USTADZAH AISYAH – Part 9

Kajian baru saja usai. Suara Ustadzah Aisyah, yang beberapa saat lalu mengupas dalil-dalil tentang kehormatan seorang istri kini senyap, digantikan gumam ibu-ibu yang berangsur meninggalkan Masjid. Kemarin ia urung hadir, mengirim pesan singkat pada Zubaidah beralasan badan kurang sehat, meskipun tak begitu, sebab sejatinya ia terkapar oleh badai kehancuran yang memorak-porandakan dirinya. Hari ini, ia memaksakan diri. Andaikata ia kembali absen, kecurigaan bisa saja timbul. Lagi pula, Zubaidah pasti menanti.

Oleh karena itu, Ustadzah Aisyah ingin segera enyah. Merapikannya catatannya, menyelipkannya ke dalam tas kain lusuh. Kepalanya tertunduk dalam, hijab hitamnya menjuntai menutupi sebagian wajah. Setiap sapaan takzim dari jamaah yang berpapasan—”Monggo, Ustadzah,” “Sehat, Ustadzah?”—dibalasnya dengan satu agukan kaku.

Langkahnya dipercepat menyusuri tepian kerumunan, menuju gerbang masjid yang tampak bagai mulut gua menjanjikan kelegaan. Tetapi, kelegaan itu semu belaka. Sekonyong, tepat ketika ia hampir mencapai gerbang, satu sentuhan terasa di lengannya; sesungguhnya itu lebih mirip cengkeraman sehingga Ustadzah Aisyah tersentak.

“Assalamualaikum, Ustadzah.” kata Zubaidah dibungkus nada hormat dibuat-buat. “Ceramah soal ‘Menjaga Kehormatan’ tadi bagus banget.”

Ustadzah Aisyah terkesiap, dan mencoba menarik lengannya, tetapi cengkeraman Zubaidah mengerat. “Waalaikumsalam. Maaf, Zubaidah, saya harus cepat pulang,” katanya, agak terdengar panik.

Senyum di wajah Zubaidah memudar sekejap. “Pulang? Kok, buru-buru sekali, Ustadzah? Saya mau tanya sesuatu. Penting.” Tanpa menunggu persetujuan, Zubaidah menarik Ustadzah Aisyah, memaksanya berbelok menjauh dari sisa jamaah yang mulai menipis di dekat gerbang. Ditariknya perempuan yang lebih tua itu menuju pohon sawo rindang di samping halaman masjid,.

“Apa mau kamu sebenarnya, Zubaidah?” Ustadzah Aisyah memberanikan diri. “Jaga ucapanmu!”

Sungguh mengerikan ketika Zubaidah tertawa kecil. “Ucapan saya? Kenapa memangnya, Ustadzah?” Ia melangkah mendekat. “Saya tidak minta uang, kalau itu yang Ustadzah khawatirkan. Alhamdulillah, calon suami saya mapan.” Ia berhenti sejenak. “Saya cuma penasaran.”

“Penasaran apa?”

“Penasaran,” ulang Zubaidah. “Darto itu, kan… ya, Ustadzah juga tahu lah. Jelek. Kucel.Bau. Cuma tukang antar galon isi ulang.” Dibiarkannya kata-katanya menggantung. “Tapi kok, bisa ya… dia bikin Ustadzah Aisyah yang terhormat… yang ‘ahli surga’…”—kata ‘ahli surga’ diucapkan dengan nada mengejek yang sempurna—”…sampai teriak begitu kencangnya kemarin pagi?”

“Itu fitnah!” sergah Aisyah. Kemudian mendorong tubuhnya dari batang pohon, mencoba menegakkan diri.. “Kamu mengada-ada, Zubaidah!”

Senyum di wajah Zubaidah lenyap total. “Fitnah?” Ia mengangkat alis. “Saya dengar suara Ustadzah dari balik pagar rumah. Jelas sekali. Saya dengar Ustadzah panggil-panggil namanya. ‘Darto… Darto…’ Lirih memang, tapi jelas sekali di pagi yang sepi itu.” Ia mendekat selangkah lagi. “Saya juga lihat motor bututnya terparkir di depan rumah Ustadzah waktu saya mau mampir kemarin itu. Masih kurang bukti? Mau saya ceritakan ini ke Pak Farhan sekarang? Atau ke ibu-ibu pengajian?”

Pertahanannya luruh seketika. Zubaidah tahu. Dia mendengar. Dia melihat motornya. Dia punya bukti. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Ia merosot, terduduk di bangku kayu di bawah pohon sawo itu. Kepalanya tertunduk, bahunya berguncang. Isak tangis yang sedari tadi ditahannya kini pecah, meski tertahan.

“Apa… apa mau kamu, Zubaidah?” Disela isaknya Ustadzah Aisyah berkata.

Senyum licik kembali menghiasi wajah Zubaidah. Ia tampak begitu menikmati pemandangan Ustadzah Aisyah yang kini hancur lebur di hadapannya. Ia berjongkok sedikit agar wajah mereka sejajar. “Gampang kok, Ustadzah. Permintaan saya gampang sekali. Saya mau Ustadzah cerita. Semuanya. Detail. Saya mau ‘belajar’ dari Ustadzah.”.

Zubaidah tidak membuang waktu dengan pertanyaan basa-basi. Bukan lagi ‘apakah’, melainkan ‘bagaimana’.

“Jadi kemarin pagi itu…” Zubaidah memulai lagi. “Dia masuk. Nah, terus dia langsung sentuh Ustadzah begitu saja?”

Ustadzah Aisyah menggeleng cepat, wajahnya kembali memerah padam oleh rasa malu yang membakar. “Tidak. Dia… dia…”

“Dia apa, Ustadzah?” desak Zubaidah. “Ayo, dong, Ustadzah. Saya, kan, sebentar lagi mau menikah. Saya perlu tahu. laki-laki itu sukanya diapakan. Bagaimana cara memuaskannya. Ustadzah, kan, sudah menikah lama, pasti lebih paham.”

“Dia…” Ustadzah Aisyah memaksa bibirnya bergerak.. “…menyuruh menungging.”

suara jangkrik mulai terdengar bersahutan menyambut malam. Ustadzah Aisyah merasakan hawa di sekitarnya berubah lagi. Ada ketegangan yang aneh. Memberanikan diri membuka matanya sedikit, melirik Zubaidah. Wajah gadis itu sungguh tampak berbeda.

“Menungging?” ulang Zubaidah. “Di… di kamar tidur Ustadzah dan suami?”

Ustadzah Aisyah hanya bisa mengangguk lemah. “Iya…”

“Terus…” Zubaidah menelan ludah, tampak kesulitan bicara. “Dia… apa? Dia tampar Ustadzah?”

Ustadzah Aisyah tersentak tegak. Matanya terbuka lebar, menatap Zubaidah dengan horor. “Kamu mengintip?”

Zubaidah terkekeh lagi. tidak ada sangkalan . “Saya penasaran sekali, Ustadzah,” akunya. “Pagi itu saya balik lagi sebentar, mengendap-endap ke jendela kamar Ustadzah. Gordennya sedikit terbuka.” Ia tersenyum miring. “Kemudian saya lihat pemandangan yang sungguh luar biasa. Ustadzah Aisyah yang alim dan selalu menunduk kalau bicara diperlakukan kayak… ya, kayak itu oleh tukang galon.”

Kenyataan itu menghantam Ustadzah Aisyah dengan kekuatan badai. Bagaimana ia bisa membiarkan Zubaidah melihatnya dalam posisi paling hina, diperlakukan seperti binatang oleh Tukang Galon. Dan kini, gadis itu berdiri di hadapannya, meminta detail lebih lanjut. Ustadzah Aisyah menatap Zubaidah lekat-lekat, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik topeng polos gadis itu.

Dan ia melihatnya. Pipi Zubaidah bersemu merah, bibirnya sedikit terbuka, napasnya yang terdengar lebih cepat dan dangkal.

“Jadi…” Zubaidah mendekat lagi. “…pas Ustadzah teriak paling kencang itu… pas Darto menusuk dari belakang itu…” Ia menelan ludah lagi. “…itu… rasanya… enak sekali ya, Ustadzah?”

Ustadzah Aisyah teringat pengakuan Zubaidah tempo hari, setelah kejadian pertama yang ia intip, bahwa ia sampai “becek menyaksikan itu”. ini jauh lebih kotor dan menjijikkan

Gelombang mual yang lebih hebat dari sebelumnya menyerang Ustadzah Aisyah. Isi perutnya bergolak, membikinnya memalingkan wajahnya dengan cepat sambil membekap mulut, berusaha menahan muntah. Jijik. Rasa jijik yang luar biasa pada Gadis itu, dan juga pada dirinya sendiri yang telah menjadi objek fantasi kotor ini.

Zubaidah, mendapari reaksi Aisyah dan tatapan ngeri yang ditujukan padanya, tampak sedikit terkejut, lalu cepat-cepat berusaha menguasai diri. Semburat merah di pipinya sedikit memudar. “Ustadzah tenang saja. Rahasia kita aman, kok.”

“Kamu sakit, Zubaidah.”

“Sakit?” Zubaidah tertawa lagi. “Saya? Ustadzah Aisyah yang bilang begitu? Kita semua sakit, Ustadzah. Kita semua punya sisi gelap. Cuma Ustadzah yang paling pintar menyembunyikannya di balik gamis panjang dan kutipan ayat-ayat suci.”

Kemudian, Zubaidah kembali berjongkok di depan Ustadzah Aisyah. Kini ia benar-benar memegang kendali penuh.. “Jadi, begini kesepakatannya, Ustadzah. Saya akan simpan rapat-rapat rahasia Ustadzah ini. Saya bersumpah tidak akan bilang pada Pak Farhan, tidak akan membocorkannya pada ibu-ibu pengajian yang begitu memuja Ustadzah.”

“Apa… bayarannya?”

“Ustadzah harus lanjutkan ceritanya.”

“Maksudnya?” Aisyah tak mengerti. Cerita apa lagi? Bukankah ia sudah dipaksa mengakui semuanya?

“Maksud saya,” Zubaidah menjelaskan. “Setiap kali Ustadzah ‘kerja keras’ lagi dengan Darto.”—ia kembali menggunakan istilah sarkastik itu—”setiap kali Ustadzah bertemu dengannya lagi, saya mau tahu detailnya. Semuanya. Apa yang dia lakukan pada Ustadzah. Apa yang Ustadzah rasakan saat itu. Apa saja yang dia suruh Ustadzah lakukan.” Ia mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk pipi Ustadzah Aisyah, “Anggap saja Ustadzah sedang memberikan ceramah khusus untuk saya. Mengajari saya ‘ilmu’ yang tidak akan pernah saya dapatkan dari kitab-kitab gundul itu.”

Zubaidah bangkit berdiri, merapikan kembali hijab motif bunganya. Ia menatap Ustadzah Aisyah yang masih terduduk membeku dengan pandangan puas.

“Saya permisi dulu, ya, Ustadzah. Sudah mau Maghrib.” Ia tersenyum manis sekali lagi.”Assalamualaikum.”

Ustadzah Aisyah tak hanya terperosok dalam kubang dosa; terseret ke dalam pusaran fantasi kotor Zubaidah. Kehinaannya kini menjadi tontonan. Ia telah menjadi objek dalam lakon.

Api neraka terasa semakin dekat.

Menjilat-jilat.

***​

Perbuatan Zubaidah itu membikin Ustadzah Aisyah kepikiran melulu. Bagaimana ia bisa menyebar aibnya kepada sesama perempuan. Di lain sisi ancaman Zubaidah bersifat nyata dan final. Demikian pula membuatnya begitu takut. Ia hanya bisa memilih: Iya.

Di saat yang bersamaan Darto terus mengirim pesan kepadanya, bahkan ketika ia makan malam dan bersantai dengan si Kecil Nana, menambah gelisah pikirannya. Sehabis menidurkan si kecil Nana, di dalam kamarnya, ketika suaminya telah tidur, ia membalas pesan Darto.

“Saya habis nidurin si Kecil, Darto.” Tulis Ustadzah Aisyah.

Kemudian, Darto membalas: “Besok gantian Ustadzah nidurin saya, ya?”

Akan tetapi, kali ini Ustadzah Aisyah meladeni genitnya Tukang Galon itu. Ada suatu perasaan dari dalam dirinya, yang mengaduk-ngaduk. Sebagaimana kemudian dia membalas:

“Kamu bukan anak kecil lagi, Darto.”

“Tapi sayang butuh kasih sayang, Ustadzah.”

Ustadzah Aisyah tergelitik. Ruang kamarnya gelap. Cahaya ponsel menerpa wajahnya. Tetapi jarinya gencar mengetik.

“Mau sekalian dibacakan dongeng?” Demikian ia meladeni.

“Dibacakan Shalawat juga boleh, Ustadzah.” Darto menjawab.

Tentu saja itu adalah penghinaan pada titik kesalahennya. Sebab bagaimana bisa perselingkuhan dibarengi dengan bibir merampal suci. Akan tetapi, Ustadzah Aisyah mengalami kerapuhan. Pada setiap kata Darto yang semakin merendahkannya, membuatnya terbiasa. Ia membayangkan ketika Darto memeluk tubuh telanjangnya sementara bibirnya komat-kamit membaca ayat-ayat suci. Pada suaranya yang merdu melantunkan puja-puji. Itu tak ubahnya kemeriahan dalam maksiat yang menyata.

Gencar mereka berkirim pesan. Ustadzah Aisyah bahkan meladeni lelucon kasar Darto. Ia harus mengenakan gamis seperti ketika ia berceramah, permintaan Darto. Ustadzah Aisyah menolak, katanya ia tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu. Itu jelas melanggar ketaatan yang ia bangun sedemikian rupa. Kemudian Darto mendebat, katanya, bukankah hubungan mereka sudah termasuk dosa besar.

Ustadzah Aisyah menulis: “Saya tahu ini salah, Darto. Saya bahkan tidak tahu kenapa saya memilih seperti ini. Ingin rasanya saya mengakhiri hubungan ini semata karena-Nya. Tetapi tubuh saya seolah-olah menolak. Saya akan jujur, ketika saya tertidur di dada kamu tempo lalu. Saya demikian merasa tenang. Saya tak tahu. Yang saya rasakan sekadar rasa tenang. Aneh, ya, Darto. Perempuan seperti saya ini, bisa melakukan maksiat demikian rupa. Bahkan saya malu terhadap diri saya sendiri.” Ustadzah Aisyah terlihat melankolis. Hingar-bingar kepalanya membuatnya memuntahkan segala pikirannya. Demikian ia menulis lagi: “Ayah dan ibu saya berasal dari pelosok Jawa. Saya anak pertama dari ketiga bersaudara. Darto. Sejak kecil. Mungkin sebagian sudah saya ceritakan tempo lalu ke kamu. Tetapi ini bagian lengkapnya. Kamu mau mendengar, Darto?”

“Lanjutkan, Ustadzah. Sebentar, saya bikin kopi dulu.”

Ustadzah Aisyah melakukan hal yang sama. Ia berangsur-angsur keluar dari kamarnya. Kemudian membuat secangkir kopi. Tak biasanya ia meminum kopi. Tetapi malam ini ia rasa perlu. Kemudian barulah ia bersantai di sofanya. Seperti malam-malam lalu, tetapi kali ini berbeda. Lebih menerima. Terbuka. Dan barangkali ia tak menyadari kalau ia tengah jatuh cinta.

Ia melanjutkan: “Saya masih ingat bagaimana Ayah kerap menyuruh saya mengaji sewaktu kecil. Membaca Iqra setiap sore. Sekali waktu saya menolak, ayah akan memarahi saya. Bahkan kadang tak jarang memukul saya. Ia bilang untuk seumuran saya waktu itu—13 tahun—sudah diperbolehkan untuk dikasari. Saya cuma anak kecil, kan, Darto? Demikian saya mulai mengikuti apa yang ayah suruh. Setiap sore. Malam. Bahkan di hari minggu. Tak ada libur. Saya kadang pengen seperti anak-anak lain. Bermain. Berdandan. Atau belajar bersolek tipis-tipis. Ibu selalu menurut kepada Ayah. Semua perintah ayah, tidak pernah ibu tolak. Kadang saya pernah berfikir, apakah Ibu pernah merasakan bahagia? Ia tak punya keputusan dan suara. Dipikir-pikir saya kasihan sama ibu.

“Cara mendidik ayah, yang cenderung kasar, bertahan hingga saya dewasa. Antara lain; memutuskan jalur pendidikan saya untuk kemana. Sedari Sekolah Menengah Atas, ayah sudah menyuruh saya untuk mengambil Pendidikan Agama Islam. Katanya, itu membantu saya dalam menyikapi dunia dan akhirat. Bahkan ia memasukan saya ke sekolah Islam. Sesungguhnya, saya ingin mengambil jurusan Sastra. Mungkin kamu tidak mengerti yang saya maksud, Darto. Kamu tidak tamat Sekolah Dasar. Alasan saya mau mengambil sastra, tak lain sebab saya ingin menjadi penulis. Saya pernah berfikir Darto, andaikata saya adalah penulis dan bukan Ustadzah? Akan bagaimana hidup saya nantinya? Menjadi Ustadzah membuat saya meminggul beban moral. Ekspektasi dari orang-orang. Dan kewajiban untuk tetap suci. Mereka memandang saya seolah-olah saya tak pernah berbuat dosa. Memperlakukan saya demikian baiknya.

“Sementara menjadi penulis, Darto. Saya bisa merangkai apapun. Membuat sebuah cerita yang saya suka. Atau untung-untung karya saya populer dan laku terjual. Andaikata tidak? Saya tidak tahu.

“Kemudian. Darto. Ketika saya lulus kuliah. Ayah menjodohkan saya dengan lelaki yang bahkan tidak pernah saya kenal. Lihat pun tidak. Sekonyong mereka berkata bahwa lelaki itu adalah pria baik dan jelas asal-usulnya. Jika hidup dengan ia kehidupan saya terjamin dunia akhirat. Menjadi perempuan adalah berat, Darto. Tidak semudah kamu mengantar Galon rumah ke rumah. Maaf, Darto. Tidak bermaksud menyinggung. Saya tidak bisa menolak perjodohan itu. Andaikata saya menolak, ayah akan menghukum saya, dengan cara mendiamkan saya berlarut-larut.

“Dan terjadilah pernikahan. Saya masih ingat bagaimana saya duduk di pelaminan. Menyalami hadirin. Saya lihat mereka semua bahagia. Tentram. Damai. Ayah dan ibu bahkan tak putus senyumnya. Kepada saya mereka peluk. Mereka ciumi. Dan mereka doakan. Saya tersenyum sekenanya. Membayangkan tidur dengan lelaki yang tak pernah saya kenal, membuat saya malu-malu.

“Di malam pertama kami. Ia tak memaksa saya. Bahkan ia cenderung memahami pernikahan ini. Berbulan-bulan ia memberi waktu agar saya mencintainya. Dan kemudian terjadilah itu. Sikapnya, perlakuannya, tanggung jawabnya, akhirnya membuat saya luluh. Singkat waktu, Darto. Saya hamil. Mungkin itu adalah bagian yang paling membahagiakan. Suami saya tak henti-henti mengucap syukur. Berkali lipat ia memperlakukan saya dengan romantis. Selalu di setiap pagi ia menyuapi saya makan, memeluk saya sewaktu tidur. Membelikan saya pakain atau hal-hal yang saya sukai, demikian seterusnya. Ketika perut saya sudah besar, ia mengambil alih pekerjaan rumah. Tidak dibiarkan saya untuk kelelahan. Saya seharusnya bersantai, katanya, dan menikmati kehamilan saya. Akan tetapi, sebagai istri yang baik, tentu saya menolak.

“Ketika Nana hadir, suami saya dan sekeluarga tak henti-henti bergembira. Kehadiran si kecil menambah suka cita. Saya ingat ketika saya di Rumah Sakit sehabis melahirkan. Suami saya mengelus-mengelus puncak kepala saya. Si kecil cantik, katanya, seperti saya. Dia bahagia telah menikah dengan saya, kata dia, dan kalau ada kehidupan selanjutnya, dia ingin tetap bersama saya. Ia tak cocok bertutur romantis, akan tetapi saya suka. Saya suka bagaimana cara ia menjunjung saya. Berbanding terbalik dengan kamu, yang sering menghina saya, Darto. Saya masih marah atas tempo lalu kamu samakan saya dengan pelacur. Akan tetapi lupakan dulu soal itu.

“Mengasuh Nana adalah pekerjaan berat seumur-umur. Ini kali pertama saya punya anak. Ia sudah rewel dari berumur satu tahun. Suka menangis. Mungkin saya mewarisi sifat itu. Yang berbeda, hanya saja cara saya mendidik Nana tak terlalu keras. Bahkan saya tak memaksa ia untuk menggunakan hijab sedari kecil, tak seperti saya. Saya ingin ia memilih kehendaknya. Darto. Bukankah begitu orang tua mendidik anaknya dengan benar? Kemudian Nana bertumbuh hingga sekarang ini. Tidak ada yang banyak berubah, sesungguhnya. Saya tidak bisa beralasan suami saya yang sibuk dengan pekerjaan membuat saya berselingkuh dengan kamu. Bukan itu. Saya rasa ada hal yang mendasar lebih jauh lagi

“Bohong jika saya bilang tidak menikmati perlakuan kamu tempo lalu.

“Dan sepertinya saya tahu sekarang. Bahwa saya hanya ingin memilih. Setidaknya untuk sekali ini.”

Ustadzah AIsyah merasa lega menceritakan segalanya. Ia tak tahu kenapa dirinya bertingkah begitu. Yang ia rasakan tubuhnya hanya ingin meletup, isi kepalanya ingin pecah, akan tetapi ia tak punya tempat tampung. Dan ia melepaskan segalanya kepada Tukang Galon Itu. Tidak pun ia berharap Darto akan mengerti, atau setidaknya menjawab kebingungannya, ia hanya ingin didengar tanpa disalahkan. Hidupnya yang penuh akan aturan, pada akhirnya, menciptakan kerusakan. Bahwa kekangan kelak akan menimbulkan pembangkangan adalah benar. Setelah itu ia menaruh ponselnya di atas meja, bersandar di sofa, mendongak. Ditariknya udara dalam-dalam, kemudian dikeluarkannya dalam satu kali hembusan.

Sepuluh menit kemudian ponselnya berbunyi. Demikian isi balasan:

“Seperti yang Ustadzah bilang. Saya gak tamat Sekolah Dasar. Tetapi saya tau maksud Ustadzah. Singkatnya, Ustadzah ingin bebas. Dan menikah dengan saya. Lalu punya anak. Apakah seperti itu Ustadzah?”

Tentu saja Ustadzah Aisyah tidak mengharap balasan yang memukau. Akan tetapi justru itu yang membuatnya merasa bahwa Darto berbeda. Ketidaktahuannya adalah hal yang menarik. Mendengar itu Ustadzah Aisyah terkikik geli.

“Ngaco kamu,” Tulis Ustadzah Aisyah.

“Ustadzah emang gak mau nikah sama saya?”

“Engga. Saya takut tinggal di kuburan. Serem.”

“Justru lebih asik lho Ustadzah. Lebih menegangkan.”

Keduanya larut dalam percakapan. Berceloteh riang. Terlihat Ustadzah Aisyah kali ini jauh lebih menikmati. Meskipun ia agak malu-malu dan pasif dalam bermain kata jorok. Tampaknya ini tidak menyiratkan pemaksaan. Kedua belah pihak telah mengirim sinyal persekutuan. Ketika Ustadzah Aisyah hendak mengakhiri percakapan sebab sudah mengantuk, Darto mengirim pesan yang membikin Ustadzah Aisyah meremang bulu kemaluannya.

Demikian isinya: “Besok pagi, ya, Ustadzah. Jangan lupa gamisnya. He, he, he.”

Kali ini, Ustadzah Aisyah membalas. “Ya, Tetapi saya gak janji bisa anterin kamu pulang. Makanya bawa motor. Awas kamu parkir di depan rumah saya. Jauh-jauh!”

***

Pukul sembilan pagi. Setelah mandi, Ustadzah Aisyah bertelanjang di depan meja . Ia menyusuri setiap lekuk tubuhnya; dada, perut, pinggang, dan leher. Kemudian ia mengangkat tangannya secara bergantian. Mengoles ketiak tak berbulunya dengan deodorant. Pagi ini ia mendapati satu kesan untuk mempercantik dirinya. Ia beranggapan, entah kenapa, mau membuat Darto tertarik kepadanya.

Bibirnya sudah di gincu merah, pipinya ditabur bedak sedikit. Barulah kemudian ia mengambil gamis Syar’i berwarna biru dongker. Akan tetapi ia tidak mengambil pakain dalamnya. Padahal, Darto tidak menyuruhnya demikian. Ini inisiatif dirinya sendiri. Seolah-olah menanti Tukang Galon itu tanpa pakaian dalam sudah menjadi kebiasaannya.

Dipakai gamisnya itu. Lekuk tubuhnya tertutup sempurna. Ia liuk ke kanan, kemudian memutar.

Ketika mau mengambil hijabnya, sekonyong Ustadzah Aisyay berpikir untuk tidak mengenakannya. Akan tetapi, sedikit kesalehannya yang tersisa membatalkan itu. Ia mengenakan hijab berwarna hitam. Kini tampaklah dirinya dengan balutan Syar’i, yang siapapun melihatnya berpikir dia ini tidak mungkin mengenakan itu untuk menjamu seorang lelaki yang akan menzinainya.

Ustadzah Aisyah melangkah keluar. Seperti biasa dia gugup. Otaknya melaju pada kemungkinan apa yang akan dilakukan Darto nantinya. Apakah ia akan disetubuhi di kamarnya, atau kamar putrinya, atau Dapur. Ia tak tahu. Kemudian Ustadzah Aisyah membayangkan itu, becek kemaluannya. Padahal ia bahkan belum di sentuh-sentuh. Akan tetapi ia tidak menganggap dirinya demikian kotor. Meskipun ia tahu ia hendak melakukan Zina. Ironi betul pemikiran Ustadzah itu.

Ustadzah Aisyah telah siap di ruang tamu. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, kali ini dia menanti. Gerak tubuhnya menandakan gelisah. Fokus utamanya adalah pintu di depan sana. Menanti Darto membuka pintu itu dalam satu senyum kala biasa.

Selang lima belas menit, ketika ia mau ke dapur untuk mengambil air, pintu terbuka dan sekonyong Darto muncul dalam keadaan yang tampak berbeda. Sungguh lelaki itu mengenakan kemeja dan celana jeans hitam yang rapi. Satu perbedaan yang Ustadzah Aisyah sadari adalah lelaki itu memotong rambutnya, cepak. Akan tetapi tak membuatnya terlihat tampan. Tidak sama sekali.

Mendapati Darto menghampirinya, lekas saja Ustadzah Aisyah menunduk. Itu dilakukan secara refleks—bawaan kesalehannya—kemudian wajahnya terangkat ketika Tukang Galon itu menarik dagunya.

Mereka berpandangan. Nyaris keduanya tenggelam satu sama lain dalam tatapan. Bahkan ketika Darto menyentuhkan jemarinya ke wajah Ustadzah Aisyah, Ustadzah Aisyah membiarkan jemari itu berpelesir ke penjuru arah, bahkan ia memejamkan mata sambil kepalanya sedikit dimiringkan sebab sentuhan itu terasa menggelikan. Kemudian tubuhnya merinding ketika telapak tangan pemuda itu menyentuh lehernya yang terbalut hijab.

Dalam satu langkah terbata-batah, mereka beriringan menuju kamar bagaikan pengantin di malam pertama. Ustadzah Aisyah merasakan hangat pada genggaman tangan Darto. Punggung Tukang Galon itu terlihat lebar. Sensasi ini membuat burung camar di perutnya mengepak, lalu terbang bebas ke penjuru tubuhnya. Ustadzah Aisyah tak mengerti perasaan apa ini. Apakah cinta atau nafsu. Yang ia tahu dan sadari adalah bahwa kini mereka telah berada di kamarnya.

“Udah siap dientot Ustadzah?” Darto berkata. Kemudian menarik tangan Ustadzah Aisyah hingga perempuan itu terlempar dan terbaring di atas kasur.

Ustadzah Aisyah mengangguk. Sedikit keberanian terpancar dari matanya. Dalam satu gerak sensual ia mundur sehingga punggungnya menyentuh penyangga ranjang. Sesuatu tak terduga ia lakukan, kedua tangannya merentang lebar dalam satu kesan menyambut Darto untuk menyetubuhinya.

Darto berangsur-angsur naik ke atas kasur. Disibaknya gamis Ustadzah Aisyah setinggi pinggang, memperlihatkan betis perempuan alim itu yang tampak menggiurkan, putih dan bersih. Sambil menggerayangi betis Ustadzah Aisyah, satu tangan Darto membuka hijab perempuan itu. Kali ini Ustadzah Aisyah membiarkannya. Demikian pada akhirnya simbol kesalehannya itu terlucuti, kali ini dalam kepasrahan.

Darto memajukan wajahnya, mengendus rambut Ustadzah Aisyah yang begitu harum aromanya. Kemudian tangannya mengelus rambut perempuan alim itu, mengambil beberapa helai dan menghirupnya dalam-dalam. Sementara tangan satunya berpelesir maju dan menyentuh vagina Ustadzah yang kuyup oleh lendir. Dalam satu gerakan lurus, jari telunjuknya mengiris bibir vagina itu, untuk kemudian turun lagi dalam satu gerakan yang sama.

Ustadzah Aisyah merapatkan kedua kakinya, kemudian membenamkan wajahnya ke leher pemuda itu. Dipeluknya pula. Ketika dirasakannya putingnya di cubit-cubit dan ditarik-tarik, menggelepar Ustadzah Aisyah bagaikan pesakitan. Sontak desah dari mulutnya pecah. “Ngshhhh. Darto….” kali ini terdengar merdu, serupa ketika ia mengaji Quran setiap pagi. Demikian kemudian, bibir yang kerap mengaji itu disumpal oleh jemari Darto. “Jilat jari saya, Ustadzah,” kata si pemilik jari.

Jari itu kemudian kuyup oleh ludah Ustadzah Aisyah, disapu-sapu seluruh pangkal. Ustadzah Aisyah tidak menyadari bahwa jari itu adalah yang tadi mengorek kemaluannya. Entah darimana ia dapat begitu keberanian untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan sepanjang hidupnya.

Menggunakan jari yang sama, kemudian Darto mencolok Vagina Ustadzah Aisyah, dalam satu sodokan tanpa baba-bibu, mengakibat perempuan yang dicolok kemaluannya meringis perih. “Awsh… Darto! Jangan begitu. Darto!” Nada itu keluar manja, bersama lenguh agak enak.

Bibir kemaluan Ustadzah AIsyah terbuka. Terlihat lubang memeknya demikian kecil. Kemudian lubang itu terbuka-terkatup, seiring jari telunjuk Darto keluar-masuk. Bulu-bulu kemaluan Ustadzah Aisyah basah semua.

“Ustadzah mau saya jilatin kemaluannya?” Ingin mempermainkan gejolak Ustadzah Aisyah, Darto menyodok jarinya hingga tenggelam sepenuhnya.

Ustadzah Aisyah sontak saja menahan lengan Darto. Tersengah-sengah perempuan alim itu.

Darto tanpa meminta jawaban, menarik gamis Ustadzah Aisyah ke atas, lalu kemudian gamis itu ia tarik lagi ke belakang tubuh Ustadzah Aisyah, melewati kepala, sehingga tampak perempuan itu tertutup wajahnya sepenuhnya. Barulah kemudian Darto menarik ke dua kakinya sehingga si pemilik kaki terbaring dalam satu keterkejutan yang tak terduga.

Demikian dekatnya Wajah Darto dengan kemaluan perempuan itu. Ia cium aroma yang menguar dari vagina itu. Kemudian lidahnya terjulur. Lalu bergerak dari bawah ke atas, menjilati-menjilat. Rasa kental lendir bercampur di lidahnya. Sementara si pemilik tubuh, terlihat meraung-raung, berusaha menyibak gamis yang menutupi wajahnya.

Ustadzah Aisyah tidak pernah merasakan kemaluannya dijilat-jilat. Oleh karena itu kesan pertamanya adalah… enak. Dan sungguh tubuhnya mengatakan hal yang sama. Ketika kakinya bergerak secara alami untuk menahan rasa geli dari lidah yang kian gencar menyapu vaginanya, pemuda itu mencegahnya, yang membikin Ustadzah Aisyah tubuhnya meliuk sini-sana.

“Darto…Ahmpshhh…Udahhh…geliii!” Ia sibak gamis yang menutupi wajahnya. Akan tetapi, ketika ia berusaha bangkit dan bersandar, Tukang Galon itu keburu menarik ke dua kakinya lagi, sehingga ia kembali terbaring.

“Memek Ustadzah luarbiasa enak. Asin dan kenyal.” Darto berkata sebelum kemudian menarik kain Gamis Ustadzah Aisyah ke bawah—menutupi kepalanya—sehingga perempuan alim itu tak tahu kemaluannya akan diperulah bagaimana lagi. Sebelum itu Darto berkata lagi dalam satu kesan bercanda, “Ustadzah gak boleh lihat. Saya bakal bikin kemaluan Ustadzah koyak-koyak.”

Ini yang terjadi kemudian: Bola mata Ustadzah Aisyah bagaikan ingin keluar, ke dua telapak tanganya mencekram kuat kepala Darto. Ludahnya menetes ke dagunya. Dirasainya kelintitnya di cambuk-cambuk, mengirim sinyal sengat yang luarbiasa. Pantatnya ternaik-naik sebelum kemudian terhempas-hempas, lalu bergeser kanan-kiri.

“Hmpshhh…Ufhhhh…Saya gak…Kuat, Darto. Darto. Gak…kuat…” Ustadzah Aisyah terlihat bagaikan hendak mau melahirkan. Keringatnya banjir. Rambutnya acak-acak, beberapa helai menempel di keningnya. Dadanya kempang-kempis. Kemudian sensai tak asing terasa di lubang pipisnya. Panas. Ia berusaha mungkin untuk menahan pipisnya. Berkata kepada Darto yang tengah mencambuk-cambuk kelentitnya. “Darto…minggir. Darto…” Tetapi ia tak bilang ia mau pipis.

“Empshhhh…Ahhhhh….Dartooooo…” Demikian panjang erangan itu, dibersamai pantatnya terangkat naik dan mengudara selama lima detik. “Darto…Empshhh..Maaf…”

Kemudian dari lubang pipisnya menyembur air mancur yang dahsyat dan banyak, meletus-meletus bagaikan kembang api, menghantam wajah Darto Sehingga wajah Tukang Galon itu dibanjiri oleh aroma pesing yang kuat.

Terhempas kemudian Pantat Ustazah Aisyah. Sekonyong ia menutup wajahnya sebab merasa malu. Sungguh pipisnya tak bisa tertahan lagi.

“Ustadzah kurang ajar,” Darto berkata sambil menyeka wajahnya dengan kain gamis. “Pipis, kok, di muka saya.” Kemudian ia beringsut menyibak tangan Ustadzah Aisyah. Di depan wajah perempuan alim itu, ia tersenyum. “Tetapi saya suka.”

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *