Perintah itu tergantung di udara. “Duduk di lantai,” disusul. “Di depan saya.”
Lantai adalah tempat debu berkumpul. Tempat sandal jepit Darto meninggalkan jejak kotor. Dan kini, tempat untuknya. Ustadzah Aisyah, yang namanya disebut-sebut sebagai calon ‘ahli surga’ oleh para jamaah, kini diperintahkan untuk menempatkan dirinya di bawah telapak kaki Tukang Galon itu.
“Ustadzah,” suara Darto terdengar lagi. “Saya gak suka ngulang.”
Maka, Ustadzah Aisyah pun bergerak. Ustadzah Aisyah langsung menjatuhkan kedua lututnya ke lantai. Bunyi ‘duk’ pelan terdengar saat lututnya yang terbungkus kain itu menghantam permukaan. Rasa dingin seketika menjalar, menembus gamisnya, tetapi tidak seberapa dibanding rasa dingin yang menjalari tulang punggungnya. Ia kini berlutut di lantai kamarnya sendiri. Di depan ranjang pernikahannya. Di antara kedua kaki Darto yang terbuka lebar.
Wajah Ustadzah Aisyah kini sejajar dengan pangkal paha pemuda itu. Dan bau itu menghantamnya; aroma khas tubuh yang tidak dibersihkan dengan benar, sedikit anyir dan pesing.
“Ustadzah,” Darto berkata. Ustadzah Aisyah mengangkat wajahnya sedikit. “Buka.” demikian perintahnya.
“A-apa?”
“Celana saya. Buka.”
Tangan Ustadzah Aisyah kaku di samping tubuhnya. Ia menatap ritsleting itu. “Saya… saya tidak…”
“Padahal Ustadzah yang mulai,” kata Darto. “Ustadzah yang nurut pakai baju ini. Ustadzah yang nurut telanjang di dalamnya. Sekarang, jangan pura-pura kaget. Buka.”
Perlahan, Ustadzah Aisyah mengangkat tangannya, lalu menarik risleting Darto ke bawah. Kain jins itu meregang. Darto tidak memakai celana dalam. Sekonyong Benda itu menyembul, terbebas dari kurungannya. Benda yang sama yang ia lihat di foto, yang ia rasakan di dalam tubuhnya kemarin dan dI kamar Nana. Benda itu kini tepat di depan wajahnya. Tegak. Keras. Berdenyut pelan. Ustadzah Aisyah menatapnya tanpa berkedip. Dari jarak sedekat ini, sungguh memalukan untuk perempuan alim sepertinya.
Ia melihat warnanya yang gelap di bagian batang, tetapi lebih pucat dan kemerahan di bagian kepala. Ia melihat urat-urat tebal yang menonjol, melingkar di sepanjang batang keras itu, berdenyut-denyut. Ia melihat kulitnya yang tampak kencang, licin, dan di ujungnya, di lubang kecil itu, sudah ada setitik cairan bening yang mengkilat. Dan di pangkalnya, tampak semak belukar yang lebat, kasar, dan hitam, tumbuh tanpa aturan.
“Ustadzah suka lihatnya?” Darto bertanya.
Ustadzah Aisyah tidak menjawab. Ia hanya menelan ludah.
“Dilihat aja gak cukup, Ustadzah.” Darto mencondongkan tubuhnya ke depan. Satu tangannya terangkat, mendarat di atas kepala Ustadzah Aisyah. Jari-jarinya kemudian mencengkeram kain hijab hitam itu. “Buka mulutnya.”
Ini dia. Perintah yang paling ia takuti.. “Darto… saya… saya tidak pernah…” Ustadzah Aisyah berkata.
“Justru itu,” Darto terkekeh pelan. “Saya yang ajarin. Kan, Ustadzah juga ngajarin orang ngaji. Sekarang, saya ajarin Ustadzah ilmu yang ini. Buka mulutnya.”
Pegangan di kepalanya mengerat sedikit, menuntunnya, menekannya perlahan ke depan. Ustadzah Aisyah memejamkan mata sementara bibirnya terkatup rapat.
“Buka, Ustadzah.”
Ustadzah Aisyah membuka bibirnya. Hanya sedikit. Kemudian Ia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibir bawahnya. Itu adalah kepala kemaluan Darto. Cairan bening tadi menempel di bibirnya, terasa lengket dan sedikit asin. Ustadzah Aisyah tersentak, mencoba menarik kepalanya ke belakang.
“Sshh.” Tangan Darto di kepalanya menahannya di tempat. “Jangan bergerak, Ustadzah..”
Darto menggerakkan pinggulnya sedikit. Hanya sedikit. Ujung benda itu kini menekan celah bibirnya yang terbuka. “Jilat,” perintah Darto.
Ustadzah Aisyah menggeleng. Air matanya mulai menggenang. Ini adalah penghinaan tertinggi.
“Ustadzah mau saya paksa?” Darto mengancam. “Ustadzah tahu saya bisa. Saya bisa paksa Ustadzah telan ini semua. Sekarang, nurut. Jilat.”
Maka, Ustadzah Aisyah, sang ahli surga, perempuan alim panutan Kampung Damai, menjulurkan lidahnya. Hanya ujungnya. Ia menyentuh kepala benda itu. Kemudian ditariknya lidahnya dengan cepat.
“Bagus,” puji Darto kemudian kembali mendorong kepalanya. K”Buka yang lebar, Ustadzah.”
Ustadzah Aisyah membuka mulutnya. Ia merasakan bibirnya diregangkan. Penis itu masuk. Pertama, kepalanya yang besar memenuhi rongga mulutnya, menekan lidahnya ke bawah. Ustadzah Aisyah seketika ingin muntah disebabkan rasa asin dan anyir memenuhi tenggorokannya. Ia terbatuk, tersedak.
“Pelan-pelan,” kata DartO ambil mengendurkan tangannya di kepala Ustadzah Aisyah. “Napas.”
Ustadzah Aisyah menarik napas lewat hidungnya. Ia masih berlutut, kepalanya dipegang, mulutnya terisi separuh oleh kemaluan seorang tukang galon.
“Udah?” tanya Darto. Ustadzah Aisyah mengangguk kecil, sebisa mungkin.
“Sekarang,” kata Darto. “Mulai.”
“A-apa?” suaranya teredam.
“Maju-mundur. Pelan-pelan. Kayak Ustadzah lagi… zikir.”
Tangan Darto di kepalanya kembali bergerak, menuntunnya. Menarik kepalanya ke belakang sedikit, lalu mendorongnya ke depan. Benda itu masuk lebih dalam. Ustadzah Aisyah merasakan batang keras itu kini menyentuh langit-langit mulutnya. Dirasakannya tekstur tebal, kenyal, dan tonjolan urat-urat di bawahnya.
Darto menarik kepalanya lagi. Ustadzah Aisyah menarik napas. Lalu Darto mendorongnya lagi. Kali ini lebih dalam. Ustadzah Aisyah terbatuk lagi. Bulu-bulu di pangkal kemaluan itu kini menggesek dagu dan pipinya. Terasa gatal dan menusuk.
“Jangan pakai gigi,” Darto memperingatkan.
Ustadzah Aisyah bahkan tidak sadar ia nyaris menggigit. Ia mencoba mengendurkan rahangnya. Darto kembali memandu. Maju. Mundur. Maju. Mundur. Lidah yang biasa melantunkan ayat-ayat suci itu kini basah, melumasi batang kemaluan Darto. Suara decak basah mulai terdengar di kamar itu.
“Nah, gitu,” Darto mendesah. Ia melepaskan pegangannya di kepala Ustadzah Aisyah. Ia bersandar kembali ke kepala ranjang, kedua tangannya kini terlipat di belakang kepalanya, sama seperti tadi. Ia menyerahkan kendali sepenuhnya pada Ustadzah Aisyah. “Terus. Jangan berhenti.”
Ustadzah Aisyah berhenti sejenak. Tangannya yang bebas kini ia letakkan di paha Darto, sebagai tumpuan. Kemudian menatap benda yang keluar-masuk dari mulutnya. Ia merasa mual, tetapi tubuhnya merespon sebaliknya. Ia bisa merasakan kemaluannya sendiri, di balik gamis hitam itu, mengeluarkan lendir kental. Maka ia melanjutkan. Maju. Menelan benda itu hingga pangkal tenggorokannya terasa penuh. Mundur. Menarik napas. Maju lagi. Ia mulai terbiasa dengan rasanya. Rasa asin dan anyir itu bercampur dengan rasa liurnya sendiri. Ia mulai merasakan ukurannya. Panjang. Jauh lebih panjang dari yang ia bayangkan. Dan tebal. Mulutnya nyaris tak muat.
“Enak, Ustadzah?” Suara Darto terdengar berat.
Ustadzah Aisyah tidak menjawab. Ia hanya terus bergerak. Maju. Mundur. Kepalanya yang terbungkus hijab kini bergerak naik-turun. Tampak masyhuk pemandangan itu: Seorang Ustadzah berhijab sedang mengulum kemaluan seorang pemuda di lantai kamarnya.
“Lidah Ustadzah,” Darto memerintah. “Pakai lidahnya.”
Ustadzah Aisyah ragu sebab ia tidak pernah begitu.
“Pakai.”
Maka, saat ia menarik kepalanya ke belakang, ia menjulurkan lidahnya sedikit, melingkari kepala benda itu.
“Nghh…” Darto melenguh. T
Ustadzah Aisyah merasakan getaran itu. Kemudian ia melakukannya lagi. Saat ia memajukan kepalanya, ia membiarkan lidahnya bermain di sepanjang batang keras itu.
“Sialan,” Darto mengumpat. “Jago juga Ustadzah.”
Pujian itu, sekotor apapun, membuat Ustadzah Aisyah semakin berani. Ia kini tidak lagi kaku. Gerakannya lebih luwes. Ia mulai menggunakan tangannya yang bebas. Ia memegang batang itu, merasakan berat dan panasnya, sementara mulutnya bekerja di bagian atas.
“Terus, Ustadzah. Terus…” Darto kini terengah-engah.
Ustadzah Aisyah semakin cepat. Ia tidak lagi memikirkan Nana atau Farhan atau Zubaidah atau para jamaah. Sebab sensasi ini menguasainya. Rasa kenyal di mulutnya. Rasa asin yang semakin kuat. Bau keringat Darto yang semakin menyengat. Dan suara desahan berat Tukang Galon itu di atasnya.
Ia merasakan cairan bening tadi kini mengalir lebih deras. Lengket di bibirnya, menetes ke dagunya. Ia tidak peduli. Ia terus bergerak. Naik. Turun. Naik. Turun. Rahangnya mulai terasa pegal, tetapi ia tidak berhenti.
“Ustadzah…” Darto tiba-tiba berkata sambil bangkit dari sandarannya. Ia kini duduk tegak di tepi ranjang.
Tangan Darto kembali terulur. Kali ini, kedua tangannya mencengkeram kepala Ustadzah Aisyah. Erat.
“Darto…” Ustadzah Aisyah mencoba bicara, tetapi mulutnya penuh.
“Saya mau keluar,” geram Darto. “Sekarang.”
Ustadzah Aisyah mencoba menarik kepalanya. Ia tidak mau. Ia tidak siap.
Tetapi cengkeraman Darto di kepalanya terlalu kuat. Pemuda itu tidak membiarkannya mundur. Sebaliknya, Darto menekan kepalanya ke depan, dalam-dalam, hingga ia nyaris tersedak. Semak belukar Darto bahkan masuk ke dalam lubang hidungnya.
“Nnghh!” Darto menggeram panjang. Pinggulnya terhentak ke depan sebanyak dua kali,
Ustadzah Aisyah merasakan sesuatu yang panas meledak di pangkal tenggorokannya; semburan deras. Cairan kental dan hangat membanjiri mulutnya. Rasanya sangat asin, pekat, dan sedikit pahit. Ia tersedak. Matanya terbelalak, air matanya mengalir deras. Ia ingin muntah.
Darto menahan kepalanya di sana selama beberapa detik, memastikan setiap tetes terakhir masuk ke dalam mulut perempuan alim itu. Kemudian, ia melepaskan cengkeramannya.
Ustadzah Aisyah seketika menarik kepalanya ke belakang. Ia terbatuk hebat, memuntahkan sebagian cairan itu ke lantai. Sebagian lagi menetes dari dagunya, bercampur dengan air mata dan liurnya. Ia terengah-engah, bersimpuh di lantai, gemetar hebat. Rasa pegal di rahangnya kini bercampur dengan rasa perih di tenggorokannya.
Darto duduk di tepi ranjang, menatapnya. Napasnya masih memburu. Ia melihat Ustadzah Aisyah yang terduduk hina di lantai, hijabnya sedikit miring, wajahnya basah oleh air mata dan cairannya. Ia melihat genangan kecil di lantai di depan perempuan itu.
kemudian ia melemparkan kaosnya ke genangan di lantai itu.
“Bersihin,” katanya.
Ustadzah Aisyah menatap kaus itu. Lalu menatap Darto.
“Telan,” kata Darto. “Yang di mulut Ustadzah. Telan. Jangan dibuang.”
Ustadzah Aisyah mematung. Di dalam mulutnya, sisa cairan itu menggenang bagai lumpur.
“Telan, dong, Ustadzah.,” Darto mengulang. “Itu bagian dari pelajarannya, Ustadzah.”
Ustadzah Aisyah memejamkan mata. Seluruh tubuhnya menolak. Tetapi ia tidak punya pilihan. Ia telah jatuh terlalu dalam. Ia menelan. Roman wajahnya terlihat masam; dengan pipi mengerut dan mata terpejam.
Darto tersenyum. “Bagus.” katanya. Ia bangkit dari ranjang. Berdiri di depan Ustadzah Aisyah yang masih berlutut, merapikan ritsleting celananya.
“Pinter,” kata Darto sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepala Ustadzah Aisyah. “Nanti kita belajar yang lain lagi.”
Ia melangkah melewati Ustadzah Aisyah, berjalan keluar dari kamar dan menuju kamar mandi. Meninggalkan perempuan alim itu sendirian, di samping kaus kotor yang basah oleh muntahannya.
Runtuh.
Sepenuhnya.
***
Tangis Ustadzah Aisyah pecah kemudian. Itu tangis bagaikan anak kecil. Di Lantai ia memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya. Ia merasa dirinya demikian kotor pula. Tersedan-sedan ia. Mulutnya yang mencuri nafas masih merasakan lendir peju Tukang Galon itu. Buah dadanya berguncang seirama isaknya. Ia merasa demikian kotor; terhadap keluarganya dan Tuhannya.
Sekonyong Darto memasang wajah bingung ketika melihat Ustadzah Aisyah menangis. Kemudian ia duduk di lantai lalu menarik tubuh Ustadzah Aisyah. Perempuan itu melawan sejenak, lemah. Lalu ia luruh. Darto menariknya ke dalam pangkuannya. Ustadzah Aisyah, masih dalam balutan gamis hitam dan hijabnya, kini terduduk di pangkuan Darto. Ia menyembunyikan wajahnya di dada Darto yang kuyup oleh keringat.
“Sshh… udah,” Darto berkata. Satu tangannya menepuk-nepuk punggung Ustadzah Aisyah.. “Udah, Ustadzah. Kok, nangis?”
“Saya kotor,” isak Ustadzah Aisyah di dada Darto. “Saya Darto, saya ini hafidzah.”
“Hafidzah?” Darto bertanya, benar-benar tidak tahu.
“Penghafal Quran,” katanya parau. “Saya menghafal firman-Nya. Saya belajar Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali, tentang Nafs. Tentang Nafs al-Ammarah.” Tersedan ia melanjutkan. “Saya kira sudah menguasainya. Saya ceramah setiap sore bilang pada jamaah ‘Jaga kehormatan’. ‘Bentengi diri dari setan’.” Ia tatap darto. “Setan itu kamu, Darto? Atau setan itu ada di sini?” Ia memukul-mukul dadanya sendiri. “Di dalam saya?” Kemudian ia memandangi Darto. “Kamu kirim foto itu… kemaluan kamu… Saya sedang sembahyang, Darto. Dan itu muncul. Di kepala saya. Waktu saya ruku’. Waktu saya sujud. Saya benci. Tetapi saya juga penasaran.” Ia semakin meluapkan perasaanya. “Teologi Asy’ariyah bilang manusia tidak punya daya. La haula wala quwwata illa billah. Apa ini, Darto? Apa saya hanya boneka? Apa Tuhan sengaja bikin saya begini? Bikin saya menjadi…binal?”
“Waktu kamu… tadi… di mulut saya…” Ia terisak lagi. “Itu… perbuatan kaum Luth… Dilaknat. ”
Darto mendengarkan. Wajahnya yang biasanya menyeringai cabul itu kini datar. Ia tidak mengerti separuh dari apa yang Ustadzah Aisyah katakan. Ihya siapa. Asy apa. Baginya itu hanya kata-kata aneh.
Kemudian, ketika tangis Ustadzah Aisyah mereda menjadi isakan kecil, Darto angkat bicara.
“Ustadzah,” katanya sambil mengusap hijab Ustadzah Aisyah. “Kitabnya tadi namanya apa? Iya… Ulum?”
“Ihya Ulumuddin.”
“Ah, iya. Susah bener namanya,” Darto terkekeh. “Saya, kan, tamat SD aja engga, Ustadzah. Paling banter saya baca… ya, bacaan di bungkus rokok.”
Ustadzah Aisyah mendongak.
“Ustadzah ngomongin Nafsu Amarah. Saya kira Ustadzah tadi marah-marah.” Darto tersenyum. Sesungguhnya itu senyum penuh tulus. “Ustadzah ngomongin teologi. Saya taunya… barangkali. Ustadzah perempuan, saya laki-laki. Ustadzah pengen. Saya pengen. Udah. Gitu aja. Gak usah dibawa pusing.”
Sekonyong, Ustadzah Aisyah tertawa. Betapa absurdnya. Ia, seorang Sarjana Pendidikan Islam, menangis di pangkuan tukang galon yang bahkan tidak bisa membedakan Amarah dan marah-marah.
Darto ikut tertawa kecil. “Nah, gitu, ketawa. Kan, cantik.”
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Darto masih mendekapnya. “Ustadzah beruntung,” Darto tiba-tiba berkata. “Ustadzah bisa baca kitab-kitab itu. Ustadzah punya suami, punya Nana, punya rumah. Saya?” lanjutnya. “Bapak saya tukang mabok. Mati ketabrak truk waktu saya masih segini.” Ia mengukur sejengkal di atas lantai. “Ibu saya minggat. Kabur sama supir angkot. Gak tau rimbanya.” Dengan enteng pula menambahkan, “Saya dari kecil tidur di mana aja. Di emper toko, di pos ronda. Paling enak di Di rumah kosong di tengah kuburan. Gak ada yang ganggu. Palingan kuntilanak. Tapi kuntilanak gak minta duit.” Sungguh berbeda, Darto memasang roman sendu. “Saya gak sekolah, Ustadzah. Mana kepikiran? Buat makan aja susah. Saya angkat galon dari sebelum saya ngimpi basah. Orang-orang di kampung ini, ya, lihat saya kayak kuman. ‘Darto si cabul’. ‘Darto si jorok’. ‘Darto gak tamat SD’. Tapi, toh, memang benar.” Ia terkekeh lagi. “Saya jumpa Ustadzah sewaktu Ustadzah masih gadis. Sering ke masjid. Cantik. Bersih. Wangi. Kayak bukan orang.” matanya menerawang, “Saya pikir, Enak kali, ya, ngentot bidadari? Rasanya gimana, ya? Saya ini, kan. Kotor. Bau. Pantesnya, ya, ngentot pelacur. Bayar, selesai.” Penuh genit ia tersenyum, “Saya gak pernah nyangka bidadari bisa becek juga.”
Ustadzah Aisyah mendongak. Ia menatap wajah Darto. Sungguh-sungguh menatapnya untuk pertama pertama kalinya, wajah yang ia anggap jelek dan cabul itu. Di balik cengiran itu ada mata yang lelah. Mata seorang anak laki-laki yang tidak pernah punya siapa-siapa. Yang tumbuh di pekuburan , berteman dengan kuntilanak dan arwah-arwah gentayangan.
Betapa anehnya hati manusia. Ustadzah Aisyah dihina, diperkosa, dipaksa menelan air mani. Tetapi, di sinilah ia sekarang, telanjang di balik gamisnya, duduk di pangkuan pemuda itu, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa jijik. Pada akhirnya, ia tidak lagi melihat Darto sebagai pengganggu. Ia melihatnya sebagai manusia lain yang sama hancurnya dengan dirinya. Yang sama-sama didorong oleh nafsu yang tidak mereka mengerti.
“Darto.”
“Iya, Ustadzah?”
Sekonyong, ia memukul pelan pundak Darto. Satu pukulan lemah yang nyaris tak terasa.
Darto tertegun. Ia menatap Ustadzah Aisyah, yang kini kembali menunduk. “Itu buat apa, Ustadzah?”
“Buat kamu,” isak Ustadzah Aisyah. “Kenapa kamu tidak minggat saja waktu itu? Kenapa kamu harus begini?”
“Saya?” Darto terkekeh. “Mau minggat ke mana, Ustadzah? Ke pekuburan? Kan, saya sudah di sana.”
Kemudian, Ustadzah Aisyah memukulnya lagi. “Kamu jahat.”
“Saya tahu,” jawab Darto. Kemudian menangkap tangan Ustadzah Aisyah yang hendak memukulnya untuk ketiga kali. Menggenggamnya.
“Sudah,” katanya. “Nanti Ustadzah capek.”
Ustadzah Aisyah membiarkan tangannya digenggam oleh Tukang Galon itu. Demikian, mereka terduduk. Ustadzah Aisyah membenamkan wajahnya di lututnya sendiri.
Di luar, matahari mulai condong ke tengah. Ustadzah Aisyah, dalam kelelahan yang luar biasa, pada akhirnya tidak bergerak lagi. Ia hanya diam. Entah tertidur, entah pingsan.
Darto menatap puncak kepala berhijab yang kini bersandar di dadanya itu. Ia menghela nafas. Kemudian, dengan sangat hati-hati, ia melepaskan genggaman tangannya dan mengusap hijab hitam itu.
“Besok,” bisiknya pada perempuan yang mungkin sudah tak mendengar itu. “Kita belajar yang lain lagi, ya? Ustadzah, Ya?”
***
Malam merayap turun dibersamai suara azan Magrib yang bergema syahdu dari menara Masjid Al-Nurul. Di rumah Ustadzah Aisyah, lampu-lampu telah dinyalakan. Di ruang ramu, Sofa tertata rapi, meski beberapa bantalnya sedikit miring. Di atas karpet kepingan lego Si Kecil Nana masih berserakan, membentuk istana impian yang belum rampung. Udara terasa sedikit lebih sejuk sehabis hujan sore yang salah musim.
Farhan pulang ketika azan Isya baru saja usai dilantunkan. Ia masuk membawa tas kerjanya yang tampak berat, dengan roman wajah kelelahan. Si Kecil Nana, yang sudah mengenakan piyama bergambar kelinci, sekonyong berlari menyambutnya di ambang pintu, memeluk kakinya erat. “Abi!” pekiknya riang.
Ustadzah Aisyah muncul dari arah dapur, mengenakan gamis rumah dan hijab instan berwarna senada. Wajahnya tampak pucat, tetapi ia memaksakan seulas senyum menyambut suaminya. Kemudian mengambil tas kerja itu, menyalami tangan suaminya, dan mengecupnya sekilas.
“Umi sakit?” tanya Farhan, menyentuh kening istrinya. “Kok, pucat?”
“Hanya sedikit lelah, Bi,” jawab Ustadzah Aisyah sebelum berbalik dan membawa tas itu ke kamar mereka.
Makan malam berlangsung dalam hening yang pekak. Biasanya, meski Farhan kadang sibuk dengan ponselnya, selalu ada celoteh Nana yang memecah sunyi, atau pertanyaan-pertanyaan ringan dari Ustadzah Aisyah tentang hari suaminya. Tetapi malam ini, hanya denting sendok dan piring yang terdengar. Nana makan dengan tenang, barangkali merasakan ketegangan yang tak terucapkan dari Uminya. Farhan pun, setelah bertanya sekali lagi tentang kondisi istrinya dan dijawab dengan anggukan lemah, lebih banyak diam, sesekali memeriksa ponselnya. Ustadzah Aisyah sendiri hanya mengaduk-aduk nasinya, seleranya hilang entah ke mana.
Kemudian, selepas makan, mereka berkumpul di ruang tamu. Pemandangan yang sepintas lalu tampak begitu harmonis. Farhan, setelah berganti pakaian, duduk di sofa sambil memangku laptopnya, meski kali ini ia tidak langsung membukanya. Si Kecil Tukang Rengek kembali berkutat dengan lego-legonya di karpet, membangun menara impiannya. Ustadzah Aisyah duduk di samping suaminya, mencoba membaca buku tipis tentang tafsir Juz Amma.
Sekonyong, Ustadzah Aisyah teringat kejadian pagi tadi. Bukan lagi rasa jijik atau takut yang dominan. Anehnya, ada rasa tersipu saat ia mengingat bagaimana kepalanya bersandar lemas di dada Darto setelah ia menelan cairan itu. Ia tertidur? Atau pingsan? Ia tak yakin. Tetapi ingatan akan usapan tangan Darto di hijabnya sebelum pemuda itu pergi, entah mengapa, membuat pipinya terasa hangat. Ia segera menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran terkutuk itu.
“Capek banget, ya, Mi? Gak usah ceramah dulu besok kalau memang gak enak badan.” Sekonyong Farhan berkata.
“Engga apa-apa, Bi. Cuma kurang tidur saja.” Ustadzah Aisyah mencoba bersandar di bahu suaminya, mencari ketenangan yang ia tahu takkan ia temukan. Andaikata Farhan tahu apa yang terjadi di rumah ini tadi pagi, di kamar tidur mereka, bahkan di kamar anak mereka. Barangkali ia akan bunuh diri.
“Umi! Lihat!” Si Kecil Nana berseru, memamerkan menara legonya yang kini menjulang tinggi. “Nana bisa!”
“Wah, hebat anak Abi!” puji Farhan. “Umi lihat, tuh. Nana pintar, kan?”
“Ya. Pinter.”
Malam semakin larut. Nana mulai menguap. Ustadzah Aisyah membawanya ke kamar, membacakan dongeng Kancil hingga si kecil terlelap. Dikecupnya kening Nana lama, menghirup aroma bedak bayi yang menenangkan. Lalu, ia kembali ke kamarnya. Suaminya sudah tertidur pulas, kelelahan. Ustadzah Aisyah berdiri sejenak di ambang pintu, menatap suaminya. Tak ada rasa bersalah yang menusuk seperti kemarin. Hanya kehampaan.
Kemudian ia berjalan kembali ke ruang tamu yang sepenuhnya gelap. Duduk di sofa dalam diam, memeluk lututnya. Betapa ia tidak bisa menghilangkan pikirannya saat ia dipangku Tukang Galon itu dan terlelap di tubuhnya. Pun ia tak bisa menyangkal getaran aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pemuda itu. Pada akhirnya, ia tahu, besok pagi, setelah mengantar Nana, ia akan menunggu lagi.