kurungan. Tetapi kamu salah, Darto. Tidak. Saya bersyukur atas orang tua saya yang mengajari saya agama dan adab dan moral. Tetapi semenjak kamu datang dan menggoda saya, saya perlahan menjadi ragu atas diri saya sendiri. Ketika kamu mengirim foto kemaluan kamu, bahkan ketika saya Sembahyang, saya memikirkan itu. Betapa berdosanya saya, Darto? Dan kamu harus bertanggung jawab soal itu! Kemudian Darto, menjawab pertanyaan kamu. Apakah saya menikmati? Ya, saya menikmati itu. Meskipun saya menolak untuk mengakui, tetapi tubuh saya merespon dengan cara sebaliknya. Saya hanya menolak untuk tidak dianggap perempuan hina dan murahan. Tetapi, Darto, meskipun saya menikmati, bukan berarti saya mau melakukan hal lebih jauh lagi. Apakah kamu mengerti?”
Ia hembuskan nafas dengan teratur dan sekilas tersenyum. Segala hal yang bertumpuk di dadanya kini telah pecah. Tetapi ia masih ingin bercakap-cakap dengan Darto. Ada satu ketertarikan yang membuatnya ingin mendengar kejujuran dari tukang Galon Itu.
Tak lama kemudian, Darto menulis:
“Saya menghargai keputusan Ustadzah. Tetapi saya rasa saya tidak bisa berhenti untuk mendekati Ustadzah. Saya merasa kita sudah mempunyai keterkaitan satu sama lain. Dan…saya akan membuat Ustadzah merasa lebih puas lagi. Besok, saya datang lagi. Saya harap Ustadzah tidak menggunakan celana dalam.”
Begitu Ustadzah Aisyah hendak mau membalas. Darto terlebih dahulu mengirim pesan:
“Sampai jumpa besok pagi, Ustadzah.”
***
Pagi itu gemuruh datang tak tertahan, Ustadzah Aisyah kepikiran kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan Tukang Galon itu. Fokusnya seolah-olah ditarik paksa terhadap apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan. Bahkan ketika ia berada di meja makan sewaktu sarapan, tak dihiraukan suami dan putrinya. Membuat Si Kecil Nana merengek penuh sebal, sebelum ditenangkan Abinya bahwa Uminya lagi sibuk barangkali.
Selepas suaminya dan anaknya pergi, Ustadzah Aisyah berdiri diri di tempat tidurnya untuk waktu yang cukup lama. Ia meremas sprei kuat-kuat, giginya menggigit bibir. Sesungguhnya ia merasa takut. Tetapi tak pula ia menghubungi atau mengirim pesan ke Darto agar tidak berkunjung ke rumahnya. Dan itu seolah-olah ia tak menolak.
Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Berangsur-asur perlahan ia mengintip dari tembok ke arah pintu. Barangkali Darto muncul sekonyong dari sana dan langsung menyergapnya bagaikan harimau memangsa kijang. Kemudian ia berhati-hati menuju dapur, menghela nafas sejenak, lalu duduk di meja makan. Ia tak bisa merasa tenang. Ia bangkit dan bolak-bolak tak tentu arah; ke kamar, ruang tamu, dapur, sebelum kemudian ia kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa. Ia tengah mengenakan Gamis katun warna biru pucat membingkai tubuhnya tanpa lekuk, jatuh longgar sampai mata kaki. Hijab segi empat ia lilit rapi, menutupi rambut dan dada, menyisakan wajah bersih tanpa banyak rias. Bibirnya tampak tak dipoles gincu, pink menggoda dan kenyal.
Untuk waktu yang lama Ustadzah Aisyah menatap ponselnya. Semakin bertambahnya waktu, semakin dirasainya sengat tak karuan di sekujur tubuh, sampai pucaknya ketika terdengar pintu terbuka tanpa diikuti salam. Menyembul seorang pemuda dibersamai langkah yang menimbulkan decit dari sandal jepitnya, dan tersenyum mendekat sambil membenarkan rambutnya yang basah.
Bergeming dan tak tahu berbuat apa, Ustadzah Aisyah itu. Menyaksikan perlahan Tukang Galon itu mendekat ke arahnya. Semakin dekat, semakin pula jantungnya kian mau melompat. Ia telah berusaha untuk bangkit, akan tetapi kakinya terasa tertancap ke bumi. Seolah-olah tubuhnya tersihir dengan kehadiran Darto, yang kini telah mengambil duduk di sampingnya. Ustadzah Aisyah menunduk. Bahunya menempel dengan pemuda itu. Ia menggeser tubuhnya sedikit hingga menyentuh pembatas sofa. Tubuhnya ia rapatkan ke sana, kakinya ia tarik ke samping dua-duanya, mempertahankan dirinya sebisa mungkin. Tetapi kenapa ia tak lari kalau begitu? Ia pun tak tahu.
“Ustadzah bisa kabur sekarang kalau mau. ” Darto mendekat dan berbisik. Sehingga membuat Ustadzah itu meremang bulu kuduknya. Kemudian Darto secara hati-hati menarik tangan Ustadzah Aisyah, mengelus punggung tangannya, kemudian mengecupnya secara perlahan dan singkat. Setelah itu mereka bertukar pandang. Darto bisa merasakan kekhawatiran di wajah Ustadzah Aisyah yang tampak pucat dan sedikit ketakutan. Tetapi Darto terlampau mahir untuk membikin perempuan, barangkali sekelas Ustadzah bertekuk lutut. Demikian kemudian ia berkata:
“Ustadzah pakai celana dalam atau engga?”
Darto tampak mau tertawa kecil melihat Ustadzah Aisyah menggeleng bagaikan anak kecil yang penurut. Satu tangannya ia daratkan di paha perempuan itu, meremasnya, kemudian mengusapnya dengan lembut. Ketika ia mendapati Ustadzah Aisyah membuang muka, sekonyong tangannya menarik wajah itu sehingga mereka saling bertatap, dan Darto bisa lihat mata bulatnya dan bibirnya yang kenyal, yang mau ia cium saat itu juga. Tetapi ia tak mau buru-buru. Demikian setelahnya ia menjauhkan posisi duduknya, merapikan Gamis Ustadzah Aisyah yang sedikit acak-acak.
Ustadzah Aisyah tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya berdiam sedari tadi. Tampak bagaikan keledai bodoh.
“Saya haus, Ustadzah. Boleh dibuatkan minum?” Darto berkata sambil tersenyum.
Ustadzah Aisyah yang masih dalam kelimpungan tampak celingak-celinguk. Ia masih bergeming dan menunduk. Kemudian agak malu ia bertanya: “Mau minum apa?” Kemudian ia bangkit dan berjalan agak terbata-bata. Menuju dapur dan membuatkan dua Es Jeruk. Ketika ia menuangkan air dan es batu ke dalam gelas, ia sebisa mungkin mengatur nafasnya. Jelas ini adalah dosa, pikirnya, tetapi kenapa ia tak kabur di situasi demikian. Ia bertanya-tanya terhadap dirinya sendiri.
Ia kembali menaruh dua Es Jeruk di atas meja dan duduk di tempat yang sama. Telapak kakinya mengusap punggung kaki yang satunya, sementara jemari dari kedua tangannya saling bertaut satu sama lain. Berkali-kali ia menelan ludah atas situasi ini. Kemudian, sedikit keberanian ia berkata, pelan dan nyaris tak terdengar:
“Saya rasa ini salah, Darto. Saya sudah memiliki anak dan suami.” Sekilas ia melihat Darto yang melihatnya, sontak saja ia memalingkan wajah.
Darto menjawab, “Saya tahu, Ustadzah. Tetapi kita sekarang hanya berdua. Nanggung, kan, kalau gak ngapa-ngapain?” Darto bangkit dan sekonyong membuka celananya sehingga menyembul sudah kemaluannya yang penuh semak belukar itu.
Menyaksikan itu tentu saja Ustadzah Aisyah terperanjat, bokongnya bahkan melompat, dan posisi duduknya bergeser ke belakang. Bagaimana tidak, sebab kini kemaluan itu terlihat jelas, mancung ke atas bagaikan busur panah. Semakin gugup Ustadzah Aisyah ketika Darto menggeser tubuhnya, dan kemudian menarik tangannya untuk menyentuh kemaluan itu. Meskipun memberikan perlawan, pada Akhirnya tersentuhlah kemaluan itu, yang terasa bagaikan memegang ular.
Ustadzah Aisyah keburu menarik tangannya sebab merasa geli memegang penis Darto. Tetapi Darto semakin mendekatkan tubuhnya. Sehingga Ustadzah Aisyah bisa mencium keringat Tukang Galon itu. Ia masih menunduk sampai kemudian Darto menarik pergelangan pinggangnya dan memutar tubuhnya sehingga ia bisa melihat dari dekat wajah Tukang Galon itu yang tengah dilanda berahi. Lekas saja Ustadzah Aisyah memejamkan mata dan menarik tubuhnya agak menjauh. Tetapi perlawanan itu tak ubahnya formalitas biasa.
Darto kemudian dengan lembut menjetikan telunjuknya ke pipi Ustadzah Aisyah, membikin lingkaran di sana, sebelum ia beralih ke bibir, berkeliling merasakan kekenyalannya, lalu ia mencubit hidung perempuan alim itu dengan gemas sambil tertawa kecil, tampak puas melihat tingkah Ustadzah Aisyah yang masih malu-malu tapi mau. Kemudian ia menarik satu kaki perempuan itu agar bertopang di atas pahanya, sehingga dengan mudah jemarinya bisa mengelus betis putih itu yang serupa angsa. Kemudian, berangsur-angsur lama, Darto mendekatkan hidungnya ke leher Ustadzah Aisyah, mengendus-endus, lalu turun ke area ketiak, meskipun tak bisa ia angkat tangan perempuan alim itu sebab masih memberikan perlawanan.
Kini tubuhnya tengah di jelajahi, Ustadzah Aisyah itu. Ia bisa merasakan setiap tubuhnya di sentuh-sentuh, bahkan pada area kemaluannya dirasainya jejari Tukang Galon itu melingkar di pahanya. Untung saja ia langsung menutup mulutnya ketika kemaluannya terasa di colok-colok, sehingga desahnya tak sanggup keluar. Akan tetapi ia melakukan pemberontakan yang sia-sia, kedua tangannya berusaha mengeluarkan jejari Darto yang menarik cangcutnya dan berusaha memasukan jarinya ke dalam lubang kemaluannya. Meskipun jari itu sudah lebih dulu masuk ke dalam vaginanya. Agaknya itu jari kelingking. Sebab dimasuki jari kemaluanya, Ustadzah Aisyah sekonyong terhuyung kecil ke atas dibersamai lenguh kecil yang pada akhirnya terlepas..
“Nah, Kan, Nikmatin aja, Ustadzah. Mending sekarang Ustadzah kocok kemaluanya saya.” Darto melingkarkan jemari Ustadzah Aisyah ke batang penisnya. Kemudian ia melenguh pelan. “Kocok pelan-pelan, Ustadzah.”
Agak malu, Ustadzah Aisyah berkata, “Saya belum pernah, Darto.” Lalu ia menjerit ketika vaginya di colok lagi.. “Ah… Udah, ya, Darto? Nanti ada yang lihat.”
Ustadzah Aisyah sekonyong terkejut ketika tubuhnya terangkat naik dibersamai Darto yang bangkit. Tampak malu ia berusaha melepaskan gendongan Darto yang entah mau membawanya ke mana.
“Kamar Ustadzah dan suami di mana?” Darto bertanya.
“Saya mohon, Darto. Jangan, ya?”
“Ustadzah mau di sini atau di tempat yang lebih aman? Kalau di sini, bagaimana seandainya ada yang lihat?”
Itu adalah pilihan yang berujung pada Darto menyetubuhinya. Tetapi Ustadzah Aisyah yang pada saat itu tak mempunyai pilihan lain—barangkali—berkata dengan suara pasrah dan menenggelamkan wajahnya ke dada Darto:
“Terus sedikit dari dapur. Nanti belok kanan, Kamar pertama dari ujung.”
Sementara di luar, Zubaidah tengah tersengal-sengal menutup mulut. Sedari tadi ia menyaksikan—bersembunyi di belakang tembok sambil mencuri pandang dari celah gorden—betapa perempuan yang ia hormati diperlakukan demikian cabul oleh Tukang Galon. Untuk sesaat Zubaidah merasa dirinya dibohongi atas kezaliman perempuan itu. Dan di lain sisi ia tak mengerti kenapa seorang Ustadzah bisa-bisanya seperti itu. Kemudian ia memegangi kemaluannya. Dan ini yang paling sulit ia mengerti bahwa ia becek menyaksikan itu.