Dengan satu tangannya Darto membuka pintu. Kemudian perlahan ia jatuhkan tubuh Ustadzah Aisyah ke atas tempat tidur sementara ia duduk di tepi ranjang. Ketika perempuan alim itu berusaha bangkit, ia dorong tubuhnya, kemudian serangan berikutnya datang; kedua tangannya memegangi wajah Ustadzah Aisyah, dan bibirnya mencium pipi bening menyembul urat itu. Dikecupnya kiri-kanan bagaikan seorang ayah mengecup putrinya. Meskipun ada sisa pemberontakan, cukup mudah untuk Darto mengambil alih kuasa lagi; ketika pada akhirnya tangannya menyibak gamis perempuan alim itu setinggi pinggang, dan tampak pada celana dalamnya kuyup oleh lendir, Darto kemudian menarik celana dalam itu ke samping, sehingga terlihat bibir kemaluan Ustadzah Aisyah.
Bibir kemaluan Ustadzah Aisyah terlihat bagaikan kepunyaan gadis Remaja. Tampak pula bulu-bulu tipis menghiasi kemaluannya. Tubuhnya sekonyong tersentak ketika jari manis Tukang Galon itu masuk ke dalam, membikin Ustadzah Aisyah menutup mulutnya. Kemudian ia merapatkan kedua kakinya, dan tangannya mendorong tangan Darto agar tak mencolok-colok ia punya kemaluan. Tetapi sungguh sial sebab kemudian Darto membungkamnya dalam satu ciuman di bibir. Sontak menggeser kepalanya agar terhindari dari ciuman itu. Entah bagaimana, lidah Darto akhirnya bisa menyusup masuk dan membersihkan rongga-rongga mulut Ustadzah Aisyah. Membuat perempuan alim itu kikuk atau geli atau apapun itu, sebab tidak pernah ia merasakan ciuman ganas seperti itu.
Lidah Darto kemudian mencari lidah perempuan alim itu. Berpagut-pangut, meskipun Darto merasa kesal sebab Ustadzah Aisyah tak bisa bercumbu atau masih malu-malu. Maka ia melakukan serangan lain; ia memasukan jari telunjuknya—kini terdapat dua jari yang mencolok kemaluan Ustadzah Aisyah. Lalu ia melumat bibir perempuan alim itu lagi, lidahnya gencar menyapu-nyapu. Dirasainya bahwa lendir dari kemaluan Ustadzah Aisyah banjir keluar, menimbulkan bunyi becek setiap ia mencolok-colok jarinya.
Darto mendapati Ustadzah Aisyah dengan roman tak karuan. Wajahnya miring ke samping, dahi-dahinya penuh oleh keringat, dan wajah beningnya tampak sedikit memucat, serta dadanya yang turun-naik mencuri nafas. Darto dalam satu gerakan piawai mencium kening Ustadzah Aisyah dan berbisik:
“Bakal saya bikin Ustadzah menjerit-jerit.”
Lalu ia menarik kedua tangan perempuan alim itu hingga terduduk. Dari bawah, ditariknya gamisnya ke atas, melorot lewat kepala. Dibuangnya ke sembarang tempat.
Tampak Ustadzah Aisyah telah hampir telanjang. Berbalut bra hitam, tampak dada kecil tetapi padat ia lindungi dengan kedua tangan menyilang, meskipun Darto kemudian menyingkapnya dan mendorong tubuhnya. Bagaikan hewan sembelihan rupa perempuan itu sekarang ini, tak berdaya.
Ia tak tahu harus bertindak apa, Ustadzah Aisyah itu. Ia tahu ini dosa, dan berat hukumannya. Akan tetapi, ia menikmati pula. Ia secara sadar bahkan tidak memberikan perlawanan yang signifikan. Untuk sesaat ketika Darto menarik Bra-nya dan menyusu, ia berpaling; mendapati foto pernikahannya dengan suaminya. Betapa ia telah menghianati suaminya itu. Akan tetapi kemudian ia malah mendesah kecil ketika merasakan perih di putingnya.
Ia julurkan kedua tangannya dan membalik foto pernikahannya. Tetapi ia tak bisa melakukan hal yang sama pada foto di dinding kamar mereka. Tampak foto pernikahan mereka di sana. Ustadzah Aisyah tampak cantik mengenakan pakain serba putih, di samping suaminya, keduanya mengangkat jari manis ke arah kamera. Dan senyum penuh bahagia. Kontras dengan apa yang ia lakukan sekarang ini; mengizinkan tubuhnya disentuh, kemaluannya di colok-colok, bahkan ia menikmati dan lihatlah ketika Darto memelintir dada satunya, Ustadzah Aisyah memejamkan mata, dan mendesah pula ia pelan-pelan bagaikan berbisik kepada entah.
Untuk sesaat Ustadzah Aisyah bisa bernafas lega, sebab Darto berhenti memperulah tubuhnya. Tukang Galon itu berdiri di tepi ranjang, membuka bajunya setelah ia mengeluar kondom. Ia tersenyum ke arah Ustadzah Aisyah yang Bra dan celana dalamnya terlihat compang-camping, berkata sambil menjulurkan Kondom:
“Ustadzah belum mau hamil, kan?” Ia mendekat dan menarik kaki Ustadzah Aisyah, sehingga membuat tubuh itu terseret.
Ustadzah Aisyah melihat lama kemaluan berbulu tak pernah dicukur itu. “Darto, saya gak bisa melakukan ini.” Katanya.
“Ustadzah hanya punya dua pilihan. Pertama, saya setubuhi gak pakai ini—kondom—atau sebaliknya?” Darto tanpa menunggu jawaban membuka plastik kondom dalam satu gigitan, kemudian menyerahkan itu kepada Ustadzah Aisyah. “Sekarang pilihlah, Ustadzah.”
Ustadzah Aisyah tahu ia tak bisa lagi mundur terhadap lelaki yang telah dilanda hawa nafsu. Sebab lelaki yang dirundung nafsu tak ubahnya bintang lapar. Ditatapnya kondom itu seolah-olah baru kali pertamanya ia melihatnya—dan memang benar-. Darto bertumpu dengan siku kakinya, dan memajukan pantatnya sehingga kemaluannya begitu dekat dengan Ustadzah Aisyah. Ustadzah Aisyah perlahan menggeser tubuhnya sedikit agar kemaluan itu tak jauh dari wajahnya. Kedua tangannya bergerak terulur sementara wajahnya mundur. Ia tak pernah melakukan hal menggelikan seperti ini. Dilebarkannya kondom itu, untuk kemudian menggulungnya hingga mentok. Tampaklah Pejantan kepunyaan Tukang Galon itu terkemas rapi.
“Gimana Ustadzah? Udah siap memeknya dimasukin?” Darto berkata Vulgar. Mendekat dan kemudian tangannya terserok ke belakang, melepas kancing bra perempuan itu. Tampak puas ia sebab kini perempuan alim itu tak lagi melakukan perlawanan, meskipun masih terlihat malu dan menutupi tubuhnya. Demikian pula ia lepas celana dalam itu. Menimbulkan reaksi lucu sebab Ustadzah Aisyah buru-buru menyatukan ke dua kakinya. Sekonyong Darto melebarkan kedua kaki perempuan beranak satu itu. Membentangan kemaluannya sehingga terlihat dua lubang; lubang kencing; dan lubang memek.
Ini adalah penghinaan bagi perempuan alim seperti Ustadzah Aisyah. Ia tidak pernah dilakukan laiknya bintang. Lihat! Darto dengan santai mencelupkan kembali jarinya keluar-masuk bagaikan kemaluan Ustadzah Aisyah adalah kepunyaannya. Sementara Ustadzah Aisyah agaknya sudah menyerah; tak malu ia mendesah. Bahkan ia sudah berani mengeluarkan erangan erotis yang membuat Darto terkekeh.
“Boleh saya masukin, Ustadzah?” Tak mendapat jawaban, Darto menusuk jarinya dengan kencang. Membikin Ustadzah Aisyah terbelangak dengan wajah kaget. Tetapi perempuan itu tak menjawab. Darto merasa kesal dan melepas kondomnya. Lalu dalam satu godaan penuh nakal ia berkata lagi, “Ustadzah kebanyakan diem. Saya kayak berasa ngentotin mayat. Boleh atau engga?”
Ustadzah Aisyah mengangguk malu. “Tapi pake itu, ya?” tunjuknya ke tangan Darto yang menggantung. “Dan jangan lepas hijab saya, ya?” Demikian, baginya, Hijab adalah simbol. Andaikata ia melepasnya, ia bukan takluk lagi kepada nafsu. Tetapi meninggalkan tuhannya. Lantas untuk apa ia bercinta?
“Lagian saya mau ngentotin Ustadzah dengan Hijab. Tampak lebih alim dan binal.” Darto berkata.
Setelah memakai Kondom kembali, Darto mengarahkan kemaluannya dengan hati-hati. Ia meludahkan tangan kanannya dan menampar pelan kemaluan Ustadzah Aisyah. Kemudian kemaluannya ia arahkan ke lubang itu. Tepat di lubang vagina perempuan itu, Darto mendorong tubuhnya, sehingga penisnya ikut terdorong dengan kekuatan tenaga kuda.
Kedua kaki dan tubuh Ustadzah Aisyah bergetar ketika menerima tusukan itu. Ia merasa tubuhnya dimasuki oleh benda asing yang menyesakan tetapi menggairahkan. Punggungnya bahkan menggeliat dan wajahnya memeram dengan kepala goyang sini-sana bagaikan kerasukan.
Penis Darto diam sejenak. Lenguh mereka saling terdengar. Suara-suara dari luar sunyi. Hanya terdengar dedaunan yang jatuh, dan deru kendaraan dari kejauhan. Perlahan Darto menggerakan tubuhnya sambil tangannya menahan ke dua kaki perempuan yang tengah berahi di bawahnya. Terlihat penis Darto banjir oleh lendir Vagina Ustadzah Aisyah. Kemudian Darto menambah kecepatannya. Terkekeh pula ia ketika mendapati reaksi Ustadzah Aisyah yang bagaikan cacing kepanasan. Bahkan ia tak pernah membayangkan bisa meniduri seorang Ustadzah layaknya sekarang ini.
Tubuhnya telah digenjot. Kini ia bukan lagi seorang istri yang saleha. Ia tak lebih daripada pelacur. Tetapi tak seperti pelacur, Ustadzah Aisyah masih mempunyai kehormatan–sedikit. Lihat! Bahkan ketika ia telah dimasuki, ia berusaha mungkin tidak bereaksi berlebihan; memejamkan mata dan berpaling, desahnya hanya terdengar pelan, mulutnya terkatup rapat-rapat.
“Enak gak, Ustadzah?” Darto berkata. Tubuhnya bersimbah keringat. Bisa capek rupanya ia.
Sekonyong kemudian Ustadzah Aisyah mendesah nyaris teriak, ketika merasakan sengat di sekujur tubuhnya. Ia tak tahu apa yang dilakukan Tukang Galon iyu. Yang ia tahu ia sedang digagahi, vaginanya di tusuk-tusuk. Kemudian bokongnya terangkat sedikit, sebab Darto melakukan itu lagi. Ia tak tahu apa itu. Tetapi jelas ia merasakan keanehan seolah-olah di tubuhnya terdapat tombol listrik pengirim sengat.
Waktu ke waktu, tempo tusukan Darto makin cepat. Bahkan kini ia menarik ke dua tangan Ustadzah Aisyah untuk dijadikannya pegangan, membikin dada Ustadzah Bergoyang kanan-kiri. Jelas itu membuat Ustadzah Aisyah makin merem-melek tak karuan bagaikan mengejan. Tubuhnya telah digenjot. Bahkan lebih daripada itu. Buah dadanya di cicipi. Bahkan ia merasakan kulitnya ditandai. Juga ketika Darto mengangkat satu tangannya dan menciumi ketiaknya. Perbuatan kotor yang hanya hewan lakukan, pikirnya. Tetapi semakin Darto melakukan hal-hal aneh, Ustadzah Aisyah justru terangsang bukan main. Bahkan tubuhnya kini tak ubahnya sekoci di tengah laut penuh badai. Terombang-ambing di bawah kuasa tukang Galon. Ia makin terengah-tengah. Dadanya sesak. Saat ia membuka matanya ia melihat Darto yang tersenyum kepadanya. Dadanya penuh keringat. Rambutnya sama. Juga perut lelaki itu yang ada petak-petaknya. Tampak seluruhnya licin. Ustadzah Aisyah melihat bagaimana Darto menggenjotnya. Kemudian Ustadzah Aisyah menahan kedua kakinya dengan kedua tangannya, seolah-olah merasa kasihan atas kerja keras Darto. Sekonyong saja ia mendapati Darto mencium bibirnya sambil tangan Kanan Darto memegangi kepalanya dan berusaha untuk masuk ke lehernya.
Mereka bercumbuh. Tak elok Ustadzah Alim itu diperbuat Tukang Galon. Bahkan mereka tampak bagaikan saling menikmati. Ke dua tubuh di atas ranjang itu memantul-mantul. Bahkan desah keduanya saling berhamburan. Ranjang itu yang tampak rapi jadi berantakan. Persetubuhan mereka itu disaksikan oleh Farhan yang ada dibalik Potret. Tengah menjulurkan cincin pernikahan ke arah kamera. Bahagia betul dirinya.
Tanpa Ustadzah Aisyah sadari kini ke dua kakinya telah melingkar di pergelangan pinggang Darto sementara tangannya memeluk pemuda itu bagaikan kekasih. Ia bahkan dengan sikap pemula berusaha meladeni permainan Lidah Darto di dalam rongga mulutnya. Tampak penis Darto memberinya kenikmatan sehingga mampu membuatnya yang teladan jadi begitu. Pantatnya semakin turun-naik, desahnya semakin menyalak. Membuat Darto tak bisa hilang rasa senang. Takluk sepenuhnya sudah.
“Gimana Ustadzah? Rasa kontol saya? Enak Bukan?” Sambil memacu dengan kuat Darto berbisik. “Sialan betul, Ustadzah. Seharusnya saya ngentotin Ustadzah gak pake kondom sialan ini. Tetapi gak papa, lah. Belum waktunya Ustadzah Hamil. Kasihan suami nanti.”
Ustadzah Aisyah yang fokus dalam kenikmatan hanya membalas singkat. “Iya, Darto.” Atau. “Hmpp Ahh.. Heeh, Darto.” atau, “Udah, Darto. Saya gak kuat.”
Kemaluan mereka saling bertabrakan. Bahkan lendir yang dihasilkan cukup banyak, mengalir ke celah pentat Ustadzah Aisyah, turun merambat ke lubang duburnya yang kecil dan pastilah sempit, kemudian membasahi tempat tidur. Derit kaki ranjang berdecit, menahan dua tubuh yang ganas saling menusuk.
Ustadzah Aisyah tak mampu lagi berpikir mana yang baik atau buruk. Sensasi sedap yang ia rasakan sungguh tanpa ampun membikin perempuan alim sepertinya tak berdaya. Bagaimana tidak, bahkan tubuhnya telah banjir oleh keringat. Tampak aneh sesungguhnya sebab ia bertelanjang, akan tetapi hijabnya masih bertengger. Andaikata orang melihat persetubuhan itu, barangkali mereka sulit mempercayainya.
Terus mendapat gempuran di lubang Vaginanya, Ustadzah Aisyah membalas lidah-lidah Tukang Galon itu, bahkan ia sudah sedikit nakal; lidahnya ikut menjelajahi rongga mulut Darto, bahkan bibirnya sudah mulai melumat, meskipun sedikit tak terbiasa sebab mulut Darto berasa dan berbau tembakau, tak seperti punya suaminya.
Darto terus memacu Ustadzah Aisyah, tangannya tak tinggal diam; meremas kedua payudara padat itu dengan kasar, membikin si pemilik mengeluarkan erangan malu-malu. Darto suka lagak seperti ini. Perempuan yang malu-malu. Dan selagi ia menggenjot Ustadzah Aisyah, adalah ia berpikir untuk membuatnya semakin binal. Akan tetapi untuk saat ini ia hanya ingin menuntaskan hasratnya. Kemudian ia percepat tusukannya sambil memeluk Ustadzah Aisyah.
Keduanya hendak mencapai puncak kenikmatan. Di bawah tubuh Darto, Ustadzah Aisyah tak sanggup lagi menahan; ia mengeratkan lingkaran kakinya, memeluk Darto sungguh erat; bahkan ia mengambil sikap berani, meremas rambut Darto seperti mana yang ia lakukan kepada suaminya ketika bercinta. Sekonyong tubuh mereka bergetar hebat bagaikan gempa bumi terjadi di kamar itu. Pelukan mereka semakin erat. Dalam satu tusukan terakhir, Darto dorong dalam-dalam kemaluannya. Membuat kepala Ustadzah Aisyah tertarik ke belakang. Itu diakhiri dengan satu ciuman dalam oleh keduanya. Tubuh mereka perlahan pulih. Kemaluan mereka masih menyatu.
Terdengar nafas memburu-buru bagaikan sehabis dikejar macan.
***
Ustadzah Aisyah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia menggeser tubuhnya agak jauh dari Darto yang terbaring di sampingnya. Tercium bau keringat Tukang Galon itu di tempat tidur mereka, mesti nantinya ia harus mengganti sprei dan selimut. Ustadzah Aisyah kemudian menyuruh Darto untuk hengkang dari rumahnya dengan nada malu-malu:
“Sebaiknya kamu pulang, Darto,” katanya.
Darto menggeser tubuhnya dan merangkul Ustadzah Aisyah serta mencium pipi perempuan itu. “Aman aja, Ustadzah. Lagian saya bisa masuk kerja nanti. Kita lanjut ronde dua gimana?”
Ustadzah Aisyah menyingkirkan lengan Tukang Galon itu. Ia melihat jam dinding yang menunjukan pukul sebelas tepat. Sekonyong ia teringat bahwa Si Kecil sudah pulang. Kemudian ia bangkit dan berjalan dalam keadaan bertelanjang dengan balutan hijab di kepalanya. Di tengah pintu ia berkata kepada Darto, “Saya mau jemput putri saya, Darto. Sebaiknya kamu juga pulang. Saya mohon.” Tetapi Darto masih tiduran di tempat tidur. Membuat Ustadzah Aisyah mendengus dan meninggalkan Pemuda itu. Ia perlu menjemput si kecil.
Di kamar mandi ia membasuh dirinya. Melepas hijabnya yang banjir oleh keringat. Ia membasuh seluruh tubuhnya dari atas. Kulitnya terutama bagian dada terasa perih ketika terkena air. Tampak memerah. Terutama bagian kemaluannya yang terasa sedikit ngilu disebabkan penis Darto yang gencar menusuknya. Ketiaknya bahkan terasa lengket oleh keringat bercampur ludah Darto. Kemudian ia keluar dengan tubuh terbelit oleh Handuk.
Di kamarnya ia masih mendapati Darto tengah bersandar. Pemuda itu telah mengenakan celananya tetapi bertelanjang dada. Tak punya sopan santun ia merokok pula, membuat Ustadzah Aisyah menghampirinya dan berkata agak sedikit marah. Tetapi Darto malah bergeming, membuat Ustadzah AIsyah lekas menarik tangannya dengan paksa.
“Darto, saya perlu berganti. Keluar Darto. Darto keluar!” Ustadzah Aisyah berkata dengan nada Pasrah.
“Terus masalahnya apa Ustadzah? Lagian Ustadzah udah pernah saya masukin. Kenapa harus malu telanjang di depan saya?” Sekonyong ia menarik handuk yang membelit tubuh Ustadzah Aisyah sehingga perempuan itu lekas menutupi area terlarangnya dengan kedua tangan. Darto kemudian mendorong pelan tubuh Ustadzah Aisyah ke depan meja rias. Kedua tangan Ustadzah Aisyah ia bentangkan sehingga tampak buah dada dan vagina perempuan itu. Di depan kaca meja rias terlihat Darto ingin mulai menyetubuhi Ustadzah Aisyah, tangannya meremas buah dada perempuan itu, membuat Ustadzah Aisyah menggelinjang tanpa perlawanan. Jari Darto merayap dan membelai halus bulu-bulu vagina perempuan alim itu.
“Mau saya bantu cukurin Ustadzah?” Katanya sambil tersenyum.
Lekas saja tubuh tukang Galon itu didorong Ustadzah Aisyah. Dengan semu merah di pipi ia mengatakan untuk tidak berbuat lebih jauh lagi, menambahkan ia harus segera menjemput putrinya. Mendapati Darto kembali ke tempat tidur, Ustadzah Aisyah mendengus. Sambil menutupi tubuhnya dengan kedua tangan ia membuka lemari pakain dan mengambil celana dalam dan bra-nya dan gamisnya, juga hijabnya. Ia pasang satu persatu. Ketika ia memasang Bra-nya sekonyong Darto di belakangnya, membantunya mengaitkan Branya. Tetapi Ustadzah AIsyah membiarkannya. Entah kenapa. Bahkan ketika Darto menarik kakinya ke atas untuk membantunya memakai celana dalam, dibiarkannya. Barulah kemudian Ustadzah Aisyah mengenakan gamisnya. Lalu bersolek sebentar. Mengenakan hijabnya kemudian.
Darto masih di belakangnya. Ketika Ustadzah Aisyah hendak mau ke luar kamar, Darto lekas mencium bibir perempuan itu sekilas, tanpa lumatan. Mereka bertatapan untuk sesaat, lalu tukang Galon itu berkata:
“Hati-hati, Ustadzah.”
***
Terdengar Si Kecil Nana merengek sambil menangis di dalam mobil. Tersedan ia menyeloteh kalau ia sudah menunggu lama dan panas-panasan di depan gerbang. Bahkan ia mengatakan bagaimana kalau dirinya diculik oleh penjahat. Juga ia tak mau bicara dengan uminya, meskipun sesungguhnya ia berharap di tenangkan atau dikasih hadiah.
“Iya, Nana. Umi minta maaf, ya. sayang?” Kata Ustadzah Aisyah.
“Umi gak biasanya terlambat jemput Nana,” kata Si Kecil.
“Umi tadi ada urusan, sayang.”
Ustadzah Aisyah menghela nafas begitu si kecil merengek lagi dan memarahinya akan keterlambatannya itu.
***
Di garasinya ia parkir mobilnya, Nana sudah turun lebih dahulu dalam langkah-langkah menghentak-hentak, tasnya tak ia bawa. Ustadzah Aisyah sambil menyandang tas Si Tukang Rengek masuk ke dalam rumah. Sekonyong ia mendapati Darto di ruang tamu. Tukang Galon itu tak pulang-pulang sedari tadi. Padahal di halaman ia tak melihat motor butut yang biasa pemuda itu gunakan untuk mengantar galon.
Si Kecil Nana langsung mendekati Darto. Ia melihat ke arah uminya sebentar, lalu kepada Darto ia berkata:
“Om kenapa di sini?”
Darto dengan santai menjawab, “Habis bantuin Umi kamu.”
“Bantuin apa, om?”
Ustadzah Aisyah keburu memotong percakapan. Kepada Si Kecil ia suruh masuk ke kamar dan berganti pakain dalam satu nada tinggi dan wajah serius. Sehingga Si Kecil yang melihat lagak itu segera menghilang. Kepada Darto, ia bilang untuk pulang dalam kepasrahaan dan raut wajah meminta mohon. Kemudian Darto bangkit dan mencium pipinya sambil melewatinya dan menampar pantatnya dengan lembut dibersamai remasan. Tetapi Tukang Galon itu, kemudian berhenti di ambang pintu.
“Ustadzah mau anterin saya gak? Saya jalan kaki sedari tadi. Boleh ya?”
Tingkah pemuda itu, sungguh membuat Ustadzah Aisyah serasa mau pecah otaknya. Mengambil langkah malas. Menyuruh Darto mengikutinya. Keduanya menuju parkiran sambil memperhatikan sekitar. Ustadzah AIsyah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Disusul Darto kemudian.
***
Ustadzah Aisyah yang sedari tadi menyetir di buat tak fokus oleh tangan Darto yang jatuh di pahanya, sesekali ia mendapati tukang galon itu mengelus-elus pahanya. Sehingga ia perlu menyingkirkan tangan itu.
“Ustadzah tadi nikmatin gak?” Tanya Darto.
Ustadzah Aisyah bergeming.
“Memek Ustadzah paling nikmat di antara perempuan lain yang pernah saya coba. Sempit, kaya masih perawan.”
Ustadzah Aisyah tertohok akan pernyataan itu. Ngilu ia rasakan. Lebih karena ia bukan satu-satunya perempuan yang disetubuhi Darto. Sekilas raut wajahnya cemburu. Sesak dadanya semakin. Sebuah perasaan aneh yang tidak bisa mengerti. Seolah-olah ia ingin menjadi satu-satunya. Ia memelototi Darto dengan wajah ngambek. Sedikit kemarahan, tentu saja.
Darto menyadari perubahan raut wajah itu terkekeh kecil. “Maaf saya sudah bohongin Ustadzah. Saya biasanya ngentot pelacur, kok. Baru kali ini saya ngentot perempuan baik-baik.” Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Ustadzah Aisyah. “Tapi saya janji mulai sekarang bakal ngentotin ustadzah Aisyah aja.”
“Jangan samain saya dengan perempuan yang pernah kamu pake, Darto.” Berkata Ustadzah Aisyah dalam satu kesan masih cemburu.
Darto yang melihat reaksi itu terpingkal, menampakan giginya yang separuh kuning. Tingkah perempuan alim itu membuatnya kembali berahi.
Di Pekuburan, Ustadzah AIsyah memberhentikan mobilnya di tepian jalan. Ia melirik Darto agar segera keluar. Kemudian ia pulang setelah menolak tawaran Darto untuk ke rumahnya, sebab yakinlah ia Tukang Galon itu nantinya akan menyetubuhinya lagi. Sepanjang perjalanan itu dadanya semakin panas, deruh nafasnya memburu. Bukan sebab ia merasa telah dilecehkan, tetapi sebab ia bukan satu-satunya perempuan yang disetubuhi Darto. Dan ucapan Darto yang membandingkannya dengan pelacur, menyebabkan matanya memanas. Ia mau menangis. Kenapa? Ia tak tahu.
***
Sore ketika selesai mengisi ceramah, Ustadzah Aisyah tak langsung pulang, ia duduk di teras Masjid bersama Zubaidah, yang pada saat itu meminta nasehat kepadanya. Meskipun ia lebih banyak merenung, bahkan ia merespon Zubaidah dengan anggukan atau dengan kalimat pendek seolah-olah mendengar. Sesungguhnya pikirannya melayang ke pagi ketika Darto memperlakukannya dengan binal. Ingin ia akui bahwa ia menyukai perlakuan Darto yang mencium bibirnya dan berkata hati-hati ketika hendak menjemput putrinya. Tetapi kemudian ia merasa perlakuan Darto yang seperti itu adalah omong kosong. Ia beranggapan Darto melakukan itu kepada semua perempuan yang ia tiduri, bukan kepada dirinya saja. Rasa bersalah terhadap kesalahan dan ikrar pernikahannya sekoyong lenyap, berganti menjadi cemburu penuh nafsu.
“Ustadzah kok kayak banyak pikiran gitu?” Zubaidah bertanya. Meskipun ia sudah tahu penyebabnya. “Ada yang terjadi Ustadzah?”
Cepat Ustadzah Aisyah menggeleng-geleng sambil memaksa senyum dan membenarkan posisi duduknya seolah-olah tampak antusias mendengar Zubaidah.
Zubaidah tersenyum kecil. Kemudian ia memepet tubuh Ustadzah Aisyah. Berbisik, “Begini, Ustadzah. Pagi tadi, saya mau berkunjung ke rumah Ustadzah. Kemudian, saya melihat Darto di depan pintu rumah Ustadzah, dan masuk begitu saja.” Tubuh Ustadzah Aisyah menegang. Ia tahu arah pembicaraannya. Zubaidah tersenyum nakal, melanjutkan. “Saya penasaran. Dan mengintip dari luar. Saya terkejut dan hampir gak percaya apa yang saya lihat, lho.” Usdtazah Aisyah secara refleks hendak bangkit. Kini degup jantungnya terasa mau pecah. Tetapi Zubaidah menarik tangannya dengan kasar sehingga membuatnya terduduk penuh pucat. “Saya lihat Ustadzah disentuh-sentuh. Bahkan dengan jelas saya lihat kemaluan Ustadzah dimasukin jari Darto. Saya bahkan gak mempercayai bahwa Tukang Galon jelek itu, bisa bikin Ustadzah kaya gitu.” Zubaidah tersenyum dan berbisik nyaris tak terdengar. “Tapi saya gak bakal bocorin ini ke siapapun Ustadzah. Ini rahasia kita berdua, kok. Aman.” Dalam satu kesan untuk menjaga rahasia, ia menambahkan, “Ustadzah percaya gak? Kalau saya udah gak perawan?”
Ustadzah Aisyah mengangguk kikuk. Jauh di lubuk hatinya ia menganggap Zubaidah perempuan baik-baik.
“Setiap orang menyimpan rahasia masing-masing, Ustadzah. Saya pun begitu. Ustadzah demikian pula. Jadi saya tidak mempermasalahkan itu.”
Ustadzah Aisyah masih termenung sepanjang jalan pulang. Ia merasa kikuk dengan Zubaidah yang mengetahui rahasianya. Meskipun perempuan itu berjalan di sampingnya dan bertanya perihal pernikahannya tanpa rasa bersalah dan seolah tak terjadi apa-apa. Membuatnya lebih bingung lagi.
Ketika mereka sampai di persimpangan, Zubaidah dari kejauhan melihat Ustadzah Aisyah memasuki gang samping tempat Darto bekerja. Ia melihat Ustadzah Aisyah menunduk dan berjalan pelan-pelan. Zubaidah tersenyum kecil, “Masih malu-malu,” Gumamnya.