Kamar Si Kecil Nana adalah ruangan yang sempit, dipenuhi warna merah jambu khas anak perempuan. Ada satu ranjang tidur berukuran kecil di sudut, beralaskan sprei bergambar kartun kucing tersenyum, kini separuhnya tertutup oleh tumpukan kepingan lego yang dibawa Nana. Si Kecil Nana, yang berlari masuk lebih dulu, seketika menghempaskan diri ke tumpukan lego di ranjangnya. “Ayo, Om! Kita bikin istana!” Riang ia berkata.
Darto masuk sambil masih menggenggam tangan Ustadzah Aisyah. Untuk kemudian, ia menutup pintu kamar itu..
“Om, kok, ditutup?” Si Kecil bertanya, kepalanya menyembul dari balik tumpukan lego.
“Biar gak berisik, Na,” jawab Darto. “Biar Umi kamu bisa konsentrasi bantu kita.”
“Oke, deh, om.” Si Kecil Nana`keluar dari genang Lego. Untuk kemudian ia membawa kepingan itu di lantai.
Ia menarik Ustadzah Aisyah, membikin perempuan alim itu melangkah gontai, kakinya bagaikan diseret. Didudukannya di tepi ranjang, di satu-satunya ruang kosong yang tersisa. Darto kemudian mengambil duduk di sampingnya, begitu dekat. Si Kecil Nana duduk di antara mereka, membelakangi Darto, menghadap Ustadzah Aisyah.
“Umi,” Nana merengek, menyodorkan kepingan biru. “Pasang ini.”
Ustadzah Aisyah mengambil kepingan itu.
“Bukan di situ, Umi!” Nana memprotes lagi ketika Ustadzah Aisyah asal menempelkannya.
“Umi kamu lagi gak fokus, Nana.” Darto menimpali sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, berpura-pura melihat susunan lego. Gerakan itu membuatnya semakin merapat ke Ustadzah Aisyah. Tangan kirinya, yang bebas, ia letakkan di kasur, tepat di belakang punggung perempuan alim itu.
“Om, ini buat jendelanya.”
“Jendela, ya?” Darto berkata. Tangannya yang di belakang Ustadzah Aisyah mulai bergerak. merayap mendekati pinggul Ustadzah Aisyah. “Harus yang kuat, jendelanya.”
Ustadzah Aisyah menggeser duduknya sepersekian senti menjauh.
“Umi, kok, geser-geser?” Nana bertanya. “Nanti legonya jatuh!”
“Umi…” Ustadzah Aisyah tercekat. “Umi cari posisi.”
“Posisi yang enak, ya, Ustadzah?” Darto berbisik—begitu pelan dan hanya Ustadzah Aisyah yang bisa mendengarnya.
Kemudian Darto meluruskan kakinya. Kaki kanannya, terulur di bawah kaki Ustadzah Aisyah yang terjuntai. Ia menggerakkan kakinya pelan. Sontak perempuan itu menarik kakinya dengan cepat, menyembunyikannya di bawah ranjang.
“Umi kayak main petak umpet!” Nana tertawa.
“Iya,” kata Darto. “Umi kamu lagi main. Coba kita lihat, ia bisa sembunyi di mana lagi.”
Darto kembali mencondongkan tubuhnya. Kali ini, ia mengulurkan tangan kanannya, melintasi tubuh Si Kecil Nana, seolah hendak mengambil kepingan lego di dekat Ustadzah Aisyah. Tetapi tangannya berhenti di tengah jalan. Tangan itu mendarat di paha Ustadzah Aisyah. Meremasnya. Kuat.
“Nngh!” Suara itu lolos dari bibir Ustadzah Aisyah dibersamai mata terbelengok menatap Tukang Galon itu.
“Om! Tangannya!” Si Kecil Nana memprotes. “Kena istana Nana!”
“Oh, maaf, ya, Na?” Darto menarik tangannya, tetapi tidak sebelum ia menggesernya ke atas sedikit, ke pangkal paha perempuan itu, memberikan satu cubitan singkat yang cabul.
Ustadzah Aisyah memejamkan mata. Napasnya terengah. Ia meletakkan kepingan lego yang ia pegang. Kedua tangannya kini mencengkeram tepi ranjang di kedua sisi tubuhnya.
“Nana,” Darto tiba-tiba berkata.
“Iya, Om?”
“Om punya mainan baru. Lebih seru dari Lego.”
“Apa, Om? Apa?” Mata Si Kecil berbinar.
“Tapi ini rahasia,” kata Darto. “Nana harus tutup mata. Rapat-rapat. Gak boleh ngintip sama sekali.”
Si Kecil Nana terkikik girang. Ia seketika membalikkan badan dan menutup kedua matanya dengan telapak tangan mungilnya. “Udah, Om! Rapat!”
Dalam sepersekian detik, suasana di kamar itu berubah. Darto tidak lagi tersenyum. Ia menoleh, menatap Ustadzah Aisyah. Perempuan alim itu menggelengkan kepalanya. Pelan. Satu gerakan putus asa. “Darto… jangan…” Bagai seorang bisu ia gerak bibirnya.
Darto mengabaikannya. Tangannya, yang tadi meremas, bergerak lagi. Tangan itu merayap naik ke paha Ustadzah Aisyah. Kemudian menyelusup ke bawah gamis longgar yang dikenakannya.
Tubuh Ustadzah Aisyah tersentak hebat. Ia mencoba bangkit, tetapi tangan kiri Darto, yang sedari tadi bersiaga di belakangnya, sekonyong mencengkeram bahunya, menekannya kembali ke kasur.
“Nana belum boleh buka mata,” kata Darto.
Tangan telah mencapai kulit paha bagian dalam. Ia tahu perempuan itu tidak mengenakan apa-apa di baliknya. Demikian Jemarinya bergerak naik.
Ustadzah Aisyah terisak kering. Dan mengangkat tangannya, untuk kemudian mencoba meraih tangan Darto, menghentikannya.
“Om, udah belom?” Suara Nana terdengar.
“Bentar lagi, sayang. Om lagi siapin,” Darto menjawab. Tangannya telah menemukan apa yang ia cari; kemaluan sempit dan tampak imut bagai bibir anak gadis.
Ia memasukkan satu jarinya.
Ustadzah Aisyah terbelalak. Sebab itu ia menggigit telapak tangannya untuk meredam jeritan yang membakar tenggorokannya. Tampak di pelupuk matanya menggenang air.
“Umi… Umi kok, gerak-gerak?” Nana bertanya, matanya masih tertutup. “Tempat tidurnya goyang!”
“Umi kamu lagi cariin mainannya juga,” Darto berbohong sambil memasukkan jarinya lebih dalam. Memutarnya di dalam kemaluan Ustadzah Aisyah yang terasa lembek.
Tubuh Ustadzah Aisyah kejang, mengigigit tangannya lebih keras. Rasa sakit di tangannya tidak seberapa dibanding sensasi yang ia rasakan.
“Nana,” Darto berkata lagi, “Om lupa. Mainannya ada di ruang tamu. Di bawah sofa. Coba Nana cari. Kotaknya warna merah.”
“Ih, Om! Katanya di kantong!”
“Om salah ingat. Cepetan, cari! Nanti Om kasih hadiah.”
Perintah itu, ditambah iming-iming hadiah, berhasil. Si Kecil Nana seketika menurunkan tangannya, melompat dari ranjang. “Oke! Nana cari!”
Ia berlari keluar kamar, menutup pintu kamar dengan jemari kecilnya dengan pelan.
Ustadzah Aisyah masih dalam posisinya. Terduduk, punggung melengkung, tangan membekap mulut. Setelah mengunci pintu kamar, Darto kembali ke posisinya, memasukan jemarinya ke dalam kemaluan perempuan alim itu.
“Sekarang,” Darto berbisik. “Kita bisa selesaikan, Ustadzah.”
Darto menarik tangannya. Bunyi basah terdengar. Ustadzah Aisyah terkulai. Ia nyaris rubuh ke samping, tetapi Darto menahannya. Pemuda itu tidak menunggu. Ia bangkit dari kasur, berdiri di depan Ustadzah Aisyah. Dengan satu gerakan cepat, ia membuka ritsleting celananya.
“Darto… Nana… ia bisa kembali…” Ustadzah Aisyah merintih.
“Makanya kita harus cepat,” kata Darto.
Tukang Galon itu tidak repot-repot melepas celananya. Sekonyong, ia rebahkan dirinya di atas ranjang, di antara boneka dan kepingan lego. Punggungnya ia sandarkan, membuat ranjang berderit. Kaus kotornya tertarik ke atas, menampakkan sebagian perutnya. Ia menepuk-nepuk kasur di depannya, di antara kedua kakinya yang terentang. Ritsleting celananya sudah terbuka. Kemaluannya yang tegang menyembul. “Sesuai janji, Ustadzah. Giliran Ustadzah.”
Ustadzah Aisyah berdiri mematung. Matanya yang tadi penuh ketakutan kini tampak sayu, bibirnya sedikit terbuka dan basah. Ia menatap Darto, lantas menatap pintu kamar yang tertutup.
“Nana bisa kembali, Darto..”
“Makanya cepat, Ustadzah.”
Untuk kemudian, Ustadzah Aisyah bergerak; meletakkan satu tangannya di bahu Darto. Tangan satunya di kasur, menekan boneka kelinci. Ia mengangkat lutut kanannya, meletakkannya di atas seprai bergambar kucing itu, di samping paha Darto. Ranjang itu bergoyang. Ia menaikkan lutut kirinya. Kini ia berlutut di atas pemuda itu, mengangkanginya. Gamisnya yang longgar tersampir di sekitar mereka, menutupi paha Darto.
Tangan Darot mulai bergerak, masuk ke bawah gamis. Merayap. Jemarinya menyentuh kulit perutnya, lalu naik. Tangan itu berhenti di kaitan bra-nya. Dengan satu gerakan cepat, kaitan itu terbuka. Kemudian, tangan itu turun, merenggut kain gamisnya dengan kasar, menyibaknya hingga tertumpuk di pinggang Ustadzah Aisyah. Bra hitamnya kini longgar, menampakkan dadanya.
Ustadzah Aisyah kini terduduk di atasnya, telanjang dari pinggang ke bawah.
“Ini kamar anak saya…” katanya lagi.
“Saya tahu.” Tangan Darto mencengkeram kedua sisi pinggul Ustadzah Aisyah, menahannya. Ia sedikit mengangkat panggulnya sendiri. Ujung kemaluannya yang tumpul menyentuh bibir vagina perempuan itu. “Masukin.”
“Umi! Gak ada kotaknya!” Terdengar suara Nana berteriak dari ruang tamu.
Darto menggeram. “Cari aja dulu!” Ia mendongak menatap Ustadzah Aisyah. “Sekarang, Ustadzah.”
Ustadzah Aisyah memejamkan mata. Kemudian ia menempatkan kedua telapak tangannya di dada Darto, sebagai tumpuan. Ia menggeser tubuhnya sedikit ke depan. Ujung kemaluan Darto menekan lebih dalam. Ia menarik napas pendek. Lantas, ia tidak lagi ragu. Ia menekan tubuhnya ke bawah.
Kemaluan itu masuk. Perlahan. Berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Kemaluan itu baru masuk setengah.
“Lagi,” kata Darto sambil meremas pinggul perempuan alim itu.
“AAKH!” Suara itu meledak, setengah tertahan, bercampur desah. Tubuhnya tersentak hebat saat kemaluan Darto menancap penuh..
“Umi!” Suara Nana kini terdengar di depan pintu. Terdengar jengkel. “Umi kenapa?!”
“Umi kamu keinjek lego!” Darto tidak membiarkan Ustadzah Aisyah diam. Kedua tangannya di pinggul perempuan itu memandunya. Mengangkatnya. Menekannya.
“Sshh, Ustadzah. Jangan berisik,” ia berkata di telinga Ustadzah Aisyah. “Nanti anak Ustadzah curiga.”
Ustadzah Aisyah memalingkan wajahnya, dibenamkan ke bahu Darto sambil menggigit bahu pemuda itu.
Darto menggerakkan pinggulnya dari bawah, Ustadzah Aisyah membalas dari atas. Ranjang berderit tak karuan. Tubuhnya mulai bergerak. Pinggulnya terangkat. Satu senti. Turun. Menelan benda asing itu. Di luar, suara Nana terdengar menggeser-geser sesuatu di ruang tamu, mencari kotak merah.
Tangan Darto di pinggul Ustadzah Aisyah tidak lagi memandu. Tangan itu meremas. Kasar.
“Gerak,” perintah Darto.
Ustadzah Aisyah mengangkat tubuhnya lagi. Lebih tinggi. Ujung kemaluan Darto nyaris terlepas, lantas ia menghunjamkan tubuhnya ke bawah..
“Nngh!” Suara itu lolos.
Darto tertawa. “Gitu.”
Ia mulai bergerak. Naik. Turun. Serupa boneka yang dikendalikan. Tangannya masih menumpu di dada Darto. Matanya terpejam rapat.
Di luar, Nana bersenandung. “Kotak merah… kotak merah…”
Tangan Darto yang satu terlepas dari pinggul begerak untuk mengambil dada Ustadzah Aisyah. Dan menyibak bra hitam yang sudah longgar itu. Dadanya terbebas. Tampak duah buah Ustadzah Aisyah bergelayun turun-naik, dengan puting kecoklatan yang menegang. Diremaslah dari Darto dengan kasar kedua buah dada itu.
Gerakan Ustadzah Aisyah terhenti. Sebab itu Darto berkata, “Terus,” sambil menyodok kemaluan Ustadzah Aisyah dari bawah, memaksa tempo kembali.
Ustadzah Aisyah kembali bergerak. Entah bagaimana, pinggulnya mulai berputar sedikit, membikin penis Darto ikut pula memutar di dalamnya.
“Umi! Beneran gak ada!” Suara Nana meninggi, jengkel. Ia mulai menggedor pintu. “Umi! Om! Buka! Nana mau masuk!”.
Darto sekonyong mencengkram pinggul Ustadzah Aisyah, menghentikan gerakannya. Ia membalik tubuh perempuan itu. Cepat sekali.
Ustadzah Aisyah kini terbaring telentang. Darto di atasnya.
“Darto…!”
“Berisik,” kata Darto sambil menahan kedua pergelangan tangan Ustadzah Aisyah dengan satu tangannya, membentangkannya di atas kepala perempuan itu, di samping boneka beruang.
Ditusuknya lagi kemaluan Ustadzah Aisyah.
Suara gedoran Nana semakin kencang. “Umi! Buka! Umi!”
Darto bergerak dengan tempo yang cepat dan brutal. Ranjang itu berderit tak karuan. Setiap tusukan masuk dalam.. Tangan Ustadzah Aisyah, yang tadi ditahan Darto, kini terlepas. Tangan itu tidak lagi mendorong. Tangan itu mencengkeram seprai, meremasnya sekuat tenaga. Kakinya, yang tadi lurus kaku, kini mulai menekuk.
Ia melihat perubahan itu. Perempuan di bawahnya tidak lagi melawan. Ia mempercepat temponya. Kekacauan itu—gedoran pintu, teriakan Nana, derit ranjang—mendorong Ustadzah Aisyah.
“Darto…” desahnya.
Tangannya yang tadi mencengkeram seprai kini bergerak, merayap, melingkari punggung Darto. Kakinya yang tertekuk kini terangkat, melingkar di pinggang pemuda itu, menguncinya.
“Iya… Ustadzah… gitu…” Darto tertawa. Kemudian melahap bibir Ustadzah Aisyah. Lidahnya memaksa masuk. Dan Ustadzah Aisyah, di tengah suara gedoran pintu, membalas ciuman itu.
“Umi! Buka! Umi!”
Darto melepaskan ciumannya. Ia menatap wajah Ustadzah Aisyah yang kini basah oleh keringat. “Mau bareng, Ustadzah?”
Ia tidak menunggu jawaban. Ia mencengkeram pinggul perempuan itu, menahannya, dan memompa dengan kecepatan penuh.
“Aah… Aah… Darto… Darto…!”
Tubuh Ustadzah Aisyah menegang kaku. Punggungnya melengkung ke belakang bagaikan busur. Ia menjerit. Gelombang kejut merambat dari pangkal pahanya, membuat seluruh tubuhnya bergetar hebat. Kakinya yang melingkar di pinggang Darto mengerat, kencang. Ia kejang.
Darto tidak berhenti. Ia menggeram panjang, punggungnya menegang. Ia menghunjamkan kemaluannya dalam-dalam, menahannya di sana. Tampak ke duanya ngosa-ngosan-an. Saling memeluk bagaikan suami-istri. Di luar, gedoran pintu Nana seketika berhenti. Terdengar suara langkah kaki kecil berlari menjauh. Barangkali takut mendengar jeritan Uminya.
Di dalam, hanya terdengar napas kedua orang dewasa itu yang memburu.
Darto ambruk. Berguling ke samping, terbaring telentang di ranjang kecil itu, di samping tubuh telanjang Ustadzah Aisyah. Kakinya menjuntai ke lantai.
Ustadzah Aisyah masih mematung dalam posisinya. Telanjang. Basah. Matanya terbuka menatap langit-langit kamar putrinya.
Darto terbaring selama beberapa menit. Napasnya mulai teratur. Ia menoleh ke samping. Ustadzah Aisyah masih dalam posisi yang sama, telentang, mata menatap lurus ke langit-langit. Bra-nya tersingkap, gamisnya tertumpuk di pinggang. Cairan bening dan putih meleleh keluar dari memeknya, membasahi sprei bergambar kucing itu.
Kemudian, Darto bangkit. Ia duduk di tepi ranjang, membelakangi Ustadzah Aisyah. Ia merapikan celananya, menutup ritsletingnya. Kausnya masih basah oleh keringat mereka. Ia mengambil kepingan lego dari lantai, memutarnya di tangannya.
“Om?” Suara Si Kecil Nana terdengar dari balik pintu..
Darto tidak menjawab. Ia melempar lego itu ke tumpukan.
“Umi?” Nana memanggil lagi.
Darto kemudian membuka pintu. Si Kecil Nana berdiri di sana, memeluk boneka beruang. Matanya besar, menatap Darto, lalu bergeser menatap Uminya yang terduduk di ranjang.
“Umi… keinjek lego?” tanyanya.
Ustadzah Aisyah tidak menoleh.
“Iya,” Darto yang menjawab. “Keinjek yang tajam. Makanya Umi teriak.” Ia mengusap kepala Nana. “Umi gak apa-apa. Cuma kaget.”
Darto berjalan melewati Nana, keluar dari kamar. menuju dapur. Terdengar suara keran air dinyalakan.
Si Kecil Nana melangkah pelan masuk ke kamarnya. Ia menatap Uminya. “Umi kok, bau?”
Ustadzah Aisyah menoleh.
“Bau keringet,” kata Nana. “Kayak Om.”
Nana memungut kepingan-kepingan lego yang jatuh ke lantai. Ia naik ke ranjang, duduk di samping Uminya, membelakanginya, dan mulai menyusun lagi. “Tadi Nana gak nemu kotak merahnya, Umi.”
Ustadzah Aisyah tidak menjawab.
Darto kembali. Ia berdiri di ambang pintu kamar Nana, bersandar di kusen. Ia telah mencuci muka. Di tangannya terdapat satu gelas air.
Ia menatap Ustadzah Aisyah, yang masih terduduk di ranjang anaknya.
“Nana,” kata Darto.
“Iya, Om?”
“Om mau pulang.”
“Yah, kok, pulang? Istana-nya belum jadi!”
“Om ada kerjaan.” Darto meneguk air di gelasnya. “Umi kamu juga kayaknya capek. Gak bisa diajak main.”
Darto meletakkan gelas kosong itu di meja belajar Nana. Ia berjalan ke arah ranjang. Si Kecil Nana masih sibuk dengan legonya.
Darto berdiri di depan Ustadzah Aisyah. Perempuan alim itu mendongak. Darto tidak berkata apa-apa. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Ustadzah Aisyah. Ustadzah Aisyah memejamkan mata. Darto mengusap sisa air mata kering di pipinya. Kemudian, tangannya turun. Cepat. Ia meremas dada Ustadzah Aisyah dari balik gamis.
Tubuh perempuan itu tersentak.
“Om!” Nana memekik. “Itu punya Umi!”
Darto tertawa. “Om cuma bercanda.” Ia menepuk-nepuk kepala Ustadzah Aisyah. “Ustadzah istirahat, ya.” kepada Nana ia berkata, “Om pulang, Nana.”
“Dadah, Om Jelek!”
Terdengar suara Darto melangkah melewati ruang tamu. Disusul suara pintu depan dibuka, lalu ditutup.
Hening.
Hanya tersisa suara kepingan lego yang saling beradu pelan.
“Umi,” kata Si Kecil Nana, masih membelakangi. “Kok, ranjang Nana basah?”
Ustadzah Aisyah tidak menjawab. Ia bangkit dari ranjang. Kemudian berjalan keluar dari kamar Nana. Masuk kamar mandinya. Terdengar suara pancuran air dinyalakan.
Deras.
Ustadzah Aisyah berdiri di bawah pancuran air. Air panas itu menghantam kulitnya. Berdiri di sana untuk waktu yang lama. Cukup lama hingga Si Kecil Nana kembali menggedor pintu kamar mandi.
“Umi! Mandinya lama banget! Nana laper!”
***
Ketika ia keluar dari kamarnya, mengenakan gamis rumah yang bersih dan hijab yang baru, Si Kecil Nana sudah menunggunya di meja makan, menggedor-gedor piring dengan sendok.
“Laper! Laper! Laper!”
“Iya, sayang. Iya.” Ustadzah Aisyah kemudian memanaskan lauk sisa sarapan. Meletakkan piring di depan Nana, duduk di hadapan putrinya. Tidak pun ia memasukan nasi ke dalam mulutnya, hanya menatap Si Kecil Tukang Rengek yang makan dengan lahap.
“Umi, tadi Om Jelek kok, aneh?” Nana bertanya di sela kunyahannya.
“Aneh… kenapa?”
“Dia pegang-pegang Umi.”
Ustadzah Aisyah membeku.
“Dia pegang kepala Umi. Kayak Nana,” lanjut si kecil. “Terus dia pegang itu.” Nana menunjuk dadanya sendiri. “Kenapa, Umi? Itu, kan, punya Umi?”
“Om… Om Darto cuma becanda, sayang.”
“Tapi Umi teriak. Kenceng banget. Kayak di film kartun.”
“Umi keinjek lego, sayang. Sakit banget.”
“Oh.” Nana mengangguk. Ia percaya. Ia kembali fokus pada makanannya.
“Nana,” Ustadzah Aisyah tampak sedikit ragu, kemudian melanjutkan,. “Kamu jangan cerita sama Abi ya? Kalau om Darto ke sini?”
“Kenapa Umi?”
“Pokoknya, jangan, ya? Sayang. Biar nanti Nana juga masih bisa main sama Om Darto.”
Si Kecil, meskipun tampak bingung, akhirnya mengangguk.
Demikian, sisa hari Minggu itu berlalu. Ustadzah Aisyah membereskan rumah, mengganti seprai di kamar Nana, memasukkannya ke mesin cuci, menuangkan deterjen dalam jumlah yang sangat banyak.Kemudian membersihkan kamar mandi dan menyikat lantai.
Sore harinya, ia tidak mengisi pengajian. Ia mengirim pesan singkat ke Zubaidah, mengatakan ia tidak enak badan.
Balasan Zubaidah datang seketika: “Oh, tentu, Ustadzah. Pasti capek sekali. ‘Kerja keras’ lagi, ya? Semoga lekas sembuh.”
Ustadzah Aisyah melempar ponselnya ke sofa.
Dihabiskannya sore itu di ruang tamu. Mencoba membaca kitab. Tetapi huruf-huruf gundul itu menari-nari di depan matanya. Mereka tidak membentuk dalil. Mereka membentuk wajah Darto yang sedang tertawa.
Malam tiba. Suaminya tidak pulang. Mengirim pesan, mengatakan ada pekerjaan mendadak di luar kota. Ia akan pulang lusa.
Ustadzah Aisyah membaca pesan itu. Ia tidak merasakan apa-apa.
kosong.
Ia menidurkan Nana. Membacakan dongeng Kancil. Setelah Nana tertidur, ia kembali ke kamarnya. Tetapi ada rasa aneh saat ia tidur di ranjang pernikahannya, sebab itu kemudian Ia tidur di sofa ruang tamu. Meringkuk, memeluk lututnya.
Pukul sebelas malam, ponselnya berdering. Pesan masuk.
Nomor tidak dikenal.
“Ustadzah lagi ngapain?”
Itu Darto.
Sekonyong Ustadzah Aisyah berpikir harus memblokir nomor ini. Ia harus mengakhiri ini.
Pesan baru masuk.
“Tadi Ustadzah di atas jago juga. Kayak kuda.”
Wajahnya memanas.
“Saya suka. Ustadzah binal. Besok suami Ustadzah ada di rumah?”
Ustadzah Aisyah menatap kalimat itu lama. Sebuah pilihan terbentang di depannya. Ia bisa berbohong. Ia bisa bilang ‘Iya, ada’. Dan ini akan berakhir. Darto tidak akan berani datang jika ada Farhan.
Ia mulai mengetik. “Iya. Suami saya…”
Ia berhenti.
Ia menghapus kalimat itu.
Ia teringat cengkeraman tangan Darto. Ia teringat bagaimana tubuhnya kejang.
Ia mengetik lagi.
“Dia tidak di rumah.”
Ia mengirimnya.
Centang dua biru.
Kemudian balasan datang.
“Besok saya datang lagi.. Siap-siap, Ustadzah. Saya mau Ustadzah pakai baju yang Ustadzah pakai waktu ceramah. Yang gamis hitam itu. Dan jangan pakai apa-apa di dalamnya.”
Ustadzah Aisyah menatap perintah itu. Kemudian mematikan ponselnya. Ia membenamkan wajahnya ke bantal sofa. Tubuhnya mulai bergetar. Itu getaran yang lain. Yang ia kenali dari kamar Nana tadi pagi.
***
Pagi itu, Ustadzah Aisyah mengantar Si Kecil Nana ke Sekolah Dasar. Sepanjang perjalanan, ia berusaha keras menampilkan kehangatan yang biasa ia berikan, mengecup pipi putrinya dan menjawab ocehan paginya dengan suara yang ia paksa terdengar riang. Gerbang sekolah penuh kicau ibu-ibu yang menyapanya takzim, “Pagi, Ustadzah.” Kemudian dibalasnya dengan satu senyum.
Betapa rapuhnya benteng teologi yang dibangun di atas pengekangan. Kesalehan Ustadzah Aisyah, yang diasah selama puluhan tahun dengan kitab-kitab gundul dan ceramah tentang moral, kini terbukti tak lebih dari sekadar lapisan tipis cat di atas kayu yang lapuk. Ia diajarkan untuk takut pada neraka , tetapi tidak pernah diajarkan untuk mengenali iblis yang bersemayam di dalam jeroan nafsunya sendiri. Sesungguhnya, Darto tidak meruntuhkan benteng itu; ia mengetuk pintu dan Ustadzah Aisyah membukakannya. Kehancurannya bukanlah kehancuran iman, melainkan kehancuran ilusi bahwa ia adalah makhluk yang berbeda, yang terbuat hanya dari cahaya. Demikian, ia menemukan bahwa dirinya terbuat dari daging dan darah yang sama liarnya dengan Tukang Galon yang—barangkali pernah ia hina,
***
Sekembalinya di rumah, Ustadzah Aisyah dilanda kegamangan yang pekat. Mondar-mandir tak karuan dirinya. Pukul sembilan pagi. Perintah Darto menuntut untuk dipenuhi. Oleh karena itu, ia masuk ke dalam kamarnya. Membuka lemari. Di sana tergantung gamis-gamisnya yang sopan. Akan tetapi, pandangannya tertuju pada gamis hitam yang ia kenakan saat mengisi pengajian di Masjid Al-Nurul.
Dalam satu gerakan, Ustadzah Aisyah melucuti seluruh pakaian rumahnya. berdiri telanjang di depan cermin meja rias. Kemudian, ia mengambil gamis hitam itu. Kain itu jatuh membungkus tubuhnya. Kain yang seharusnya longgar, menjiplak setiap lekuk. Kedua payudaranya terlihat jelas, putingnya menegang kaku, mencuat di balik kain hitam. Saat ia melangkah, pinggulnya yang ramping dan bokongnya yang berisi bergoyang bebas, memperlihatkan bentuk telanjang yang sempurna di baliknya. Ia telah patuh bagaikan perempuan binal yang sedang menunggu majikannya.
Sekonyong, suara pintu depan terdengar pelan.
Darto telah tiba.
Cepat dan gesit Tukang Galon itu muncul di ambang pintu kamar , masih mengenakan kaus oblong kotornya. Ia tidak langsung tersenyum. Matanya bergerak turun ke dada dan pinggul Ustadzah Aisyah. Ia tahu perintahnya telah dituruti. Barulah ia tersenyum.
Ustadzah Aisyah membeku di depan cermin. Ia mendengar langkah sandal jepit itu mendekat. Tukang Galon itu gesit muncul di ambang pintu kamar. Ustadzah Aisyah, yang kini tertangkap basah dalam kepatuhannya yang memalukan, terdiam.
“Ustadzah,” Darto berkata. “Jangan dipakai pakai hijabnya.”
Tetapi Ustadzah Aisyah mengambil hijab hitam yang tergeletak di meja rias. Melilitkannya di kepala, menutupi rambut dan lehernya, menyematkan peniti di bawah dagu. Kini, ia sempurna. Seorang Ustadzah Alim, mengenakan pakaian takwanya, namun telanjang sepenuhnya di balik kain itu.
Darto mendorong tubuhnya dari kusen pintu. Berjalan ke arah ranjang. Duduk di tepinya. Kemudian ia menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
“Sini, Ustadzah,” katanya. “Duduk.”
Demikian, Ustadzah Aisyah melangkah. Akah tetapi rupanya masih malu-malu perempuan alim itu. Duduk agak menjauh dari Tukang Galon itu.
“Dekat lagi,” kata Darto.
Ustadzah Aisyah memejamkan mata ketika Darto mengangkat tangannya, mengira akan disentuh. Akan tetapi, tangan Darto melewatinya, mendarat di bantal di belakang Ustadzah Aisyah. Pemuda itu merebahkan dirinya, bersandar di kepala ranjang, kedua tangannya terlipat di belakang kepala.
“Saya capek,” kata Darto. “Tadi habis angkat banyak galon. Sekarang Ustadzah, berdiri.”
Ustadzah Aisyah bangkit.
“Sekarang, berputar. Pelan-pelan.”
Ustadzah Aisyah berputar. Kain hitam itu berayun, lalu kembali menempel di bokongnya. Darto memperhatikan dalam diam.
“Lagi,” katanya.
Ia berputar sekali lagi.
“Saya suka,” kata Darto. “Ustadzah nurut.”
Kemudian, ia mengubah posisinya. Ia duduk di tepi ranjang, mencondongkan tubuh ke depan. Kakinya mengangkang.
“Ustadzah,” katanya. “Ke sini.”
Ia menunjuk lantai di antara kedua kakinya yang terbuka.
Jantung Ustadzah Aisyah serasa berhenti berdetak.
“Duduk di lantai,” Darto memperjelas. “Di depan saya.”